EFEKTIVITAS KEBIJAKAN SISTEM ALIH DAYA (OUTSOURCING) (Studi Kasus di PT Centralpertiwi Bahari)
(Skripsi)
Oleh
Deo Vita Effendi
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG
ABSTRACT
THE EFFECTIVENESS OF POLICY OUTSOURCING SYSTEM (Studies at PT Centralpertiwi Bahari)
by
Deo Vita Effendi
Outsourcing policy problem which is found in PT Centralpertiwi Bahari at
Lampung South regency is still exist today. Those problems are: first, the
company that hire laborers with outsourcing status take direct part in production
or main activity in the company. Second, the problem that often violated by
businessmen in terms of contract extension is exceeding the expiration of the
previous period contract. Third, the company is also to set up the center training
and recruit labor with did not pay the wages in accordance with the applicable
regulation while workers placed just like ordinary laborers which also produce
goods production in PT Centralpertiwi Bahari. Many a laborer who wrong in
viewing because as if the company either by gives means of education and
training of free in fact if traced deeper it will be visible the absence of good
The purpose of this research is to know and to analyse the effectiveness of a
policy in outsourcing system at PT Centralpertiwi Bahari. This research used
descriptive qualitative method. This research managed and described the data and
information based on facts that can be analyzed further.
This research result indicates that practice a policy of outsourcing system at PT
Centralpertiwi Bahari have not been effective. In its implementation PT
Centralpertiwi Bahari are still many things one of them in terms of surveillance of
the fulfillment of the terms of outsourcing that is difficult to be implemented.
Hence in the practice of the application of outsourcing system in a company were
also a lot of that deviates. Daily practice in outsourcing PT Centralpertiwi Bahari
so far recognized more many injurious workers / laborers, because a working
relationship not fixed / contract, wages is low, there are no guarantees of social,
the absence of welfare for workers, and there is no guarantee the development of a
career in addition the contract agreement that agreed upon both parties violated by
many companies.
ABSTRAK
EFEKTIVITAS KEBIJAKAN SISTEM ALIH DAYA (OUTSOURCING) (Studi Kasus di PT Centralpertiwi Bahari)
Oleh Deo Vita Effendi
Permasalahan kebijakan outsourcing yang terdapat di PT Centralpertiwi Bahari
Kabupaten Lampung Selatan masih ada hingga saat ini. Masalah tersebut di
antaranya adalah: pertama, perusahaan memperkerjakan buruh dengan status
outsourcing menempati bagian-bagian yang langsung dengan produksi atau
kegiatan pokok dalam perusahaan. Kedua, masalah yang juga sering dilanggar
oleh pengusaha dalam hal melakukan perpanjangan kontrak kerap melebihi waktu
berakhirnya massa kontrak sebelumnya. Ketiga, perusahaan juga mendirikan
pusat pelatihan dan merekrut tenaga kerja dengan tidak membayar upah sesuai
dengan ketentuan yang berlaku sementara pekerja ditempatkan layaknya buruh
biasa yang juga menghasilkan barang produksi di PT Centralpertiwi Bahari.
Banyak buruh yang salah dalam memandang karena seolah-olah perusahaan baik
dengan memberikan sarana pendidikan dan pelatihan gratis, padahal bila
ditelusuri lebih dalam maka akan terlihat tidak adanya komunikasi yang baik
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis efektivitas kebijakan
sistem alih daya outsourcing di PT Centralpertiwi Bahari. Metode penelitian yang
digunakan adalah metode penelitian deskriftif kualitatif. Penelitian ini mengelola
dan menggambarkan data serta informasi berdasarkan fakta-fakta yang tampak
untuk kemudian dianalisis lebih lanjut.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa praktek kebijakan sistem outsourcing di
PT Centralpertiwi Bahari belum efektif. Dalam pelaksanaannya PT Centralpertiwi
Bahari masih banyak kekurangan salah satunya dalam hal pengawasan atas
pemenuhan syarat-syarat outsourcing yang sangat sulit dilakukan. Oleh karena itu
dalam praktek penerapan sistem outsourcing di dalam perusahaan juga banyak
yang menyimpang. Praktik sehari-hari dalam outsourcing PT Centralpertiwi
Bahari selama ini diakui lebih banyak merugikan pekerja/buruh, karena hubungan
kerja tidak tetap/kontrak, upah lebih rendah, tidak ada jaminan sosial, tidak
adanya kesejahteraan untuk pekerja, serta tidak adanya jaminan pengembangan
karier selain itu perjanjian kontrak yang disepakati kedua belah pihak banyak
dilanggar oleh perusahaan.
EFEKTIVITAS KEBIJAKAN SISTEM ALIH DAYA (OUTSOURCING) (Studi Kasus di PT Centralpertiwi Bahari)
Oleh
Deo Vita Effendi
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA ILMU PEMERINTAHAN
pada
Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG
RIWAYAT HIDUP
Penulis memiliki nama lengkap Deo Vita Effendi,
dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 22 Juli 1992.
Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara
yang merupakan anak dari pasangan Bapak Sopiyan
Effendi, S.E dan Ibu Desnita Dewi.
Jenjang akademis penulis dimulai dengan menyelesaikan pendidikan Taman
Kanak-kanak (TK) PTP NusantaraVII Kedaton Bandar Lampung pada tahun
1998, kemudian melanjutkan ke Sekolah Dasar (SD) Al-Azhar 1 Kedaton Bandar
Lampung dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan
ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Kartika II-2 Bandar Lampung dan lulus
pada tahun 2007, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA)
Negri 5 Bandar Lampung dan lulus pada tahun 2010. Selanjutnya tahun 2010
penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu
Pendidikan merupakan perlengkapan paling baik untuk
hari tua.
Aristoteles
Jadikanlah kekecewaan masa lalu menjadi senjata sukses
dimasa depan.
Karo Cyber
Pada akhirnya semua hanya akan dapat dikenang,
selamat mengisi ruang kosong diantara pertemuan dan
perpisahan.
Kudedikasikan karya yang sederhana ini sebagai tanda bakti dan terima kasihku kepada:
Ayah dan Ibu Tercinta
“yang selalu memberikan curahan kasih sayang, dukungan, dan do’anya serta restu yang tiada hentinya hingga
sekarang dan sampai nanti”
Adik-adikku
“yang telah memberikan motivasi dan kasih sayang tuk mencapai yang terbaik”
Almamaterku Universitas Lampung
SANWACANA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat
rahmat, karunia dan kasih sayang-Nya lah sehingga akhirnya penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini yang berjudul ”Efektivitas Kebijakan Sistem Alih Daya
(Outsourcing) (Studi Kasus di PT Centralpertiwi Bahari)”. Penulis menyadari
banyak sekali kesulitan dan hambatan yang dihadapi dalam proses penulisan
skripsi ini. Namun kesulitan yang ada dapat dihadapi dengan baik berkat
bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu dengan segala
kerendahan hati, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih
yang setulus-tulusnya kepada:
1. Bapak Drs. Agus Hadiawan, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lampung.
2. Bapak Drs. Denden Kurnia Drajat, M.Si selaku Ketua Jurusan Ilmu
Pemerintahan FISIP Universitas Lampung yang selalu memberikan motivasi
dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Bapak Drs. R. Sigit Krisbintoro, M.IP selaku Sekertaris Jurusan Ilmu
Pemerintahan FISIP Universitas Lampung yang telah memotivasi dan
penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi secara baik dan maksimal.
5. Bapak Maulana Mukhlis, S.Sos, M.IP selaku pembimbing pembantu, terima
kasih telah bersedia meluangkan waktu, memberikan pengarahan dan saran
kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
6. Bapak Drs. Yana Ekana, P.S, M.Si selaku dosen pembahas, terima kasih atas
masukan, pengarahan, saran dan kritik yang dapat membangun dan menjadi
penyempurna untuk skripsi ini.
7. Bapak Dr. Pitojo Budiono, M.Si selaku pembimbing akademik, terima kasih
telah membantu penulis dalam proses kuliah sehingga penulis dapat
menyelesaikan pendidikan sarjana strata 1 (satu).
8. Kepada seluruh Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP
Universitas Lampung yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Terima
kasih yang setulus-tulusnya atas segala ilmu bermanfaat yang telah diberikan
kepada penulis.
9. Bapak dan Ibu Staf Administrasi FISIP Universitas Lampung yang telah
membantu penulis.
10. Kepada seluruh karyawan dan buruh outsourcing di PT Centralpertiwi
Bahari, seluruh karyawan di PT Rahmat Mitra Mandiri dan Dinas
Ketenagakerjaan Kota Bandar Lampung yang telah memberikan bantuannya.
11. Kedua Orang tuaku, Ayahanda Sopiyan Effendi, S.E dan Ibunda Desnita
Dewi yang telah membesarkan dan mendidik dengan penuh ketulusan dan
12. Adikku tersayang Desta Dwi Putri Effendi dan Rangga Pratama Effendi,
terima kasih dukungannya yang telah diberikan selama ini, semoga kita selalu
diberi kesehatan dan kemudahan dalam menjalani hidup dan membahagiakan
Ayah dan Ibu.
13. Terima kasih kepada sahabat yang sudah menjadi seperti saudara, Anggesti
Irka Safitri, Anis Septiana, Annisa Rhafirna, Anggi Dwi Pramono, Dwi
Kusumayanti, Riri Rianiti, Riska Gustiani, Tiara Anggina Putri, Yusi Alvita,
Mutiara Tikha dan Febria Nurdauci terima kasih untuk semua nasihat, saran,
kritikan, motivasi, semangat, dan bantuannya untuk penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini. Semoga kita semua menjadi orang sukses Amin.
14. Terima kasih kepada sahabat-sahabat terbaik, Ferdy Arian, Nikko Prima S, A
Dian Okta Saputra, M Erikson Syahputra, Andjani Regisa Putri, Novita Sari,
Rini Febrianty, Aditya Kurniawan, Yan Asep Wijaya, dan Ghali Billridho
terima kasih atas canda tawa dan nasihat yang tidak pernah henti untuk
penulis, semoga kita semua jadi orang sukses Amin.
15. Seluruh teman-teman Ilmu Pemerintahan angkatan 2010 reguler A dan
reguler B terima kasih atas segala kebersamaannya. Terima kasih juga kepada
sahabat KKN yang selama 40 hari mencoba mengabdi di pekon Adiluwih
skripsi, mohon maaf jika penulis tidak dapat menyebutkan satu persatu.
Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat, taufik, hidayah serta
hidayahnya kepada kita semua, dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita
semua.
Bandar Lampung, Maret 2015
Penulis
DAFTAR ISI A. Konsep dan Karakteristik Kebijakan... 10
B. Tinjauan Tentang Kebijakan ... 17
1. Konsep Kebijakan ... 17
2. Ciri-ciri Kebijakan ... 21
C. Evaluasi Kebijakan ... 22
1. Konsep Tentang Evaluasi Kebijakan ... 22
2. Tujuan Evaluasi Kebijakan ... 23
3. Tahapan Dalam Evaluasi Kebijakan ... 24
D. Hubungan Kerja ... 25
E. Sistem Outsourcing ... 27
1. Definisi Sistem Outsourcing ... 27
2. Penyediaan Tenaga Kerja Dengan Sistem Outsourcing... 28
3. Pelaksanaan Outsourcing ... 29
4. Penyerahan Sebagai Pekerja Outsourcing ... 31
III. METODE PENELITIAN A.Sejarah Singkat PT Centralpertiwi Bahari ………... 50
B.Letak Geografis PT Centralpertiwi Bahari ……….. 55
C.Visi Dan Misi Dari PT Centralpertiwi Bahari ………. 55
D.Sejarah Singkat PT Rahmat Mitra Mandiri ………. 56
E. Visi Dan Misi PT Rahmat Mitra Mandiri ……… 57
V. HASIL DAN PEMBAHASAN A.Deskripsi Kebijakan Sistem Outsourcing ….……….. 59
B.Masalah Kebijakan Sistem Outsourcing di……….. PT Centralpertiwi Bahari ………. 70
C.Efektivitas Kebijakan Sistem Outsourcing di………... PT Centralpertiwi Bahari ……….……… 74
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman 1. Kerangka Pikir ... 36
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Permasalahan yang sekarang timbul dalam bidang ketenagakerjaan di
Indonesia salah satunya ialah dengan terus tumbuhnya jumlah angka kerja
yang tinggi, tidak sesuai dengan lapangan pekerjaan yang tersedia. Selain itu
perkembangangan ekonomi global dan kemajuan teknologi yang demikian
cepat membawa dampak timbulnya persaingan usaha yang begitu ketat yang
terjadi di semua lini. Dalam kaitan itulah dapat dimengerti bahwa kalau
kemudian muncul kecenderungan outsourcing, yaitu memborongkan satu
bagian atau beberapa bagian kegiatan perusahaan yang tadinya dikelola
sendiri kepada perusahaan lain (Hussein, 2012: 5).
Praktik outsourcing berkembang luas di perusahaan-perusahaan sejalan
dengan perlunya mereka berkonsentrasi pada rangkaian proses atau aktivitas
penciptaan produk dan jasa yang terkait dengan kompetensi utamanya.
Perusahaan hanya perlu memikirkan mengenai bagaimana kegiatan inti bisnis
perusahaannya berjalan sebaik mungkin. Sedangkan kegiatan penunjang yang
tidak berhubungan langsung dengan kegiatan utama diserahkan ke
Menurut Royen (2009:13) adanya sistem outsourcing ini tidak serta merta
membuat permasalahan mengenai ketenagakerjaan di indonesia hilang.
Karena dalam kenyataannya sistem outsourcing ini banyak menimbulkan
kontroversi di masyarakat, sebagian tenaga kerja menolak sistem outsourcing
yang dianggap kurang menguntungkan. Sedangkan para pengusaha
menganggap sistem outsourcing sebagai salah satu cara bahkan satu-satunya
cara untuk menghadapi sistem liberalisasi ekonomi yang tidak dapat
dihindari.
Penolakan yang sangat jelas terhadap sistem outsourcing ini dapat dilihat
setiap tahun, pada peringatan hari buruh sedunia (may day) selalu terlontar isu
hapuskan sistem kontrak dan outsourcing. Para buruh memandang bahwa
sistem buruh kontrak dan alih daya (outsourcing) menyengsarakan kaum
pekerja atau buruh, sistem tersebut telah membuat status para buruh mungkin
tak jelas sehingga bisa terputus hubungan kerjanya kapan saja pengusaha mau
(Royen, 2009: 13).
Justifikasi mengenai pelaksanaan praktik outsourcing dalam hukum positif di
Indonesia terdapat dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yang selanjutnya disebut Undang-Undang Ketenagakerjaan,
khususnya pada pasal 56, 57, 58, 59, 64, 65, dan 66. Selain itu juga diatur
dalam keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia
Nomor KEP.220/Men/X/2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian
Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain yang selanjutnya disebut
Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 56
menyatakan perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu
tidak tertentu. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) didasarkan atas jangka waktu; atau selesainya suatu pekerjaan
tertentu.
Salah satu hal yang sangat penting yang harus diperhatikan oleh pekerja
kontrak adalah pekerja kontrak harus memiliki atau mendapatkan surat
perjanjian kerja yang ditandatangani oleh pengusaha dan pekerja yang
bersangkutan. Berdasar UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan,
pasal 59 ayat (1) menyatakan perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya
dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu menurut jenis dan sifat atau kegiatan
pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu pekerjaan yang sekali
selesai atau sementara sifatnya, pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya
dalam waktu tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun, pekerjaan yang
bersifat musiman atau pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru,
kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau
penjajakan.
Surat perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk
pekerjaan yang besifat tetap. Berdasar penjelasan Pasal 59 ayat (2)
menjelaskan yang dimaksud dengan pekerjaan yang bersifat tetap dalam ayat
ini adalah pekerjaan yang sifatnya terus menerus, tidak terputus-putus, tidak
dibatasi waktu dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalam satu
musiman adalah pekerjaan yang tidak tergantung cuaca atau suatu kondisi
tertentu. Apabila pekerjaan itu merupakan pekerjaan yang terus menerus,
tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu, dan merupakan bagian dari suatu
proses produksi, tetapi tergantung cuaca atau pekerjaan itu dibutuhkan karena
adanya suatu kondisi tertentu maka pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan
musiman yang tidak termasuk pekerjaan tetap sehingga dapat menjadi obyek
perjanjian kerja waktu tertentu.
Pembatasan waktu maksimal dalam masa kerja bagi pekerja kontrak
berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, pasal 59 ayat
(4) yang menyatakan perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas
jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan
hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1
(satu) tahun, dan Pasal 59 ayat (6) yang menyatakan pembaruan perjanjian
kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang
waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang
lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1
(satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun. Jadi, pekerja kontrak dapat
dikontrak maksimal selama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali
untuk selama maksimal 1 (satu) tahun.
Hasil pra-riset yang penulis lakukan di PT Centralpertiwi Bahari Kabupaten
Lampung Selatan, mengungkapkan ketidaksesuaian antara peraturan UU
Pertama, bila melihat UU tersebut, khususnya pada pasal 64-66, mengatur
tentang outsourcing atau jasa percaloan dalam perekrutan tenaga kerja untuk
mengerjakan beberapa bagian produksi non utama yang bisa di
sub-kontrakkan. Outsourcing boleh dilakukan dengan persyaratan ketat yaitu:
Dilakukan terpisah dari kegiatan utama, berupa kegiatan penunjang
perusahaan secara keseluruhan dan tidak menghambat proses produksi secara
langsung. Tetapi kenyataanya banyak sekali perusahaan yang mempekerjakan
buruh dengan status outsourcing menempati bagian-bagian yang langsung
dengan produksi. Tidak ada satupun pihak disnaker mengambil sikap atas
masalah tersebut, bahkan justru mendukungnya, meraka selalu saja berdalih
kepada buruh dengan mengatakan dari pada tidak bekerja, pernyataan yang
sangat manipulatif dan tidak bertanggungjawab sama sekali, karena justru
hal-hal seperti itu yang menjadi sumber dari menjamurnya praktek ini.
Kedua, masalah yang sering dilanggar oleh pengusaha adalah dalam
melakukan perpanjangan kontrak kerap melebihi waktu berakhirnya masa
kontrak sebelumnya. Sedangkan dalam ketentuan pasal 59 ayat 5: Pengusaha
yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut,
paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir
telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja atau buruh
yang bersangkutan.
Ketiga, fenomena yang berkembang saat ini adalah semakin banyak
pengusaha dengan memberikan sarana pendidikan dan pelatihan. Perusahaan
membayar upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, pekerja ditempatkan
sebagaimana layaknya buruh biasa yang juga menghasilkan barang produksi.
Banyak buruh yang salah dalam memandang karena seolah-olah perusahaan
baik dengan memberikan sarana pendidikan dan pelatihan gratis, padahal jika
dipahami lebih dalam maka akan terlihat tidak adanya komunikasi yang baik
antara para pengusaha tersebut. Perusahaan sejatinya menampung tenaga
kerja buruh baru dengan status masa percobaan atau training, sebab apabila
buruh yang sudah mampu bekerja dengan baik di Pusat Pelatihan tersebut
maka perusahaan akan melakukan rekruetmen dengan setatus ikatan dinas
dengan masa kerja 3-5 tahun, padahal sejatinya masa percobaan tersebut tetap
bekerja dengan setatus buruh kontrak dengan masa kerja yang sangat panjang
di kontrak sampai dengan 5 tahun, dan apabila belum selesai masa kontrak
atau ikatan dinas buruh ingin keluar dari perusahaan maka buruh diberikan
denda. Jika memeriksa ketentuan perundang-undangan disitu dijelaskan
didalam pasal 58: (1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat
mensyaratkan adanya masa percobaan kerja. (2) Dalam hal disyaratkan masa
percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum.
Menurut Hussein (2012: 5) outsourcing memang merupakan momok bagi
buruh. Bersama-sama dengan sistem kerja kontrak, outsourcing adalah cara
untuk membuat hubungan kerja buruh-pengusaha menjadi fleksibel. Fleksibel
atau biasa disebut market labour flexibility di sini bermakna hubungan kerja
menjadi lebih mudah untuk diubah atau ditiadakan, tanpa konsekuensi yang
Perjanjian kerja dibuat hanya untuk sementara atau jangka waktu tertentu.
Inilah yang disebut dengan sistem kerja kontrak yang biasa dibedakan dengan
perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu atau kerja tetap.
Pada dasarnya para pihak dapat menentukan dengan bebas mengenai hak dan
kewajiban dalam pejanjian kerja dengan sistem outsourcing terdapat
keseimbangan hak dan kewajiban bagi pekerja berdasarkan kesepakatan. Hak
dan kewajiban dalam perjanjian kerja dengan sistem outsourcing tidak boleh
kurang dari syarat yang ditentukan oleh perundang-undangan
ketenagakerjaan, peraturan perusahaan, dan perjanjian kerja bersama.
Hubungan antara perusahaan pemberi kerja, perusahaan penyedia pekerja
atau perusahaan pemborong dan pekerja itu sendiri seharusnya menciptakan
triple alliance (suatu hubungan yang saling membutuhkan). Namun dalam
kenyataannya, sering kali terdapat perselisihan. Hal ini bisa dihindari jika
para pihak menyadari hak dan kewajibannya. Perlindungan dan syarat-syarat
kerja bagi buruh outsourcing harus sekurang-kurangnya sama dengan
perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi
pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Namun, nyaris peraturan ini dilanggar di lapangan.
Dijadikannya PT Centralpertiwi Bahari sebagai lokasi penelitian karena PT
Centralpertiwi Bahari merupakan salah satu dari beberapa perusahaan yang
menggunakan buruh sistem outsourcing. Selain itu, kompleksitas
permasalahan dari dinamika yang tejadi dalam tubuh PT Centralpertiwi
yang berada pada perusahaan ini menjadi alasan kedua bagi penulis dalam
memilih penelitian ini.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka penulis
merasa tertarik untuk melakukan pengkajian dan pembahasan secara lebih
mendalam mengenai Efektivitas Kebijakan Sistem Alih daya Outsourcing di
PT Centralpertiwi Bahari.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diungkapkan di atas, maka
rumusan masalah penelitian ini adalah “Bagaimana Efektivitas Kebijakan
Sistem Alih Daya Outsourcing di PT Centralpertiwi Bahari?”
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis
bagaimana efektivitas kebijakan sistem alih daya outsourcing di PT
Centralpertiwi Bahari.
D. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini adalah :
1. Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk memperkuat teori
dapat menambah khasanah keilmuan serta referensi untuk penelitian lebih
lanjut bagi mahasiswa.
2. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada
perusahaan-perusahaan agar dapat melakukan praktik kebijakan sistem outsourcing
dengan baik, perusahaan juga diharapkan dapat memunuhi perjanjian
kontrak, dan tidak melanggar Undang-Undang yang berlaku. Kepada
Pemerintah juga diharapkan dapat mengawasi mengenai bagaimana
praktik kebijakan sistem outsourcing disetiap perusahaan. Serta
diharapkan kepada masyarakat agar dapat berfikir dua kali untuk
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep dan Karakteristik Kebijakan
Efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian dicapainya
keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas
disebut juga hasil guna. Efektivitas selalu terkait dengan hubungan antara
hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya dicapai. Menurut
Gedeian (1991:61) mendefinisikan efektivitas adalah That is, the greater the
extent it which an organization`s goals are met or surpassed, the greater its
effectiveness (Semakin besar pencapaian tujuan-tujuan organisasi semakin
besar efektivitas).
Berdasarkan pendapat di atas, bahwa apabila pencapaian tujuan-tujuan
daripada organisasi semakin besar, maka semakin besar pula efektivitasnya.
Pengertian tersebut dapat disimpulkan adanya pencapaian tujuan yang besar
dari pada organisasi, maka makin besar pula hasil yang akan dicapai dari
tujuan-tujuan tersebut. Menurut Dunn (2003:429) menyatakan bahwa:
Efektivitas (effectiveness) berkenaan dengan apakah suatu alternative
mencapai hasil (akibat) yang diharapkan, atau mencapai tujuan dari
diadakannya tindakan. Yang secara dekat berhubungan dengan rasionalitas
Apabila setelah pelaksanaan kegiatan kebijakan publik ternyata dampaknya
tidak mampu memecahkan permasalahan yang tengah dihadapi masyarakat,
maka dapat dikatakan bahwa suatu kegiatan kebijakan tersebut telah gagal,
tetapi adakalanya suatu kebijakan publik hasilnya tidak langsung efektif
dalam jangka pendek, akan tetapi setelah melalui proses tertentu. Menurut
Mahmudi (2005:92) mendefinisikan efektivitas merupakan hubungan antara
output dengan tujuan, semakin besar kontribusi (sumbangan) output terhadap
pencapaian tujuan, maka semakin efektif organisasi, program atau kegiatan”.
Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa dalam melihat
efektivitas diharuskan adanya suatu perbandingan antara masukan dan
keluaran. Untuk melihat efektivitas mesti adanya tingkat kepuasan dan
adanya penciptaan hubungan kerja yang kondusif serta intensitas yang tinggi.
Artinya dalam melihat efektivitas adalah adanya keadaan rasa saling memiliki
dengan tingkatan yang tinggi.
William N. Dunn (2003:430) menyebutkan beberapa variabel-variabel yang
dapat dijadikan alat untuk melihat efektivitas kebijakan dengan
menggabungkan macam-macam model tersebut, yaitu:
1. Efisiensi
Efektivitas dan efisiensi sangatlah berhubungan. Apabila kita berbicara
tentang efisiensi bilamana kita membayangkan hal penggunaan sumber
daya (resources) kita secara optimum untuk mencapai suatu tujuan
tertentu. Maksudnya adalah efisiensi akan terjadi jika penggunaan sumber
Adapun menurut Dunn berpendapat bahwa:
“Efisiensi (efficiency) berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk menghasilkan tingkat efektivitas tertentu. Efisiensi yang merupakan sinonim dari rasionalitas ekonomi, adalah merupakan hubungan antara efektivitas dan usaha, yang terakhir umumnya diukur dari ongkos moneter. Efisiensi biasanya ditentukan melalui perhitungan biaya per unit produk atau layanan. Kebijakan yang mencapai efektivitas tertinggi dengan biaya terkecil dinamakan efisien”.
Apabila sasaran yang ingin dicapai oleh suatu kebijakan publik ternyata
sangat sederhana sedangkan biaya yang dikeluarkan melalui proses
kebijakan terlampau besar dibandingkan dengan hasil yang dicapai. Ini
berarti kegiatan kebijakan telah melakukan pemborosan dan tidak layak
untuk dilaksanakan.
2. Kecukupan
Kecukupan dalam kebijakan publik dapat dikatakan tujuan yang telah
dicapai sudah dirasakan mencukupi dalam berbagai hal. Dunn
mengemukakan bahwa kecukupan (adequacy) berkenaan dengan seberapa
jauh suatu tingkat efektivitas memuaskan kebutuhan, nilai, atau
kesempatan yang menumbuhkan adanya masalah. Dari pengertian di atas
dapat disimpulkan bahwa kecukupan masih berhubungan dengan
efektivitas dengan melihat atau memprediksi seberapa jauh alternatif yang
ada dapat memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan dalam
menyelesaikan masalah yang terjadi.
Hal ini, dalam kriteria kecukupan menekankan pada kuatnya hubungan
antara alternatif kebijakan dan hasil yang diharapkan. Kriteria tersebut
1) Masalah Tipe I. Masalah dalam tipe ini meliputi biaya tetap dan efektivitas yang berubah dari kebijakan. Jadi, tujuannya adalah memaksimalkan efektivitas pada batas risorsis yang tersedia.
2) Masalah Tipe II. Masalah pada tipe ini menyangkut efektivitas yang sama dan biaya yang berubah dari kebijakan. Jadi, tujuannya adalah untuk meminimalkan biaya.
3) Masalah Tipe III. Masalah pada tipe ini menyangkut biaya dan efektivitas yang berubah dari kebijakan.
4) Masalah Tipe IV. Masalah pada tipe ini mengandung biaya sama dan juga efektivitas tetap dari kebijakan. Masalah ini dapat dikatakan sulit dipecahkan karena satu-satunya alternatif kebijakan yang tersedia barangkali adalah tidak melakukan sesuatu pun.
Tipe-tipe masalah di atas merupakan suatu masalah yang terjadi dari suatu
kebijakan sehingga dapat disimpulkan masalah tersebut termasuk pada
salah satu tipe masalah tersebut. Hal ini berarti bahwa sebelum suatu
produk kebijakan disahkan dan dilaksanakan harus ada analisis kesesuaian
metode yang akan dilaksanakan dengan sasaran yang akan dicapai, apakah
caranya sudah benar atau menyalahi aturan atau teknis pelaksanaannya
yang benar.
3. Perataan
Perataan dalam kebijakan publik dapat dikatakan mempunyai arti dengan
keadilan yang diberikan dan diperoleh sasaran kebijakan publik. Dunn
menyatakan bahwa kriteria kesamaan (equity) erat berhubungan dengan
rasionalitas legal dan sosial dan menunjuk pada distribusi akibat dan usaha
antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat. Kebijakan
yang berorientasi pada perataan adalah kebijakan yang akibatnya atau
efektif, efisien, dan mencukupi apabila biaya-manfaat merata. Kunci dari
perataan yaitu keadilan atau kewajaran.
Seberapa jauh suatu kebijakan dapat memaksimalkan kesejahteraan sosial
dapat dicari melalui beberapa cara, yaitu:
1. Memaksimalkan kesejahteraan individu. Analis dapat berusaha untuk memaksimalkan kesejahteraan individu secara simultan. Hal ini menuntut agar peringkat preferensi transitif tunggal dikonstruksikan berdasarkan nilai semua individu.
2. Melindungi kesejahteraan minimum. Di sini analis mengupayakan peningkatan kesejahteraan sebagian orang dan pada saat yang sama melindungi posisi orang-orang yang dirugikan (worst off). Pendekatan ini didasarkan pada kriteria Pareto yang menyatakan bahwa suatu keadaan sosial dikatakan lebih baik dari yang lainnya jika paling tidak ada satu orang yang diuntungkan dan tidak ada satu orangpun yang dirugikan. Pareto ortimum adalah suatu keadaan sosial dimana tidak mungkin membuat satu orang diuntungkan (better off) tanpa membuat yang lain dirugikan (worse off).
3. Memaksimalkan kesejahteraan bersih. Di sini analisis berusaha meningkatkan kesejahteraan bersih tetapi mengasumsikan bahwa perolehan yang dihasilkan dapat digunakan untuk mengganti bagian yang hilang. Pendekatan ini didasarkan pada kriteria Kaldor-Hicks: Suatu keadaan sosial lebih baik dari yang lainnya jika terdapat perolehan bersih dalam efisiensi dan jika mereka yang memperoleh dapat menggantikan mereka yang kehilangan. Untuk tujuan praktis kriteria yang tidak mensyaratkan bahwa yang kehilangan secara nyata memperoleh kompensasi ini, mengabaikan isu perataan.
4. Memaksimalkan kesejahteraan redistributif. Di sini analis berusaha memaksimalkan manfaat redistributif untuk kelompok-kelompok yang terpilih, misalnya mereka yang secara rasial tertekan, miskin atau sakit. Salah satu kriteria redistributif dirumuskan oleh filosof John Rawls: Suatu situasi sosial dikatakan lebih baik dari lainnya jika menghasilkan pencapaian kesejahteraan anggota-anggota masyarakat yang dirugikan (worst off).
Formulasi dari Rawls (1971: 58-60) berupaya menyediakan landasan
terhadap konsep keadilan, tapi kelemahannya adalah pengabaian pada
politis cara-cara tersebut tidak dapat menggantikan proses politik, berarti
cara-cara di atas tidak dapat dijadikan patokan untuk penilaian dalam
kriteria perataan. Berikut menurut Dunn yaitu:
“Pertanyaan menyangkut perataan, kewajaran, dan keadilan bersifat politis; dimana pilihan tersebut dipengaruhi oleh proses distribusi dan legitimasi kekuasaan dalam masyarakat. Walaupun teori ekonomi dan filsafat moral dapat memperbaiki kapasitas kita untuk menilai secara kritis kriteria kesamaan, kriteria-kriteria tersebut tidak dapat menggantikan proses politik”.
Pelaksanaan kebijakan haruslah bersifat adil dalam arti semua sektor dan
dari segi lapisan masyarakat harus sama-sama dapat menikmati hasil
kebijakan. Karena pelayanan publik merupakan pelayanan dari birokrasi
untuk masyarakat dalam memenuhi kegiatan masyarakat baik secara
langsung maupun tidak langsung. Pelayanan publik sendiri menghasilkan
jasa publik.
4. Responsivitas
Responsivitas dalam kebijakan publik dapat diartikan sebagai respon dari
suatu aktivitas. Yang berarti tanggapan sasaran kebijakan publik atas
penerapan suatu kebijakan. Menurut Dunn menyatakan bahwa
responsivitas (responsiveness) berkenaan dengan seberapa jauh suatu
kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, preferensi, atau nilai
kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Suatu keberhasilan kebijakan dapat dilihat
melalui tanggapan masyarakat yang menanggapi pelaksanaan setelah
terlebih dahulu memprediksi pengaruh yang akan terjadi jika suatu
kebijakan sudah mulai dapat dirasakan dalam bentuk yang positif berupa
dukungan ataupun wujud yang negatif berupa penolakan.
Dunn (2003:437) mengemukakan bahwa kriteria responsivitas adalah
penting karena analisis yang dapat memuaskan semua kriteria lainnya
(efektivitas, efisiensi, kecukupan, kesamaan) masih gagal jika belum
menanggapi kebutuhan aktual dari kelompok yang semestinya
diuntungkan dari adanya suatu kebijakan.
Oleh karena itu, kriteria responsivitas cerminan nyata kebutuhan,
preferensi, dan nilai dari kelompok-kelompok tertentu terhadap kriteria
efektivitas, efisiensi, kecukupan, dan kesamaan.
5. Ketepatan
Ketepatan merujuk pada nilai atau harga dari tujuan program dan pada
kuatnya asumsi yang melandasi tujuan-tujuan tersebut. Dunn menyatakan
bahwa kelayakan (Appropriateness) adalah:
“Kriteria yang dipakai untuk menseleksi sejumlah alternatif untuk dijadikan rekomendasi dengan menilai apakah hasil dari alternatif yang direkomendasikan tersebut merupakan pilihan tujuan yang layak. Kriteria kelayakan dihubungkan dengan rasionalitas substantif, karena kriteria ini menyangkut substansi tujuan bukan cara atau instrumen untuk merealisasikan tujuan tersebut”.
Artinya ketepatan dapat diisi oleh indikator keberhasilan kebijakan lainnya
(bila ada). Misalnya dampak lain yang tidak mampu diprediksi
sebelumnya baik dampak tak terduga secara positif maupun negatif atau
pelaksanaan kebijakan sehingga kebijakan bisa lebih dapat bergerak secara
lebih dinamis.
Variabel-variabel demikian ini telah diidentifikasi dengan berbagai
alternatif yaitu sebagai alat untuk melihat efektivitas itu sendiri dan
sebagai variabel yang memperlancar atau membantu memperbesar
kemungkinan tercapainya efektivitas.
Berkaitan dengan pengertian efektivitas yang penulis uraikan di atas, maka
efektivitas yang penulis teliti yaitu bagaimana tingkat efektivitas yang
telah ditentukan dan direncanakan dapat berjalan dengan baik atau bahkan
sebaliknya, yaitu tidak sesuai dengan perencanaan awal. Penulis akan
melihat seberapa besar efektivitas kebijakan sistem outsourcing (studi
kasus di PT CentralPertiwi Bahari).
B. Tinjauan Tentang Kebijakan 1. Konsep Kebijakan
Kebijakan-kebijakan secara umum diartikan sebagai kearifan dalam hal
pengelolaan. Dengan ilmu-ilmu sosial, kebijakan diartikan sebagai
dasar-dasar haluan untuk menentukan langkah-langkah atau tindakan-tindakan
dalam mencapai suatu tujuan (Ensiklopedia Nasional Indonesia jilid 8,
1990). Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahwa kebijakan itu
diartikan sebagai pedoman untuk bertindak, pedoman itu boleh jadi amat
sederhana atau kompleks bersifat umum atau terperinci, bersifat kualitatif
mungkin berupa suatu deklarasi mengenai suatu pedoman bertindak,
suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktivitas-aktivitas
tertentu atau suatu rencana tertentu (Wahab, 1997:2).
Richard Rose dalam Winarno (2002: 14) menyarankan bahwa kebijakan
hendaknya dipahami sebagai serangkaian kegiatan yang sedikit banyak
berhubungan beserta konsekuensi-konsekuensinya bagi mereka yang
bersangkutan dan sebagai suatu keputusan sendiri. Seorang pakar Ilmu
Politik lain, Carl Friedrich dalam Winarno (2002: 16) memandang
kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang
kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, yang
memberikan hambatan-hambatan dan kesempatan terhadap kebijakan
yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka
mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu
maksud tertentu.
Definisi yang amat luas seperti yang dikutip oleh Jones dalam Wahab
(1997 :4) yang menyatakan bahwa kebijakan antara hubungan diantara
unit pemerintahan tertentu dengan lingkungannya. Sedangkan menurut
Thomas R. Dye dan Wahab (2002: 15) menyatakan bahwa kebijakan
pemerintah adalah apapun juga yang dipilih oleh pemerintah atau tidak
mengerjakan sama sekali (mendiamkan) sesuatu itu.
Pada dasarnya kebijakan (policy) yang diambil pemerintah
mencerminkan keputusan mengenai apa yang akan dilakukan dan atau
Wujud konkrit dari kebijakan adalah keluaran berupa program yang
bersifat lebih operasional. Kebijakan merupakan suatu usaha
pengambilan keputusan yang pada dasarnya merupakan kegiatan untuk
mendapat informasi, mengolahnya dan akhirnya membuat keputusan
yang dianggap terbaik melalui program-program yang ditawarkan.
Sedangkan James E. Anderson seperti yang dikutip oleh Islamy (1992:
19) menyatakan bahwa kebijakan pemerintah atau kebijakan adalah
kebijakan yang dilambangkan oleh badan-badan dan pejabat pemerintah.
Dan implikasi-implikasi dari pengertian tersebut di atas adalah:
1. Bahwa kebijakan itu selalu mempunyai tujuan tertentu yang
merupakan tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan.
2. Bahwa kebijakan itu berisikan tindakan-tindakan atau pola-pola
tindakan pejabat pemerintah.
3. Bahwa kebijakan itu merupakan apa yang benar-benar dilakukan
oleh pemerintah atau instansi, jadi bukan merupakan apa yang
benar-benar dilakukan oleh pemerintah.
4. Bahwa kebijakan pemerintah itu bersifat positif dalam arti
merupakan beberapa bentuk tindakan pemerintah suatu masalah
tertentu bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pejabat
pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu.
5. Bahwa kebijakan setidaknya dalam arti yang positif didasarkan
selalu dilandaskan pada peraturan-peraturan perundang-undangan
Lebih lanjut lagi menurut Islamy (1992: 21) di dalam kajian bidang
administrasi negara menyatakan bahwa kebijakan sebagai susunan
rancangan tujuan-tujuan dan dasar-dasar pertimbangan program-program
pemerintah apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak
dilakukan yang berhubungan dengan masalah-masalah tertentu yang
dihadapi masyarakat.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka penulis menarik kesimpulan
bahwa kebijakan adalah suatu pedoman dalam berperilaku atau bertindak
yang dilakukan oleh sejumlah aktor atau pejabat dalam lingkungan
tertentu, perkara tertentu yang mempunyai hambatan dan kesempatan
terhadap pelaksanaan usulan untuk mencapai tujuan atau sasaran tertentu.
Tujuan-tujuan penting kebijakan pemerintah adalah:
1. Memelihara ketertiban umum.
2. Memajukan perkembangan dari masyarakat dalam berbagai hal.
3. Memadukan berbagai aktivitas (koordinator).
4. Menunjuk dan membagi berbagai benda material dan non material.
Dengan demikian penulis menyimpulkan, kebijakan pemerintah dalam
penelitian ini adalah serangkaian keputusan yang diambil oleh seorang
atau sekelompok aktor atau pejabat pemerintah untuk mengedakan
sesuatu dengan tujuan dapat meningkatkan kualitas dan dampak-dampak
2. Ciri-Ciri Kebijakan
David Easton dalam Wahab (1997: 6) mengemukakan bahwa ciri-ciri
khusus kebijakan pemerintah bersumber pada kenyataan bahwa
kebijakan itu dirumuskan oleh apa yang beliau sebut sebagai orang-orang
yang memiliki wewenang dalam sistem politik. Dari penjelasan Easton di
atas membawa implikasi tertentu terhadap konsep kebijakan, yakni:
1. Kebijakan lebih merupakan tindakan yang mengarah pada tujuan
daripada sebagai prilaku atau tindakan yang serba acak dan
kebetulan.
2. Kebijakan pada hakikatnya terdiri atas, tindakan-tindakan yang
saling terkait dan yang mengarah pada tujuan tertentu yang
dilakukan oleh pejabat-pejabat.
3. Kebijakan bersangkut paut dengan apa yang senyatanya dilakukan
pemerintah dalam bidang-bidang tertentu.
4. Kebijakan pemerintah mungkin berbentuk positif, mungkin pula
negatif. Dalam bentuk yang positif, kebijakan mungkin akan
mencakup beberapa bentuk tindakan yang dimaksudkan untuk
mempengaruhi masalah tertentu. Sementara dalam bentuk yang
negatif, kemungkinan meliputi keputusan pejabat pemerintah untuk
tidak bertindak atau tidak melakukan tindakan apapun dalam
masalah-masalah dimana campur tangan pemerintah justru
diperlukan.
1. Pihak yang kepentingannya dipengaruhi
2. Jenis manfaat yang bisa dipengaruhi
3. Jangkauan perubahan yang ditetapkan
4. Letak pengambilan keputusan pelaksana-pelaksana program
5. Sumber-sumber yang dapat disediakan.
Berdasarkan poin-poin tersebut maka ciri dari kebijakan adalah kebijakan
dihadirkan dalam rangka mewujudkan sebuah tujuan baik yang
berbentuk positif maupun negatif yang hakikatnya terdiri atas beberapa
tindakan yang sating berkaitan satu sama lain dan dilaksanakan oleh
pemerintah dalam bidang-bidang tertentu.
C. Evaluasi Kebijakan
1. Konsep Tentang Evaluasi Kebijakan
Pada dasarnya, kebijakan publik dijalankan dengan maksud tertentu,
untuk meraih tujuan-tujuan tertentu yang berangkat dari masalah-masalah
yang telah dirumuskan sebelumnya. Evaluasi dilakukan karena tidak
semua program kebijakan publik meraih hasil yang diinginkan.
Seringkali terjadi, kebijakan publik gagal meraih maksud atau tujuan
yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan demikian, evaluasi kebijakan
ditujukan untuk melihat sebab-sebab kegagalan suatu kebijakan atau
untuk mengetahui apakah kebijakan publik yang telah dijalankan meraih
dampak yang diinginkan. Dalam bahasa yang lebih singkat evaluasi
adalah kegiatan yang bertujuan untuk menilai “manfaat” suatu kebijakan
Menurut uraian diatas dapat disimpulkan secara umum evaluasi
kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi
atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan
dampak. Dalam hal ini, evaluasi kebijakan dipandang sebagai suatu
kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan
pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses
kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap
perumusan masalah-masalah kebijakan, program-program yang
diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi,
maupun tahap dampak kebijakan.
2. Tujuan Evaluasi Kebijakan
Menurut Subarsono (2012: 120) evaluasi memiliki beberapa tujuan yang
dapat dirinci sebagai berikut :
1. Menentukan tingkat kinerja suatu kebijakan. Melalui evaluasi maka dapat diketahui derajad pencapaian tujuan dan sasaran kebijakan.
2. Mengukur tingkat efisiensi suatu kebijakan. Dengan evaluasi juga dapat diketahui berapa biaya dan manfaat dari suatu kebijakan.
3. Mengukur tingkat keluaran (outcome) suatu kebijakan. Salah satu tujuan evaluasi adalah mengukur berapa besar dan kualitas pengeluaran atau output dari suatu kebijakan.
4. Mengukur dampak suatu kebijakan. Pada tahap lebih lanjut, evaluasi ditunjukan untuk melihat dampak dari suatu kebijakan, baik dampak positif maupun negatif.
6. Sebagai bahan masukan (input) untuk kebijakan yang akan datang. Tujuan akhir dari evaluasi adalah untuk memberikan masukan bagi proses kebijakan ke depan agar dihasilkan kebijakan yang lebih baik.
Dari pemaparan di atas, dengan kata lain tujuan evaluasi kebijakan dapat
di simpulkan menjadi sesuatu untuk memberikan sasaran kebijakan
dengan dapat mengukur besar kecilnya kebijakan yang terjadi di
lapangan.
3. Tahapan Dalam Evaluasi Kebijakan
Winarno (2012: 223) evaluasi dengan menggunakan tipe sistematis atau
juga sering disebut sebagia evaaluasi ilmiah merupakan evaluasi yang
mempunyai kemampuan lebih baik untuk menjalankan evaluasi
kebijakan dibandingkan dengan tipe evaluasi yang lain. Menyangkut
evaluasi kebijakan dalam pandangan Jones, didorong oleh
persyaratan-persyaratan legal untuk evaluasi program dan pembiayaan untuk
melakukan kerja, saat ini riset evaluasi telah berkembang menjadi usaha
yang signifikan. Untuk melakukan evaluasi yang baik dengan margin
kesalahan yang minimal beberapa ahli menegmbangkan langkah-langkah
dalam evaluasi kebijakan. Salah satu ahli tersebut Edward A. Suchman
dalam Winarno (2012: 223).
Suchman mengmukakan enam langkah dalam evaluasi kebijakan, yakni:
1. Mengidentifikasi tujuan program yang akan dievaluasi 2. Analisis terhadap masalah
3. Deskripsi dan standarisasi kegiatan
5. Menentukan apakah perubahan yang diamati merupakan akibat dari kegiatan tersebut atau karena penyebab yang lain
6. Beberapa indikator untuk menentukan keberadaan suatu dampak
Langkah dalam evaluasi kebijakan ini dimaksud untuk mengukur tingkah
laku seseorang sebagai alat untuk menyesuaikan diri terhadap suatu
kebijakan yang terjadi dilapangan.
D. Hubungan Kerja
Menurut Sutedi (2009: 45) Hubungan kerja adalah hubungan antara
pengusaha dengan pekerja atau buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang
mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Dalam Pasal 50
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa
hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha clan
pekerja/buruh. Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan.
Jadi, hubungan kerja adalah hubungan (hukum) antara pengusaha dengan
pekerja atau buruh (karyawan) berdasarkan perjanjian kerja. Dengan
demikian, hubungan kerja tersebut adalah sesuatu yang abstrak, sedangkan
perjanjian kerja adalah sesuatu yang konkret atau nyata. Dengan adanya
perjanjian kerja, akan ada ikatan antara pengusaha dan pekerja. Dengan
perkataan lain, ikatan karena adanya perjanjian kerja inilah yang merupakan
hubungan kerja.
Menurut Sutedi (2009: 45) Perjanjian kerja adalah perjanjian yang dibuat
antara pekerja atau buruh (karyawan) dengan pengusaha atau pemberi kerja
angka (14) Undang-Undang Ketenagakerjaan). Perjanjian kerja dapat dibuat
secara lisan (Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan).
Syarat sahnya perjanjian kerja menurut Sutedi (2009: 45) mengacu pada
syarat sahnya perjanjian perdata pada umumnya, adalah sebagai berikut:
a. Adanya kesepakatan antara para pihak (tidak ada dwang-paksaan,
dwaling-penyesatan atau kekhilafan atau bedrog-penipuan).
b. Pihak-pihak yang bersangkutan mempunyai kemampuan atau kecakapan
untuk (bertindak) melakukan perbuatan hukum (cakap usia dan tidak di
bawah perwalian atau pengampuan).
c. Ada (objek) pekerjaan yang diperjanjikan, dan
d. (Causa) pekerjaan yang diperjanjikan tersebut tidak bertentangan dengan
ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku (Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan).
Berdasarkan uraian diatas disimpulkan apabila perjanjian kerja yang dibuat
oleh pihak-pihak tidak memenuhi dua syarat awal sahnya (perjanjian kerja)
sebagaimana tersebut, yakni tidak ada kesepakatan dan ada pihak yang tidak
cakap untuk bertindak maka perjanjian kerja dapat dibatalkan. Sebaliknya
apabila perjanjian kerja dibuat tidak memenuhi dua syarat terakhir sahnya
(perjanjian kerja), yakni objek (pekerjaannya) tidak jelas dan causa-nya tidak
E. Sistem Outsourcing
1. Definisi Sistem Outsourcing
Sutedi (2009: 217) mendefinisikan outsourcing sebagai suatu bentuk
strategi sumber daya manusia (human resources strategty) perusahaan.
Perusahaan dalam memenuhi kebutuhan sumber daya manusia
perusahaan, perusahaan menggunakan dua jenis tenaga kerja yaitu:
tenaga kerja tetap (tenaga kerja yang berasal dari dalam perusahaan) dan
outsource (tenaga kerja yang berasal dari luar perusahaan atau tenaga
kerja kontrak). Tenaga kerja tetap berfungsi sebagai sumber daya
manusia inti perusahaan sedangkan outsource berfungsi sebagai sumber
daya manusia pelengkap yang jumlah dan waktu penggunaannya
disesuaikan dengan kondisi yang sedang dihadapi perusahaan.
Outsourcing, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai ”alih daya”.
Outsourcing merupakan pengalihan sebagian atau seluruh pekerjaan atau
wewenang kepada pihak lain guna mendukung strategi pemakai jasa
outsourcing baik pribadi, perusahaan, divisi ataupun sebuah unit dalam
perusahaan. Jadi pengertian outsourcing untuk setiap pemakai jasanya
akan berbeda-beda. Semua tergantung dari strategi masing-masing
pemakai jasa outsourcing.
Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas, terdapat persamaan
dalam memandang outsourcing (alih daya) yaitu terdapat penyerahan
sebagian kegiatan perusahaan kepada pihak lain. Outsource SDM adalah
konteks ini, maka sudah selayaknya perusahaan outsourcing memiliki
kemampuan di bidang pengelolaan administrasi SDM secara memadai.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah kemampuan perusahaan
outsourcing untuk melakukan rekruitmen. Bisa dikatakan perusahaan
outsourcing jenis ini seolah-olah menjadi perpanjangan dari departemen
HRD perusahaan induk.
2. Penyediaan Tenaga Kerja Dengan Sistem Outsourcing
Sutedi (2009: 217) Kecenderungan beberapa perusahaan untuk
mempekerjakan karyawan dengan sistem outsourcing pada saat ini,
umumnya dilatarbelakangi oleh strategi perusahaan untuk melakukan
efisiensi biaya produksi (cost of production). Dengan menggunakan
sistem outsourcing ini, pihak perusahaan berusaha untuk menghemat
pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia (SDM) yang
bekerja di perusahaan yang bersangkutan.
Berdasarkan hukum ketenagakerjaan, istilah outsourcing sebenarnya
bersumber dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 64 Undang-Undang
No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menyatakan :
Syarat-syarat wajib yang dipenuhi oleh perusahaan penyedia jasa pekerja
maupun perusahaan pemberi kerja, agar pekerja atau buruh yang
bersangkutan tetap terlindungi hak-haknya dan tidak mengalami
eksploitasi secara berlebihan. Syarat-syarat yang wajib dipenuhi menurut
Sutedi (2009: 218) adalah sebagai berikut:
1. Perusahaan penyedia jasa pekerja merupakan bentuk usaha berbadan hukum, dan memiliki izin dari instansi yang berwenang.
2. Pekerja atau karyawan yang ditempatkan tidak boleh digunakan untuk melaksanakan kegiatan pokok yang berhubungan langsung dengan proses produksi.
3. Adanya hubungan kerja yang jelas antara pekerja atau buruh dengan perusahaan penyedia jasa pekerja, sehingga pekerja yang ditempatkan tersebut mendapatkan perlindungan kerja yang optimal sesuai standar minimum ketenagakerjaan.
4. Hubungan kerja harus dituangkan dalam perjanjian secara tertulis (dua perjanjian sebagaimana yang telah disebutkan di atas), yang memuat seluruh hak dan kewajiban para pihak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
Penyedian tenaga kerja dengan sasaran outsourcing yang dimaksud
dalam pengelolaan diatas yaitu adanya perusahaan yang menyediakan
buruh-buruh harian dengan status hubungan kontrak. Setelah itu dapat
disalurkan kepada perusahaan-perusahaan swasta yang membutuhkan
pekerja dalam penempatan penunjang.
3. Pelaksanaan Outsourcing
Sutedi (2009: 219) perkembangan ekonomi global dan kemajuan
teknologi yang demikian cepat membawa dampak timbulnya persaingan
kompetitif ini menuntut dunia usaha untuk menyesuaikan dengan
tuntutan pasar yang memerlukan respons yang cepat dan fleksibel dalam
meningkatkan pelayanan terhadap pelanggan. Untuk itu diperlukan suatu
perubahan struktural dalam pengelolaan usaha dengan memperkecil
rentang kendali manajemen, dengan memangkas sedemikian rupa
sehingga dapat menjadi lebih efektif, efisien, dan produktif. Dalam kaitan
itulah dapat dimengerti bahwa kalau kemudian muncul kecenderungan
outsourcing, yaitu memborongkan satu bagian atau beberapa bagian
kegiatan perusahaan yang tadinya dikelola sendiri kepada perusahaan
lain yang kemudian disebut perusahaan penerima pekerjaan.
Menurut Sutedi (2009: 220) praktik outsourcing dalam Undang-Undang
No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut dapat dilaksanakan
dengan persyaratan yang sangat ketat sebagai berikut:
1. Perjanjian pemborongan pekerjaan dibuat secara tertulis.
2. Bagian pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penerima pekerjaan, diharuskan memenuhi syarat-syarat:
a) apabila bagian pekerjaan yang tersebut dapat dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama,
b) bagian pekerjaan itu merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan sehingga kalau dikerjakan pihak lain tidak akan menghambat proses produksi secara langsung, dan
c) dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan.
Dapat disimpulkan semua persyaratan di atas, bersifat kumulatif sehingga
apabila salah satu syarat tidak terpenuhi, maka bagian pekerjaan tersebut
tidak dapat dioutsourcing-kan. Perusahaan penerima pekerjaan harus
penerima pekerjaan yang tidak bertanggung jawab dalam memenuhi
kewajiban terhadap hak-hak pekerja/ buruh sebagaimana mestinya
sehingga pekerja/buruh menjadi terlantar. Oleh karena itu, berbadan
hukum menjadi sangat penting agar tidak bisa menghindar dari tanggung
jawab. Dalam hal perusahaan penerima pekerjaan, demi hukum beralih
kepada perusahaan pemberi pekerjaan.
4. Penyerahan Sebagai Pekerjaan Outsourcing
Sutedi (2009: 223) Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, memberikan peluang kepada perusahaan untuk dapat
menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan di dalam perusahaan
kepada perusahaan lainnya melalui:
1. pemborongan pekerjaan, atau
2. perusahaan penyediaan jasa pekerja (PPJP).
Dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
kedua bentuk kegiatan dimaksud dapat dilakukan dengan syarat-syarat
tertentu. Syarat-syarat dimaksud antara lain ditentukannya dengan wajib
dilaksanakan melalui perjanjian yang dibuat secara tertulis. Adapun
perusahaan penerima pekerjaan tersebut harus berbentuk badan hukum.
Untuk perusahaan penyediaan jasa pekerja, dipersyaratkan pula selain
harus berbadan hukum, juga terdaftar pada instansi ketenagakerjaan,
1. Pemborongan Pekerjaan
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan
kepada perusahaan lain melalui pemborongan pekerjaan. Perjanjian
pemborongan pekerjaan dapat dilakukan dengan perusahaan yang
berbadan hukum, dengan syarat-syarat sebagai berikut:
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama,
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari
pemberi pekerjaan,
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan, dan
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.
Hal yang perlu diperhatikan dalam kegiatan adalah adanya ketentuan
bahwa perlindungan dan syarat-syarat kerja bagi pekerja yang bekerja
pada perusahaan penerima kerja, sekurang-kurangnya sama dengan
perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi
pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
2. Penyedia Jasa
Pengusaha yang memasok penyediaan tenaga kerja kepada perusahaan
pemberi kerja untuk melakukan pekerjaan di bawah perintah langsung
dari perusahaan pemberi kerja, disebut perusahaan penyedia jasa
pekerja. Perusahaan penyedia jasa pekerja wajib berbadan hukum dan
Perusahaan penyedia jasa pekerja untuk kegiatan jasa penunjang atau
kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi
dipersyaratkan:
a. adanya hubungan kerja antara pekerja atau buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja
b. perjanjian kerja dapat berupa perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak
c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja
d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja dan perusahaan penyedia jasa pekerja, dibuat secara tertulis sesuai ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dari kesimpulan di atas suatu perusahaan penyedia jasa pekerja yang
memperoleh pekerjaan, dari perusahaan pemberi pekerjaan kedua belah
pihak wajib membuat perjanjian tertulis yang sekurang-kurang memuat:
a. jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja
b. penegasan bahwa dalam melaksanakan pekerjaan, hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan pekerja yang dipekerjakan perusahaan penyedia jasa pekerja, sehingga perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja
F. Kerangka Pikir
Pada dasarnya kebijakan (policy) yang diambil pemerintah mencerminkan
keputusan mengenai apa yang akan dilakukan dan atau tidak dilakukan
berkenaan dengan kepentingan umum (public interest). Kebijakan merupakan
suatu usaha pengambilan keputusan yang pada dasarnya merupakan kegiatan
untuk mendapat informasi, mengolahnya dan akhirnya membuat keputusan
yang dianggap terbaik melalui program-program yang ditawarkan.
Efektivitas kebijakan yang dikembangkan oleh William N. Dunn (2003: 430)
terdapat lima indikator efektivitas kebijakan, yakni 1. Efisiensi, 2.
Kecukupan, 3. Perataan, 4. Responsivitas, 5. Ketepatan, Efisiensi akan
terlaksana jika penggunaan sumber daya dalam pelaksanaan kegiatan
perusahaan diberdayakan secara optimum sehingga suatu tujuan akan
tercapai.
Kecukupan, dengan melihat atau memprediksi seberapa jauh alternatif yang
ada dapat memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan dalam menyelesaikan
masalah yang terjadi.
Perataan, Perataan atau adil haruslah bersifat merata dalam arti semua sektor
dan dari segi lapisan masyarakat harus sama-sama dapat menikmati hasil
kebijakan.
Responsivitas, respon dari suatu aktivitas dalam sebuah kebijakan publik.
Yang berarti tanggapan sasaran kebijakan publik atas penerapan suatu
Ketepatan, ketepatan merujuk pada nilai atau harga dari tujuan program dan
pada kuatnya asumsi yang melandasi tujuan-tujuan tersebut. Kriteria
kelayakan dihubungkan dengan rasionalitas substantif, karen kriteria ini
menyangkut substansi tujuan bukan cara atau instrumen untuk merealisasikan
tujuan tersebut.
Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa dalam melihat suatu kegiatan
itu efektif atau tidak efektif maka diperlukan indikator atau alat untuk
menganalisis efektivitas. Hal ini juga berlaku dalam melihat efektivitas dalam
kebijakan sistem outsourcing terhadap buruh di PT Centralpertiwi Bahari.
PT Centralpertiwi Bahari Kabupaten Lampung Selatan merupakan salah satu
dari beberapa perusahaan yang menggunakan buruh sistem outsourcing.
Tuntutan tersebut dijawab dengan munculnya kebijakan dan program kerja
yang ada pada PT Centralpertiwi Bahari Kabupaten Lampung Selatan
Berdasarkan uraian tersebut agar lebih jelasnya dapat dilihat dalam bagan
kerangka pikir di bawah ini :
Gambar 1. Kerangka Pikir
Kebijakan Sistem Alih daya Outsourcing (Studi Kasus di PT Centralpertiwi Bahari)
Tujuan PT Centralpertiwi Bahari menggunakan kebijakan sistem outsourcing
1. Fokus pada kompetensi jalur bisnis utama
2. Penghematan dan pengendalian biaya operasional 3. Memanfaatkan kompetensi vendor outsourcing 4. Perusahaan menjadi lebih ramping dan gesit
dalam merespon pasar 5. Mengurangi resiko
6. Meningkatkan efisiensi dan perbaikan pada pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya non-core business
Teori Efektivitas Kebijakan (William N. Dunn)
III. METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif, karena penelitian ini
mengelola dan menggambarkan data serta informasi berdasarkan fakta-fakta
yang tampak untuk kemudian dianalisis lebih lanjut. Metode ini tidak terbatas
sampai pada pengumpulan data, tetapi meliputi juga analisis. Penyampaian
data dan informasi digambarkan dalam bentuk tampilan kalimat yang lebih
bermakna dan mudah dipahami.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisa mengenai
Efektivitas Kebijakan Sistem Alih Daya Outsourcing (Studi Kasus di PT
Centralpertiwi Bahari), maka tipe penelitian ini adalah penelitian deskriptif
yang didasarkan pada kualitatif. Penelitian deskriptif yang bertujuan untuk
memberikan gambaran secara jelas dan mendeskripsikan secara terperinci
tentang interaksi yang terjadi antara sistem kebijakan perusahaan dengan
buruh dalam Efektivitas Kebijakan Sistem Alih Daya Outsourcing (Studi
Kasus di PT Centralpertiwi Bahari). Data atau informasinya berbentuk gejala
yang sedang berlangsung, serta standar (tolak ukur) dalam mengungkapkan
kebenarannya adalah kondisi idealnya dan bukan menggunakan angka atau