• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kata Kunci : Tectona grandis, FMA, kebun pangkas, stek pucuk, akar telanjang

TINJAUAN PUSTAKA

Jati

Jati (Tectona grandis L.f.) termasuk famili Verbenaceae. Di Indonesia, jati dikenal dengan nama yang berbeda-beda, diantaranya deleg, dodokan, jate, jatih, jatos, kiati, dan kulidawa. Sedangkan di negara lain dikenal dengan nama giati

(Venezuela), teak (Inggris), teck (Prancis), teca (Spanyol), kyun (Myanmar), sagwan

(India), maisak (Thailand) dan tea (Brasil). Dalam sistem klasifikasi, tanaman jati termasuk kedalam divisi Spermathophyta, kelas Angiospermae, sub-kelas Dicotyledoneae, ordo Verbenales, famili Verbenaceae dan genus Tectona (Sumarna 2001).

Pohon jati dapat mencapai tinggi 45 m dengan tinggi bebas cabang 15-20 m, diameter pada umumnya adalah 50 cm, namun dapat juga mencapai 200 cm lebih. Bentuk batang tidak teratur dan beralur. Ukuran daun jati antara 25-50 cm dengan lebar 15-35 cm (Martawijaya et al. 1981). Warna daun hijau hingga hijau tua, dengan bagian atas yang kasar serta posisi daun berlawanan atau opposite (Keiding, 1995). Pohon jati mempunyai percabangan yang melebar dan menyebar. Ciri khas jati lainnya adalah ranting segi empat, serta perbungaan yang berbentuk payung menggarpu dengan banyak bunga (Sutisna et al. 1998). Pada musim kemarau, jati akan menggugurkan daunnya untuk mengurangi penguapan. Jika kadar kelembaban atmosfer tinggi, maka jati akan mempertahankan daunnya (Cordes, 1992). Mahfudz (2004) menjelaskan bahwa jati mulai berbunga setelah menggugurkan daun. Bunga jati muncul selama musim hujan.

Penyebaran jati di Indonesia terutama di Pulau Jawa. Selain itu juga di Pulau Muna, Maluku dan Nusa tenggara. Sedangkan di luar Indonesia adalah di India, Burma, Thailand dan Vietnam (Dirjen Kehutanan, 1976). Jati tumbuh baik di daerah dengan musim kering yang nyata, tipe curah hujan C sampai F dengan rata-rata hujan 1.200 - 2.000 mm/th dan ketinggian tempat sampai 700 mdpl. Secara alami jati ditemukan pada berbagai formasi geologis, antara lain batu pasir dan batu kapur (Sastrosumarto dan Suhaendi, 1985). Tanah yang paling cocok untuk jati adalah aluvial-koluvial yang dalam, berdrainase baik, subur dengan pH 6,5 - 8,0 dan kandungan Ca dan P yang cukup tinggi. Jati tidak tahan genangan atau laterit miskin hara (Sutisna et al. 1998).

Di hutan Muna, jati tumbuh sempurna di lahan-lahan berkapur. Sekurang- kurangnya tersimpan kayu jati logs sebesar 21,1 ribu meter per kubik pada 2004. Balai

Penelitian Kehutanan Sulawesi di Makassar menyebutkan kayu jati Muna memiliki empat keunggulan, yang meliputi kekuatan, kerapatan, kekerasan, serta fisik kimia. Perbedaan kayu jati Muna dari jati Cepu adalah pada segi warna. Jati Muna lebih gelap dibandingkan jati Cepu. Dinas Kehutanan Sulawesi Tenggara mengatakan bahwa jati Muna memiliki kekhasan tekstur serat yang indah, hal ini yang juga membedakannya dengan jati dari daerah lain. Pemerintah Muna mengklaim daerahnya sebagai penghasil jati terbaik di Indonesia (Aminuddin, 2006).

Jati merupakan salah satu tanaman berkayu yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Jenis kayu ini termasuk kelas awet I dan kelas kuat II (Dirjen Kehutanan 1976). Kayu jati sangat baik untuk berbagai keperluan konstruksi berat hingga perabot rumah tangga. Kayu jenis ini memiliki penampakan yang cukup baik, kembang susut sedikit serta kemudahan dalam pengerjaannya (Martawijaya et al. 1981). Jati menghasilkan kayu yang serba guna serta memiliki ketahanan terhadap bahan kimia. Selain itu, pepagan akar dan daun yang masih muda menghasilkan zat pewarna yang dapat digunakan untuk pewarna kertas, kain atau tikar. Bubuk kayu jati merupakan bahan campuran dalam pembuatan dupa. Serta minyak kayu jati dapat digunakan sebagai penyubur rambut (Sutisna et al. 1998).

Jati dapat dibiakkan dengan cara generatif dan vegetatif. Cara generatif yaitu dengan mengecambahkan benih jati di pembibitan atau dapat juga langsung ditanam di lapangan. Untuk mendapatkan pohon jati berkualitas, pemilihan dan asal usul benih untuk pembibitan harus jelas. Beberapa kriteria untuk benih pembibitan yang baik adalah sebagai berikut : 1) pohon induk memiliki penampakan luar yang baik, sehat dan bertajuk rindang, 2) benih sudah matang atau siap panen (September – November), 3) diameter biji minimal 14 mm, dan 4) benih berasal dari tegakan yang berumur 20 tahun pada bonita yang baik dan 30 tahun pada bonita yang kurang baik (Mahfudz et al. 2003). Teknik vegetatif yang sering digunakan untuk jati adalah stek, okulasi dan kultur jaringan. Teknik ini mengembangbiakkan jati menggunakan jaringan vegetatifnya, anakan yang diperoleh akan memiliki kesamaan genetik dengan induknya.

Pembiakan Vegetatif

Pembiakan vegetatif dilakukan dengan menggunakan jaringan vegetatif pada tanaman tanpa melibatkan proses pembuahan (Supriyanto, 1996). Bagian vegetatif yang dapat digunakan yaitu akar, batang, daun, pucuk, jaringan bunga, jaringan meristem dan sel. Soerianegara dan Djamhuri (1979) menjelaskan, tanaman dapat

dikembangbiakkan secara vegetatif karena memiliki sifat totipotensi dan dediferensiasi sel. Totipotensi adalah terdapatnya informasi genetik pada sel tanaman yang diperlukan untuk tumbuh dan berkembang menjadi individu yang lengkap. Dediferensiasi sel adalah proses dimana sel-sel pada tanaman mempunyai kemampuan untuk kembali pada kondisi meristematik. Proses pembentukan tanaman dari pembiakan vegetatif adalah : 1) tanaman yang dilukai/dipotong akan mengalami pembelahan mitosis, pembelahan sel menghasilkan dua sel anak yang sama/identik dengan induknya (2n), 2) selanjutnya dari sel yang baru akan terbentuk kalus. Kalus merupakan masa sel yang tidak beraturan yang belum terdeferensiasi. Kemudian sel- sel baru tersebut akan terdeferensiasi sehingga terbentuk akar dan tunas tanaman baru. Beberapa alasan dilakukannya pembiakan vegetatif pada tanaman adalah :

1. Kendala dalam produksi benih serta viabilitas benih yang rendah 2. Reproduksi tanaman steril

3. Menyediakan klon dengan sifat-sifat kombinasi yang diinginkan 4. Perlindungan individu-individu tertentu.

Jati memiliki karakteristik outbreeding dalam pembuahannya serta distribusinya luas, sehingga dalam pembiakan melalui benih memiliki tingkat variasi yang tinggi (Mascarenhas et al. 1993 diacu dalam Dewi 2002). Dari variasi tersebut dapat dilakukan seleksi untuk mendapatkan klon-klon dengan sifat yang diinginkan.

Pembiakan vegetatif untuk jati dapat dilakukan dengan teknik okulasi, stek pucuk dan kultur jaringan. Penyetekan dapat diartikan suatu perlakuan pemotongan atau pemisahan beberapa bagian tanaman seperti batang, akar tunas dan daun, dengan tujuan agar bagian-bagian tersebut akan membentuk akar. Beberapa keuntungan dari stek adalah pengerjaannya cepat, murah dan mudah. Bagi tanaman induk akan tumbuh kembali dengan cepat tanpa adanya perubahan genetis (Hartman dan Kester, 1997 dan Rochiman dan Harjadi, 1973). Dalam stek pucuk, tunas yang diambil dari tunas ortotrop (tunas vertical), bukan plagiotrop (tunas ke samping). Dari tunas ortotrop ini diharapkan membentuk satu batang pokok ke atas (Yasman dan Smith, 1988).

Secara umum tujuan dilakukan penyetekan adalah merangsang terbentuknya akar. Pembentukan akar terjadi karena adanya pergerakan ke bawah dari auksin, karbohidrat dan rooting cofaktor (zat-zat yang berinteraksi dengan auksin yang menghasilkan perakaran) baik dari tunas maupun daun. Ketiga zat tersebut yang menstimulir perakaran. Proses pembentukan akar dimulai dengan pembelahan sel meristem yang terletak di antara atau di luar jaringan pembuluh. Kemudian sel

memanjang, membentuk sel-sel kembali sehingga lebih banyak sel yang akan berkembang menjadi akar bagian sel yang membelah dan akan membentuk ujung akar (root tip) tumbuh terus melewati korteks dan epidermis, kemudian muncul di bagian batang menjadi akar adventif (Rochiman dan Harjadi, 1973). Lebih lanjut menurut Hartman dan Kester (1997), proses pembentukan dan perkembangan akar terdiri dari empat tahap, yaitu :

1. Induksi, bergabungnya sel-sel yang mempunyai fungsi khusus yang sama.

2. Inisiasi awal, pembentukan bakal akar dari sel-sel tertentu dan jaringan vaskular (pembuluh). Dalam proses ini diperlukan auksin dengan konsentrasi tinggi.

3. Inisiasi akhir, pembentukan bakal akar pada stek dan tersusunnya akar primordial. Pada proses ini suplai ethilen makin tinggi, namun dihambat oleh kurangnya berat dan konsentrasi auksin yang tinggi.

4. Selanjutnya adalah pertumbuhan dan munculnya akar primordial yang keluar melalui jaringan batang ditambah pembentukan sambungan pembuluh antara akar primordial dengan jaringan pembuluh dari stek itu sendiri.

Faktor penentu keberhasilan stek secara umum dikelompokkan menjadi faktor internal dan eksternal. Faktor internal terdiri dari : ketersediaan air, cadangan makanan (C/N rasio), hormon endogen, umur tanaman dan jenis tanaman. Faktor eksternal terdiri dari : media perakaran, kelembaban udara, suhu, intensitas cahaya, teknik penyiapan stek (Supriyanto, 1996).

Persemaian Akar Telanjang

Produksi bibit akar telanjang adalah dengan menumbuhkan bibit langsung pada bedeng tanpa menggunakan wadah (Polybag, Potray). Bibit akar telanjang merupakan bibit cabutan dengan akar tunggang dan akar cabang terlihat jelas, pada akarnya dilakukan pemangkasan secara berkala selama dipersemaian (Djapilus, 1990). Pada persemaian akar telanjang perlu adanya perlakuan pemangkasan akar secara berkala. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan akar serabut yang banyak dan kompak, sehingga didapatkan keseimbangan rasio pucuk akar (Evans, 1992). Rasio pucuk akar akan sangat berpengaruh pada saat penanaman bibit di lapangan. Menurut Djapilus (1990), pemangkasan akar bertujuan untuk merangsang tumbuhnya akar baru, akar serabut dan akar rambut yang banyak, Sehingga bidang penyerapan akar menjadi lebih besar.

Bibit akar telanjang untuk tanaman industri berskala besar akan lebih efisien dibandingkan dengan penggunaan bibit dalam wadah. Biaya (cost) yang dikeluarkan untuk persemaian akar telanjang, pengangkutan dan penanaman dapat diminimalisir

serta lebih mudah dalam pengerjaan yang tidak perlu menyediakan wadah perbibit (Djapilus, 1990). Menurut Kusuma (1996) pengadaan bibit Pinus merkusii dengan sistem akar telanjang memberikan keuntungan 50% untuk penanaman selanjutnya. Hal ini juga didukung dengan dapat digunakannya media sapih secara berulang kali.

Menurut Young (1981), keuntungan penggunaan bibit akar telanjang dibandingkan dengan bibit dalam wadah adalah; pengelolaan bibit di persemaian dapat dilakukan secara mekanis, hasilnya lebih cepat, bibit mudah diangkut dan perakaran tidak tergulung sehingga tidak mengganggu pertumbuhannya dilapangan. Kekurangan bibit akar telanjang adalah diperlukannya tenaga pengelola yang memiliki keahlian, terutama dalam pemangkasan akar (Djapilus, 1990). Menurut Broemsen (1981), permasalahan bibit akar telanjang adalah saat pemangkasan akarnya dengan penanganan yang tidak tepat dapat menyebabkan akar mudah diserang patogen.

Pemupukan

Pemupukan bertujuan untuk memelihara dan memperbaiki kesuburan tanah dengan memberikan zat-zat kepada tanah yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menyediakan kebutuhan tanaman. Pemupukan dapat didefinisikan sebagai usaha pemberian pupuk yang bertujuan untuk memperbaiki ketersediaan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman, sehingga dapat meningkatkan produksi dan mutu hasil yang diperoleh (Syarief, 1995). Untuk keberhasilan pemupukan, faktor- faktor yang perlu diperhatikan adalah :

1. Keadan tanah (sifat fisik dan kimia)

2. Keadaan wilayah (iklim, topografi dan erosi)

3. Tingkat kebutuhan tanaman (jenis, umur dan keadaan tanaman)

Pupuk yang umum digunakan dalam pembibitan adalah pupuk dasar NPK dan pupuk kompos. Pupuk dasar NPK memenuhi kebutuhan akan unsur N (nitrogen), P (fosfor), dan K (kalium). Fungsi utama N adalah merangsang pertumbuhan tanaman secara keseluruhan, juga berperan dalam pembentukan hijau daun untuk fotosintesis, pembentukan protein dan asam nukleat. Kadar nitrogen rata-rata dalam jaringan tanaman adalah 2%-4% berat kering. Dalam tanah, kadar nitrogen sangat bervariasi tergantung pada pengelolaan dan penggunaan tanah tersebut. Fungsi fospor bagi tanaman : 1) berperan penting di dalam transfer energi di dalam sel tanaman (misal : ADP, ATP), 2) berperan dalam pembentukan membran sel (misal : lemak fosfat), 3) berpengaruh terhadap struktur K+, Ca2+, Mg2+ dan Mn2+ terutama terhadap fungsi unsur-unsur tersebut mempunyai kontribusi terhadap stabilitas struktur dan konformasi

makro molekul, misalnya : gula fospat, nukleitida dan koenzim. Tanaman menyerap fospor dalam bentuk ion ortofosfat primer (H2PO4-) dan ion ortofospat skunder

(HPO4=). Kadar optimal fospor dalam tanaman pada saat pertumbuhan vegetatif

adalah 0,3%-0,5% dari berat kering tanaman. Fungsi kalium antara lain : Membentuk dan mengangkut karbohidrat, Sebagai katalisator dalam pembentukan protein, Mengatur kegiatan berbagai unsur mineral, Menetralkan reaksi dalam sel terutama dari asam organik, Menaikkan pertumbuhan jaringan meristem, Mengatur pergerakan stomata, Memperkuat tegaknya batang (karena turgor) sehingga tanaman tidak mudah roboh, Mengaktifkan enzim baik langsung maupun tidak langsung. Meningkatkan kualitas buah karena bentuk, kadar, dan warna yang lebih baik, Menjadi lebih tahan terhadap hama dan penyakit, Perkembangan akar tanaman (Zekri dan Obreza, 2003). Kadar kalium dalam tanaman yaitu sekitar 1,0%.

Kompos merupakan bahan organik yang berfungsi sebagai pupuk. Selain memenuhi kebutuhan hara, kompos juga dapat memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah. Mikroba-mikroba yang bermanfaat pada tanaman dapat hidup dengan subur (Widianto, 1996). Kompos merupakan bahan organik yang telah melapuk yang umumnya berasal dari daun-daunan, jerami, alang-alang, rumput-rumputan, dedak padi, carang-carang serta kotoran hewan (Murbandono, 1993). Pengomposan dapat dipercepat dengan perlakuan tertentu, sehingga didapatkan kompos yang berkualitas baik dalam waktu tidak terlalu lama. Murbandono (1993) lebih lanjut menjelaskan bahwa bahan organik yang telah terkompos dengan baik memiliki banyak peranan, antara lain : 1) memperbesar daya ikat tanah berpasir, sehingga struktur tanah akan lebih baik, 2) meningkatkan kemampuan tanah dalam menyerap air dan menyediakannya untuk tanaman, 3) memperbaiki drainase dan tata udara tanah, dan 4) meningkatkan kemampuan tanah dalam mengikat hara sehingga tidak mudah terjadi

leaching. Kompos dapat memperbaiki sifat kimia, biologi dan terutama sifat fisik tanah. Kompos juga mampu menyediakan unsur hara seperti K, N, P, Mg, Fe, S, Mn, dan Cu. Jumlah populasi mikroorganisme dapat meningkat akibat pemberian kompos (Rismayadi, 1995).

Asam Humat

Bahan humat merupakan suatu campuran rumit yang terdiri dari berbagai zat. Di dalam kompleks ini terdapat sebagian kecil zat organik yang larut air, seperti asam amino dan gula. Bagian terbesarnya terdiri atas bahan berwarna gelap yang tidak larut air, dan bagian ini terbagi ke dalam tiga fraksi yaitu asam humat, asam fulfat dan

humin (Imas dan Setiadi, 1988). Istilah humat berasal dari Berzelius yang pada tahun 1830 menggolongkan fraksi humat dalam tanah menjadi : 1) Asam humat, yaitu fraksi yang larut dalam basa, tidak larut dalam asam dan alkohol, 2) Asam krenik dan apokrenik (asam fulfik), yang larut dalam air, 3) Humin, bagian yang tidak larut. Bahan humat menempati 70 – 80% dari bahan organik dalam hampir semua tanah mineral. Bahan ini terbentuk dari hasil pelapukan sisa tanaman dan hewan dari aktivitas sintetik mikroorganisme. Salah satu karakteristik dari bahan humat adalah kemampuannya berinteraksi dengan ion logam, oksida, hidroksida, mineral dan organik, membentuk asosiasi baik yang larut dalam air maupun tidak larut air dari berbagai stabilitas kimia dan biologi yang berbeda. Interaksi ini dijabarkan sebagai reaksi pertukaran ion, jerapan permukaan, pengkelatan, peptisasi dan koagulasi (Huang dan Schnitzer, 1997).

Asam humat adalah molekul berantai panjang yang molekulnya berwarna gelap dan larut dalam larutan alkalin. Asam humat diyakini berasal dari dekomposisi lignin atau karbohidrat tanaman yang membusuk, sehingga asam humat kaya akan karbon, yaitu berkisar antara 41% hingga 57%. Bahan ini juga mengandung nitrogen dan bahan organik (Robinson, 1995). Asam humat sering didefinisikan sebagai bagian dari bahan humat yang tidak larut dalam air dalam kondisi asam, tetapi larut pada kondisi basa. Asam humat dapat diekstrak dari tanah oleh berbagai reagent yang tidak terlarut dalam kondisi asam. Asam humat merupakan komponen utama dari bahan humat dalam tanah yang berwarna coklat gelap hingga hitam. Asam organik ini berperan dalam meningkatkan permeabilitas membran, meningkatkan produksi klorofil dan fotosintesis, memperlancar sintesis protein, menstimulasi hormon dan meningkatkan aktivitas enzim (Bio Flora International Inc., 1997).

Menurut Goenadi (1999), pengaruh spesifik asam humat terhadap pertumbuhan tanaman meliputi : melarutkan unsur hara mikro (seperti Fe, Zn dan Mn) serta makro (seperti K dan Ca). Kemampuan ini karena asam humat memiliki gugus- gugus karboksil dan fenolik hidroksil yang merupakan aktifator pertukaran kation dan kompleks (Tan, 1991). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa asam humat memiliki kemampuan meningkatkan serapan hara tanaman. Seperti pada penelitian Riniarti (2002), interaksi antara asam humat dengan inokulum spora mikoriza menghasilkan kolonisasi ektomikoriza yang terbaik. Selain pada kolonisasi ektomikoriza, perlakuan asam humat juga meningkatkan pertumbuhan tinggi, diameter serta berat kering pada jenis Shorea schefferiana Hance.

Fungi Mikoriza Arbuskula

Mikoriza adalah suatu struktur bentuk hubungan simbiosis mutualistis antara fungi (mykes) dan perakaran (rhiza) tumbuhan tinggi (Setiadi, 2007). Asosiasi antara fungi mikoriza dan akar sebenarnya adalah bentuk parasitisme dimana fungi menyerang perakaran tetapi tidak sebagaimana parasit yang berbahaya (patogen). Dalam hal ini fungi tidak merusak atau membunuh tanaman inangnya tetapi memberikan keuntungan kepada tanaman inang dan sebaliknya fungi dapat memperoleh karbohidrat hasil fotosintesis dari inang (Setiadi, 1992). Namun dalam beberapa kasus yang disebutkan dalam Nusantara (2007), terdapat pengaruh simbiosis yang bersifat netral dan bersifat parasit. Hal tersebut bergantung pada spesies inang, spesies FMA serta kondisi lingkungan. Berdasarkan struktur tumbuh dan cara infeksinya pada sistem perakaran, mikoriza dikelompokkan dalam dua golongan besar yaitu ektomikoriza dan endomikoriza.

Ektomikoriza terbentuk bila fungi melakukan penetrasi terhadap sel akar yang hidup pada jaringan epidermis dan korteks. Umumnya hanya akar muda yang dapat terinfeksi. Akar yang terinfeksi akan memiliki diameter lebih besar daripada akar yang tidak terinfeksi dan kehilangan rambut-rambut akar. Hal ini karena adanya struktur mantel yang terbentuk menyelimuti permukaan akar. Mantel sebenarnya kumpulan miselium yang memadat dan sudah termodifikasi sesuai fungsinya. Selain mantel, struktur yang terbentuk dari simbiosis ektomikoriza adalah hartig net yang terdapat diantara sel epidermis dan sel korteks sampai pada batas endodermis (Wulandari, 2007). Simbiosis ektomikoriza memberikan manfaat bagi inang dalam meningkatkan penyerapan hara serta meningkatkan ketahanan terhadap kekeringan dan serangan beberapa patogen akar (Setiadi, 2007)

Simbiosis mutualis antara fungi endomikoriza dengan tanaman dibentuk pada akar yang bersentuhan dengan propagul fungi. Struktur yang terbentuk berupa arbuskula sebagai tempat aktivitas enzim fosfatase tertinggi (Van Aarle et al. 2005), hifa intra dan ekstra radikal yang berfungsi meningkatkan efisiensi penyerapan air dan hara serta sebagai tempat pertukaran dengan fotosintat dari inang, dan struktur vesikula yang kaya kandungan lemak (Nusantara, 2007).

Penggunaan fungi mikoriza sebagai pupuk hayati diperkirakan akan menjadi alternatif teknologi masa depan. Manfaat yang dihasilkan tidak hanya terbatas pada dua simbion saja, namun juga bermanfaat terhadap ekosistem dan lingkungan. Bagi ekosistem dan lingkungan, selain tidak adanya pengaruh negatif dan tidak menyebabkan polusi, mikoriza memiliki peran penting dalam siklus hara, memperbaiki

struktur tanah serta membebaskan karbohidrat dari akar terhadap organisme tanah lain. Selain itu, hifa mikoriza mampu mengkonversi hara agar tidak hilang dari ekosistem (Mansur, 2007). Juga dijelaskan dalam Bronick et al (2005) akar dan hifa mampu mengikat partikel-partikel menjadi satu kesatuan sembari melepaskan senyawa-senyawa organik yang merekatkan partikel-partikel tersebut, dimana hal ini berdampak positif dalam penangkapan karbon oleh tanah. Serta Driver et al (2005) menjelaskan bahwa FMA mampu memproduksi glomalin (protein tanah) dan hifa FMA merupakan media utama dalam pelepasan protein tersebut ke tanah.

Manfaat biologis mikoriza terhadap tanaman dapat dikelompokkan sebagai berikut :

1. Perbaikan nutrisi dan peningkatan pertumbuhan

Tanaman bermikoriza umumnya tumbuh lebih baik daripada yang tidak bermikoriza. Hal ini karena dengan hifanya mikoriza secara efektif dapat meningkatkan penyerapan unsur hara makro dan beberapa unsur mikro. Selain itu, akar bermikoriza dapat menyerap unsur hara dalam bentuk terikat dan tidak tersedia untuk tanaman. Fungi mikoriza membantu penyerapan fosfor tak tersedia menjadi tersedia bagi tanaman, hal ini karena adanya jaringan hifa yang menyebar dan adanya aktivitas fosfatase pada hifa tersebut (Van Aarle et al. 2005).

2. Pelindung hayati

Dalam penelitian De La Pena et al (2006) dan Hol et al (2005), tanaman pastura yang sebelumnya telah diinokulasi FMA secara signifikan menurunkan kolonisasi dan produksi nematoda pada akar. Pada penelitian Hao et al (2005), inokulasi FMA pada mentimun mampu meredukasi permeabilitas membran dan mengurangi luasnya kerusakan yang disebabkan Fusarium oxysporum. Fungi mikoriza dapat berfungsi sebagai pelindung biologi terhadap serangan infeksi patogen akar. Mekanisme perlindungan terhadap patogen akar adalah sebagai berikut (Setiadi, 1988) :

• Adanya lapisan hifa sebagai pelindung fisik terhadap masuknya patogen

• Fungi mikoriza menggunakan hampir semua kelebihan karbohidrat dan eksudat akar lainnya, sehingga kondisi lingkungan menjadi tidak cocok untuk patogen

• Fungi mikoriza dapat menghasilkan antibiotik 3. Meningkatkan resistensi terhadap kekeringan

Banyak penelitian yang telah membuktikan kemampuan FMA dalam meningkatkan ketahanan inang terhadap kekeringan. Pada penelitian Muok et al (2006), Querejeta et al (2006) dan Subramanian et al (2006) disebutkan inokulasi Glomus

sp. mampu meningkatkan ketahanan tanaman terhadap lingkungan semi arid. Dari keseluruhan penelitian disebutkan kolonisasi FMA mempengaruhi status hara inang, status air pada pertumbuhan kondisi lapangan, dan mampu mengubah pola aktivitas fisiologis tanaman pada saat cukup air dan pada saat terkena cekaman kekeringan.

Hifa FMA mampu menyerap air pada pori-pori tanah, pada saat akar tanaman sudah kesulitan memanfaatkannya. Selain itu, penyebaran hifa dalam tanah sangat luas sehingga dapat mengambil air relatif lebih banyak (setiadi, 1988). 4. Mempertahankan keanekaragaman tumbuhan

Salah satu fungsi khas dari FMA dibandingkan dengan fungi mikoriza tipe lainnya adalah kemampuannya berasosiasi dengan hampir 90% jenis tumbuhan. Sehingga FMA juga memiliki peran penting dalam mempertahankan stabilitas keanekaragaman tumbuhan melalui transver nutrisi dari satu akar ke akar tanaman lainnya.

Dalam bersimbiosis dengan jati, FMA memiliki infektivitas dan efektivitas yang tinggi. Dari beberapa penelitian dilaporkan inokulasi FMA genus Glomus pada semai jati mampu meningkatkan pertumbuhan dan kualitas jati di persemaian. Pada penelitian Turjaman et al (2003) dilaporkan peningkatan kualitas semai jati asal Jatiroto dengan adanya inokulasi Glomus manihotis dan Glomus aggregatum. Juga dilaporkan dalam Faizal (2005) dan Umam (2005), peningkatan kualitas semai jati Cepu dan jati Muna dengan adanya inokulasi Glomus etunicatum. Pada penelitian Arif (2006), dilaporkan peningkatan kualitas semai jati Muna dengan adanya inokulasi

METODOLOGI

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Silvikultur, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB dan Persemaian Tlogoarto II di Kelurahan Semplak, Kecamatan Bogor Selatan. Persiapan penelitian berlangsung selama dua minggu

Dokumen terkait