• Tidak ada hasil yang ditemukan

diperlukan untuk hajat hidup orang banyak, bahkan oleh semua makhluk hidup. Oleh karena itu, sumber daya air harus dilindungi agar tetap dapat dimanfaatkan dengan baik. Saat ini, masalah utama yang dihadapi meliputi jumlah air yang sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan yang terus meningkat dan mutu air untuk keperluan domestik yang makin menurun. Kegiatan industri, domestik, dan kegiatan lain berdampak negatif terhadap sumber daya air, antara lain menurunkan mutunya. Kondisi ini dapat menimbulkan gangguan, kerusakan, dan bahaya bagi semua makhluk hidup yang bergantung pada sumber daya air. Oleh karena itu, diperlukan pengelolaan dan perlindungan sumber daya air secara saksama (Effendi 2003).

Fenomena koagulasi dan flokulasi sangat berperan penting dalam pengolahan air dan limbah. Dalam pengolahan air minum, beberapa senyawa koagulan telah diujicobakan (Bratby 2006). Koagulan yang sering digunakan di antaranya aluminium klorohidrat (ACH), poli(aluminium klorida) (PAC), dan aluminium sulfat (alum), yang tergolong koagulan anorganik. Di samping itu, telah diketahui bahwa monomer dari beberapa koagulan golongan polimer organik sintetik, seperti akrilamida, bersifat merusak jaringan saraf dan karsinogen (Katayon et al. 2006). Selain koagulan anorganik, tersedia pula alternatif lokal sebagai koagulan organik alami dari tanaman yang mudah diperoleh di sekitar kita. Koagulan alami ini biodegradabel dan aman bagi kesehatan manusia.

Kelompok penelitian The Environmental Engineering Group di Universitas Leicester, Inggris, telah lama mempelajari potensi penggunaan koagulan alami dalam proses pengolahan air skala kecil, menengah, dan besar. Penelitian mereka dipusatkan terhadap potensi koagulan dari tepung biji tanaman kelor (Moringa oleifera). Dosis optimum koagulan biji kelor dengan kondisi kekeruhan awal lebih dari 150 NTU (nephelometric turbidity unit) adalah 50–200 mg/L.

Selain biji kelor, bahan alami lainnya dengan potensi koagulan ialah biji asam jawa (Tamarindus indica), yang dapat digunakan pada pengolahan limbah cair industri tahu. Dengan dosis optimum 3000 mg/L, kekeruhan awal sebesar 586 FTU (formazin turbidity units) menurun menjadi 96 FTU pada pH 4 (Enrico 2008).

Biji kelor telah dilaporkan efektif sebagai koagulan untuk menurunkan kekeruhan pada limbah cair kelapa sawit. Biji kelor juga tidak mengandung senyawa toksik sehingga aman bagi kesehatan (Hasbi et al. 2000).

Biji kelor telah dimanfaatkan sebagai koagulan alami untuk menurunkan kekeruhan air lindi di tempat pengolahan akhir (TPA) Benowo, tanpa menurunkan pH (Dwirianti 2007). Selain menurunkan kekeruhan, biji kelor juga efektif menurunkan kadar logam berat. Serbuk biji kelor tanpa kulit ari memberikan efisiensi penurunan logam Cu2+ lebih besar daripada yang berkulit ari (Widarti & Titah 2007). Beberapa penelitian di atas menggunakan biji kelor untuk pengolahan air limbah agar memenuhi persyaratan untuk dibuang ke sungai. Pada penelitian ini diukur efektivitas penurunan kekeruhan, kadar ion besi dan ion mangan oleh biji kelor yang berkulit ari dan yang tidak pada air sungai yang akan digunakan sebagai bahan baku pada instalasi pengolahan air bersih. Ketiganya merupakan parameter penting yang memengaruhi mutu air sungai karena adanya kontaminasi dari proses alam seperti serpihan batu, lumpur, dan hasil oksidasi logam yang berasal dari tanah.

Hasilnya dibandingkan dengan hasil koagulasi menggunakan ACH. Kondisi optimum ACH telah diketahui sebelumnya dari data hasil pengujian berkala laboratorium proses instalasi pengolahan air (IPA) 1 PT. Palyja yang dijadikan acuan pada proses pengolahan air bersih di instalasi tersebut.

Penelitian dilakukan dalam skala laboratorium dengan menggunakan metode uji jar yang juga merupakan simulasi operasional proses pengolahan konvensional (koagulasi, flokulasi, dan sedimentasi). Data yang diperoleh diolah secara statistik untuk melihat ada tidaknya perbedaan hasil dari perlakuan- perlakuan di atas dan dilakukan pengulangan untuk setiap parameter.

TINJAUAN PUSTAKA

Air

Air permukaan merupakan salah satu sumber penting bahan baku air bersih. Faktor- faktor yang harus diperhatikan adalah mutu air baku, jumlah, dan kesinambungannya (Chandra 2007). Pada suhu ambien, air merupakan cairan bening yang tidak berwarna, tidak berasa, dan tidak berbau (Kurita 1999).

2

Menurut Soemirat (2000), di Indonesia air permukaan merupakan salah satu bahan baku air bersih yang sering dipakai karena ketersediaannya. Air minum yang ideal harus jernih, tidak berbau, tidak berwarna, tidak berasa, tidak mengandung kuman patogen dan makhluk hidup lain yang dapat membahayakan kesehatan manusia, tidak mengandung zat kimia yang dapat mengubah fungsi tubuh, tidak meninggalkan endapan pada sistem distribusi, tidak korosif, dan lain- lain. Hal ini mencegah terjadinya serta meluasnya penyakit bawaan air.

Dalam aplikasinya, air yang akan digunakan untuk air bersih atau air minum harus mengalami beberapa tahap pengolahan. Unsur–unsur yang menyebabkan air tersebut belum memenuhi standar perlu dihilangkan atau dikurangi. Teknologi untuk pengolahan air sangat bergantung pada sumber air baku yang mutunya bermacam-macam. Tahapan pengolahan air sederhana meliputi proses koagulasi, flokulasi, sedimentasi, dan filtrasi.

Koagulasi

Proses koagulasi menyebabkan partikel halus bergabung menjadi partikel yang dapat mengenap (Hadyana 2002). Suatu koloid selalu terdiri dari dua fase, yaitu fase pendispersi dan terdispersi. Berdasarkan kelarutannya, koloid ada dua jenis. Koloid dispersi partikelnya tidak dapat larut secara individu dalam medium, yang terjadi hanyalah penyebaran (dispersi) partikel tersebut, sedangkan koloid asosiasi terbentuk dari gabungan partikel kecil yang terlarut dalam medium (Syukri 1999).

Stabilitas koloid merupakan segi penting dalam proses koagulasi untuk menghilangkan koloid. Stabilitas koloid bergantung pada ukuran koloid dan muatan listriknya, dan juga dipengaruhi oleh pendispersinya (dalam hal ini, air) seperti kekuatan ionik dan pH. Beberapa gaya menyebabkan stabilitas partikel: gaya elektrostatik tolak-menolak antarmuatan partikel sejenis, reaksi hidrasi (penggabungan dengan molekul air), dan stabilisasi karena adsorpsi molekul besar.

Secara umum ada dua jenis koloid; pada sistem pengolahan air lebih dikenal sebagai koloid hidrofobik dan hidrofilik. Sulit untuk membedakan keduanya. Biasanya kedua jenis koloid tersebut ada dalam satu sistem dan secara kontinu berada dalam transisi antara hidrofobik dan hidrofilik (Bratby 2006).

Koagulasi mengubah sistem dari keadaan stabil menjadi tidak stabil. Ada beberapa

mekanisme destabilisasi. Pertama, dengan proses kompresi lapisan ganda listrik oleh muatan yang berlawanan. Kedua, dengan mengurangi potensial permukaan yang disebabkan oleh adsorpsi molekul tertentu dengan muatan elektrostatik berlawanan. Ketiga, dengan adsorpsi molekul organik di permukaan partikel yang dapat membentuk jembatan molekul antarpartikel. Terakhir, dengan penggabungan partikel koloid ke dalam senyawa yang terbentuk dari koagulan/flokulan.

Destabilisasi yang terjadi bergantung pada jenis mekanismenya. Bisa saja hanya ada satu mekanisme yang menyebabkan agregasi atau kombinasi dari beberapa mekanisme. Untuk aplikasi praktis di IPA terdapat kombinasi beberapa mekanisme destabilisasi yang disebabkan oleh kompresi lapisan ganda.

Pada sistem pengolahan air, koagulasi terjadi pada unit pengadukan cepat (flash mixing). Koagulan harus tersebar secara cepat dan destabilisasi muatan negatif oleh muatan positif harus terjadi dalam beberapa detik. Proses koagulasi-flokulasi juga dapat menghilangkan sebagian atau seluruh zat terlarut, dan hal ini menjadi fungsi utama dari koagulasi-flokulasi.

Koagulan

Koagulan adalah zat kimia yang menyebabkan destabilisasi muatan negatif partikel di dalam suspensi. Zat ini merupakan donor muatan positif yang digunakan untuk mendestabilisasi muatan negatif pada partikel koloid. Koagulan digunakan untuk mengurangi kekeruhan dan diklasifikasikan menjadi koagulan alami, anorganik, dan polimer organik sintetik (Katayon et al. 2006). Saat ini dalam pengolahan air lazim dipakai garam Al(III) atau Fe(III). Contohnya, alum, PAC, Fe(III) sulfat, dan Fe(III) klorida. Di samping itu, telah diketahui bahwa monomer dari beberapa koagulan polimer organik sintetik, seperti akrilamida, bersifat merusak jaringan saraf dan karsinogen. Sementara itu, koagulan alami biodegradabel dan aman untuk kesehatan manusia (Katayon

et al.2006).

Aluminium Klorohidrat (ACH)

Aluminium klorohidrat (ACH) merupakan koagulan anorganik yang sering dipakai di instalasi pengolahan air. ACH memiliki rumus molekul Al2Cl(OH)5 (Gambar 1).

3

Gambar 1 Struktur molekul aluminium klorohidrat.

Secara komersial, ACH dapat diproduksi dengan cara mereaksikan aluminium dengan asam klorida. Bahan baku yang dapat digunakan antara lain aluminium besi, aluminium trihidrat, aluminium klorida, dan aluminium sulfat. Berkaitan dengan bahaya ledakan hidrogen yang dihasilkan oleh reaksi logam aluminium dengan asam klorida, di industri ACH lazim disiapkan dengan mereaksikan aluminium hidroksida dengan asam klorida (Bratby 2006).

Biji Kelor (Moringa oleifera)

Kelor awalnya banyak tumbuh di India. Namun, kini kelor banyak ditemukan di daerah beriklim tropis (Grubben 2004). Kelor tumbuh di daerah panas dan sedikit gersang dengan curah hujan 250–1500 mm. Berikut ini adalah klasifikasi tanaman kelor.

Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Famili : Moringaceae Genus : Moringa

Spesies : Moringa oleifera

Tanaman tersebut juga dikenal sebagai tanaman “stik-drum” karena bentuk polong buahnya yang memanjang meskipun ada juga yang menyebutnya sebagai ”horseradish” karena rasa akarnya menyerupai lobak.

Kelor termasuk jenis tumbuhan perdu yang dapat memiliki ketinggian batang 7–11 m. Pohon kelor umumnya tumbuh 3–4 m pada tahun pertama. Batang kayunya getas (mudah patah), cabangnya jarang, tetapi berakar kuat. Batangnya berwarna kelabu, daun berbentuk bulat telur dengan ukuran kecil, tersusun majemuk dalam satu tangkai. Pohon kelor mulai berbuah setelah 2 tahun. Bunganya berwarna hijau, keluar sepanjang tahun, dengan aroma semerbak. Pengembang biakan pohon kelor bisa menggunakan biji ataupun menggunakan setek batang. Biji kelor (Gambar 2) berbentuk segi tiga memanjang yang disebut kelantang (Jawa) dan berbau minyak “behen” atau “ben”. Buahnya berbentuk memanjang, berwarna hijau, keras, dengan panjang 30-50 cm (Jonni et al. 2008).

Gambar 2 Biji kelor.

Menghilangkan zat organik dan anorganik dari air baku merupakan hal yang penting sebelum air dikonsumsi oleh manusia. Biji kelor dapat digunakan sebagai adsorben bahan organik, sebagai koagulan pada pengolahan air, dan merupakan zat polimer organik yang tidak berbahaya (Vieira et al. 2009).

Beberapa penelitian menunjukan bahwa efisiensi ekstrak biji akan menurun seiring bertambah lamanya waktu penyimpanan. Penurunan terjadi setelah disimpan 1–5 bulan (Katayon et al. 2006).

Koagulan biji kelor yang dicampur dengan air merupakan protein yang bersifat serupa dengan polielektrolit positif. Biji kelor juga mengandung logam alkali kuat seperti K dan Ca, yang menjadi kutub positif (Duke 1998). Efektivitas koagulasi biji kelor ditentukan oleh kandungan protein kationik dengan bobot molekul sekitar 6.5 kDa. Zat aktif dalam biji kelor adalah 4-(α-L-ramnosiloksi) benzil isotiosianat (Gambar 3) (Muharto et al. 2007).

Gambar 3 Struktur 4(α-L-ramnosiloksi) benzil isotiosianat.

WELL (tt) menyatakan beberapa tingkat konsentrasi sesuai tingkat kekeruhan air baku (Tabel 1).

Tabel 1 Hubungan antara dosis biji kelor dan kekeruhan air baku

Kekeruhan air baku (NTU) Dosis (mg/L)

<50 10–50

50–150 30–100

>150 50–200

Sumber: WELL (tt)

Mekanisme koagulasi dengan koagulan protein yang paling mungkin adalah adsorpsi, netralisasi muatan, dan pembentukan ikatan antarpartikel yang tidak stabil (Katayon et al.

4

2006). Dari ketiga mekanisme tersebut, sulit untuk menentukan mekanisme yang terjadi, karena mungkin berlangsung simultan. Akan tetapi, umumnya mekanisme koagulasi dengan biji kelor adalah adsorpsi dan netralisasi muatan (Sutherland et al. 1990).

Pembentukan ikatan protein bermuatan positif dari biji kelor akan terjadi pada bagian bermuatan negatif dari permukaan partikel. Ini membantu pembentukan muatan negatif dan positif pada permukaan partikel. Pembentukan ikatan partikel dapat ditingkatkan dengan proses pengadukan. Terjadi kejenuhan antarpartikel yang berbeda muatan sehingga flok akan terbentuk.

Untuk digunakan sebagai koagulan dipilih biji kelor yang telah matang di pohon dan baru dipanen setelah kering. Sayap bijinya yang ringan serta kulit bijinya mudah dipisahkan hingga menyisakan biji yang putih. Pada akhir 1950-an, sebuah tim dari University of Bombay, Traancore University, dan Departmen Biokimia di Indian Institute of Science di Bangalore mengidentifikasi enam senyawa kimia dalam biji kelor. Salah satunya adalah 4(α-L-ramnosiloksi) benzil isotiosianat, suatu zat aktif glukosinolat yang mampu mengadsorpsi partikel lumpur, logam, dan sekaligus menetralkan tegangan permukaan partikel-partikel pada air limbah (Muharto et al. 2007).

Parameter Mutu Air

Kekeruhan

Kekeruhan air permukaan dapat disebabkan oleh partikel-partikel koloid dari serpihan batu, lumpur, tanah liat, atau dari hasil oksidasi logam yang berasal dari tanah. Partikel tersebut bisa berasal dari proses erosi, mikroorganisme, atau dari tumbuhan (Drinan 2001).

Menurut Effendi (2003), kekeruhan dinyatakan dalam unit kekeruhan yang setara dengan 1 mg/L SiO2. Peralatan yang pertama

kali digunakan untuk mengukur kekeruhan adalah jackson candler turbidimeter (JCT). Kekeruhan juga lazim diukur dengan metode nefelometri. Satuan kekeruhannya adalah NTU (Sawyer & McCarty 1978). Satuan JCT dan NTU tidak dapat saling dikonversi, tetapi Sawyer dan McCarty (1978) mengemukakan bahwa 40 NTU setara dengan 40 JCT.

Menurut Permenkes No 416/1990 (Lampiran 1) tentang syarat-syarat dan mutu air bersih, batas maksimum untuk parameter kekeruhan adalah 25 NTU. Sementara itu, kekeruhan air sungai sebagai bahan baku air

bersih biasanya berkisar antara 100 dan 500 NTU.

Besi

Besi (Fe) banyak terdapat di dalam tanah, tetapi hanya sedikit yang terlarut dalam air. Besi di dalam air bervalensi +2 atau +3, bergantung pada pH dan kondisi potensial redoks di dalam air. Dalam lingkungan reduktor (potensial elektrode negatif), besi berada dalam bentuk Fe2+, yang larut dalam air dan tidak berwarna (Said & Wahyono 1999). Ketika potensial di dalam air naik, Fe2+ akan teroksidasi menjadi Fe3+ membentuk Fe(OH)3 yang kelarutannya rendah sehingga

akan tersuspensi membentuk kekeruhan, berwarna kuning kecokelatan.

Endapan Fe(OH)3 korosif terhadap pipa

dan akan mengendap pada saluran pipa, sehingga menyumbat dan mengotori bak seng, wastafel, dan kloset. Besi terlarut, di sisi lain, menimbulkan warna, bau, dan rasa dalam air (Faust & Osman 1983). Kadar Fe lebih dari 1 mg/L sesuai dengan Permenkes No 416/1990 mengiritasi mata dan kulit. Apabila kelarutan besi dalam air melebihi 10 mg/L, air akan berbau seperti telur busuk.

Mangan

Mangan di dalam tanah kebanyakan berbentuk mangan dioksida (valensi +4), yang sukar larut di dalam air. Namun, karena dalam kondisi anaerob (potensial elektrode negatif), MnO2 tersebut dapat direduksi menjadi Mn2+

yang larut air.

Mangan yang tinggi di dalam air, terutama untuk air minum, akan teroksidasi oleh oksigen membentuk Mn4+ yang menyebabkan air menjadi keruh, berwarna kecokelatan, dan berbau logam mangan (Sutrisno 2006). Menurut Permenkes No 416/1990 tentang kualitas air bersih, batas maksimum untuk parameter kadar mangan adalah 0,5 mg/L.

Uji Jar

Metode uji jar digunakan untuk menentukan parameter-parameter seperti dosis koagulan, pH, kebasaan, dan waktu flokulasi yang dibutuhkan pada saat proses koagulasi (Faust & Osman 1983). Metode ini paling banyak digunakan untuk evaluasi dan optimalisasi proses flokulasi-koagulasi. Metode ini terdiri atas beberapa tahapan: pertama adalah pengadukan secara cepat (untuk mendispersi koagulan), pengadukan lambat (untuk meningkatkan pembentukan

5

flok) dan pengenapan flok yang terbentuk (Singh & Yadava 2003).

Uji jar terdiri dari enam buah wadah yang masing-masing diisi dengan 1000 mL contoh air. Dosis koagulan yang berbeda ditambahkan ke dalam masing-masing wadah untuk menentukan kisaran dosis optimum. Koagulan harus ditambahkan setelah dilakukan pengadukan cepat secara simultan beberapa saat (Hendric 2006).

Spektrofotometri Serapan Atom (AAS)

Spektrofotometri serapan atom telah lama digunakan untuk analisis kuantitatif unsur- unsur logam dalam jumlah renik. Spektrofotometri dirancang menggunakan sistem optik berkas-tunggal atau berkas-ganda (Harvey 2000).

Analisis AAS didasarkan pada penyerapan energi sinar pada panjang gelombang tertentu oleh atom-atom netral dalam keadaan gas dari zat yang dianalisis. Prinsip kerja alat ini adalah nyala api yang mengandung atom-atom netral dari unsur yang dianalisis, yang berada pada keadaan dasarnya, disinari oleh sinar yang dipancarkan sumber sinar. Sebagian intensitas sinar tersebut dengan panjang gelombang tertentu akan diserap oleh atom, sebagian lagi diteruskan ke monokromator lalu berturut-turut ke detektor, amplifier, dan rekorder (Day & Underwood 2002).

Menurut Khopkar (1998), keberhasilan analisis ini bergantung pada proses eksitasi dan cara memperoleh garis resonans yang tepat. Jika sumbernya monokromatis, hukum Lambert menyatakan bahwa proporsi sinar datang yang diserap oleh bahan/medium tidak bergantung pada intensitasnya. Hukum ini tentunya hanya berlaku jika di dalam bahan atau medium tidak ada reaksi kimia atau proses fisis yang dapat dipicu atau diimbas oleh sinar datang. Intensitas sinar yang melewati bahan/medium dapat dituliskan sebagai.

I = T × I0

dengan I adalah intensitas sinar keluar, I0 adalah intensitas sinar datang, dan T adalah transmitans. Jika transmitans dinyatakan dalam persen, maka

%T = (I/I0) × 100 (satuan %) Hukum Beer lebih lanjut menyatakan bahwa absorbans sinar berbanding lurus dengan konsentrasi dan ketebalan bahan/medium:

A = ε c l

dengan ε adalah absorbsitivitas molar untuk panjang gelombang tertentu, atau koefisien ekstingsi (dalam L mol-1 cm-1), c adalah konsentrasi (mol L-1), dan l adalah ketebalan medium yang dilintasi sinar (cm).

Pada AAS, panjang gelombang garis absorpsi resonans identik dengan garis emisi, karena keserasian transisinya. Untuk itu, diperlukan sumber radiasi yang mengemisikan sinar pada panjang gelombang tepat sama dengan pada proses absorpsinya. Dengan demikian, efek pelebaran puncak dapat dihindarkan. Sumber radiasi tersebut dikenal sebagai lampu katode cekung.

Pengujian Statistika

Menurut Mattjik dan Sumertajaya (2006) hipotesis statistik dibedakan menjadi dua, yaitu hipotesis nol (H0) dan hipotesis

tandingan atau alternatif (H1). Pernyataan

yang ingin ditolak kebenarannya ditetapkan sebagai hipotesis nol, sedangkan pernyataan lawannya ditetapkan sebagai hipotesis tandingan. Dikenal istilah uji satu arah dan dua arah, yang dibedakan dari sifat penolakan hipotesis tersebut.

Perbandingan nilai rerata dua contoh dibagi menjadi dua kategori, yaitu data berpasangan dan tak berpasangan. Data yang diperoleh dari sumber yang sama diolah dengan metode tak berpasangan, sedangkan data dari sumber yang berbeda diolah dengan metode berpasangan.

Presisi

Presisi dari sebuah prosedur analisis menggambarkan kedekatan nilai dalam suatu rangkaian pengukuran yang didapat dari sampel yang homogen pada kondisi tertentu (ICH 1996). Presisi dapat dinyatakan sebagai keterulangan (repeatability), presisi intermediet (intemediate precision), dan ketersalinan (reproducibility). Presisi lazim dituliskan sebagai variasi, standar deviasi, atau standar deviasi relatif (RSD) dari suatu deret pengukuran. Menurut APHA-AWWA (2005), keterulangan (RSD) yang dipersyaratkan untuk pengukuran logam menggunakan AAS adalah kurang dari 10%.

6

BAHAN DAN METODE

Dokumen terkait