D. Kegunaan Penelitian
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep dan Karakteristik Kebijakan
Efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian dicapainya
keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas
disebut juga hasil guna. Efektivitas selalu terkait dengan hubungan antara
hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya dicapai. Menurut
Gedeian (1991:61) mendefinisikan efektivitas adalah That is, the greater the
extent it which an organization`s goals are met or surpassed, the greater its effectiveness (Semakin besar pencapaian tujuan-tujuan organisasi semakin besar efektivitas).
Berdasarkan pendapat di atas, bahwa apabila pencapaian tujuan-tujuan
daripada organisasi semakin besar, maka semakin besar pula efektivitasnya.
Pengertian tersebut dapat disimpulkan adanya pencapaian tujuan yang besar
dari pada organisasi, maka makin besar pula hasil yang akan dicapai dari
tujuan-tujuan tersebut. Menurut Dunn (2003:429) menyatakan bahwa:
Efektivitas (effectiveness) berkenaan dengan apakah suatu alternative
mencapai hasil (akibat) yang diharapkan, atau mencapai tujuan dari
diadakannya tindakan. Yang secara dekat berhubungan dengan rasionalitas
Apabila setelah pelaksanaan kegiatan kebijakan publik ternyata dampaknya
tidak mampu memecahkan permasalahan yang tengah dihadapi masyarakat,
maka dapat dikatakan bahwa suatu kegiatan kebijakan tersebut telah gagal,
tetapi adakalanya suatu kebijakan publik hasilnya tidak langsung efektif
dalam jangka pendek, akan tetapi setelah melalui proses tertentu. Menurut
Mahmudi (2005:92) mendefinisikan efektivitas merupakan hubungan antara
output dengan tujuan, semakin besar kontribusi (sumbangan) output terhadap pencapaian tujuan, maka semakin efektif organisasi, program atau kegiatan”. Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa dalam melihat
efektivitas diharuskan adanya suatu perbandingan antara masukan dan
keluaran. Untuk melihat efektivitas mesti adanya tingkat kepuasan dan
adanya penciptaan hubungan kerja yang kondusif serta intensitas yang tinggi.
Artinya dalam melihat efektivitas adalah adanya keadaan rasa saling memiliki
dengan tingkatan yang tinggi.
William N. Dunn (2003:430) menyebutkan beberapa variabel-variabel yang
dapat dijadikan alat untuk melihat efektivitas kebijakan dengan
menggabungkan macam-macam model tersebut, yaitu:
1. Efisiensi
Efektivitas dan efisiensi sangatlah berhubungan. Apabila kita berbicara
tentang efisiensi bilamana kita membayangkan hal penggunaan sumber
daya (resources) kita secara optimum untuk mencapai suatu tujuan
tertentu. Maksudnya adalah efisiensi akan terjadi jika penggunaan sumber
Adapun menurut Dunn berpendapat bahwa:
“Efisiensi (efficiency) berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk menghasilkan tingkat efektivitas tertentu. Efisiensi yang merupakan sinonim dari rasionalitas ekonomi, adalah merupakan hubungan antara efektivitas dan usaha, yang terakhir umumnya diukur dari ongkos moneter. Efisiensi biasanya ditentukan melalui perhitungan biaya per unit produk atau layanan. Kebijakan yang mencapai efektivitas tertinggi dengan biaya terkecil dinamakan efisien”.
Apabila sasaran yang ingin dicapai oleh suatu kebijakan publik ternyata
sangat sederhana sedangkan biaya yang dikeluarkan melalui proses
kebijakan terlampau besar dibandingkan dengan hasil yang dicapai. Ini
berarti kegiatan kebijakan telah melakukan pemborosan dan tidak layak
untuk dilaksanakan.
2. Kecukupan
Kecukupan dalam kebijakan publik dapat dikatakan tujuan yang telah
dicapai sudah dirasakan mencukupi dalam berbagai hal. Dunn
mengemukakan bahwa kecukupan (adequacy) berkenaan dengan seberapa
jauh suatu tingkat efektivitas memuaskan kebutuhan, nilai, atau
kesempatan yang menumbuhkan adanya masalah. Dari pengertian di atas
dapat disimpulkan bahwa kecukupan masih berhubungan dengan
efektivitas dengan melihat atau memprediksi seberapa jauh alternatif yang
ada dapat memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan dalam
menyelesaikan masalah yang terjadi.
Hal ini, dalam kriteria kecukupan menekankan pada kuatnya hubungan
antara alternatif kebijakan dan hasil yang diharapkan. Kriteria tersebut
1) Masalah Tipe I. Masalah dalam tipe ini meliputi biaya tetap dan efektivitas yang berubah dari kebijakan. Jadi, tujuannya adalah memaksimalkan efektivitas pada batas risorsis yang tersedia.
2) Masalah Tipe II. Masalah pada tipe ini menyangkut efektivitas yang sama dan biaya yang berubah dari kebijakan. Jadi, tujuannya adalah untuk meminimalkan biaya.
3) Masalah Tipe III. Masalah pada tipe ini menyangkut biaya dan efektivitas yang berubah dari kebijakan.
4) Masalah Tipe IV. Masalah pada tipe ini mengandung biaya sama dan juga efektivitas tetap dari kebijakan. Masalah ini dapat dikatakan sulit dipecahkan karena satu-satunya alternatif kebijakan yang tersedia barangkali adalah tidak melakukan sesuatu pun.
Tipe-tipe masalah di atas merupakan suatu masalah yang terjadi dari suatu
kebijakan sehingga dapat disimpulkan masalah tersebut termasuk pada
salah satu tipe masalah tersebut. Hal ini berarti bahwa sebelum suatu
produk kebijakan disahkan dan dilaksanakan harus ada analisis kesesuaian
metode yang akan dilaksanakan dengan sasaran yang akan dicapai, apakah
caranya sudah benar atau menyalahi aturan atau teknis pelaksanaannya
yang benar.
3. Perataan
Perataan dalam kebijakan publik dapat dikatakan mempunyai arti dengan
keadilan yang diberikan dan diperoleh sasaran kebijakan publik. Dunn
menyatakan bahwa kriteria kesamaan (equity) erat berhubungan dengan
rasionalitas legal dan sosial dan menunjuk pada distribusi akibat dan usaha
antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat. Kebijakan
yang berorientasi pada perataan adalah kebijakan yang akibatnya atau
efektif, efisien, dan mencukupi apabila biaya-manfaat merata. Kunci dari
perataan yaitu keadilan atau kewajaran.
Seberapa jauh suatu kebijakan dapat memaksimalkan kesejahteraan sosial
dapat dicari melalui beberapa cara, yaitu:
1. Memaksimalkan kesejahteraan individu. Analis dapat berusaha untuk memaksimalkan kesejahteraan individu secara simultan. Hal ini menuntut agar peringkat preferensi transitif tunggal dikonstruksikan berdasarkan nilai semua individu.
2. Melindungi kesejahteraan minimum. Di sini analis mengupayakan peningkatan kesejahteraan sebagian orang dan pada saat yang sama melindungi posisi orang-orang yang dirugikan (worst off). Pendekatan ini didasarkan pada kriteria Pareto yang menyatakan bahwa suatu keadaan sosial dikatakan lebih baik dari yang lainnya jika paling tidak ada satu orang yang diuntungkan dan tidak ada satu orangpun yang dirugikan. Pareto ortimum adalah suatu keadaan sosial dimana tidak mungkin membuat satu orang diuntungkan (better off) tanpa membuat yang lain dirugikan (worse off).
3. Memaksimalkan kesejahteraan bersih. Di sini analisis berusaha meningkatkan kesejahteraan bersih tetapi mengasumsikan bahwa perolehan yang dihasilkan dapat digunakan untuk mengganti bagian yang hilang. Pendekatan ini didasarkan pada kriteria Kaldor-Hicks: Suatu keadaan sosial lebih baik dari yang lainnya jika terdapat perolehan bersih dalam efisiensi dan jika mereka yang memperoleh dapat menggantikan mereka yang kehilangan. Untuk tujuan praktis kriteria yang tidak mensyaratkan bahwa yang kehilangan secara nyata memperoleh kompensasi ini, mengabaikan isu perataan.
4. Memaksimalkan kesejahteraan redistributif. Di sini analis berusaha memaksimalkan manfaat redistributif untuk kelompok- kelompok yang terpilih, misalnya mereka yang secara rasial tertekan, miskin atau sakit. Salah satu kriteria redistributif dirumuskan oleh filosof John Rawls: Suatu situasi sosial dikatakan lebih baik dari lainnya jika menghasilkan pencapaian kesejahteraan anggota-anggota masyarakat yang dirugikan (worst off).
Formulasi dari Rawls (1971: 58-60) berupaya menyediakan landasan
terhadap konsep keadilan, tapi kelemahannya adalah pengabaian pada
politis cara-cara tersebut tidak dapat menggantikan proses politik, berarti
cara-cara di atas tidak dapat dijadikan patokan untuk penilaian dalam
kriteria perataan. Berikut menurut Dunn yaitu:
“Pertanyaan menyangkut perataan, kewajaran, dan keadilan bersifat politis; dimana pilihan tersebut dipengaruhi oleh proses distribusi dan legitimasi kekuasaan dalam masyarakat. Walaupun teori ekonomi dan filsafat moral dapat memperbaiki kapasitas kita untuk menilai secara kritis kriteria kesamaan, kriteria-kriteria tersebut tidak dapat menggantikan proses politik”.
Pelaksanaan kebijakan haruslah bersifat adil dalam arti semua sektor dan
dari segi lapisan masyarakat harus sama-sama dapat menikmati hasil
kebijakan. Karena pelayanan publik merupakan pelayanan dari birokrasi
untuk masyarakat dalam memenuhi kegiatan masyarakat baik secara
langsung maupun tidak langsung. Pelayanan publik sendiri menghasilkan
jasa publik.
4. Responsivitas
Responsivitas dalam kebijakan publik dapat diartikan sebagai respon dari
suatu aktivitas. Yang berarti tanggapan sasaran kebijakan publik atas
penerapan suatu kebijakan. Menurut Dunn menyatakan bahwa
responsivitas (responsiveness) berkenaan dengan seberapa jauh suatu
kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, preferensi, atau nilai kelompok-
kelompok masyarakat tertentu. Suatu keberhasilan kebijakan dapat dilihat
melalui tanggapan masyarakat yang menanggapi pelaksanaan setelah
terlebih dahulu memprediksi pengaruh yang akan terjadi jika suatu
kebijakan sudah mulai dapat dirasakan dalam bentuk yang positif berupa
dukungan ataupun wujud yang negatif berupa penolakan.
Dunn (2003:437) mengemukakan bahwa kriteria responsivitas adalah
penting karena analisis yang dapat memuaskan semua kriteria lainnya
(efektivitas, efisiensi, kecukupan, kesamaan) masih gagal jika belum
menanggapi kebutuhan aktual dari kelompok yang semestinya
diuntungkan dari adanya suatu kebijakan.
Oleh karena itu, kriteria responsivitas cerminan nyata kebutuhan,
preferensi, dan nilai dari kelompok-kelompok tertentu terhadap kriteria
efektivitas, efisiensi, kecukupan, dan kesamaan.
5. Ketepatan
Ketepatan merujuk pada nilai atau harga dari tujuan program dan pada
kuatnya asumsi yang melandasi tujuan-tujuan tersebut. Dunn menyatakan
bahwa kelayakan (Appropriateness) adalah:
“Kriteria yang dipakai untuk menseleksi sejumlah alternatif untuk dijadikan rekomendasi dengan menilai apakah hasil dari alternatif yang direkomendasikan tersebut merupakan pilihan tujuan yang layak. Kriteria kelayakan dihubungkan dengan rasionalitas substantif, karena kriteria ini menyangkut substansi tujuan bukan cara atau instrumen untuk merealisasikan tujuan tersebut”.
Artinya ketepatan dapat diisi oleh indikator keberhasilan kebijakan lainnya
(bila ada). Misalnya dampak lain yang tidak mampu diprediksi
sebelumnya baik dampak tak terduga secara positif maupun negatif atau
pelaksanaan kebijakan sehingga kebijakan bisa lebih dapat bergerak secara
lebih dinamis.
Variabel-variabel demikian ini telah diidentifikasi dengan berbagai
alternatif yaitu sebagai alat untuk melihat efektivitas itu sendiri dan
sebagai variabel yang memperlancar atau membantu memperbesar
kemungkinan tercapainya efektivitas.
Berkaitan dengan pengertian efektivitas yang penulis uraikan di atas, maka
efektivitas yang penulis teliti yaitu bagaimana tingkat efektivitas yang
telah ditentukan dan direncanakan dapat berjalan dengan baik atau bahkan
sebaliknya, yaitu tidak sesuai dengan perencanaan awal. Penulis akan
melihat seberapa besar efektivitas kebijakan sistem outsourcing (studi
kasus di PT CentralPertiwi Bahari).
B. Tinjauan Tentang Kebijakan