• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Irigasi

Irigasi adalah prosesaplikasibuatanairkepermukaan tanahuntukpertumbuhantanaman di bidang pertanian. Secara

praktisdalampenanamandan merancangsistempasokan airuntuklahan pertanianuntuk melindungitanaman dariefekburukdarikekeringanataucurah hujan yang rendah.Hal tersebut termasukpembangunanbendung, bendungan,dansistem kanaluntukpasokan regulerdarisumber air kelahan (Basak, 1999).

Menurut Dumairy (1992) berdasarkan sudut pandangan cara pemberian airnya pada tanaman, irigasi digolong-golongkan menjadi irigasi permukaan, irigasi curah dan irigasi bawah tanah. Irigasi permukaan (surface irrigation) adalah metode irigasi yang pemberian airnya pada tanaman dilakukan dengan cara penggenangan atau pengaliran di permukaan tanah. Metode irigasi semacam ini merupakan metode yang sangat umum dipraktekkan dalam kegiatan usaha tani, baik yang disengaja maupun tanpa disengaja, pada pengairan yang bersifat teknis maupun sederhana. Irigasi permukaan ini dibedakan atas irigasi permukaan dengan cara penggenangan dan irigasi permukaan dengan cara pengaliran.

Metode irigasi bervariasi dalam berbagai bagian dunia dan pada berbagai tanah pertanian dalam suatu lingkungan karena perbedaan pada tanah, topografi, persediaan air, tanaan dan kebiasaan.Metode irigasi penggenangan maupun metode galengan dan pengolaman cocok untuk tanaman makanan ternak maupun padi.Tanaman yang berderet diberi air dengan alur.Setiap atau kombinasi

beberapa metode bisa baik sekali diterapkan pada satu tanah pertanian (Hansen, dkk., 1992).

Saluran irigasi di daerah irigasi teknis dibedakan menjadi saluran irigasi pembawa air dan saluran pembuang.Ditinjau dari jenis dan fungsinya saluran irigasi pembawa dapat dibedakan menjadi saluran primer, sekunder, tersier serta kuarter.Ditinjau dari letaknya saluran irigasi pembawa dapat pula dibedakan menjadi saluran garis tinggi/kontur dan saluran garis punggung.Saluran garis tinggi yaitu saluran yang ditempatkan sejurusan dengan garis tinggi/kontur. Saluran garis punggung yaitu saluran yang ditempatkan pada punggung medan. Pada saluran pembawa, dapat dibuat saluran tanpa pasangan dan saluran dengan pasangan (Mawardi, 2007).

Tanaman Padi

Di Indonesia dan di negara lain padi ditanam di dua jenis lahan utama yaitu lahan sawah dan ladang (lahan kering). Di Indonesia padi ditanam di dua musim yang berbeda yaitu musim hujan dan musim kemarau.Sedangkan berdasarkan ketersediaan air, sawah dapat digolongkan menjadi dua golongan

besar, yaitu sawah tadah hujan dan sawah irigasi teknis (Suprayono dan Setyono, 1993).

Siregar (1981) menyatakan bahwa tumbuhan padi adalah tumbuhan yang tergolong tanaman air (waterplant). Sebagai tanaman air bukanlah berarti bahwa tanaman padi itu hanya bisa tumbuh di atas tanah yang terus menerus digenangi air, baik penggenangan itu terjadi secara alamiah sebagai terjadi pada tanah rawa-rawa, maupun penggenangan itu disengaja sebagai terjadi pada tanah-tanah sawah. Dengan megahnya juga tanaman padi itu dapat tumbuh di tanah daratan atau tanah kering, asalkan curah hujan mencukupi kebutuhan tanaman akan air.

Padi termasuk genus Oryza L yang meliputi lebih kurang 25 spesies, tersebar didaerah tropik dan daerah sub tropik seperti Asia, Afrika, Amerika dan Australia. Menurut Chevalier dan Neguier padi berasal dari dua benua Oryza fatua Koenig dan Oryza sativa L berasal dari benua Asia, sedangkan jenis padi lainya yaitu Oryza stapfii Roschev dan Oryza glaberima Steund berasal dari Afrika barat. Padi yang ada sekarang ini merupakan persilangan antara Oryza officinalisdan Oryza sativa f spontania. Di Indonesia pada mulanya tanaman padi diusahakan didaerah tanah kering dengan sistim ladang, akhirnya orang berusaha memantapkan hasil usahanya dengan cara mengairi daerah yang curah hujannya kurang (Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bantul, 2010).

Alternatif untuk pengembangan lingkungan pertanaman padi adalah dengan mengubah hidrologi pada tanah di daerah itu. Setelah dibuatkan tanggul, selanjutnya penggenangan dengan air tawar, baik yang berasal dari sungai pasang, ataupun air tawar yang disalurkan melalui saluran irigasi-irigasi, memungkinkan tanaman padi tumbuh dengan baik,dengan hasil yang lebih memuaskan (Sutedjo dan Kartasapoetra, 1988).

Budidaya Tanaman Padi

Suparyono dan Setyono (1997) menyatakan bahwa padi tumbuh baik di daerah tropis maupun sub tropis. Untuk padi sawah, ketersediaan air yang mampu menggenangi lahan tempat penanaman sangat penting.Oleh karena itu menggenang terus-menerus maka tanah sawah harus memiliki kemampuan menahan air yang tinggi seperti tanah lempung.Untukkebutuhan air tersebut, diperlukan sumber mata air yang besar kemudian ditampung dalam bentuk waduk

(danau).Dari waduk inilah sewaktu-waktu air dapat dialirkan selama periode pertumbuhan padi sawah.

Tumbuhan padi bersifat merumpun, artinya tanaman-tanaman anak-beranak. Demikianlah umpamanya: Bibit yang hanya sebatang saja ditanamkan dalam waktu yang sangat singkat telah dapat membentuk satu dapuran, dimana terdapat 20-30 atau lebih anakan/tunas-tunas baru. Kecepatan anak-beranak yang begitu pesat bisa menimbulkan kesulitan untuk mengetahui manakah di antara sejumlah batang-batangnya dalam satu rumpun itu yang merupakan batang utamanya, dan mana yang merupakan batang-batang dari anak/tunas baru (Siregar, 1981).

Dalam budidaya padi, perlu diperhatikan faktor-faktor penentu keberhasilan, diantaranya syarat tumbuh, pH tanah, bibit tanaman, serta cara mengendalikan hama dan penyakit tanaman padi. Lokasi budidaya padi dan syarat tumbuh tanaman perlu diketahui untuk menentukan varietas maupun pengendalian hama dan penyakit. Tanaman padi sawah memerlukan curah hujan antara 200 mm/bulan atau 1500-2000 mm/tahun, ketinggian tempat optimal 0-1500 mdpl. Suhu optimal untuk pertumbuhan tanaman 23°C.Intensitas sinar matahari penuh tanpa naungan.Budidaya padi sawah dapat dilakukan di segala musim.Air sangat dibutuhkan oleh tanaman padi.Saat musim kemarau, air harus tersedia untuk meningkatkan produksi.Tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman padi adalah tanah mengandung pasir, debu, maupun lempung (Kurnianti, 2013).

Potensi Produksi Padi Per Satuan Luas Lahan

Di dalam suatu set sistem produksi terdapat suatu nilai batas maksimum produktifitas yang tidak dapat dilampaui tanpa merubah set sistem produksi itu

sendiri. Sampai dengan satu dasawarsa yang akan datang (sampai dengan tahun 2000) secara pasti dapat ditetapkan bahwa energi surya yang dapat sampai ke permukaan bumi akan merupakan faktor penentu batas produktifitas lahan akan budidaya padi sawah. Yoshida(1983) dalam Pusposutardjo (1991) menyatakan bahwa secara kasar produksi maksimum padi yang ditentukan oleh faktor pembatas energi radiasi surya yang sampai di bumi dapat dihitung dengan rumus : W=Eu×T×Rs

K ×104gm/m2………...(1)

dengan

W = pertambahan berat kering tumbuhan (kg/ha) T = lama waktu pertumbuhan (hari)

Rs = rerata radiasi matahari yang sampai dipermukaan bumi (kal/cm2 hari) K = tetapan (kal/gr)

Eu = koefisien konversi energi surya (untuk kawasan tropis 0,025)

Hansen, et. al(1980) dalam Pusposutardjo (1991) menyatakan bahwa Nilai Rs dapat diperhitungan dengan memakairumus empiris Hargreaves

Rs=0,10 Rso (S)1/2kal/cm2hari………..(2) dengan

Rso = energi surya yang diterima dipuncak atmosfir (kal/cm2hari) S = persen lama penyinaran

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Produktivitas Padi

AAK (1992) menyatakan bahwa tanaman padi dapat hidup dengan baik di daerah yang berhawa panas dan banyak mengandung uap air. Dengan kata lain, padi dapat hidup baik di daerah beriklim panas yang lembab. Pengertian ini

menyangkut curah hujan, temperatur, ketinggian tempat, sinar matahari, angin dan musim.

1. Curah Hujan

Tanaman padi membutuhkan curah hujan yang baik, rata-rata 200 mm/bulan atau lebih, dengan distribusi selama 4 bulan. Sedangkan curah hujan yang dikehendaki pertahun sekitar 1500-2000 mm. Curah hujan yang baik akan membawa dampak positif dalam pengairan, sehingga penggenangan air yang diperlukan tanaman padi di sawah dapat tercukupi.

2. Suhu

Suhu mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan tanaman.Suhu yang panas merupakan temperatur yang sesuai bagi tanaman padi, misalnya daerah tropika yang dilalui garis khatulistiwa seperti negara kita ini.Tanaman padi dapat tumbuh dengan baik pada suhu 230C ke atas, sedangkan negara di Indonesia pengaruh suhu tidak terasa, sebab suhunya hampir konstan sepanjang tahun.Adapun salah satu pengaruh suhu terhadap tanaman padi yaitu kehampaan pada biji.

3. Tinggi tempat

Menurut Junghun dalam AAK (1992), hubungan antara tinggi tempat dengan tanaman padi adalah sebagai berikut :

a. Daerah antara 0-650 meter dengan suhu antara 26,50C-22,50C termasuk 96% dari luas tanah di Jawa, cocok untuk tanaman padi. b. Daerah antara 650-1500 meter dengan suhu antara 22,50C-18,70C

4. Sinar matahari

Tanaman padi memerlukan sinar matahari.Hal ini sesuai dengan syarat tumbuh tanaman padi yang hanya dapat hidup di daerah berhawa panas. Di samping itu, sinar matahari diperlukan untuk berlangsungnya proses fotosintesis, terutama pada saat tanaman berbunga sampai proses pemasakan buah. Proses pembungaan dan kemasakan buah berkaitan erat dengan intensitas penyinaran dan keadaan awan.

5. Angin

Angin mempunyai pengaruh positif dan negatif terhadap tanaman padi. Pengaruh positifnya, terutaman pada proses penyerbukan dan pembuahan. Tetapi angin juga berpengaruh negatif, karena penyakit yang disebabkan oleh bakteri atau jamur dapat ditularkan oleh angin, dan apabila terjadi angin kencang pada saat tanaman berbunga, buah dapat menjadi hampa dan tanaman roboh. Hal ini akan lebih terasa lagi apabila penggunaan pupuk N berlebihan, sehingga tanaman tumbuh terlalu tinggi.

6. Musim

Musim berhubungan erat dengan hujan yang berpengaruh di dalam penyediaan air, dan hujan dapat berpengaruh terhadap pembentukan buah (ingat penyerbukan dan pembuahan) sehingga sering terjadi bahwa penanaman padi pada musim kemarau mendapatkan hasil yang lebih tinggi daripada penanaman padi pada musim hujan, dengan catatan apabila pengairan baik.

Selain dipengaruhi oleh faktor iklim, pertumbuhan tanaman padi juga dipengaruhi oleh keadaan tanah. Siregar (1981) menyatakan bahwa sejalan dengan keadaan/ kondisi di mana padi itu dipertanamkan, menanam padi di tanah

yang sengaja digenangi air yaitu tanah sawah, usaha penanaman padi itu disebut “menyawah”, sementara penanaman padi di tanah kering atau tanah darat disebut “berladang”. Varietas padi yang dipergunakan untuk lahan yang digenangi air disebut varietas padi sawah, sementara varietas yang dipergunakan untuk tanah darat/kering disebut varietas padi ladang. Selanjutnya AAK (1992) menyatakan bahwa sifat fisik tanah yang mempengaruhi pertumbuhan padi yaitu tekstur tanah, struktur tanah, air serta udara dalam tanah.

Asnawi dalam Varley (1995) menyatakan bahwa salah satu faktor penghambat utama dari program swasembada adalah faktor tersedianya air irigasi secara cukup yang dapat dikendalikan pada waktu yang tepat di sawah-sawah petani.Hasil studi saya di Sumatera Barat menunjukkan dengan nyata bahwa air irigasi tidak saja meningkatkan hasil perhektar secara langsung tetapi juga untuk memberikan respon tanaman terhadap pupuk kimia.Varietas padi unggul baru tinggi hasilnya kalau diberi pupuk kimia dengan dosis yang tepat. Respon tanaman terhadap pupuk akan muncul jika ada air irigasi.Barker dan Herdt (1984) dalam Varley (1995) juga menyatakan serupa dimana kontribusi irigasi terhadap kenaikan produksi padi berbanding terbalik dengan kelas irigasi (rendah, sedang dan tinggi).Kesimpulannya, disamping penyuluhan langsung, irigasi merupakan prasarana penentu agar teknologi baru (bibit unggul dan pupuk kimia) dapat berperan secara efektif.

Debit air yang akan dialirkan pada luas lahan sawah yang dialiri berhubungan dengan efisiensi irigasi. Dumairy (1992) menyatakan bahwa kebutuhan air di persawahan dihitung berdasarkan dalamnya kebutuhan air dikalikan dengan luas daerah irigasi kemudian ditambah besarnya kehilangan air

di perjalanan.Kehilangan air di perjalanan maksudnya air yang hilang selama dalam perjalanannya dari bangunan induk menuju petak persawahan, yakni air yang hilang di salurkan baik karena evaporasi ataupun karena perembesan ke dalam tanah. Hal ini menunjukkan bahwa debit air akan mempengaruhi efisiensi irigasi dimana debit air yang akan dialirkan akan berkurang dan berpengaruh terhadap jumlah air yang akan diberikan sebagai salah satu indikator dari efisiensi irigasi.

Potensi Sistem Irigasi Untuk Mendukung Budidaya Padi Sawah

Pusposutardjo (1991) menyatakan bahwa kinerja jaringan irigasi sangat tergantung pada cara eksploitasi dan pemeliharaan jaringan irigasi serta pengelolaan air. Dengan demikian kinerja jaringan irigasi akan ditentukan oleh empat anasir utamanya, yaitu keadaan fisik jaringan, kemampuan pengoperasian jaringan oleh petugas (personil Dinas Pengairan, PU), petani pemanfaat air, dan ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan yang mengingat pengoperasian dan pemanfaatan. Ke empat anasir tersebut beserta proses kegiatannya dinamakan sebagai sistem irigasi. Di dalam analisis tinjau, potensi sistem sebagai sarana pendukung budidaya padi sawah dapat ditunjukkan dengan memakai tiga bentuk tolok ukur, yaitu luas dan perkembangan lahan irigasi, nisbah (ratio) antara luas lahan panen dengan lahan beririgasi, serta keandalan sistem irigasi untuk stabilisasi produksi.

1. Luas dan perkembangan lahan Irigasi

Pusposutardjo (1991) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan luas lahan irigasi adalah luas lahan yang dirancang untuk dapat diberi air irigasi dalam suatu daerah irigasi (DI). Analisis tentang luas dan perkembangan lahan irigasi di

Indonesia selama empat kali Pelita dijumpai tiga hal yang menarik, diantaranya adalah :

1. Wirosoemarto (1983) dalam Pusposutardjo (1991) menyatakan bahwa biaya pembangunan jaringan irigasi perkesatuan luas yang cenderung naik. Kecenderungan akan naiknya biaya pembangunan jaringan irigasi ternyata tidak hanya semata-mata disebabkan oleh karena faktor perkembangan moneter, tetapi juga disebabkan oleh faktor kesulitan teknis konstruksi yang terus meningkat sebagai akibat keterbatasan air dan lahan.

2. Di Jawa pertambahan luas lahan irigasi teknis ternyata diikuti dengan menurunnya luas lahan irigasi semi teknis dan irigasi sederhana. Bila perubahan luas lahan klas irigasi dihubungkan dengan nisbah luas lahan antar klas irigasi maka dapat disimpulkan bahwa perkembangan jaringan irigasi di Jawa dimaksudkan untuk lebih bersifat peningkatan mutu kemampuan pelayanan (pengelolaan air) dibandingkan dengan bertambah luasnya kemampuan pelayanan. Keadaan perkembangan lahan irigasi seperti di Jawa berlangsung oleh karena adanya dua kendala utama yaitu keterbatasan lahan untuk dijadikan lahan sawah baru dan keterbatasan sumberdaya air yang dapat dikembangkan.

Di luar Jawa yang masih mempunyai potensi untuk perluasan areal dan sumberdaya air yang dapat dikembangkan relatif masih banyak, pengembangan irigasi dapat mengarah pada dua sasaran, yaitu perluasan areal pelayanan dan peningkatan mutu pelayanan irigasi yang diupayakan dengan peningkatan klas irigasi.Oleh karenanya maka luas lahan dari dua klas irigasi di Indonesia dapat berkembang bersama-sama.

Nisbah luas lahan irigasi teknis dengan luas lahan irigasi semi teknis dan sederhana adalah :

Nisbah luas lahan irigasi teknis = Luas Lahan Irigasi Teknis

Luas irigasi semi teknis+luas irigasi sederhana……...(3) 2. Nisbah Antara Luas Lahan Panen Dengan Luas Lahan Beririgasi

Pusposutardjo (1991) menyatakan bahwa nisbah antara luas panen dengan luas lahan beririgasi dapat dipakai sebagai petunjuk kemampuan pelayanan jaringan irigasi sebagai sarana budidaya padi dilahan sawah.Apabila nilai nisbah selalu dibawah 2, hal ini berarti bahwa sasaran 2 x tanam padi dapat tercapai.Untuk Indonesia secara keseluruhan ternyata perkembangan luas lahan irigasi tidak dapat secara proposional diimbangi dengan luas panen.Bahkan ada kecenderungan kemampuan lahan beririgasi untuk mendukung luas panen menurun meskipun secara statistik penurunan tersebut tidak nyata.

3. Keandalan Jaringan Irigasi Untuk Stabilisasi Produksi Padi Sawah

Keandalan fungsional jaringan irigasi terhadap perubahan iklim dapat dilihat melalui fluktuasi luas panen per satuan luas lahan irigasi.Selain itu, keandalan jaringan irigasi ini juga dapat dilihat dari angka kerusakan luas areal panen pada luasan tertentu selama periode tertentu pula.Jika angka kerusakan semakin tahun cenderung meningkat maka dapat dikatakan bahwa keandalan jaringan irigasi untuk menunjang stabilisasi produksi padi sawah masih perlu ditingkatkan (Pusposutardjo, 1991).

Pusposutardjo (1991) mengemukakan bahwa keandalan fungsional jaringan irigasi dapat pula ditentukan oleh manajemen irigasinya.Varley (1995) mengemukakan bahwa kemajuan pembangunan fisik jaringan irigasi di Indonesia tidak diimbangi dengan kemajuan manajemen irigasinya. Kenyataan di lapangan

banyak jaringan irigasi yang tidak berfungsi dengan baik, terjadi kebocoran dalam penyaluran dan pemberian air, lemahnya perawatan dan pemeliharaan jaringan irigasi, distribusi air yang tidak merata, serta jadwal giliran pemakaian air yang yang tidak tertib.

Beberapa kendala dalam meningkatkan keandalan jaringan irigasi dalam stabilisasi produk padi sawah, antara lain:

1. sumber air irigasi umumnya berasal dari air limpasan yang diambil dengan bendung ( run offon the river system)

2. sistem irigasi yang ada dirancang untuk dioperasikan atas dasar jadwal waktu operasi yang tetap sedangkan pasok air hujan berlangsung secara stokhastik

3. perubahan lingkungan yang mempengaruhi sifat hubungan hujan-limpasan berlangsung cepat

4. keterbatasan data dan sarana pengumpulan data klimatologi dan hidrologi yang sangat menentukan berhasilnya pencapaian fungsional jaringan (Pusposutardjo, 1991).

Aras Pencapaian Produksi Padi

Pusposutardjo (1991) menyatakan bahwa apabila nilai produksi yang sangat tinggi dan penerapan teknologi yang sangat efisien maka akan sulit kiranya untuk menaikkan produktifitas lahan per satuan luas, tanpa merubah set teknologi yang ada guna memperoleh pasok energi surya yang lebih banyak lagi. Angka pencapaian tersebut dapat dibandingkan dengan angka potensi produksi per satuan luas. Apabila aras pencapaian produksi padi sudah >90% berarti nilai produksi sawah sangat tinggi.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Padi (oryza sativa l.) tumbuh baik di daerah tropis maupun sub-tropis.Untuk padi sawah, ketersediaan air yang mampu menggenangi lahan tempat penanaman sangat penting.Oleh karena air menggenang terus-menerus maka tanah sawah harus memiliki kemampuan menahan air yang tinggi, seperti tanah lempung.Untuk kebutuhan air tersebut, diperlukan sumber mata air yang besar, kemudian ditampung dalam bentuk waduk (danau).Dari waduk inilah

sewaktu-waktu air dapat dialirkan selama periode pertumbuhan padi sawah (Suparyono dan Setyono, 1997).

Dumairy (1992) menyatakan bahwa irigasi adalah usaha pengadaan dan pengaturan air secara buatan, baik air tanah maupun air permukaan, untuk menunjang pertanian. Ruang lingkup atau bidang tugas irigasi meliputi empat pekerjaan pokok sebagai berikut :

1. Pengadaan/pengembangan sumber-sumber air alamiah dan penggunaannya 2. Pengaliran air dari daerah sumber ke areal pertanian yang membutuhkan 3. Pemberian dan pembagian air areal pertanian sampai ke tingkat usaha tani 4. Pembuangan kelebihan air dari areal pertanian secara teratur dan

terkendali (drainasi).

Berdasarkan tipenya irigasi dapat dibedakan atas irigasi teknis maju, irigasi teknis, irigasi semi teknis dan irigasi sedarhana. Wirawan, (1991) dalam Rusydatulhal, (2004) mengatakan bahwa dilihat dari segi konstruksi jaringannya, Direktorat Jenderal Pengairan mengklasifikasikan sistem irigasi menjadi empat macam, diantaranya:

a. Irigasi sederhana, yaitu sistem irigasi yang konstruksinya dilakukan dengan sederhana, tidak memiliki pintu pengaturan dan alat pengukur sehingga efisiensinya rendah

b. Irigasi setengah teknis, yaitu sistem irigasi dengan pintu pengatur dan alat pengukur hanya terdapat pada bangunan pengambilan (head work) saja dan diharapkan efisiensinya sedang

c. Irigasi teknis, yaitu sistem irigasi yang dilengkapi dengan alat pengatur dan pengukur pada head work, bangunan bagi dan bangunan sadap sehingga efisiensi irigasinya tinggi

d. Irigasi Teknis Maju, yaitu sistem irigasi dimana airnya dapat diatur dan diukur pada seluruh jaringan irigasi serta diharapkan efisiensi sangat tinggi

Pusposutardjo (1991) mengatakan dalam penelitiannya bahwa dalam keterbatasan dana pembangunan yang tersedia, biaya investasi per satuan luas lahan beririgasi yang cenderung naik, dan ketergantungan yang sangat tinggi dari produksi padi terhadap sawah beririgasi justru timbul berbagai tanggapan yang menunjukkan kelemahan terhadap kinerja dari jaringan yang ada maupun pelaksanaan pengembangan jaringan irigasi yang sedang dilaksanakan. Berbagai kasus seperti tidak terpenuhinya jaringan irigasi di Proyek Irigasi Simalungun, kemampuan berfungsi yang sangat rendah dari jaringan irigasi di Kalimantan Timur serta tidak difungsikannya jaringan irigasi yang telah selesai dibangun di Kalimantan Tengah, merupakan hal-hal yang sangat memprihatinkan untuk segera ditangani pemecahan masalahnya.Hal ini terutama bila dikaitkan dengan peran irigasi sebagai salah satu sarana utama untuk mempertahankan potensi produksi padi.

Irigasi Namu Sira-Sira merupakan salah satu irigasi teknis yang ada di Sumatera Utara, yang mencakup empat wilayah kecamatan yaitu Kecamatan Sei Bingai, Kecamatan Kuala, Kecamatan Selesai dan Kecamatan Binjai Selatan, dan daerah ini merupakan daerah penghasil beras di Kabupaten Langkat.Kecamatan yang paling luas mendapat pelayanan dari Irigasi Namu Sira-Sira adalah Kecamatan Sei Bingai.Irigasi ini termasuk irigasi teknis dimana pengelolaan saluran primer dan sekunder dilakukan oleh pemerintah sedangkan saluran tersier dibuat dan dikelola oleh Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A).

Berdasarkan tipe irigasi yang dimilikinya, daerah ini cukup potensial sebagai penghasil beras. Namun dengan berbagai keterbatasan daya dukung lahan, teknologi dan sumber daya manusia terutama di tingkat wilayah tersier perlu diketahui sampai sejauh mana potensi produksi padi di daerah Irigasi Namu Sira-Sira Kecamatan Sei Bingai Kabupaten Langkat dengan menganalisis data yang diperoleh dari data primer dan data sekunder yang diperoleh dari wawancara petani dan instansi pemerintah terkait.

Penelitian ini bersifat observasi lapang dimana menganalisis data secara deskriptif dan kuantitatif yang diperoleh dari data primer dan data sekunder yang diperoleh dari wawancara petani dan instansi pemerintah terkait.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji potensi produksi padi Daerah Irigasi Namu Sira-Sira Kecamatan Sei Bingai Kabupaten Langkat.

Manfaat Penelitian

1. Bagi penulis yaitu sebagai bahan untuk menyusun skripsi yang merupakan syarat untuk dapat menyelesaikan pendidikan di Program Studi Keteknikan Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

2. Bagi mahasiswa sebagai informasi pendukung untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai kajian produksi padi.

3. Bagi masyarakat untuk membantu petani dalam pengembangan dalam produksi padi.

Dokumen terkait