• Tidak ada hasil yang ditemukan

Salinitas Tanah dan Beberapa Sifat Tanah lain

Tanah yang disebut tanah salin ialah tanah yang mempunyai nilai salinitas lebih dari 4 mmho/cm. Secara alternatif, jika tanah dinyatakan dalam konteks konsentrasi garam, tanah bergaram/salin ialah tanah yang mengandung garam lebih dari 0.1% (1000 ppm) (Tan 1991). Sedangkan salinitas air untuk irigasi lahan pertanian dibagi menjadi 4 kelas, yaitu salinitas rendah (0 - 0.4 dS/m), salinitas moderat ( 0.4 - 1.2 dS/m), salinitas tinggi (1.2 - 2.25 dS/m) dan salinitas sangat tinggi ( 2.25 - 5 dS/m) (Sumner 2000).

Di daerah pantai, limpasan air laut ke daratan/tanah akan menyebabkan tanah tersebut mempunyai salinitas tinggi. Selain itu tanah salin dapat juga terdapat pada tanah yang secara alami memang mempunyai deposit garam. Air tanah salin biasanya mengandung 500 – 30 000 mg/l bahan terlarut (EC 0.7 - 42 dS/m), sementara air laut konsentrasi bahan terlarutnya ialah 33 000 mg/l dan Laut Mati di Israel mengandung kadar garam 270 000 mg/l (hipersalin) (Sumner 2000). Membandingkan hasil-hasil penelitian tentang salinitas tanah cukup rumit karena adanya perbedaan dalam metode pengukuran salinitas tersebut (Bernstein 1981).

Salinitas tanah akan menjadi masalah jika konsentrasi natrium klorida (NaCl), natrium karbonat (NaCO3), natrium sulfat (Na2SO4) atau garam-garam dari magnesium (Mg) terdapat dalam jumlah yang berlebih. Terdapat banyak faktor yang dapat menyebabkan tingginya salinitas pada suatu areal. Sebagai contoh, kandungan garam-garam yang tertinggal dalam larutan tanah dapat mencapai 4-10 kali lebih tinggi pada tanah-tanah beririgasi akibat adanya proses evapotranspirasi (Poljakoff-Mayber & Gale 1975).

Al-Karaki (2000) melaporkan bahwa apabila terjadi cekaman salinitas yang tinggi pada tumbuhan pertanian, Lycopersicum esculentum Mill cv. Pello, Arachis hypogaea cv. JL 24 (Gupta & Krisnamurthy 1996), dan Lactuca sativa (Ruiz-Lazano et al. 1996) akan menyebabkan terjadi penurunan kandungan P. Namun pemberian CMA pada lahan tersebut dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil panennya (Al-Karaki et al. 2001; Ruiz-Lazano et al. 1996).

Salinitas tanah tidak hanya bergantung pada konsentrasi garam dalam tanah, tetapi juga pada volume air dalam tanah. Salinitas pada tanah bertekstur kasar akan meningkat sampai 5 kali lipat dibandingkan dengan tanah yang bertekstur halus (Bernstein 1981, Hardjowigeno 1995).

Tumbuhan yang hidup di tanah salin dapat mengalami berbagai macam tekanan fisiologis karena pengaruh racun dari ion sodium dan klorida yang terdapat dalam tanah salin. Ion tersebut dalam jumlah tinggi pada tumbuhan akan menghancurkan struktur enzim dan makromolekul lainnya, merusak organel sel, mengganggu fotosintesis dan respirasi, dan menghambat sintesis protein. Selain itu, tingginya salinitas akan menurunkan permeabilitas akar terhadap air dan mengakibatkan penurunan laju masuknya air ke dalam tumbuhan (Marschner 1995), sehingga produktivitasnya menurun.

Salinitas tanah akan menghambat pembentukan akar-akar baru dan mengganggu peyerapan air karena tingginya tekanan osmotik larutan tanah. Selanjutnya hal ini akan menyebabkan tumbuhan mengalami kekeringan dan kekurangan kalium. (Jacobby 1999). Nilai pH tanah menentukan mudah tidaknya unsur-unsur hara diserap tumbuhan. Pada umumnya unsur hara mudah diserap akar tumbuhan pada pH tanah sekitar netral, karena pada pH tersebut kebanyakan

unsur hara mudah larut dalam air. Pada tanah alkalis, unsur P difiksasi oleh Ca sehingga tidak dapat diserap tumbuhan, sedangkan pada tanah masam unsur P diikat (difiksasi) oleh Al (Sumner 2000). Menurut Leiwakabessy et al. (2003), reaksi tanah (pH) mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap retensi P. Ketersediaan fosfat tanah tertinggi terjadi pada selang pH 6.0 - 6.6. Pada pH yang lebih rendah aktifitas fosfat berkurang karena mengalami retensi oleh R2O3

sedangkan pH di atasnya retensi terjadi oleh ion-ion Ca dan Mg. Namun apabila ion Na yang dominan terdapat pada tanah tersebut seperti pada tanah-tanah salin atau alkalin, maka retensi fosfat rendah.

Simbiosis Mikoriza Arbuskula (MA)

Mikoriza adalah suatu bentuk hubungan simbiosis mutualisma antara cendawan dengan perakaran tumbuhan. Istilah mikoriza berasal dari bahasa Yunani yaitu kata “Myces” yang berarti cendawan dan “Rhiza” yang berarti akar (Smith & Read 1997). Dalam simbiosis ini cendawan mendapatkan unsur karbon dari tumbuhan, sedangkan tumbuhan mendapatkan air dan nutrisi terutama P dari cendawan.

Berdasarkan struktur cendawan yang dibentuk dalam akar dan jenis tumbuhan inang, maka mikoriza dikelompokkan ke dalam 2 golongan besar yaitu ektomikoriza dan endomikoriza. Di dalam kelompok endomikoriza terdapat enam subtipe yaitu : mikoriza arbuskula, mikoriza ektendo, mikoriza arbutoid, mikoriza monotropoid, mikoriza erikoid dan mikoriza anggrek (Smith & Read 1997). Mikoriza arbuskula (MA) atau sering juga disebut mikoriza vesikula arbuskula (MVA) merupakan mikoriza yang paling umum dijumpai pada kondisi alami dan mengkolonisasi sekitar 80% spesies tumbuhan yang ada di dunia. Mikoriza

arbuskula dijumpai pada hampir semua jenis tumbuhan yang termasuk dalam

Angiospermae, Gymnospermae, Pteridophyta dan Bryophyta kecuali pada famili tumbuhan dari Cruciferae, Cyperaceae, Chenopodiaceae, Brasicaceae dan tumbuhan bermikoriza lain (Smith & Read 1997).

Mikoriza arbuskula mempunyai karakteristik yang khas yaitu: a). perakaran yang terkena infeksi tidak membesar, b). cendawan tidak membentuk struktur lapisan hifa pada permukaan akar, c). hifa menginfeksi sel korteks secara intra dan interseluler, d). membentuk struktur khusus berupa sistem percabangan hifa di dalam akar yang disebut arbuskula, e). beberapa membentuk struktur vesikula (Harley & Smith 1983).

Nama vesikula arbuskula merupakan derivat dari karakter stukturnya, arbuskula dan vesikula. Namun karena tidak semua CMA mempunyai struktur vesikula maka sebagian ahli mikoriza menyebutnya sebagai mikoriza arbuskula (MA). Mayoritas, sekitar 80% MA membentuk arbuskula dan vesikula, sedangkan lainnya hanya membentuk arbuskula tetapi tidak membentuk vesikula (Smith & Read 1997). Mikoriza arbuskula mempunyai tiga komponen penting, yaitu: akar, struktur cendawan dalam sel akar dan miselium ekstraradikal dalam tanah.

Dalam asosiasinya dengan tumbuhan, MA membentuk organ pada bagian dalam dan bagian luar akar tumbuhan. Beberapa organ yang terbentuk di dalam akar yaitu hifa internal, vesikula, hifa gelung, arbuskula dan spora, sedangkan organ MA yang terdapat pada bagian luar akar yaitu hifa eksternal dan spora. Arbuskula berfungsi sebagai tempat pertukaran nutrisi antara cendawan dan sel inang. Vesikula mengandung butiran-butiran lemak dan berfungsi sebagai cadangan makanan bagi cendawan. Pendapat lain mengatakan bahwa vesikula

ialah organ istirahat karena jumlah selnya akan meningkat pada saat tumbuhan menua atau saat tumbuhan akan mati (Abbot & Robson 1982; Bonfante-Fosolo 1984).

Adanya simbiosis mutualisma antara CMA dengan perakaran tumbuhan dapat membantu pertumbuhan tumbuhan menjadi lebih baik, terutama pada tanah-tanah marjinal. Hal ini disebabkan MA efektif dalam meningkatkan penyerapan unsur hara makro dan mikro (Karagiannidis et al. 1995), kitinase berperan dalam melawan cendawan patogen yaitu dengan reaksi hidrolisis (Pozo et al. 2002). Sebagai contoh Phythoptora parasitica menurun pada akar yang diinokulasi cendawan mikoriza (Cordier 1998), MA juga dapat meningkatkan ketahanan tumbuhan inang dari kekeringan (Munyanziza et al. 1997; Kling & Jakobsen 1998) dan membantu pertumbuhan tumbuhan inang pada lahan yang tercemar logam berat (Munyanziza et al. 1997). Mikoriza arbuskula dapat pula menghasilkan zat pengatur tumbuh seperti auksin, sitokinin dan giberelin yang ditransfer kepada tumbuhan inangnya (Marschner 1995). Ludwig-Muller (2000) melaporkan bahwa peningkatan persentase kolonisasi akar jagung setelah diinokulasi oleh Glomus intraradices berkaitan dengan sintesis IBA.

Kolonisasi

Kolonisasi akar dipengaruhi oleh suhu, cahaya, eksudat akar dan kondisi fisiologis propagul. Suhu mempunyai pengaruh paling signifikan terhadap perkecambahan spora, pertumbuhan hifa, kolonisasi dan sporulasi dibanding dengan faktor-faktor lainnya (Bendavid-Val et al. 1997; Muin 2003). Suhu yang tinggi umumnya menghasilkan kolonisasi yang lebih tinggi. Perkecambahan arbuskula maksimum terjadi pada suhu mendekati 30 oC namun kolonisasi

miselium pada permukaan akar paling baik diantara 28 - 34 oC, suhu 20 - 30 oC merupakan kondisi yang terbaik bagi CMA untuk meningkatkan kolonisasi pada akar tumbuhan (Estaun, Camprubi & Calvet 1996).

Cahaya juga menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap kolonisasi CMA (Hayman 1974). Kolonisasi cendawan pada akar anakan ramin sangat rendah jika anakan ramin disemaikan pada intensitas cahaya kurang dari 5 570 lux atau lebih dari 16 300 lux (Muin 2003).

Munculnya kolonisasi dapat berubah-ubah menurut musim, tipe tanah, kandungan air tanah, konsentrasi P, komposisi komunitas dan spesies tumbuhan (Allosopp 1998). Smith & Read (1997) menyatakan bahwa kolonisasi akar oleh CMA dapat berasal dari tiga sumber inokulum yaitu spora, potongan akar yang terinfeksi dan hifa secara keseluruhan yang disebut propagul.

Proses Infeksi CMA

Secara umum proses infeksi CMA pada akar tumbuhan melewati empat tahap, yaitu 1) induksi perkecambahan propagul dan pertumbuhan hifa, 2) kontak antara hifa dan permukaan akar serta pembentukan apresorium, 3) penetrasi hifa ke dalam akar, dan 4) perkembangan struktur arbuskula internal untuk selanjutnya terjadi simbiosis yang fungsional (Bonfante & Perotto 1995).

Infeksi diawali dengan perkecambahan propagul dan dilanjutkan pertumbuhan hifa. Dalam proses selanjutnya terjadi kontak antara hifa dengan permukaan akar inang yang akan menghasilkan apresoria. Kemudian terjadi infeksi jaringan akar dan membentuk hifa interseluler dan intraseluler, hifa eksternal, hifa koil, arbuskula dan tidak semua MA membentuk vesikula. Jaringan pembuluh dan meristem resisten terhadap infeksi CMA, hanya jaringan akar

spesifik seperti epidermis dan korteks yang dapat dikolonisasi. Hal ini disebabkan CMA tidak mempunyai enzim yang dapat mendegradasi lignin dan suberin yang merupakan penyusun meristem. (Bonfante & Perotto 1995).

Senyawa seperti CO2, eksudat akar tumbuhan dan faktor lingkungan lainnya dapat menstimulasi perkecambahan propagul CMA. Eksudat akar tumbuhan inang berupa flavonoid dapat menstimulir perkecambahan spora CMA dan pertumbuhan hifa (Giovanneti et al. 1993a; 1993b). Isoflavon dapat menginduksi pertumbuhan hifa, percabangan, dan diferensiasi serta penetrasi sel ke inang. Propagul cendawan akan berkecambah pada saat spora, molekul lipid, protein, glikogen yang terkandung di dalam spora terhidrolisis membentuk senyawa yang kaya akan energi, sehingga dapat digunakan untuk aktivitas metabolisme dan sintesis DNA (Becard et al. 1995).

Penetrasi CMA ke jaringan inang dilakukan secara enzimatis maupun secara mekanis. Awalnya apresorium menekan dengan tekanan yang tinggi pada jaringan akar yang diinfeksi. Tekanan mekanis tersebut menyebabkan cendawan mampu menembus sel khususnya melalui pembentukan kaki penetrasi. Melanin merupakan salah satu komponen yang berperan penting dalam meningkatkan tekanan hidrostatik. Tekanan hidrostatik komponen dinding sel tersebut disebabkan karena melanin menangkap cairan dalam apresoria sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan gradien osmose dan penyerapan air (Bonfante & Perotto 1995). Pembentukan apresorium dapat dianggap sebagai tanda keberhasilan CMA menginfeksi inangnya, seperti halnya cendawan patogen membentuk haustorium menginfeksi inangnya.

Penetrasi CMA ke akar, tumbuhan melakukan serangkaian mekanisme pertahanan yang hampir sama dengan mekanisme apabila terjadi infeksi patogen pada tumbuhan. Mekanisme ini melewati beberapa tahapan yaitu pengenalan signal, transduksi signal dan aktivasi gen pertahanan (Garcia-Garrido & Ocampo 2002). Tumbuhan mempunyai pertahanan diri dengan mengkodekan gen yang dapat menghasilkan enzim pendegradasi dinding cendawan seperti kitinase dan β -1,3 glukanase, serta enzim yang terlibat dalam biosintesis fitoaleksin seperti fenilalanin ammonia liase. Namun pertahanan tumbuhan sebagai inang dapat ditekan dilawan dengan penyebaran hifa cendawan sehingga CMA tetap dapat berinteraksi dengan tumbuhan. Serangkaian mekanisme pertahanan tumbuhan yang lainnya yaitu mengakumulasi protein yang dapat menekan aktivitas patogen. Enzim yang berkaitan dengan pertahanan tumbuhan seperti kitinase dapat dilawan dengan penyebaran hifa cendawan tersebut. Kitinase berperan dalam melawan cendawan patogen yaitu dengan reaksi hidrolisis (Pozo et al. 2002)

Apresorium adakalanya bercabang sebelum penetrasi ke dalam epidermis. Setelah melewati epidermis umumnya hifa bercabang dalam berbagai arah, kadang-kadang tumbuh secara lateral (intraseluler) diantara sel-sel lapisan berikutnya sebelum masuk ke dalam sel korteks (Widden 1996). Penetrasi CMA melalui apresoria kemudian membentuk hifa koil di dalam sel-sel korteks dan berkembang menuju sel-sel korteks didekatnya menjadi arbuskula (Cooke, Widden & O’Halloran 1993).

Arbuskula merupakan struktur utama dalam kompleks simbiosis tumbuhan dan cendawan simbion tersebut. Arbuskula terbentuk setelah hifa mengalami percabangan dikotomi berkali-kali dan akhirnya tampak sebagai massa protoplas

berbutir-butir yang bercampur dengan protoplas sel inang. Analisa morfologi dan morfometrik menunjukkan bahwa arbuskula melengkapi perkembangannya dalam 2.5 sampai 4 hari (Alexander et al. 1989). Struktur hidup arbuskula relatif singkat berkisar antara 4 sampai 15 hari, bahkan dalam tumbuhan legum hanya 2-5 hari (Cooke, Widden & O’Hallora 1993). Di dalam arbuskula terjadi pertukaran metabolisme antara tumbuhan inang dan cendawan simbion.

Pembentukan arbuskula diawali dari suatu struktur batang, kemudian mengalami percabangan hifa dan tipe percabangannya dipengaruhi oleh tumbuhan inang (Cooke, Widden & O’Halloran 1993). Balestrini et al. (1992) melaporkan bahwa dengan terbentuknya arbuskula dalam sel korteks inang maka terjadi invaginasi plasmalema tumbuhan, fragmentasi vakuola, hilangnya amiloplas dan kenaikan jumlah organel seperti aparatus golgi. Adanya cendawan juga mempengaruhi posisi nukleus tumbuhan yang bergerak dari posisi tepi ke posisi sentral pada sel yang terinfeksi. Pada saat akar dikolonisasi CMA dan membentuk hifa koil, hifa interseluler atau arbuskula, plasmalema inang mengalami invaginasi dan proliferasi di sekitar perkembangan cendawan. Material apoplas yang terletak antara membran plasma tumbuhan yang mengalami invaginasi dan permukaan sel cendawan memberikan suatu ruang baru yang disebut ruang interfase.

Membran cendawan merupakan bagian yang penting karena pada membran ini terjadi transfer dua arah antara tumbuhan dan cendawan. Ruang interfase merupakan suatu ekspresi struktural terjadinya simbiosis yaitu tempat terjadinya pertukaran hara dua arah. Invaginasi membran perifungi disekitar arbuskula menunjukkan adanya aktivitas H+/ATPase, jadi kemungkinan membran di sekitar cendawan (perifungi) sangat berperan untuk transpot hara. Adanya aktivitas

H+/ATPase mencirikan simbiosis mutualisma sebagaimana juga dijumpai pada membran tumbuhan yang berbintil akar dan hal ini tidak dijumpai pada membran sekitar haustoria, tempat interaksi patogen tumbuhan (Bonfante & Perotto 1995).

Vesikula merupakan organ penyimpanan karbon untuk cendawan, dan vesikula ini juga menunjukkan awal infeksi baru. Vesikula merupakan struktur berbentuk bulat atau lonjong yang terbentuk dari hifa internal yang membengkak (Bonfante-Fosolo 1984).

Pertumbuhan Hifa Eksternal dan Produksi Spora

Adanya hifa eksternal memungkinkan tumbuhan mengeksploitasi volume tanah lebih besar. Friese & Allen (1991) melaporkan bahwa eksploitasi fisik pada absorbsi unsur hara difasilitasi oleh kecilnya diameter hifa yaitu berkisar 2-15 µm dengan rata-rata 3-4 µm. Tipisnya hifa dengan diameter kurang dari 10 µm lebih cocok untuk memanfaatkan P yang terdapat di ruang pori mikro tanah yang tidak dapat dicapai oleh akar dan rambut akar, sehingga dapat mengatasi keterbatasan difusi Pi yang lambat dalam tanah. Selain itu, hifa juga dapat menyerap air. Sehingga hifa eksternal dapat meningkatkan potensi sistem perakaran untuk mengabsorbsi unsur hara dan air. Beberapa studi menunjukkan bahwa daerah deplesi sekitar akar tumbuhan, lebih besar pada tumbuhan yang bermikoriza daripada tumbuhan yang tidak bermikoriza (Smith & Read 1997).

Pertumbuhan dan perkembangan hifa eksternal mikoriza arbuskula sangat berbeda-beda tergantung pada jenis tanah, tumbuhan dan cendawannya. Dalam beberapa kasus, pertumbuhan cendawan dalam tanah dapat mencapai 80 sampai 134 kali panjang akar yang dapat dikolonisasinya. Selain itu, cendawan dapat pula tampak kurang berkembang (Bonfante-Fosolo 1984). Ditinjau dari morfologinya,

miselium eksternal ini dapat tumbuh dan menuju ke permukaan akar untuk membentuk unit kolonisasi.

Semua organisme merespon pengaruh temperatur. Hifa ekstraradikal miselia dari Glomus caledonium semuanya tidak dapat tumbuh pada suhu 10 oC namun dapat tumbuh baik pada suhu 25 oC (Gavito 2003). Pada suhu 0 oC G. intraradices

tidak mampu mengabsorbsi P namun dapat aktif kembali mengangkut P pada suhu 15 oC (Wang et al. 2002)

Banyaknya miselium eksternal ini sangat bervariasi, dapat sangat banyak pada beberapa contoh tanah atau bahkan menutupi akar namun tidak sampai membentuk selubung cendawan seperti pada ektomikoriza (Harley & Smith 1983). Selain miselium, CMA membentuk struktur lain yang dikenal sebagai spora, dapat dibentuk secara tunggal, berkelompok, atau di dalam suatu sporokarp tergantung jenis cendawannya. Miselium eksternal merupakan hal yang penting dalam produksi spora CMA, karbohidrat banyak di translokasikan ke tempat tersebut. Spora CMA dalam tanah merupakan bagian dari cendawan di luar akar penyusun biomassa (Smith & Read 1997).

Menurut Sieverding (1991) sporulasi CMA di dalam tanah terjadi pada pH sekitar 3.8 sampai 8.0. Toleransi dan kemampuan tumbuhan untuk tumbuh pada kondisi pH yang tidak menguntungkan ada kemungkinan karena asosiasi kolonisasi CMA dengan akar dan kemampuan CMA beradapatasi terhadap kondisi tersebut.

Sieverding et al. (1989) menemukan bahwa tanah maksimum mengandung 28 spora / g tanah pada Cassava dan biomassanya di atas 919 kg/ha. Biakan pot dari hasil isolasi individu spesies cendawan dapat diperoleh informasi yang

banyak, dapat menghasilkan cendawan dengan sporulasi yang lebih cepat, dan lebih banyak. (Brundrett 1996).

Cendawan Mikoriza Arbuskula

Menurut klasifikasi dari Morton & Benny (1990) cendawan mikoriza arbuskula (CMA) merupakan cendawan simbion obligat, mempunyai hifa aseptat, dan reproduksinya dilakukan secara aseksual. CMA digolongkan dalam filum

Zygomycota kelas Zygomycetes dengan ordo Glomales. Dasar utama pembedaan adalah perkembangan, morfologi, dan struktur dinding pada globos zigospora, azigospora, klamidospora dan sporangianya. Cendawan-cendawan yang dimasukkan ke dalam ordo Glomales, ialah anggota genus Gigaspora, Scutellospora, Glomus, Sclerocystis, Acaulospora, dan Entrophospora. Menurut laporan Schüβler et al. (2001), cendawan mikoriza arbuskula (CMA) tidak digolongkan ke dalam Zygomycota lagi berdasarkan urutan gen SSU rRNA tapi digolongkan dalam filum baru, yaitu Glomeromycota (Gambar 1). Filum

Gambar 1 Struktur taksonomi secara umum pada CMA dan kaitannya dengan Cendawan lain berdasarkan urutan gen SSU rRNA (Walker & Schüßler 2004).

ini mempunyai Kelas Glomeromycetes dengan 4 ordo, yaitu Glomerales, Diversisporales, Archaeosporales, dan Paraglomerales. Ordo Glomerales

dengan famili Glomeraceae. Ordo Diversisporales terdiri dari 4 famili, yaitu

Gigasporaceae, Diversisporaceae, Acaulosporaceae dan Pacisporaceae. Ordo

Archaeosporales terdiri dari 2 famili, yaitu Archaeosporaceae dan

Geosiphonaceae. Ordo Paraglomerales mempunyai famili Paraglomeraceae

(Walker & Schüßler 2004). Pacisporaceae pada Schüβler et al. (2001) belum tercantum.

Ekologi dan Fisiologi CMA pada Kondisi Salin

Hetrick (1984) mengatakan CMA dapat dijumpai di hampir semua jenis tanah, dari tanah masam sampai alkalin. Namun demikian komposisi kelimpahan spesies CMA dan derajat kolonisasinya berubah dengan adanya peningkatan salinitas tanah. Kim & Weber (1985) menyatakan bahwa CMA ditemukan pada vegetasi halofit pada tanah yang memiliki salinitas tinggi, namun kolonisasi akar oleh CMA menurun sejalan dengan kenaikan salinitas berdasarkan kandungan sodium tanah. Pendapat yang sama juga dilaporkan oleh Delvian (2003) bahwa keberadaan dan kelimpahan CMA di hutan pantai berhubungan negatif dengan tingkat salinitas tanah. Penurunan tingkat salinitas tanah akan meningkatkan kepadatan spora dan persentase kolonisasi CMA pada akar tumbuhan.

Ragupathy & Mahadevan (1991) meneliti penyebaran CMA pada kawasan pantai menyebutkan bahwa pengurangan salinitas berhubungan erat dengan peningkatan kepadatan spora atau dengan kata lain salinitas menekan infeksi mikoriza dan pembentukan sporanya.

Pada percobaan yang dilakukan oleh Juniper & Abbot (2004) diperoleh bahwa, pengaruh NaCl pada pertumbuhan hifa G. decipiens dan S. calospora

bersifat dapat balik. Hifa yang berasal dari perkecambahan spora pada pasir dengan kandungan NaCl 300 mmol/l NaCl pertumbuhannya bertambah setelah dipindahkan ke lingkungan yang kadar salinnya lebih rendah. Tetapi hifa dari perkecambahan spora yang di tumbuhkan pada pasir nonsalin pertumbuhannya melambat setelah dipindahkan ke lingkungan salin. Morfologi hifa antara G. decipiens yang ditumbuhkan di substrat salin dan nonsalin berbeda. Panjang hifa yang dihasilkan oleh A. laevis, G. decipiens dan S. calospora berkurang dengan bertambahnya konsentrasi NaCl. Diameter hifa G. decipiens bertambah dengan semakin bertambahnya kadar NaCl. Hifa G. decipiens menebal dengan adanya NaCl, sitoplasmanya kosong dan septatnya banyak.

Coperman et al. (1996) menduga bahwa terdapat perbedaan sifat dan efisiensi pada setiap spesies CMA yang disebabkan oleh faktor genetik CMA itu sendiri. Menurut Ruiz-Lozano & Azcon (2000) bahwa perbedaan spesies CMA dan ekosistem asalnya akan menghasilkan respon pertumbuhan yang berbeda. Contohnya pada keadaan ekosistem yang salin dua jenis CMA dibandingkan, ternyata mempunyai respon yang berbeda. Glomus sp. melindungi tumbuhan dari cekaman salinitas didasarkan pada perkembangan akar, sedangkan Glomus deserticola berdasarkan perbaikan nutrisi tumbuhan.

Menurut Delvian (2003) efektivitas kerja CMA jauh lebih baik pada kondisi cekaman salinitas. Pada kondisi tanpa cekaman salinitas peningkatan tinggi tumbuhan bermikoriza dengan nilai 85.78%, sedangkan pada kondisi tumbuhan yang tercekam salinitas terjadi peningkatan tinggi sebesar 177.61%.

Peranan CMA dalam Penyerapan Unsur Hara

Cendawan mikoriza arbuskula mampu memperbaiki nutrisi dan meningkatkan pertumbuhan tumbuhan inang. Seperti dijelaskan oleh Marschner (1995) simbiosis mikoriza arbuskula membentuk jalinan hifa secara intensif sehingga tumbuhan bermikoriza akan mampu meningkatkan kapasitasnya dalam menyerap unsur hara dan air. Fosfat adalah salah satu unsur hara utama yang dapat diserap oleh tumbuhan bermikoriza. Fosfat adalah salah satu unsur hara esensial yang diperlukan dalam jumlah relatif banyak oleh tumbuhan, tetapi ketersediaannya pada tanah-tanah tertentu terbatas, sehingga seringkali menjadi salah satu pembatas utama dalam peningkatan produktivitas tumbuhan. Cara yang umum untuk mengatasi hal ini salah satunya yaitu memberikan input energi yang tinggi berupa pemupukan fosfat. Untuk mengurangi input kimia tersebut yang relatif mahal, maka aplikasi inokulum CMA dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif yang dapat digunakan dan dikembangkan. Unsur makro lainnya yang dapat diserap oleh MA ialah N dan K. Pada tumbuhan bermikoriza NH4+ dan mungkin NO3- meningkat. Unsur K konsentrasinya pada tumbuhan bermikoriza lebih tinggi dari pada tumbuhan tidak bermikoriza (Sieverding 1991; Read & Smith 1997). Anakan ramin yang terkolonisasi CMA tanpa dipupuk, rata-rata meningkatkan N sebanyak 57,3%, P sebanyak 145,7%, K sebanyak 200,2% dan Mg sebanyak 220,5% (Muin 2003). Meningkatnya fosfor dalam tumbuhan mempengaruhi aktivitas fotosintesis karena laju fotosintesis yang lebih tinggi pada tumbuhan yang bermikoriza berhubungan dengan meningkatnya unsur hara P (Guillemin et al. 1996).

Selain unsur makro, CMA juga dapat membantu penyerapan unsur hara mikro seperti Cu, Zn, S, Mo dan B. (Sieverding 1991; Read & Smith 1997). Mg konsentrasinya pada tumbuhan bermikoriza lebih tinggi dari pada tumbuhan tidak bermikoriza. Penyerapan Ca terlihat dipengaruhi oleh interaksi dengan unsur-unsur nutrisi yang lain.

Mikroelemen esensial bagi tumbuhan seperti Fe, Mn dan Cl secara umum juga ditemukan lebih tinggi konsentrasinya pada tumbuhan yang berasosiasi dengan cendawan tersebut. Muin (2003) melaporkan bahwa anakan ramin yang

Dokumen terkait