• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEKTIVITAS KEBIJAKAN SISTEM ALIH DAYA (OUTSOURCING) (Studi Kasus di PT Centralpertiwi Bahari)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "EFEKTIVITAS KEBIJAKAN SISTEM ALIH DAYA (OUTSOURCING) (Studi Kasus di PT Centralpertiwi Bahari)"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIVITAS KEBIJAKAN SISTEM ALIH DAYA (OUTSOURCING) (Studi Kasus di PT Centralpertiwi Bahari)

(Skripsi)

Oleh

Deo Vita Effendi

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRACT

THE EFFECTIVENESS OF POLICY OUTSOURCING SYSTEM (Studies at PT Centralpertiwi Bahari)

by

Deo Vita Effendi

Outsourcing policy problem which is found in PT Centralpertiwi Bahari at

Lampung South regency is still exist today. Those problems are: first, the

company that hire laborers with outsourcing status take direct part in production

or main activity in the company. Second, the problem that often violated by

businessmen in terms of contract extension is exceeding the expiration of the

previous period contract. Third, the company is also to set up the center training

and recruit labor with did not pay the wages in accordance with the applicable

regulation while workers placed just like ordinary laborers which also produce

goods production in PT Centralpertiwi Bahari. Many a laborer who wrong in

viewing because as if the company either by gives means of education and

training of free in fact if traced deeper it will be visible the absence of good

(3)

The purpose of this research is to know and to analyse the effectiveness of a

policy in outsourcing system at PT Centralpertiwi Bahari. This research used

descriptive qualitative method. This research managed and described the data and

information based on facts that can be analyzed further.

This research result indicates that practice a policy of outsourcing system at PT

Centralpertiwi Bahari have not been effective. In its implementation PT

Centralpertiwi Bahari are still many things one of them in terms of surveillance of

the fulfillment of the terms of outsourcing that is difficult to be implemented.

Hence in the practice of the application of outsourcing system in a company were

also a lot of that deviates. Daily practice in outsourcing PT Centralpertiwi Bahari

so far recognized more many injurious workers / laborers, because a working

relationship not fixed / contract, wages is low, there are no guarantees of social,

the absence of welfare for workers, and there is no guarantee the development of a

career in addition the contract agreement that agreed upon both parties violated by

many companies.

(4)

ABSTRAK

EFEKTIVITAS KEBIJAKAN SISTEM ALIH DAYA (OUTSOURCING) (Studi Kasus di PT Centralpertiwi Bahari)

Oleh Deo Vita Effendi

Permasalahan kebijakan outsourcing yang terdapat di PT Centralpertiwi Bahari

Kabupaten Lampung Selatan masih ada hingga saat ini. Masalah tersebut di

antaranya adalah: pertama, perusahaan memperkerjakan buruh dengan status

outsourcing menempati bagian-bagian yang langsung dengan produksi atau

kegiatan pokok dalam perusahaan. Kedua, masalah yang juga sering dilanggar

oleh pengusaha dalam hal melakukan perpanjangan kontrak kerap melebihi waktu

berakhirnya massa kontrak sebelumnya. Ketiga, perusahaan juga mendirikan

pusat pelatihan dan merekrut tenaga kerja dengan tidak membayar upah sesuai

dengan ketentuan yang berlaku sementara pekerja ditempatkan layaknya buruh

biasa yang juga menghasilkan barang produksi di PT Centralpertiwi Bahari.

Banyak buruh yang salah dalam memandang karena seolah-olah perusahaan baik

dengan memberikan sarana pendidikan dan pelatihan gratis, padahal bila

ditelusuri lebih dalam maka akan terlihat tidak adanya komunikasi yang baik

(5)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis efektivitas kebijakan

sistem alih daya outsourcing di PT Centralpertiwi Bahari. Metode penelitian yang

digunakan adalah metode penelitian deskriftif kualitatif. Penelitian ini mengelola

dan menggambarkan data serta informasi berdasarkan fakta-fakta yang tampak

untuk kemudian dianalisis lebih lanjut.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa praktek kebijakan sistem outsourcing di

PT Centralpertiwi Bahari belum efektif. Dalam pelaksanaannya PT Centralpertiwi

Bahari masih banyak kekurangan salah satunya dalam hal pengawasan atas

pemenuhan syarat-syarat outsourcing yang sangat sulit dilakukan. Oleh karena itu

dalam praktek penerapan sistem outsourcing di dalam perusahaan juga banyak

yang menyimpang. Praktik sehari-hari dalam outsourcing PT Centralpertiwi

Bahari selama ini diakui lebih banyak merugikan pekerja/buruh, karena hubungan

kerja tidak tetap/kontrak, upah lebih rendah, tidak ada jaminan sosial, tidak

adanya kesejahteraan untuk pekerja, serta tidak adanya jaminan pengembangan

karier selain itu perjanjian kontrak yang disepakati kedua belah pihak banyak

dilanggar oleh perusahaan.

(6)

EFEKTIVITAS KEBIJAKAN SISTEM ALIH DAYA (OUTSOURCING) (Studi Kasus di PT Centralpertiwi Bahari)

Oleh

Deo Vita Effendi

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA ILMU PEMERINTAHAN

pada

Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG

(7)
(8)
(9)
(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis memiliki nama lengkap Deo Vita Effendi,

dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 22 Juli 1992.

Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara

yang merupakan anak dari pasangan Bapak Sopiyan

Effendi, S.E dan Ibu Desnita Dewi.

Jenjang akademis penulis dimulai dengan menyelesaikan pendidikan Taman

Kanak-kanak (TK) PTP NusantaraVII Kedaton Bandar Lampung pada tahun

1998, kemudian melanjutkan ke Sekolah Dasar (SD) Al-Azhar 1 Kedaton Bandar

Lampung dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan

ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Kartika II-2 Bandar Lampung dan lulus

pada tahun 2007, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA)

Negri 5 Bandar Lampung dan lulus pada tahun 2010. Selanjutnya tahun 2010

penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu

(11)

Pendidikan merupakan perlengkapan paling baik untuk

hari tua.

Aristoteles

Jadikanlah kekecewaan masa lalu menjadi senjata sukses

dimasa depan.

Karo Cyber

Pada akhirnya semua hanya akan dapat dikenang,

selamat mengisi ruang kosong diantara pertemuan dan

perpisahan.

(12)

Kudedikasikan karya yang sederhana ini sebagai tanda bakti dan terima kasihku kepada:

Ayah dan Ibu Tercinta

“yang selalu memberikan curahan kasih sayang, dukungan, dan do’anya serta restu yang tiada hentinya hingga

sekarang dan sampai nanti”

Adik-adikku

“yang telah memberikan motivasi dan kasih sayang tuk mencapai yang terbaik”

Almamaterku Universitas Lampung

(13)

SANWACANA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat

rahmat, karunia dan kasih sayang-Nya lah sehingga akhirnya penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini yang berjudul ”Efektivitas Kebijakan Sistem Alih Daya

(Outsourcing) (Studi Kasus di PT Centralpertiwi Bahari)”. Penulis menyadari

banyak sekali kesulitan dan hambatan yang dihadapi dalam proses penulisan

skripsi ini. Namun kesulitan yang ada dapat dihadapi dengan baik berkat

bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu dengan segala

kerendahan hati, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih

yang setulus-tulusnya kepada:

1. Bapak Drs. Agus Hadiawan, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lampung.

2. Bapak Drs. Denden Kurnia Drajat, M.Si selaku Ketua Jurusan Ilmu

Pemerintahan FISIP Universitas Lampung yang selalu memberikan motivasi

dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Drs. R. Sigit Krisbintoro, M.IP selaku Sekertaris Jurusan Ilmu

Pemerintahan FISIP Universitas Lampung yang telah memotivasi dan

(14)

penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi secara baik dan maksimal.

5. Bapak Maulana Mukhlis, S.Sos, M.IP selaku pembimbing pembantu, terima

kasih telah bersedia meluangkan waktu, memberikan pengarahan dan saran

kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

6. Bapak Drs. Yana Ekana, P.S, M.Si selaku dosen pembahas, terima kasih atas

masukan, pengarahan, saran dan kritik yang dapat membangun dan menjadi

penyempurna untuk skripsi ini.

7. Bapak Dr. Pitojo Budiono, M.Si selaku pembimbing akademik, terima kasih

telah membantu penulis dalam proses kuliah sehingga penulis dapat

menyelesaikan pendidikan sarjana strata 1 (satu).

8. Kepada seluruh Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP

Universitas Lampung yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Terima

kasih yang setulus-tulusnya atas segala ilmu bermanfaat yang telah diberikan

kepada penulis.

9. Bapak dan Ibu Staf Administrasi FISIP Universitas Lampung yang telah

membantu penulis.

10. Kepada seluruh karyawan dan buruh outsourcing di PT Centralpertiwi

Bahari, seluruh karyawan di PT Rahmat Mitra Mandiri dan Dinas

Ketenagakerjaan Kota Bandar Lampung yang telah memberikan bantuannya.

11. Kedua Orang tuaku, Ayahanda Sopiyan Effendi, S.E dan Ibunda Desnita

Dewi yang telah membesarkan dan mendidik dengan penuh ketulusan dan

(15)

12. Adikku tersayang Desta Dwi Putri Effendi dan Rangga Pratama Effendi,

terima kasih dukungannya yang telah diberikan selama ini, semoga kita selalu

diberi kesehatan dan kemudahan dalam menjalani hidup dan membahagiakan

Ayah dan Ibu.

13. Terima kasih kepada sahabat yang sudah menjadi seperti saudara, Anggesti

Irka Safitri, Anis Septiana, Annisa Rhafirna, Anggi Dwi Pramono, Dwi

Kusumayanti, Riri Rianiti, Riska Gustiani, Tiara Anggina Putri, Yusi Alvita,

Mutiara Tikha dan Febria Nurdauci terima kasih untuk semua nasihat, saran,

kritikan, motivasi, semangat, dan bantuannya untuk penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini. Semoga kita semua menjadi orang sukses Amin.

14. Terima kasih kepada sahabat-sahabat terbaik, Ferdy Arian, Nikko Prima S, A

Dian Okta Saputra, M Erikson Syahputra, Andjani Regisa Putri, Novita Sari,

Rini Febrianty, Aditya Kurniawan, Yan Asep Wijaya, dan Ghali Billridho

terima kasih atas canda tawa dan nasihat yang tidak pernah henti untuk

penulis, semoga kita semua jadi orang sukses Amin.

15. Seluruh teman-teman Ilmu Pemerintahan angkatan 2010 reguler A dan

reguler B terima kasih atas segala kebersamaannya. Terima kasih juga kepada

sahabat KKN yang selama 40 hari mencoba mengabdi di pekon Adiluwih

(16)

skripsi, mohon maaf jika penulis tidak dapat menyebutkan satu persatu.

Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat, taufik, hidayah serta

hidayahnya kepada kita semua, dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita

semua.

Bandar Lampung, Maret 2015

Penulis

(17)

DAFTAR ISI A. Konsep dan Karakteristik Kebijakan... 10

B. Tinjauan Tentang Kebijakan ... 17

1. Konsep Kebijakan ... 17

2. Ciri-ciri Kebijakan ... 21

C. Evaluasi Kebijakan ... 22

1. Konsep Tentang Evaluasi Kebijakan ... 22

2. Tujuan Evaluasi Kebijakan ... 23

3. Tahapan Dalam Evaluasi Kebijakan ... 24

D. Hubungan Kerja ... 25

E. Sistem Outsourcing ... 27

1. Definisi Sistem Outsourcing ... 27

2. Penyediaan Tenaga Kerja Dengan Sistem Outsourcing... 28

3. Pelaksanaan Outsourcing ... 29

4. Penyerahan Sebagai Pekerja Outsourcing ... 31

(18)

III. METODE PENELITIAN A.Sejarah Singkat PT Centralpertiwi Bahari ………... 50

B.Letak Geografis PT Centralpertiwi Bahari ……….. 55

C.Visi Dan Misi Dari PT Centralpertiwi Bahari ………. 55

D.Sejarah Singkat PT Rahmat Mitra Mandiri ………. 56

E. Visi Dan Misi PT Rahmat Mitra Mandiri ……… 57

V. HASIL DAN PEMBAHASAN A.Deskripsi Kebijakan Sistem Outsourcing ….……….. 59

B.Masalah Kebijakan Sistem Outsourcing di……….. PT Centralpertiwi Bahari ………. 70

C.Efektivitas Kebijakan Sistem Outsourcing di………... PT Centralpertiwi Bahari ……….……… 74

(19)

DAFTAR TABEL

(20)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman 1. Kerangka Pikir ... 36

(21)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Permasalahan yang sekarang timbul dalam bidang ketenagakerjaan di

Indonesia salah satunya ialah dengan terus tumbuhnya jumlah angka kerja

yang tinggi, tidak sesuai dengan lapangan pekerjaan yang tersedia. Selain itu

perkembangangan ekonomi global dan kemajuan teknologi yang demikian

cepat membawa dampak timbulnya persaingan usaha yang begitu ketat yang

terjadi di semua lini. Dalam kaitan itulah dapat dimengerti bahwa kalau

kemudian muncul kecenderungan outsourcing, yaitu memborongkan satu

bagian atau beberapa bagian kegiatan perusahaan yang tadinya dikelola

sendiri kepada perusahaan lain (Hussein, 2012: 5).

Praktik outsourcing berkembang luas di perusahaan-perusahaan sejalan

dengan perlunya mereka berkonsentrasi pada rangkaian proses atau aktivitas

penciptaan produk dan jasa yang terkait dengan kompetensi utamanya.

Perusahaan hanya perlu memikirkan mengenai bagaimana kegiatan inti bisnis

perusahaannya berjalan sebaik mungkin. Sedangkan kegiatan penunjang yang

tidak berhubungan langsung dengan kegiatan utama diserahkan ke

(22)

Menurut Royen (2009:13) adanya sistem outsourcing ini tidak serta merta

membuat permasalahan mengenai ketenagakerjaan di indonesia hilang.

Karena dalam kenyataannya sistem outsourcing ini banyak menimbulkan

kontroversi di masyarakat, sebagian tenaga kerja menolak sistem outsourcing

yang dianggap kurang menguntungkan. Sedangkan para pengusaha

menganggap sistem outsourcing sebagai salah satu cara bahkan satu-satunya

cara untuk menghadapi sistem liberalisasi ekonomi yang tidak dapat

dihindari.

Penolakan yang sangat jelas terhadap sistem outsourcing ini dapat dilihat

setiap tahun, pada peringatan hari buruh sedunia (may day) selalu terlontar isu

hapuskan sistem kontrak dan outsourcing. Para buruh memandang bahwa

sistem buruh kontrak dan alih daya (outsourcing) menyengsarakan kaum

pekerja atau buruh, sistem tersebut telah membuat status para buruh mungkin

tak jelas sehingga bisa terputus hubungan kerjanya kapan saja pengusaha mau

(Royen, 2009: 13).

Justifikasi mengenai pelaksanaan praktik outsourcing dalam hukum positif di

Indonesia terdapat dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan yang selanjutnya disebut Undang-Undang Ketenagakerjaan,

khususnya pada pasal 56, 57, 58, 59, 64, 65, dan 66. Selain itu juga diatur

dalam keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia

Nomor KEP.220/Men/X/2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian

Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain yang selanjutnya disebut

(23)

Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 56

menyatakan perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu

tidak tertentu. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) didasarkan atas jangka waktu; atau selesainya suatu pekerjaan

tertentu.

Salah satu hal yang sangat penting yang harus diperhatikan oleh pekerja

kontrak adalah pekerja kontrak harus memiliki atau mendapatkan surat

perjanjian kerja yang ditandatangani oleh pengusaha dan pekerja yang

bersangkutan. Berdasar UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan,

pasal 59 ayat (1) menyatakan perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya

dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu menurut jenis dan sifat atau kegiatan

pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu pekerjaan yang sekali

selesai atau sementara sifatnya, pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya

dalam waktu tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun, pekerjaan yang

bersifat musiman atau pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru,

kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau

penjajakan.

Surat perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk

pekerjaan yang besifat tetap. Berdasar penjelasan Pasal 59 ayat (2)

menjelaskan yang dimaksud dengan pekerjaan yang bersifat tetap dalam ayat

ini adalah pekerjaan yang sifatnya terus menerus, tidak terputus-putus, tidak

dibatasi waktu dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalam satu

(24)

musiman adalah pekerjaan yang tidak tergantung cuaca atau suatu kondisi

tertentu. Apabila pekerjaan itu merupakan pekerjaan yang terus menerus,

tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu, dan merupakan bagian dari suatu

proses produksi, tetapi tergantung cuaca atau pekerjaan itu dibutuhkan karena

adanya suatu kondisi tertentu maka pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan

musiman yang tidak termasuk pekerjaan tetap sehingga dapat menjadi obyek

perjanjian kerja waktu tertentu.

Pembatasan waktu maksimal dalam masa kerja bagi pekerja kontrak

berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, pasal 59 ayat

(4) yang menyatakan perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas

jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan

hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1

(satu) tahun, dan Pasal 59 ayat (6) yang menyatakan pembaruan perjanjian

kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang

waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang

lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1

(satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun. Jadi, pekerja kontrak dapat

dikontrak maksimal selama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali

untuk selama maksimal 1 (satu) tahun.

Hasil pra-riset yang penulis lakukan di PT Centralpertiwi Bahari Kabupaten

Lampung Selatan, mengungkapkan ketidaksesuaian antara peraturan UU

(25)

Pertama, bila melihat UU tersebut, khususnya pada pasal 64-66, mengatur

tentang outsourcing atau jasa percaloan dalam perekrutan tenaga kerja untuk

mengerjakan beberapa bagian produksi non utama yang bisa di

sub-kontrakkan. Outsourcing boleh dilakukan dengan persyaratan ketat yaitu:

Dilakukan terpisah dari kegiatan utama, berupa kegiatan penunjang

perusahaan secara keseluruhan dan tidak menghambat proses produksi secara

langsung. Tetapi kenyataanya banyak sekali perusahaan yang mempekerjakan

buruh dengan status outsourcing menempati bagian-bagian yang langsung

dengan produksi. Tidak ada satupun pihak disnaker mengambil sikap atas

masalah tersebut, bahkan justru mendukungnya, meraka selalu saja berdalih

kepada buruh dengan mengatakan dari pada tidak bekerja, pernyataan yang

sangat manipulatif dan tidak bertanggungjawab sama sekali, karena justru

hal-hal seperti itu yang menjadi sumber dari menjamurnya praktek ini.

Kedua, masalah yang sering dilanggar oleh pengusaha adalah dalam

melakukan perpanjangan kontrak kerap melebihi waktu berakhirnya masa

kontrak sebelumnya. Sedangkan dalam ketentuan pasal 59 ayat 5: Pengusaha

yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut,

paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir

telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja atau buruh

yang bersangkutan.

Ketiga, fenomena yang berkembang saat ini adalah semakin banyak

pengusaha dengan memberikan sarana pendidikan dan pelatihan. Perusahaan

(26)

membayar upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, pekerja ditempatkan

sebagaimana layaknya buruh biasa yang juga menghasilkan barang produksi.

Banyak buruh yang salah dalam memandang karena seolah-olah perusahaan

baik dengan memberikan sarana pendidikan dan pelatihan gratis, padahal jika

dipahami lebih dalam maka akan terlihat tidak adanya komunikasi yang baik

antara para pengusaha tersebut. Perusahaan sejatinya menampung tenaga

kerja buruh baru dengan status masa percobaan atau training, sebab apabila

buruh yang sudah mampu bekerja dengan baik di Pusat Pelatihan tersebut

maka perusahaan akan melakukan rekruetmen dengan setatus ikatan dinas

dengan masa kerja 3-5 tahun, padahal sejatinya masa percobaan tersebut tetap

bekerja dengan setatus buruh kontrak dengan masa kerja yang sangat panjang

di kontrak sampai dengan 5 tahun, dan apabila belum selesai masa kontrak

atau ikatan dinas buruh ingin keluar dari perusahaan maka buruh diberikan

denda. Jika memeriksa ketentuan perundang-undangan disitu dijelaskan

didalam pasal 58: (1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat

mensyaratkan adanya masa percobaan kerja. (2) Dalam hal disyaratkan masa

percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum.

Menurut Hussein (2012: 5) outsourcing memang merupakan momok bagi

buruh. Bersama-sama dengan sistem kerja kontrak, outsourcing adalah cara

untuk membuat hubungan kerja buruh-pengusaha menjadi fleksibel. Fleksibel

atau biasa disebut market labour flexibility di sini bermakna hubungan kerja

menjadi lebih mudah untuk diubah atau ditiadakan, tanpa konsekuensi yang

(27)

Perjanjian kerja dibuat hanya untuk sementara atau jangka waktu tertentu.

Inilah yang disebut dengan sistem kerja kontrak yang biasa dibedakan dengan

perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu atau kerja tetap.

Pada dasarnya para pihak dapat menentukan dengan bebas mengenai hak dan

kewajiban dalam pejanjian kerja dengan sistem outsourcing terdapat

keseimbangan hak dan kewajiban bagi pekerja berdasarkan kesepakatan. Hak

dan kewajiban dalam perjanjian kerja dengan sistem outsourcing tidak boleh

kurang dari syarat yang ditentukan oleh perundang-undangan

ketenagakerjaan, peraturan perusahaan, dan perjanjian kerja bersama.

Hubungan antara perusahaan pemberi kerja, perusahaan penyedia pekerja

atau perusahaan pemborong dan pekerja itu sendiri seharusnya menciptakan

triple alliance (suatu hubungan yang saling membutuhkan). Namun dalam

kenyataannya, sering kali terdapat perselisihan. Hal ini bisa dihindari jika

para pihak menyadari hak dan kewajibannya. Perlindungan dan syarat-syarat

kerja bagi buruh outsourcing harus sekurang-kurangnya sama dengan

perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi

pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Namun, nyaris peraturan ini dilanggar di lapangan.

Dijadikannya PT Centralpertiwi Bahari sebagai lokasi penelitian karena PT

Centralpertiwi Bahari merupakan salah satu dari beberapa perusahaan yang

menggunakan buruh sistem outsourcing. Selain itu, kompleksitas

permasalahan dari dinamika yang tejadi dalam tubuh PT Centralpertiwi

(28)

yang berada pada perusahaan ini menjadi alasan kedua bagi penulis dalam

memilih penelitian ini.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka penulis

merasa tertarik untuk melakukan pengkajian dan pembahasan secara lebih

mendalam mengenai Efektivitas Kebijakan Sistem Alih daya Outsourcing di

PT Centralpertiwi Bahari.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diungkapkan di atas, maka

rumusan masalah penelitian ini adalah “Bagaimana Efektivitas Kebijakan

Sistem Alih Daya Outsourcing di PT Centralpertiwi Bahari?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis

bagaimana efektivitas kebijakan sistem alih daya outsourcing di PT

Centralpertiwi Bahari.

D. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah :

1. Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk memperkuat teori

(29)

dapat menambah khasanah keilmuan serta referensi untuk penelitian lebih

lanjut bagi mahasiswa.

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada

perusahaan-perusahaan agar dapat melakukan praktik kebijakan sistem outsourcing

dengan baik, perusahaan juga diharapkan dapat memunuhi perjanjian

kontrak, dan tidak melanggar Undang-Undang yang berlaku. Kepada

Pemerintah juga diharapkan dapat mengawasi mengenai bagaimana

praktik kebijakan sistem outsourcing disetiap perusahaan. Serta

diharapkan kepada masyarakat agar dapat berfikir dua kali untuk

(30)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep dan Karakteristik Kebijakan

Efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian dicapainya

keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas

disebut juga hasil guna. Efektivitas selalu terkait dengan hubungan antara

hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya dicapai. Menurut

Gedeian (1991:61) mendefinisikan efektivitas adalah That is, the greater the

extent it which an organization`s goals are met or surpassed, the greater its

effectiveness (Semakin besar pencapaian tujuan-tujuan organisasi semakin

besar efektivitas).

Berdasarkan pendapat di atas, bahwa apabila pencapaian tujuan-tujuan

daripada organisasi semakin besar, maka semakin besar pula efektivitasnya.

Pengertian tersebut dapat disimpulkan adanya pencapaian tujuan yang besar

dari pada organisasi, maka makin besar pula hasil yang akan dicapai dari

tujuan-tujuan tersebut. Menurut Dunn (2003:429) menyatakan bahwa:

Efektivitas (effectiveness) berkenaan dengan apakah suatu alternative

mencapai hasil (akibat) yang diharapkan, atau mencapai tujuan dari

diadakannya tindakan. Yang secara dekat berhubungan dengan rasionalitas

(31)

Apabila setelah pelaksanaan kegiatan kebijakan publik ternyata dampaknya

tidak mampu memecahkan permasalahan yang tengah dihadapi masyarakat,

maka dapat dikatakan bahwa suatu kegiatan kebijakan tersebut telah gagal,

tetapi adakalanya suatu kebijakan publik hasilnya tidak langsung efektif

dalam jangka pendek, akan tetapi setelah melalui proses tertentu. Menurut

Mahmudi (2005:92) mendefinisikan efektivitas merupakan hubungan antara

output dengan tujuan, semakin besar kontribusi (sumbangan) output terhadap

pencapaian tujuan, maka semakin efektif organisasi, program atau kegiatan”.

Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa dalam melihat

efektivitas diharuskan adanya suatu perbandingan antara masukan dan

keluaran. Untuk melihat efektivitas mesti adanya tingkat kepuasan dan

adanya penciptaan hubungan kerja yang kondusif serta intensitas yang tinggi.

Artinya dalam melihat efektivitas adalah adanya keadaan rasa saling memiliki

dengan tingkatan yang tinggi.

William N. Dunn (2003:430) menyebutkan beberapa variabel-variabel yang

dapat dijadikan alat untuk melihat efektivitas kebijakan dengan

menggabungkan macam-macam model tersebut, yaitu:

1. Efisiensi

Efektivitas dan efisiensi sangatlah berhubungan. Apabila kita berbicara

tentang efisiensi bilamana kita membayangkan hal penggunaan sumber

daya (resources) kita secara optimum untuk mencapai suatu tujuan

tertentu. Maksudnya adalah efisiensi akan terjadi jika penggunaan sumber

(32)

Adapun menurut Dunn berpendapat bahwa:

“Efisiensi (efficiency) berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk menghasilkan tingkat efektivitas tertentu. Efisiensi yang merupakan sinonim dari rasionalitas ekonomi, adalah merupakan hubungan antara efektivitas dan usaha, yang terakhir umumnya diukur dari ongkos moneter. Efisiensi biasanya ditentukan melalui perhitungan biaya per unit produk atau layanan. Kebijakan yang mencapai efektivitas tertinggi dengan biaya terkecil dinamakan efisien”.

Apabila sasaran yang ingin dicapai oleh suatu kebijakan publik ternyata

sangat sederhana sedangkan biaya yang dikeluarkan melalui proses

kebijakan terlampau besar dibandingkan dengan hasil yang dicapai. Ini

berarti kegiatan kebijakan telah melakukan pemborosan dan tidak layak

untuk dilaksanakan.

2. Kecukupan

Kecukupan dalam kebijakan publik dapat dikatakan tujuan yang telah

dicapai sudah dirasakan mencukupi dalam berbagai hal. Dunn

mengemukakan bahwa kecukupan (adequacy) berkenaan dengan seberapa

jauh suatu tingkat efektivitas memuaskan kebutuhan, nilai, atau

kesempatan yang menumbuhkan adanya masalah. Dari pengertian di atas

dapat disimpulkan bahwa kecukupan masih berhubungan dengan

efektivitas dengan melihat atau memprediksi seberapa jauh alternatif yang

ada dapat memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan dalam

menyelesaikan masalah yang terjadi.

Hal ini, dalam kriteria kecukupan menekankan pada kuatnya hubungan

antara alternatif kebijakan dan hasil yang diharapkan. Kriteria tersebut

(33)

1) Masalah Tipe I. Masalah dalam tipe ini meliputi biaya tetap dan efektivitas yang berubah dari kebijakan. Jadi, tujuannya adalah memaksimalkan efektivitas pada batas risorsis yang tersedia.

2) Masalah Tipe II. Masalah pada tipe ini menyangkut efektivitas yang sama dan biaya yang berubah dari kebijakan. Jadi, tujuannya adalah untuk meminimalkan biaya.

3) Masalah Tipe III. Masalah pada tipe ini menyangkut biaya dan efektivitas yang berubah dari kebijakan.

4) Masalah Tipe IV. Masalah pada tipe ini mengandung biaya sama dan juga efektivitas tetap dari kebijakan. Masalah ini dapat dikatakan sulit dipecahkan karena satu-satunya alternatif kebijakan yang tersedia barangkali adalah tidak melakukan sesuatu pun.

Tipe-tipe masalah di atas merupakan suatu masalah yang terjadi dari suatu

kebijakan sehingga dapat disimpulkan masalah tersebut termasuk pada

salah satu tipe masalah tersebut. Hal ini berarti bahwa sebelum suatu

produk kebijakan disahkan dan dilaksanakan harus ada analisis kesesuaian

metode yang akan dilaksanakan dengan sasaran yang akan dicapai, apakah

caranya sudah benar atau menyalahi aturan atau teknis pelaksanaannya

yang benar.

3. Perataan

Perataan dalam kebijakan publik dapat dikatakan mempunyai arti dengan

keadilan yang diberikan dan diperoleh sasaran kebijakan publik. Dunn

menyatakan bahwa kriteria kesamaan (equity) erat berhubungan dengan

rasionalitas legal dan sosial dan menunjuk pada distribusi akibat dan usaha

antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat. Kebijakan

yang berorientasi pada perataan adalah kebijakan yang akibatnya atau

(34)

efektif, efisien, dan mencukupi apabila biaya-manfaat merata. Kunci dari

perataan yaitu keadilan atau kewajaran.

Seberapa jauh suatu kebijakan dapat memaksimalkan kesejahteraan sosial

dapat dicari melalui beberapa cara, yaitu:

1. Memaksimalkan kesejahteraan individu. Analis dapat berusaha untuk memaksimalkan kesejahteraan individu secara simultan. Hal ini menuntut agar peringkat preferensi transitif tunggal dikonstruksikan berdasarkan nilai semua individu.

2. Melindungi kesejahteraan minimum. Di sini analis mengupayakan peningkatan kesejahteraan sebagian orang dan pada saat yang sama melindungi posisi orang-orang yang dirugikan (worst off). Pendekatan ini didasarkan pada kriteria Pareto yang menyatakan bahwa suatu keadaan sosial dikatakan lebih baik dari yang lainnya jika paling tidak ada satu orang yang diuntungkan dan tidak ada satu orangpun yang dirugikan. Pareto ortimum adalah suatu keadaan sosial dimana tidak mungkin membuat satu orang diuntungkan (better off) tanpa membuat yang lain dirugikan (worse off).

3. Memaksimalkan kesejahteraan bersih. Di sini analisis berusaha meningkatkan kesejahteraan bersih tetapi mengasumsikan bahwa perolehan yang dihasilkan dapat digunakan untuk mengganti bagian yang hilang. Pendekatan ini didasarkan pada kriteria Kaldor-Hicks: Suatu keadaan sosial lebih baik dari yang lainnya jika terdapat perolehan bersih dalam efisiensi dan jika mereka yang memperoleh dapat menggantikan mereka yang kehilangan. Untuk tujuan praktis kriteria yang tidak mensyaratkan bahwa yang kehilangan secara nyata memperoleh kompensasi ini, mengabaikan isu perataan.

4. Memaksimalkan kesejahteraan redistributif. Di sini analis berusaha memaksimalkan manfaat redistributif untuk kelompok-kelompok yang terpilih, misalnya mereka yang secara rasial tertekan, miskin atau sakit. Salah satu kriteria redistributif dirumuskan oleh filosof John Rawls: Suatu situasi sosial dikatakan lebih baik dari lainnya jika menghasilkan pencapaian kesejahteraan anggota-anggota masyarakat yang dirugikan (worst off).

Formulasi dari Rawls (1971: 58-60) berupaya menyediakan landasan

terhadap konsep keadilan, tapi kelemahannya adalah pengabaian pada

(35)

politis cara-cara tersebut tidak dapat menggantikan proses politik, berarti

cara-cara di atas tidak dapat dijadikan patokan untuk penilaian dalam

kriteria perataan. Berikut menurut Dunn yaitu:

“Pertanyaan menyangkut perataan, kewajaran, dan keadilan bersifat politis; dimana pilihan tersebut dipengaruhi oleh proses distribusi dan legitimasi kekuasaan dalam masyarakat. Walaupun teori ekonomi dan filsafat moral dapat memperbaiki kapasitas kita untuk menilai secara kritis kriteria kesamaan, kriteria-kriteria tersebut tidak dapat menggantikan proses politik”.

Pelaksanaan kebijakan haruslah bersifat adil dalam arti semua sektor dan

dari segi lapisan masyarakat harus sama-sama dapat menikmati hasil

kebijakan. Karena pelayanan publik merupakan pelayanan dari birokrasi

untuk masyarakat dalam memenuhi kegiatan masyarakat baik secara

langsung maupun tidak langsung. Pelayanan publik sendiri menghasilkan

jasa publik.

4. Responsivitas

Responsivitas dalam kebijakan publik dapat diartikan sebagai respon dari

suatu aktivitas. Yang berarti tanggapan sasaran kebijakan publik atas

penerapan suatu kebijakan. Menurut Dunn menyatakan bahwa

responsivitas (responsiveness) berkenaan dengan seberapa jauh suatu

kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, preferensi, atau nilai

kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Suatu keberhasilan kebijakan dapat dilihat

melalui tanggapan masyarakat yang menanggapi pelaksanaan setelah

terlebih dahulu memprediksi pengaruh yang akan terjadi jika suatu

(36)

kebijakan sudah mulai dapat dirasakan dalam bentuk yang positif berupa

dukungan ataupun wujud yang negatif berupa penolakan.

Dunn (2003:437) mengemukakan bahwa kriteria responsivitas adalah

penting karena analisis yang dapat memuaskan semua kriteria lainnya

(efektivitas, efisiensi, kecukupan, kesamaan) masih gagal jika belum

menanggapi kebutuhan aktual dari kelompok yang semestinya

diuntungkan dari adanya suatu kebijakan.

Oleh karena itu, kriteria responsivitas cerminan nyata kebutuhan,

preferensi, dan nilai dari kelompok-kelompok tertentu terhadap kriteria

efektivitas, efisiensi, kecukupan, dan kesamaan.

5. Ketepatan

Ketepatan merujuk pada nilai atau harga dari tujuan program dan pada

kuatnya asumsi yang melandasi tujuan-tujuan tersebut. Dunn menyatakan

bahwa kelayakan (Appropriateness) adalah:

“Kriteria yang dipakai untuk menseleksi sejumlah alternatif untuk dijadikan rekomendasi dengan menilai apakah hasil dari alternatif yang direkomendasikan tersebut merupakan pilihan tujuan yang layak. Kriteria kelayakan dihubungkan dengan rasionalitas substantif, karena kriteria ini menyangkut substansi tujuan bukan cara atau instrumen untuk merealisasikan tujuan tersebut”.

Artinya ketepatan dapat diisi oleh indikator keberhasilan kebijakan lainnya

(bila ada). Misalnya dampak lain yang tidak mampu diprediksi

sebelumnya baik dampak tak terduga secara positif maupun negatif atau

(37)

pelaksanaan kebijakan sehingga kebijakan bisa lebih dapat bergerak secara

lebih dinamis.

Variabel-variabel demikian ini telah diidentifikasi dengan berbagai

alternatif yaitu sebagai alat untuk melihat efektivitas itu sendiri dan

sebagai variabel yang memperlancar atau membantu memperbesar

kemungkinan tercapainya efektivitas.

Berkaitan dengan pengertian efektivitas yang penulis uraikan di atas, maka

efektivitas yang penulis teliti yaitu bagaimana tingkat efektivitas yang

telah ditentukan dan direncanakan dapat berjalan dengan baik atau bahkan

sebaliknya, yaitu tidak sesuai dengan perencanaan awal. Penulis akan

melihat seberapa besar efektivitas kebijakan sistem outsourcing (studi

kasus di PT CentralPertiwi Bahari).

B. Tinjauan Tentang Kebijakan 1. Konsep Kebijakan

Kebijakan-kebijakan secara umum diartikan sebagai kearifan dalam hal

pengelolaan. Dengan ilmu-ilmu sosial, kebijakan diartikan sebagai

dasar-dasar haluan untuk menentukan langkah-langkah atau tindakan-tindakan

dalam mencapai suatu tujuan (Ensiklopedia Nasional Indonesia jilid 8,

1990). Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahwa kebijakan itu

diartikan sebagai pedoman untuk bertindak, pedoman itu boleh jadi amat

sederhana atau kompleks bersifat umum atau terperinci, bersifat kualitatif

(38)

mungkin berupa suatu deklarasi mengenai suatu pedoman bertindak,

suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktivitas-aktivitas

tertentu atau suatu rencana tertentu (Wahab, 1997:2).

Richard Rose dalam Winarno (2002: 14) menyarankan bahwa kebijakan

hendaknya dipahami sebagai serangkaian kegiatan yang sedikit banyak

berhubungan beserta konsekuensi-konsekuensinya bagi mereka yang

bersangkutan dan sebagai suatu keputusan sendiri. Seorang pakar Ilmu

Politik lain, Carl Friedrich dalam Winarno (2002: 16) memandang

kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang

kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, yang

memberikan hambatan-hambatan dan kesempatan terhadap kebijakan

yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka

mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu

maksud tertentu.

Definisi yang amat luas seperti yang dikutip oleh Jones dalam Wahab

(1997 :4) yang menyatakan bahwa kebijakan antara hubungan diantara

unit pemerintahan tertentu dengan lingkungannya. Sedangkan menurut

Thomas R. Dye dan Wahab (2002: 15) menyatakan bahwa kebijakan

pemerintah adalah apapun juga yang dipilih oleh pemerintah atau tidak

mengerjakan sama sekali (mendiamkan) sesuatu itu.

Pada dasarnya kebijakan (policy) yang diambil pemerintah

mencerminkan keputusan mengenai apa yang akan dilakukan dan atau

(39)

Wujud konkrit dari kebijakan adalah keluaran berupa program yang

bersifat lebih operasional. Kebijakan merupakan suatu usaha

pengambilan keputusan yang pada dasarnya merupakan kegiatan untuk

mendapat informasi, mengolahnya dan akhirnya membuat keputusan

yang dianggap terbaik melalui program-program yang ditawarkan.

Sedangkan James E. Anderson seperti yang dikutip oleh Islamy (1992:

19) menyatakan bahwa kebijakan pemerintah atau kebijakan adalah

kebijakan yang dilambangkan oleh badan-badan dan pejabat pemerintah.

Dan implikasi-implikasi dari pengertian tersebut di atas adalah:

1. Bahwa kebijakan itu selalu mempunyai tujuan tertentu yang

merupakan tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan.

2. Bahwa kebijakan itu berisikan tindakan-tindakan atau pola-pola

tindakan pejabat pemerintah.

3. Bahwa kebijakan itu merupakan apa yang benar-benar dilakukan

oleh pemerintah atau instansi, jadi bukan merupakan apa yang

benar-benar dilakukan oleh pemerintah.

4. Bahwa kebijakan pemerintah itu bersifat positif dalam arti

merupakan beberapa bentuk tindakan pemerintah suatu masalah

tertentu bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pejabat

pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu.

5. Bahwa kebijakan setidaknya dalam arti yang positif didasarkan

selalu dilandaskan pada peraturan-peraturan perundang-undangan

(40)

Lebih lanjut lagi menurut Islamy (1992: 21) di dalam kajian bidang

administrasi negara menyatakan bahwa kebijakan sebagai susunan

rancangan tujuan-tujuan dan dasar-dasar pertimbangan program-program

pemerintah apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak

dilakukan yang berhubungan dengan masalah-masalah tertentu yang

dihadapi masyarakat.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka penulis menarik kesimpulan

bahwa kebijakan adalah suatu pedoman dalam berperilaku atau bertindak

yang dilakukan oleh sejumlah aktor atau pejabat dalam lingkungan

tertentu, perkara tertentu yang mempunyai hambatan dan kesempatan

terhadap pelaksanaan usulan untuk mencapai tujuan atau sasaran tertentu.

Tujuan-tujuan penting kebijakan pemerintah adalah:

1. Memelihara ketertiban umum.

2. Memajukan perkembangan dari masyarakat dalam berbagai hal.

3. Memadukan berbagai aktivitas (koordinator).

4. Menunjuk dan membagi berbagai benda material dan non material.

Dengan demikian penulis menyimpulkan, kebijakan pemerintah dalam

penelitian ini adalah serangkaian keputusan yang diambil oleh seorang

atau sekelompok aktor atau pejabat pemerintah untuk mengedakan

sesuatu dengan tujuan dapat meningkatkan kualitas dan dampak-dampak

(41)

2. Ciri-Ciri Kebijakan

David Easton dalam Wahab (1997: 6) mengemukakan bahwa ciri-ciri

khusus kebijakan pemerintah bersumber pada kenyataan bahwa

kebijakan itu dirumuskan oleh apa yang beliau sebut sebagai orang-orang

yang memiliki wewenang dalam sistem politik. Dari penjelasan Easton di

atas membawa implikasi tertentu terhadap konsep kebijakan, yakni:

1. Kebijakan lebih merupakan tindakan yang mengarah pada tujuan

daripada sebagai prilaku atau tindakan yang serba acak dan

kebetulan.

2. Kebijakan pada hakikatnya terdiri atas, tindakan-tindakan yang

saling terkait dan yang mengarah pada tujuan tertentu yang

dilakukan oleh pejabat-pejabat.

3. Kebijakan bersangkut paut dengan apa yang senyatanya dilakukan

pemerintah dalam bidang-bidang tertentu.

4. Kebijakan pemerintah mungkin berbentuk positif, mungkin pula

negatif. Dalam bentuk yang positif, kebijakan mungkin akan

mencakup beberapa bentuk tindakan yang dimaksudkan untuk

mempengaruhi masalah tertentu. Sementara dalam bentuk yang

negatif, kemungkinan meliputi keputusan pejabat pemerintah untuk

tidak bertindak atau tidak melakukan tindakan apapun dalam

masalah-masalah dimana campur tangan pemerintah justru

diperlukan.

(42)

1. Pihak yang kepentingannya dipengaruhi

2. Jenis manfaat yang bisa dipengaruhi

3. Jangkauan perubahan yang ditetapkan

4. Letak pengambilan keputusan pelaksana-pelaksana program

5. Sumber-sumber yang dapat disediakan.

Berdasarkan poin-poin tersebut maka ciri dari kebijakan adalah kebijakan

dihadirkan dalam rangka mewujudkan sebuah tujuan baik yang

berbentuk positif maupun negatif yang hakikatnya terdiri atas beberapa

tindakan yang sating berkaitan satu sama lain dan dilaksanakan oleh

pemerintah dalam bidang-bidang tertentu.

C. Evaluasi Kebijakan

1. Konsep Tentang Evaluasi Kebijakan

Pada dasarnya, kebijakan publik dijalankan dengan maksud tertentu,

untuk meraih tujuan-tujuan tertentu yang berangkat dari masalah-masalah

yang telah dirumuskan sebelumnya. Evaluasi dilakukan karena tidak

semua program kebijakan publik meraih hasil yang diinginkan.

Seringkali terjadi, kebijakan publik gagal meraih maksud atau tujuan

yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan demikian, evaluasi kebijakan

ditujukan untuk melihat sebab-sebab kegagalan suatu kebijakan atau

untuk mengetahui apakah kebijakan publik yang telah dijalankan meraih

dampak yang diinginkan. Dalam bahasa yang lebih singkat evaluasi

adalah kegiatan yang bertujuan untuk menilai “manfaat” suatu kebijakan

(43)

Menurut uraian diatas dapat disimpulkan secara umum evaluasi

kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi

atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan

dampak. Dalam hal ini, evaluasi kebijakan dipandang sebagai suatu

kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan

pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses

kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap

perumusan masalah-masalah kebijakan, program-program yang

diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi,

maupun tahap dampak kebijakan.

2. Tujuan Evaluasi Kebijakan

Menurut Subarsono (2012: 120) evaluasi memiliki beberapa tujuan yang

dapat dirinci sebagai berikut :

1. Menentukan tingkat kinerja suatu kebijakan. Melalui evaluasi maka dapat diketahui derajad pencapaian tujuan dan sasaran kebijakan.

2. Mengukur tingkat efisiensi suatu kebijakan. Dengan evaluasi juga dapat diketahui berapa biaya dan manfaat dari suatu kebijakan.

3. Mengukur tingkat keluaran (outcome) suatu kebijakan. Salah satu tujuan evaluasi adalah mengukur berapa besar dan kualitas pengeluaran atau output dari suatu kebijakan.

4. Mengukur dampak suatu kebijakan. Pada tahap lebih lanjut, evaluasi ditunjukan untuk melihat dampak dari suatu kebijakan, baik dampak positif maupun negatif.

(44)

6. Sebagai bahan masukan (input) untuk kebijakan yang akan datang. Tujuan akhir dari evaluasi adalah untuk memberikan masukan bagi proses kebijakan ke depan agar dihasilkan kebijakan yang lebih baik.

Dari pemaparan di atas, dengan kata lain tujuan evaluasi kebijakan dapat

di simpulkan menjadi sesuatu untuk memberikan sasaran kebijakan

dengan dapat mengukur besar kecilnya kebijakan yang terjadi di

lapangan.

3. Tahapan Dalam Evaluasi Kebijakan

Winarno (2012: 223) evaluasi dengan menggunakan tipe sistematis atau

juga sering disebut sebagia evaaluasi ilmiah merupakan evaluasi yang

mempunyai kemampuan lebih baik untuk menjalankan evaluasi

kebijakan dibandingkan dengan tipe evaluasi yang lain. Menyangkut

evaluasi kebijakan dalam pandangan Jones, didorong oleh

persyaratan-persyaratan legal untuk evaluasi program dan pembiayaan untuk

melakukan kerja, saat ini riset evaluasi telah berkembang menjadi usaha

yang signifikan. Untuk melakukan evaluasi yang baik dengan margin

kesalahan yang minimal beberapa ahli menegmbangkan langkah-langkah

dalam evaluasi kebijakan. Salah satu ahli tersebut Edward A. Suchman

dalam Winarno (2012: 223).

Suchman mengmukakan enam langkah dalam evaluasi kebijakan, yakni:

1. Mengidentifikasi tujuan program yang akan dievaluasi 2. Analisis terhadap masalah

3. Deskripsi dan standarisasi kegiatan

(45)

5. Menentukan apakah perubahan yang diamati merupakan akibat dari kegiatan tersebut atau karena penyebab yang lain

6. Beberapa indikator untuk menentukan keberadaan suatu dampak

Langkah dalam evaluasi kebijakan ini dimaksud untuk mengukur tingkah

laku seseorang sebagai alat untuk menyesuaikan diri terhadap suatu

kebijakan yang terjadi dilapangan.

D. Hubungan Kerja

Menurut Sutedi (2009: 45) Hubungan kerja adalah hubungan antara

pengusaha dengan pekerja atau buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang

mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Dalam Pasal 50

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa

hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha clan

pekerja/buruh. Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan.

Jadi, hubungan kerja adalah hubungan (hukum) antara pengusaha dengan

pekerja atau buruh (karyawan) berdasarkan perjanjian kerja. Dengan

demikian, hubungan kerja tersebut adalah sesuatu yang abstrak, sedangkan

perjanjian kerja adalah sesuatu yang konkret atau nyata. Dengan adanya

perjanjian kerja, akan ada ikatan antara pengusaha dan pekerja. Dengan

perkataan lain, ikatan karena adanya perjanjian kerja inilah yang merupakan

hubungan kerja.

Menurut Sutedi (2009: 45) Perjanjian kerja adalah perjanjian yang dibuat

antara pekerja atau buruh (karyawan) dengan pengusaha atau pemberi kerja

(46)

angka (14) Undang-Undang Ketenagakerjaan). Perjanjian kerja dapat dibuat

secara lisan (Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan).

Syarat sahnya perjanjian kerja menurut Sutedi (2009: 45) mengacu pada

syarat sahnya perjanjian perdata pada umumnya, adalah sebagai berikut:

a. Adanya kesepakatan antara para pihak (tidak ada dwang-paksaan,

dwaling-penyesatan atau kekhilafan atau bedrog-penipuan).

b. Pihak-pihak yang bersangkutan mempunyai kemampuan atau kecakapan

untuk (bertindak) melakukan perbuatan hukum (cakap usia dan tidak di

bawah perwalian atau pengampuan).

c. Ada (objek) pekerjaan yang diperjanjikan, dan

d. (Causa) pekerjaan yang diperjanjikan tersebut tidak bertentangan dengan

ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang

berlaku (Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan).

Berdasarkan uraian diatas disimpulkan apabila perjanjian kerja yang dibuat

oleh pihak-pihak tidak memenuhi dua syarat awal sahnya (perjanjian kerja)

sebagaimana tersebut, yakni tidak ada kesepakatan dan ada pihak yang tidak

cakap untuk bertindak maka perjanjian kerja dapat dibatalkan. Sebaliknya

apabila perjanjian kerja dibuat tidak memenuhi dua syarat terakhir sahnya

(perjanjian kerja), yakni objek (pekerjaannya) tidak jelas dan causa-nya tidak

(47)

E. Sistem Outsourcing

1. Definisi Sistem Outsourcing

Sutedi (2009: 217) mendefinisikan outsourcing sebagai suatu bentuk

strategi sumber daya manusia (human resources strategty) perusahaan.

Perusahaan dalam memenuhi kebutuhan sumber daya manusia

perusahaan, perusahaan menggunakan dua jenis tenaga kerja yaitu:

tenaga kerja tetap (tenaga kerja yang berasal dari dalam perusahaan) dan

outsource (tenaga kerja yang berasal dari luar perusahaan atau tenaga

kerja kontrak). Tenaga kerja tetap berfungsi sebagai sumber daya

manusia inti perusahaan sedangkan outsource berfungsi sebagai sumber

daya manusia pelengkap yang jumlah dan waktu penggunaannya

disesuaikan dengan kondisi yang sedang dihadapi perusahaan.

Outsourcing, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai ”alih daya”.

Outsourcing merupakan pengalihan sebagian atau seluruh pekerjaan atau

wewenang kepada pihak lain guna mendukung strategi pemakai jasa

outsourcing baik pribadi, perusahaan, divisi ataupun sebuah unit dalam

perusahaan. Jadi pengertian outsourcing untuk setiap pemakai jasanya

akan berbeda-beda. Semua tergantung dari strategi masing-masing

pemakai jasa outsourcing.

Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas, terdapat persamaan

dalam memandang outsourcing (alih daya) yaitu terdapat penyerahan

sebagian kegiatan perusahaan kepada pihak lain. Outsource SDM adalah

(48)

konteks ini, maka sudah selayaknya perusahaan outsourcing memiliki

kemampuan di bidang pengelolaan administrasi SDM secara memadai.

Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah kemampuan perusahaan

outsourcing untuk melakukan rekruitmen. Bisa dikatakan perusahaan

outsourcing jenis ini seolah-olah menjadi perpanjangan dari departemen

HRD perusahaan induk.

2. Penyediaan Tenaga Kerja Dengan Sistem Outsourcing

Sutedi (2009: 217) Kecenderungan beberapa perusahaan untuk

mempekerjakan karyawan dengan sistem outsourcing pada saat ini,

umumnya dilatarbelakangi oleh strategi perusahaan untuk melakukan

efisiensi biaya produksi (cost of production). Dengan menggunakan

sistem outsourcing ini, pihak perusahaan berusaha untuk menghemat

pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia (SDM) yang

bekerja di perusahaan yang bersangkutan.

Berdasarkan hukum ketenagakerjaan, istilah outsourcing sebenarnya

bersumber dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 64 Undang-Undang

No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menyatakan :

(49)

Syarat-syarat wajib yang dipenuhi oleh perusahaan penyedia jasa pekerja

maupun perusahaan pemberi kerja, agar pekerja atau buruh yang

bersangkutan tetap terlindungi hak-haknya dan tidak mengalami

eksploitasi secara berlebihan. Syarat-syarat yang wajib dipenuhi menurut

Sutedi (2009: 218) adalah sebagai berikut:

1. Perusahaan penyedia jasa pekerja merupakan bentuk usaha berbadan hukum, dan memiliki izin dari instansi yang berwenang.

2. Pekerja atau karyawan yang ditempatkan tidak boleh digunakan untuk melaksanakan kegiatan pokok yang berhubungan langsung dengan proses produksi.

3. Adanya hubungan kerja yang jelas antara pekerja atau buruh dengan perusahaan penyedia jasa pekerja, sehingga pekerja yang ditempatkan tersebut mendapatkan perlindungan kerja yang optimal sesuai standar minimum ketenagakerjaan.

4. Hubungan kerja harus dituangkan dalam perjanjian secara tertulis (dua perjanjian sebagaimana yang telah disebutkan di atas), yang memuat seluruh hak dan kewajiban para pihak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.

Penyedian tenaga kerja dengan sasaran outsourcing yang dimaksud

dalam pengelolaan diatas yaitu adanya perusahaan yang menyediakan

buruh-buruh harian dengan status hubungan kontrak. Setelah itu dapat

disalurkan kepada perusahaan-perusahaan swasta yang membutuhkan

pekerja dalam penempatan penunjang.

3. Pelaksanaan Outsourcing

Sutedi (2009: 219) perkembangan ekonomi global dan kemajuan

teknologi yang demikian cepat membawa dampak timbulnya persaingan

(50)

kompetitif ini menuntut dunia usaha untuk menyesuaikan dengan

tuntutan pasar yang memerlukan respons yang cepat dan fleksibel dalam

meningkatkan pelayanan terhadap pelanggan. Untuk itu diperlukan suatu

perubahan struktural dalam pengelolaan usaha dengan memperkecil

rentang kendali manajemen, dengan memangkas sedemikian rupa

sehingga dapat menjadi lebih efektif, efisien, dan produktif. Dalam kaitan

itulah dapat dimengerti bahwa kalau kemudian muncul kecenderungan

outsourcing, yaitu memborongkan satu bagian atau beberapa bagian

kegiatan perusahaan yang tadinya dikelola sendiri kepada perusahaan

lain yang kemudian disebut perusahaan penerima pekerjaan.

Menurut Sutedi (2009: 220) praktik outsourcing dalam Undang-Undang

No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut dapat dilaksanakan

dengan persyaratan yang sangat ketat sebagai berikut:

1. Perjanjian pemborongan pekerjaan dibuat secara tertulis.

2. Bagian pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penerima pekerjaan, diharuskan memenuhi syarat-syarat:

a) apabila bagian pekerjaan yang tersebut dapat dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama,

b) bagian pekerjaan itu merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan sehingga kalau dikerjakan pihak lain tidak akan menghambat proses produksi secara langsung, dan

c) dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan.

Dapat disimpulkan semua persyaratan di atas, bersifat kumulatif sehingga

apabila salah satu syarat tidak terpenuhi, maka bagian pekerjaan tersebut

tidak dapat dioutsourcing-kan. Perusahaan penerima pekerjaan harus

(51)

penerima pekerjaan yang tidak bertanggung jawab dalam memenuhi

kewajiban terhadap hak-hak pekerja/ buruh sebagaimana mestinya

sehingga pekerja/buruh menjadi terlantar. Oleh karena itu, berbadan

hukum menjadi sangat penting agar tidak bisa menghindar dari tanggung

jawab. Dalam hal perusahaan penerima pekerjaan, demi hukum beralih

kepada perusahaan pemberi pekerjaan.

4. Penyerahan Sebagai Pekerjaan Outsourcing

Sutedi (2009: 223) Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan, memberikan peluang kepada perusahaan untuk dapat

menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan di dalam perusahaan

kepada perusahaan lainnya melalui:

1. pemborongan pekerjaan, atau

2. perusahaan penyediaan jasa pekerja (PPJP).

Dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,

kedua bentuk kegiatan dimaksud dapat dilakukan dengan syarat-syarat

tertentu. Syarat-syarat dimaksud antara lain ditentukannya dengan wajib

dilaksanakan melalui perjanjian yang dibuat secara tertulis. Adapun

perusahaan penerima pekerjaan tersebut harus berbentuk badan hukum.

Untuk perusahaan penyediaan jasa pekerja, dipersyaratkan pula selain

harus berbadan hukum, juga terdaftar pada instansi ketenagakerjaan,

(52)

1. Pemborongan Pekerjaan

Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan

kepada perusahaan lain melalui pemborongan pekerjaan. Perjanjian

pemborongan pekerjaan dapat dilakukan dengan perusahaan yang

berbadan hukum, dengan syarat-syarat sebagai berikut:

a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama,

b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari

pemberi pekerjaan,

c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan, dan

d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.

Hal yang perlu diperhatikan dalam kegiatan adalah adanya ketentuan

bahwa perlindungan dan syarat-syarat kerja bagi pekerja yang bekerja

pada perusahaan penerima kerja, sekurang-kurangnya sama dengan

perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi

pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

2. Penyedia Jasa

Pengusaha yang memasok penyediaan tenaga kerja kepada perusahaan

pemberi kerja untuk melakukan pekerjaan di bawah perintah langsung

dari perusahaan pemberi kerja, disebut perusahaan penyedia jasa

pekerja. Perusahaan penyedia jasa pekerja wajib berbadan hukum dan

(53)

Perusahaan penyedia jasa pekerja untuk kegiatan jasa penunjang atau

kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi

dipersyaratkan:

a. adanya hubungan kerja antara pekerja atau buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja

b. perjanjian kerja dapat berupa perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak

c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja

d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja dan perusahaan penyedia jasa pekerja, dibuat secara tertulis sesuai ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Dari kesimpulan di atas suatu perusahaan penyedia jasa pekerja yang

memperoleh pekerjaan, dari perusahaan pemberi pekerjaan kedua belah

pihak wajib membuat perjanjian tertulis yang sekurang-kurang memuat:

a. jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja

b. penegasan bahwa dalam melaksanakan pekerjaan, hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan pekerja yang dipekerjakan perusahaan penyedia jasa pekerja, sehingga perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja

(54)

F. Kerangka Pikir

Pada dasarnya kebijakan (policy) yang diambil pemerintah mencerminkan

keputusan mengenai apa yang akan dilakukan dan atau tidak dilakukan

berkenaan dengan kepentingan umum (public interest). Kebijakan merupakan

suatu usaha pengambilan keputusan yang pada dasarnya merupakan kegiatan

untuk mendapat informasi, mengolahnya dan akhirnya membuat keputusan

yang dianggap terbaik melalui program-program yang ditawarkan.

Efektivitas kebijakan yang dikembangkan oleh William N. Dunn (2003: 430)

terdapat lima indikator efektivitas kebijakan, yakni 1. Efisiensi, 2.

Kecukupan, 3. Perataan, 4. Responsivitas, 5. Ketepatan, Efisiensi akan

terlaksana jika penggunaan sumber daya dalam pelaksanaan kegiatan

perusahaan diberdayakan secara optimum sehingga suatu tujuan akan

tercapai.

Kecukupan, dengan melihat atau memprediksi seberapa jauh alternatif yang

ada dapat memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan dalam menyelesaikan

masalah yang terjadi.

Perataan, Perataan atau adil haruslah bersifat merata dalam arti semua sektor

dan dari segi lapisan masyarakat harus sama-sama dapat menikmati hasil

kebijakan.

Responsivitas, respon dari suatu aktivitas dalam sebuah kebijakan publik.

Yang berarti tanggapan sasaran kebijakan publik atas penerapan suatu

(55)

Ketepatan, ketepatan merujuk pada nilai atau harga dari tujuan program dan

pada kuatnya asumsi yang melandasi tujuan-tujuan tersebut. Kriteria

kelayakan dihubungkan dengan rasionalitas substantif, karen kriteria ini

menyangkut substansi tujuan bukan cara atau instrumen untuk merealisasikan

tujuan tersebut.

Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa dalam melihat suatu kegiatan

itu efektif atau tidak efektif maka diperlukan indikator atau alat untuk

menganalisis efektivitas. Hal ini juga berlaku dalam melihat efektivitas dalam

kebijakan sistem outsourcing terhadap buruh di PT Centralpertiwi Bahari.

PT Centralpertiwi Bahari Kabupaten Lampung Selatan merupakan salah satu

dari beberapa perusahaan yang menggunakan buruh sistem outsourcing.

Tuntutan tersebut dijawab dengan munculnya kebijakan dan program kerja

yang ada pada PT Centralpertiwi Bahari Kabupaten Lampung Selatan

(56)

Berdasarkan uraian tersebut agar lebih jelasnya dapat dilihat dalam bagan

kerangka pikir di bawah ini :

Gambar 1. Kerangka Pikir

Kebijakan Sistem Alih daya Outsourcing (Studi Kasus di PT Centralpertiwi Bahari)

Tujuan PT Centralpertiwi Bahari menggunakan kebijakan sistem outsourcing

1. Fokus pada kompetensi jalur bisnis utama

2. Penghematan dan pengendalian biaya operasional 3. Memanfaatkan kompetensi vendor outsourcing 4. Perusahaan menjadi lebih ramping dan gesit

dalam merespon pasar 5. Mengurangi resiko

6. Meningkatkan efisiensi dan perbaikan pada pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya non-core business

Teori Efektivitas Kebijakan (William N. Dunn)

(57)

III. METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif, karena penelitian ini

mengelola dan menggambarkan data serta informasi berdasarkan fakta-fakta

yang tampak untuk kemudian dianalisis lebih lanjut. Metode ini tidak terbatas

sampai pada pengumpulan data, tetapi meliputi juga analisis. Penyampaian

data dan informasi digambarkan dalam bentuk tampilan kalimat yang lebih

bermakna dan mudah dipahami.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisa mengenai

Efektivitas Kebijakan Sistem Alih Daya Outsourcing (Studi Kasus di PT

Centralpertiwi Bahari), maka tipe penelitian ini adalah penelitian deskriptif

yang didasarkan pada kualitatif. Penelitian deskriptif yang bertujuan untuk

memberikan gambaran secara jelas dan mendeskripsikan secara terperinci

tentang interaksi yang terjadi antara sistem kebijakan perusahaan dengan

buruh dalam Efektivitas Kebijakan Sistem Alih Daya Outsourcing (Studi

Kasus di PT Centralpertiwi Bahari). Data atau informasinya berbentuk gejala

yang sedang berlangsung, serta standar (tolak ukur) dalam mengungkapkan

kebenarannya adalah kondisi idealnya dan bukan menggunakan angka atau

Gambar

Gambar 2. Komponen-komponen analisis data, model interaktif dari Matthew B. Milis dan A

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian yang dilakukan di pedagang kaki lima kebersihan diri penjamah makanan kebersihan diri (100%), 9 responden yang mengatakan tidak menggunakan

Diduga penerapan metode permainan kipas geometri dalam proses pembelajaran dapat meningkatkan kemampuan kognitif dalam mengenal bentuk-bentuk geometri. Kondisi

penelitian ini perawat kamar bedah dengan masa kerja kurang dari 6 tahun terdapat 22 orang. yang mengalami tingkat kelelahan kerja sedang 4 orang mengalami kelelahan kerja

[r]

Jika data menyebar jauh dari garis diagonal dan tidak mengikuti arah garis diagonal atau grafik histogramnya, tidak menunjukkan pola terdistribusi normal, maka

Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan coating gel untuk menahan susut bobot pada tomat yang dilapisi mulai berkurang karena susut bobot tomat yang dilapisi hidrokoloid

Kehadiran peserta yang senang bicara di luar konteks ini juga menjadi tantangan dalam proses lokakarya, terutama karena jika kurang konsentrasi, Manajer kampanye bisa terbawa

Pertemuan Komisi Bersama akan diketua i oleh Menteri Luar Negeri atau Pejabat Senior yang mewakili Kementerian Luar Negeri dari Para Pihak, dan akan terdiri dari