5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&
"
8
8
8
8
47"-10
47"-10
47"-10
47"-10&&&&
Isu strategis pembangunan koperasi dapat dilihat dari dua sisi. Pada satu sisi pembangunan koperasi tergantung pada partisipasi aktif berbagai pihak, yaitu kalangan koperasi sendiri, dunia usaha, pemerintah, dan masyarakat. Pada sisi lain bagaimana membangun pemahaman yang sama tentang tujuan, sasaran, dan pengukuran serta kriteria penilaian keberhasilan pembangunan itu. Membangun pemahaman yang sama sampai saat ini masih belum merata dan meluas. Hal tersebut potensial mengakibatkan tidak optimalnya dukungan pihak terkait dan tidak terjadi sinergi positif dalam pemberdayaan koperasi. Karena itu perlu dibangun suatu instrumen yang dapat mempengaruhi sejauhmana kemajuan yang diperlukan sesuai yang diharapkan. Kiat dimaksud diharapkan akan mempermudah bagi siapapun yang memiliki kepedulian dalam pembangunan koperasi, khususnya dari pemerintah, untuk mengetahui kondisi koperasi, mengukur kemajuan ataupun kekurangan untuk disempurnakan.
Dalam rangka menumbuhkembangkan semangat kompetisi masing-masing daerah untuk membangun ekonomi rakyat melalui koperasi, perlu diadakan pemeringkatan daerah yang menggambarkan kinerja sekaligus komitmen dari Pemerintah Daerah untuk pemberdayaan Koperasi dan UKM dalam semangat otonomi daerah. Upaya pemeringkatan daerah dalam pembangunan koperasi belum pernah ada. Sebelum diimplementasikan secara luas untuk seluruh daerah (propinsi, kabupaten, dan kota), diperlukan kajian khusus baik secara studi literatur, kunjungan lapangan, maupun diskusi dengan para pakar dan praktisi koperasi. Diharapkan kegiatan ini akan menambah semangat persaingan antar daerah dalam membangun ekonomi rakyat melalui koperasi. Selain itu juga untuk memperlancar koordinasi antara pusat dengan daerah.
Upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah selama ini hanya pada tataran mikro koperasi sebagai dunia usaha. Program tersebut hanya mampu memberikan atribut terhadap koperasi dalam rangka memperoleh penghargaan yang diterima setiap kejadian perayaan Hari Koperasi pada bulan Juli. Upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah lebih pada kontes pemilihan koperasi terbaik pada waktu tertentu. Daerah sangat pasif dan kurang ada upaya kreatif dimana Kepala Daerah memberikan perhatian sekedar untuk memperoleh penghargaan. Situasi itu didukung oleh sistem karena pada masa itu sistem pemerintahan sentralistik. Upaya tersebut belum mampu menggambarkan secara komprehensif pembangunan koperasi terkait dengan pembangunan ekonomi regional yang mencerminkan semangat kompetisi.
Sejalan dengan era reformasi dan globalisasi, mencari jawaban atas permasalahan di atas merupakan bagian dari perubahan proses pembangunan berdasarkan otonomi daerah. Kepala Daerah diberikan kewenangan yang besar dalam pembangunan dengan pelimpahan urusan pembangunan termasuk koperasi, sehingga Kepala Daerah juga harus ikut bertanggungjawab terhadap keberhasilan pembangunan koperasi. Bagaimana model dan indikator pembangunan koperasi yang terintegrasi dengan pembangunan daerah dan nasional menjadi permasalahan yang perlu dipecahkan melalui studi ini.
Tujuan dari penelitian ini adalah menemukenali indikator-indikator penilaian dalam pembangunan daerah dalam bidang perkoperasian dan merumuskan model pemeringkatan daerah dalam pembangunan koperasi. Manfaat studi ini adalah sebagai bahan masukan untuk pemeringkatan beberapa daerah dalam pembangunan koperasi, memotivasi Pemerintah Daerah dan pemangku kepentingan dalam pembangunan koperasi. dan meningkatkan semangat kompetisi antar daerah dalam pembangunan koperasi.
Lingkup kegiatan dikaitkan dengan lokasi maka sesuai dengan perumusan dan penetapan indikator dan bobotnya, akan dilakukan dua tahapan operasional kegiatan. Tahap Pertama adalah menjaring, menentukan, dan menetapkan indikator dan bobot
indikator dengan cara Focus Group Discussion (FGD) yang dilaksanakan di Jakarta. Para
5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&
""
bobot indikator. Metode pembobotan dilakukan dengan metode Delphi. Tahap kedua adalah tahap survey. Survey mengumpulkan data dilaksanakan di 5 (lima) propinsi sebagai sampel uji sahih. Pengumpulan data dan informasi dilakukan di masing-masing iibukota propinsi. Survey menghasilkan data untuk menentukan parameter dan indeks indikator. Lokasi studi sebanyak lima propinsi, yakni Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bali, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat.Sebagai upaya untuk mengetahui posisi daerah, studi pemeringkatan daerah ini mencakup beberapa prinsip yaitu : (1) hubungan integratif, adanya hubungan integratif antara pembangunan koperasi daerah dengan nasional, pembangunan daerah dengan pembangunan nasional, pembangunan koperasi dengan pembangunan daerah dan
nasional, (2) transparansi dan obyektifitas, tranparansi dan obyektifitas dalam assesment
pemeringkatan, dengan pengertian bahwa dilakukan secara terbuka, jelas, rasional, dan dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah dalam pengukuran indikator, (3) berbasis daerah, produk pemeringkatan daerah dalam pembangunan koperasi berbasis daerah, artinya, proses dan hasilnya merupakan kepentingan daerah, gerakan koperasi, dan masyarakat setempat dan (4) tidak bersifat tetap, tingkat peringkat dari satu daerah tidak bersifat tetap, melainkan dapat berubah sesuai dengan perkembangannya, karena peringkat suatu daerah akan ditentukan oleh kinerja daerah itu sendiri dan (5) terukur, upaya pemeringkatan daerah dalam pembangunan koperasi juga dimaksudkan sebagai alat monitoring dan evaluasi. Prinsip dasar dalam monitoring dan evaluasi adalah keterukuran setiap indikator. Oleh karena itu indikator dalam pemeringkatan ini harus
terukur (measurable).
Kesimpulan dari studi ini adalah sebagai berikut :
1. Indikator daerah dalam pembangunan koperasi mencakup 3 (tiga) kelompok indikator, yaitu indikator kelembagaan koperasi, indikator usaha, dan indikator peran pemerintah dan pembangunan wilayah. Indikator berjumlah 18 yaitu : (1) Jumlah koperasi, (2) Jumlah anggota koperasi, (3) Kualitas koperasi, yang terdiri atas : (a) koperasi aktif, (b) pelaksanaan RAT, (c) koperasi penerima penghargaan, dan (d) koperasi klasifikasi, (4) Peningkatan kualitas sumberdaya manusia koperasi, (5) Volume usaha (output) koperasi, (6) Permodalan koperasi, (7) Tabungan / simpanan anggota koperasi, (8) Investasi koperasi, (9) Asset koperasi, (10) Ekspor koperasi, (11) Kredit perbankan untuk koperasi, (12) Sisa Hasil Usaha (SHU), (13) Dana perkuatan untuk koperasi, (14) Dana dekonsentrasi untuk pembangunan koperasi, (15) Anggaran pembangunan koperasi daerah, (16) Penyerapan tenagakerja koperasi, (17) Nilai tambah koperasi, (18) Pembayaran pajak koperasi.
2. Indikator yang termasuk dalam bobot lima besar teratas adalah kualitas koperasi, anggaran pembangunan koperasi daerah, peningkatan kualitas SDM, volume usaha, dan jumlah koperasi. Sedangkan indikator yang termasuk dalam lima besar terbawah adalah ekspor koperasi, pajak koperasi, SHU, kredit koperasi, dan asset koperasi.
3. Indikator-indikator yang dihasilkan dalam studi ini sangat memadai untuk menjelaskan performa daerah dalam pembangunan koperasi, karena indikator tersebut mewakili koperasi, pembangunan wilayah dan nasional.
4. Model untuk analisis pemeringkatan disebut sebagai Cooperative Development
Regional Performance (CDRP). Model ini sangat memadai untuk menjelaskan pemeringkatan karena menggunakan metode indeks yang merangkum berbagai
indikator yang berbeda jenis dan menginteraksikan performa koperasi (Regional
Cooperative Size / RCS) dengan pembangunan wilayah dan nasional (Regional Development Size / RDS) secara integratif. Untuk menentukan rating dan peringkat
digunakan Cooperative Index of CDRP (CICDRP).
5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&
"""
6. Dari uji sahih penerapan model diperoleh peringkat propinsi sampel dalampembangunan koperasi pada tahun 2006 secara berturut-turut adalah : (1) Bali, (2)!
Sulawesi Selatan, (3) NTB, (4) Sumatera Barat, (5) Sumatera Utara. Bali dan Sulawesi Selatan selalu berada pada posisi peringkat teratas selama tahun 2004 – 2006.
7. Dari uji sahih penerapan model CDRP, Propinsi Bali pada umumnya menunjukkan performa baik.
8. Persediaan data sangat terbatas untuk analisis secara komprehensif berdasarkan model CDRP. Data yang tidak tersedia dan belum menjadi bagian dari statistik pembangunan koperasi dan wilayah adalah : (1) Pembiayaan pendidikan koperasi, (2) Investasi koperasi, (3) Asset dunia usaha propinsi dan nasional, (4) Ekspor koperasi, (5) Kredit perbankan untuk koperasi, (6) Dana perkuatan/bergulir, (7) Dana dekonsentrasi, (8) Nilai tambah koperasi, (9) Pembayaran pajak koperasi.
9. Pemeringkatan ini dapat berguna dalam penetapan kebijakan pemerintah pusat dan daerah untuk periode berikutnya. Juga sekaligus dapat memberikan potret kepemimpinan daerah baik pihak eksekutif maupun legislatif daerah yang bersangkutan.
Rekomendasi yang perlu mendapat perhatian adalah sebagai berikut :
1. Indikator dan model CDRP yang dihasilkan pada studi ini dapat digunakan untuk memeringkat seluruh propinsi, kabupaten, dan kota di Indonesia.
2. Untuk meningkatkan posisi daerah dalam pembangunan koperasi, pemerintah pusat dan daerah perlu memperhatikan indikator yang bernilai rendah.
3. Dalam rangka pemeringkatan daerah (propinsi, kabupaten, dan kota) dalam pembangunan koperasi sebaiknya menggunakan model CDRP.
4. Pemerintah Pusat dan setiap Pemerintah Daerah (Kementerian Negara KUKM, Dinas-dinas KUKM, BPS Daerah dan Pusat) sebaiknya menampilkan statistik pembangunan koperasi sesuai dengan indikator-indikator pemeringkatan ini. Dalam rangka ini, Menteri Negara KUKM mengeluarkan kebijakan dalam bentuk Peraturan Menteri Negara KUKM (Permen KUKM).
5. Untuk mengetahui sejauhmana posisi masing-masing daerah dalam pembangunan koperasi dan meningkatkan semangat berkompetisi dan dayasaing dalam era globalisasi, sebaiknya dilaksanakan kegiatan pemeringkatan daerah (propinsi, kabupaten, kota) setiap tahun.
6. Untuk menjaga independensi dan obyektifitas, pelaksana pemeringkatan daerah dalam pembangunan koperasi sebaiknya oleh lembaga independen yang mempunyai
kompetensi dalam bidang assessment/rating.
7. Perlu dilakukan sosialisasi kepada masing-masing stakeholder baik tingkat pusat
maupun tingkat daerah.
8. Perlu dilakukan pelatihan kepada petugas yang terkait dengan implementasi pemeringkatan baik dari unsur pemerintah tingkat pusat maupun daerah.
5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&
"#
5
5
5
5
1"1&
1"1&
1"1&
1"1&
+
+
+
+
)./1."1-
)./1."1-
)./1."1-
)./1."1-&&&&
Membangun koperasi merupakan suatu proses pembelajaran yang berkelanjutan
dan berulang sejalan dengan adanya pergantian generasi, waktu, pertambahan jumlah
penduduk, dan perkembangan dinamis berbagai aspek kehidupan yang ada dalam
masyarakat. Dengan perkembangan yang terjadi maka pembangunan koperasi harus
mampu menjawab tantangan jaman dan tidak monopoli pemerintah. Telah terjadi suatu
perubahan sistem bahwa pemerintah tingkat propinsi, kota, dan kabupaten sangat berperan
saat ini. Meskipun semangat desentralisasi dijalankan, namun pemberdayaan masyarakat
menjadi hal yang penting dan prioritas. Dalam hal ini untuk pengembangan dan
pertumbuhan, semestinya koperasi sendiri yang harus didorong untuk secara aktif
membangun dirinya. Hal ini tidak berarti, bahwa pemerintah tidak campur tangan, akan
tetapi tetap sangat diperlukan untuk menciptakan iklim kondusif yang dibutuhkan dan
mendorong serta menggalang partisipasi positif pihak terkait dalam membangun koperasi.
Isu strategis pembangunan koperasi adalah bagaimana mewujudkan koperasi sebagai
tulang punggung perekonomian rakyat.
Sejalan dengan otonomi daerah, tercipta kondisi yang memungkinkan kompetisi
antar daerah dalam pembangunan daerah. Kompetisi sangat tergantung pada pasar, yang
ditunjukkan oleh sisi supply dan demand. Sejauhmana suatu daerah mampu berkompetisi
dengan daerah lain sangat tergantung pada kemampuan meningkatkan efisiensi dan
peluang pasar. Peringkat (rating dan ranking) adalah salah satu instrumen yang dapat
menjelaskan sejauhmana posisi suatu daerah dalam kompetisi sekaligus juga sebagai
penghargaan atas pendelegasian kewenangan ke daerah dalam lapangan perkoperasian.
Berbagai pemeringkatan telah dikeluarkan oleh lembaga-lembaga nasional dan
internasional baik terhadap negara maupun dunia usaha, seperti IMD mengeluarkan
peringkat daya saing negara, Transparency International mengeluarkan Indeks Persepsi
Korupsi negara, UNDP mengeluarkan peringkat negara dalam pembangunan sumberdaya
manusia, dan Standard dan Poor mengeluarkan rating membayar utang luar negeri
negara. Hasil pemeringkatan ini sangat mempengaruhi negara-negara dalam membangun
hubungan dan perekonomian. Akibatnya, banyak negara menerima hasil pemeringkatan
untuk memperbaiki kondisi domestiknya menghadapi globalisasi dengan mengevaluasi
kembali rencana strategis pembangunan.
Pembangunan daerah dalam bidang koperasi juga tidak terlepas dari proses
menyeluruh pembangunan daerah. Sampai seberapa jauh posisi daerah dalam
pembangunan koperasi sangat pantas diketahui dalam era global dan kompetitif dewasa
5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&
#
sasaran, dan pengukuran serta kriteria pembangunan koperasi. Hal tersebut potensialmengakibatkan tidak optimalnya dukungan pihak terkait dan tidak terjadi sinergi positif
dalam pemberdayaan koperasi. Karena itu perlu dibangun suatu instrumen yang dapat
mempengaruhi sejauh mana kemajuan yang diperlukan sesuai yang diharapkan. Kiat
dimaksud diharapkan akan mempermudah Pemerintah Daerah dan siapapun yang memiliki
kepedulian dalam pembangunan koperasi untuk mengukur kemajuan dan kekurangan
pembangunan koperasi.
Hasil kajian ini menyajikan temuan yang merupakan sebuah proses dan hasil
pemeringkatan daerah dalam permbangunan koperasi. Hasil kajian ini dapat digunakan
sebagai sebuah metode yang ilmiah dan diterapkan secara luas pada semua propinsi,
kabupaten, dan kota. Hasil pemeringkatan propinsi sampel pada studi ini juga kiranya dapat
mendorong berbagai pihak untuk melakukan perbaikan dan pembangunan koperasi yang
lebih maju. Kami memahami bahwa pendekatan secara team work adalah kunci
keberhasilan dalam pembangunan koperasi ke depan. Masukan yang konstruktif dari para
pemangku kepentingan telah terangkum guna penyempurnaan laporan akhir ini.
Atas terselesaikannya kajian ini, tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada Tim
Kementerian Negara Koperasi dan UKM, yang dikoordinir oleh Sdr. Hasanuddin A. Gani,
SIP, MM dan Sdr. Slamet Subandi, S.Sos, MM dengan narasumber Dr. Johnny W.
Situmorang bekerjasama dengan pihak ketiga yaitu PT. Shidiq Sarana Mulya. Diharapkan
karya ini dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak sebagai bahan untuk perumusan
pemberdayaan koperasi di daerah.
Jakarta, Nopember 2007
Asdep Urusan Penelitian Koperasi
Dr. Ir. Pariaman Sinaga, MM
5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&
"#
2
2
2
2
18"1-&
18"1-&
18"1-&
18"1-&
9999
7%
7%
7%
7%&&&&
Halaman
Abstrak ... i
Kata Pengantar ... iv
Daftar Isi ... vi
Daftar Tabel ... viii
Daftar Gambar ... ix
Daftar Lampiran ... x
!
Bab I. Pendahuluan ... 11.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 3
1.3. Tujuan dan Manfaat ... 4
1.3.1. Tujuan Studi ... 5
1.3.2. Manfaat Studi ... 5
1.4. Sasaran dan Output ... 5
Bab II. Kerangka Pikir dan Ruang Lingkup Studi ... 6
2.1. Kerangka Pikir ... 6
2.1.1. Konsepsi Model ... 6
2.1.2. Kerangka Pembangunan Wilayah ... 8
2.1.2.1. Teori Pembangunan dan Pertumbuhan Wilayah ... 8
2.1.2.2. Model Pembangunan Ekonomi Wilayah 22
2.1.2.3. Strategi Pembangunan Ekonomi Wilayah 25 2.1.3. Kerangka Pembangunan Koperasi ... 28
2.1.3.1. Ciri dan Prinsip Koperasi ... 28
2.1.3.2. Tinjauan Kebijakan ... 29
2.1.4. Pilihan Model Pembangunan Koperasi dan Wilayah 30
2.1.5. Tinjauan Arti Penting Pemeringkatan ... 32
2.2. Ruang Lingkup ... 33
Bab III. Metode Studi ... 35
3.1. Jenis Studi ... 35
3.2. Lokasi Studi ... 35
3.3. Jenis dan Sumber Data ... 35
3.4. Metode Studi ... 35
3.5. Indikator Pembangunan ... 36
3.6. Prinsip Pemeringkatan Daerah ... 36
3.6.1. Hubungan Integral ... 37
3.6.2. Transparansi dan Obyektifitas ... 37
3.6.3. Berbasis Daerah ... 37
3.6.4. Tidak Bersifat Tetap ... 37
3.6.5. Terukur ... 37
3.7. Mekanisme Pelaksanaan ... 37
3.7.1. Tahap Persiapan ... 37
3.7.2. Tahap Survei ... 41
3.7.3. Tahap Uji Coba ... 41
3.7.4. Tahap Analisis san Evaluasi ... 41
3.8. Proses Penyelesaian Studi ... 41
3.8.1. Studi Kepustakaan ... 41
5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&
"##
3.8.3. Temu Pakar ... 42
3.8.4. Focus Group Discussion (FGD) ... 42
3.8.5. Uji Sahih ... 42
Bab IV. Gambaran Umum ... 43
4.1. Perkembangan Koperasi Nasional ... 43
4.2. Perkembangan Koperasi Propinsi Sampel ... 46
Bab V. Hasil dan Pembahasan ... 48
5.1. Proses Perumusan Indikator ... 48
5.1.1. Studi Kepustakaan ... 48
5.1.2. Temu Pakar ... 50
5.1.3. Focus Group Discussion (FGD) ... 52
5.2. Perumusan Model ... 53
5.3. Uji Sahih Pemeringkatan Propinsi Sampel ... 63
5.3.1. Pembobotan Indikator ... 63
5.3.2. Parameter Indikator Koperasi, Regional, dan Nasional serta Kendala Data ... 66
5.3.3. Uji Model Pemeringkatan ... 71
5.3.3.1. Regional Cooperative Size (RCS) dan Regional Development Size (RDS) ... 71
5.3.3.2. Performa regional Pembangunan Koperasi : Kasus 5 Pripinsi ... 77
5.3.3.3. Composite Index of Cooperative Development Regional Performance (CICDRP) ... 85
Bab VI. Kesimpulan dan Rekomendasi ... 87
6.1. Kesimpulan ... 87
6.2. Rekomendasi ... 89
DAFTAR PUSTAKA ... 90
5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&
viii
2
2
2
2
18"1-&
18"1-&
18"1-&
18"1-&
9
9
9
9
14)*
14)*
14)*
14)*&&&&
&
Tabel 1. Keragaan Umum Koperasi Berdasarkan Propinsi, Tahun 2005 ... 44
Tabel 2. Perkembangan Umum Koperasi Berdasarkan Beberapa Indikator Per Propinsi, Tahun 2004-2005 ... 45
Tabel 3. Perkembangan Koperasi pada Propinsi Sampel, Tahun 2004-2006 47 Tabel 4. Indikator Hasil Studi Kepustakaan ... 49
Tabel 5. Indikator setelah Pertemuan dengan Pakar ... 51
Tabel 6. Indikator Hasil FGD ... 53
Tabel 7. Bobot Indikator Hasil FGD ... 64
Tabel 8. Parameter Indikator Koperasi, Regional, dan Nasional, Tahun 2004-2006 ... 67
Tabel 9. Regional Cooperative Size (RCS) dan Regional Development Size (RDS) Propinsi Sampel Menurut Indikator, Tahun 2004-2006 ... 72
Tabel 10. Performa Propinsi Menurut Jenis Indikator Berdasarkan Regional Cooperative Development Performance (RCDP), Tahun 2004-2006 ... 78
Tabel 11. Indikator Berperforma Baik dan Tidak Baik pada Propinsi Sampel, Tahun 2006 ... 83
5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&
ix
2
2
2
2
18"1-&
18"1-&
18"1-&
18"1-&
9
9
9
9
1,41-
1,41-
1,41-
1,41-&&&&
[image:9.522.87.437.162.374.2]&
Gambar 1. Peran Model dalam Pengambilan Keputusan ... 7
Gambar 2. Penghematan Lokalisasi Tiga Pabrik Tekstil ... 19
Gambar 3. Struktur Pelayanan antar Pusat Perdagangan ... 20
Gambar 4. Model Kerangka Pikir Pembangunan Koperasi ... 31
Gambar 5. Model Kerangka Pikir Pembangunan Wilayah ... 31
Gambar 6. Mekanisme Pelaksanaan Studi Model Pemeringkatan Daerah dalam Pembangunan Koperasi ... 40
Gambar 7. Integrasi Indikator-indikator Utama Pembangunan Wilayah dan Pembangunan Koperasi ... 49
Gambar 8. Dsitribusi Bobot Masing-masing Indikator ... 66
(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&
x
2
2
2
2
18"1-&
18"1-&
18"1-&
18"1-&
9
9
9
9
1,6%-1.
1,6%-1.&&&&
1,6%-1.
1,6%-1.
&
Lampiran 1. Indikator dan Arti Pentingnya ... 93
Lampiran 2. Langkah-langkah Merumuskan Indikator ... 98
Lampiran 3. Daftar Peserta FGD ... 97
5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&
"
8888
9
9
9
9
14&:&
14&:&&&&&
14&:&
14&:&
+
+
+
+
).$13#*#1.&
).$13#*#1.&&&&&
).$13#*#1.&
).$13#*#1.&
1.1. Latar Belakang
Membangun koperasi merupakan suatu proses pembelajaran yang berkelanjutan
dan berulang sejalan dengan adanya pergantian generasi, pertambahan jumlah penduduk,
dan perkembangan dinamis berbagai aspek kehidupan yang ada dalam masyarakat. Ini
berarti dari waktu ke waktu koperasi perlu dibangun, dievaluasi perkembangannya, dan
dilakukan perbaikan dalam pembinaannya. Pembangunan koperasi yang merupakan
sebuah proses tidak dapat dipisahkan dari pembangunan wilayah atau daerah sesuai
semangat desentralisasi dan otonomi daerah yang kini terus bergulir. Dalam semangat
desentralisasi dan otonomi daerah peran pemerintah pada tingkat propinsi, kota, dan
kabupaten menjadi sangat penting. Namun ini tidak berarti bahwa pembangunan koperasi
harus menjadi monopoli pemerintah.
Dalam membangun koperasi pendekatan pemberdayaan masyarakat menjadi
prioritas. Pemberdayaan ditujukan untuk mengembangkan dan menumbuhkan koperasi
dimana koperasi sendiri yang harus didorong untuk secara aktif membangun dirinya. Hal ini
tidak berarti pemerintah tidak perlu campur tangan, melainkan campur tangan pemerintah
tetap sangat diperlukan untuk menciptakan iklim kondusif yang dibutuhkan oleh koperasi
dan mendorong serta menggalang partisipasi positif pihak terkait dalam membangun
koperasi.
Isu strategis pembangunan koperasi dapat dilihat dari dua sisi. Pada satu sisi
pembangunan koperasi tergantung pada partisipasi aktif berbagai pihak, yaitu kalangan
koperasi sendiri, dunia usaha, pemerintah, dan masyarakat. Pada sisi lain bagaimana
membangun pemahaman yang sama tentang tujuan, sasaran, dan pengukuran serta
kriteria penilaian keberhasilan pembangunan itu. Membangun pemahaman yang sama
sampai saat ini masih belum merata dan meluas. Hal tersebut potensial mengakibatkan
tidak optimalnya dukungan pihak terkait dan tidak terjadi sinergi positif dalam
pemberdayaan koperasi. Karena itu perlu dibangun suatu instrumen yang dapat
mempengaruhi sejauhmana kemajuan yang diperlukan sesuai yang diharapkan. Kiat
dimaksud diharapkan akan mempermudah bagi siapapun yang memiliki kepedulian dalam
pembangunan koperasi, khususnya dari pemerintah, untuk mengetahui kondisi koperasi,
5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&
#
Sejalan dengan kebijakan Otonomi Daerah, sejak tahun 1998 Pemerintah Pusattelah mendelegasikan kewenangan pengelolaan kepada daerah, kecuali urusan agama,
pertahanan, keuangan, luar negeri, dan kehakiman, sebagaimana tercantum di dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Salah satu urusan
pemerintahan yang telah dilimpahkan adalah pemberdayaan koperasi yang diharapkan
dapat menjadi penggerak ekonomi rakyat di daerah. Sebagai perwujudan dari kepedulian
terhadap perkembangan dan pembinaan koperasi, pemerintah terus berupaya untuk
merumuskan kebijakan yang tepat dan dapat dengan mudah diterapkan seiring dengan era
otonomi yang terus digulirkan. Langkah nyata yang saat ini tengah diupayakan oleh
pemerintah adalah pengembangan koperasi yang mampu meningkatkan nilai tambah,
penyerapan tenaga kerja, dan kemandirian. Langkah ini memiliki beberapa keunggulan
antara lain lebih fokusnya kebijakan yang diambil, lebih terarahnya distribusi informasi,
serta tingkat kompetisi dan efisiensi yang tinggi dari pelaku usaha dan antar daerah.
Selama ini, secara statistik telah terlihat perkembangan koperasi secara lokal,
regional, dan nasional. Menurut Kementerian Koperasi dan UKM bahwa sebaran koperasi
telah menyeluruh pada 33 propinsi dan 440 kabupaten/kota pada tahun 2006. Dari 138.411
jumlah koperasi terdapat 27.042.342 orang anggota koperasi, 29.207 orang manajer, dan
278.441 orang karyawan. Memperhatikan data tersebut, tampaknya tidak ada masalah
dengan kehadiran koperasi karena secara kuantitas kehadiran koperasi cukup tinggi.
Namun pada sisi lain, dalam pembangunan daerah belum mencerminkan peran sentral
koperasi. Jumlah orang miskin di Indonesia masih sangat banyak mencapai lebih dari 37
juta orang, dan posisi daerah dalam konteks keterkaitan pembangunan koperasi dengan
daerah dan nasional belum terlihat. Misalnya, apakah daerah di Jawa yang relatif secara
nasional berada pada posisi lebih baik dengan daerah luar Jawa sepadan dengan
kemampuannya mengembangkan koperasi di daerah masing-masing ?
Dalam rangka menumbuh-kembangkan semangat kompetisi masing-masing
daerah untuk membangun ekonomi rakyat melalui koperasi, perlu diadakan pemeringkatan
daerah yang menggambarkan kinerja sekaligus komitmen dari Pemerintah Daerah untuk
pemberdayaan Koperasi dan UKM dalam semangat otonomi daerah. Upaya pemeringkatan
daerah dalam pembangunan koperasi belum pernah ada. Sebelum diimplementasikan
secara luas untuk seluruh daerah (propinsi, kabupaten, dan kota), diperlukan kajian khusus
baik secara studi literatur, kunjungan lapangan, maupun diskusi dengan para pakar dan
praktisi koperasi. Diharapkan kegiatan ini akan menambah semangat persaingan antar
daerah dalam membangun ekonomi rakyat melalui koperasi. Selain itu juga untuk
memperlancar koordinasi antara pusat dengan daerah.
Kementerian Koperasi dan UKM (KUKM) melalui Deputi Bidang Pengkajian
5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&
$
2007 mempunyai kegiatan studi pemeringkatan daerah dalam pembangunan koperasi.Studi ini merupakan gagasan awal mencari model yang cocok untuk pemeringkatan daerah
dalam pembangunan koperasi. Kajian ini merupakan hasil dari studi tersebut yang
merupakan jawaban atas permasalahan studi menyangkut pemeringkatan.
1.2. Rumusan Masalah
Fungsi dan peran koperasi sebagaimana Undang-Undang nomor 25 tahun 1992
tentang Perkoperasian adalah membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan
ekonomi anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk meningkatkan
kesejahteraan ekonomi dan sosialnya. Tentu saja dalam konteks pembangunan wilayah
fungsi dan peran koperasi itu tidak lain ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan
anggota koperasi dan masyarakat lokal. Sementara itu dengan adanya kebijakan Otonomi
Daerah, terbuka peluang bagi pemberdayaan koperasi secara lebih baik sehingga sebutan
koperasi sebagai penggerak ekonomi rakyat di daerah diharapkan benar-benar akan
terwujud. Bilamana fungsi dan peran koperasi yang dicita-citakan pada satu sisi dan
pemberdayaan koperasi melalui kebijakan Otonomi Daerah terlaksana dengan tepat pada
sisi lainnya maka akan ada sinergis dimana koperasi memberikan kontribusi besar dalam
pembangunan wilayah.
Menindaklanjuti hal di atas telah ada program-program pemerintah untuk
membangun swadaya masyarakat dalam perkoperasian, antara lain peningkatan kualitas
sumbedaya manusia, penciptaan iklim kondusif, bantuan langsung, dan perkreditan. Dalam
konteks pembangunan wilayah, program pemerintah dimaksud semestinya dilaksanakan
secara transparan, penuh kompetisi, dan berorientasi masyarakat, sehingga menghasilkan
koperasi yang tumbuh dan berperan secara mikro dan makro. Sebagai wujud nyata peran
koperasi dalam pembangunan wilayah, indikator dan variabel harus terlihat jelas dan
terukur sehingga dapat digunakan untuk menunjukkan performa koperasi dalam
pembangunan wilayah.
Pada uraian latar belakang keberadaan koperasi dengan mengacu pada statistik
koperasi, secara kuantitas berdasarkan beberapa indikator telah menunjukkan performa
cukup baik karena daerah (kabupaten/kota) rata-rata telah mempunyai 314 unit koperasi
dengan anggota koperasi sebanyak 61.460 orang, manajer 66 orang, dan karyawan
koperasi sebanyak 633 orang. Berdasarkan propinsi, rata-rata propinsi memiliki 4.194 unit
koperasi dengan anggota koperasi sebanyak 819.465 orang, 885 orang manajer, dan 8.438
orang karyawan koperasi. Berbagai pertanyaan muncul dari performa koperasi secara
regional. Apakah angka-angka di atas cukup menjelaskan bahwa pembangunan koperasi
5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&
%
inilah yang menjadi persoalan yang membutuhkan analisis lebih dalam.Berbagai cara telah dilakukan oleh pemerintah dalam upaya mengetahui performa
pembangunan koperasi. Pada awal pengenalan KUD awal tahun 1980-an pemerintah telah
menetapkan kriteria KUD Model dan Klasifikasi Koperasi. Kemudian pada awal tahun
1990-an perg1990-anti1990-an Menteri y1990-ang men1990-ang1990-ani pemb1990-angun1990-an koperasi juga mengg1990-anti program
pembangunan koperasi dengan mengeluarkan kebijakan KUD dan Koperasi Mandiri.
Upaya pada era Orde Baru tersebut ternyata tidak menunjukkan kualitas koperasi yang
sebenarnya. Pada era reformasi pemerintah juga mengeluarkan kebijakan yang
menghasilkan Program Klasifikasi Koperasi yang sampai saat ini masih berlaku dan
penetapan koperasi terbaik.
Upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah tersebut hanya pada tataran mikro
koperasi sebagai dunia usaha. Program tersebut hanya mampu memberikan atribut
terhadap koperasi dalam rangka memperoleh penghargaan yang diterima setiap kejadian
perayaan Hari Koperasi pada bulan Juli. Upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah lebih
pada kontes pemilihan koperasi terbaik pada waktu tertentu. Daerah sangat pasif dan
kurang ada upaya kreatif dimana Kepala Daerah memberikan perhatian sekedar untuk
memperoleh penghargaan. Situasi itu didukung oleh sistem karena pada masa itu sistem
pemerintahan sentralistik. Upaya tersebut belum mampu menggambarkan secara
komprehensif pembangunan koperasi terkait dengan pembangunan ekonomi regional yang
mencerminkan semangat kompetisi.
Sejalan dengan era reformasi dan globalisasi, mencari jawaban atas
permasalahan di atas merupakan bagian dari perubahan proses pembangunan
berdasarkan otonomi daerah. Kepala Daerah diberikan kewenangan yang besar dalam
pembangunan dengan pelimpahan urusan pembangunan termasuk koperasi, sehingga
Kepala Daerah juga harus ikut bertanggungjawab terhadap keberhasilan pembangunan
koperasi. Bagaimana model dan indikator pembangunan koperasi yang terintegrasi
dengan pembangunan daerah dan nasional menjadi permasalahan yang perlu dipecahkan
melalui studi ini.
1.3. Tujuan dan Manfaat
Sesuai latar belakang dan rumusan masalah di atas, tujuan dan manfaat dari studi
5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&
&
Tujuan Studi
1. Menemukenali indikator-indikator penilaian dalam pembangunan daerah
dalam bidang perkoperasian.
2. Merumuskan model pemeringkatan daerah dalam pembangunan koperasi.
Manfaat Studi
1. Sebagai bahan masukan untuk pemeringkatan beberapa daerah dalam
pembangunan koperasi.
2. Memotivasi Pemerintah Daerah dan pemangku kepentingan dalam
pembangunan koperasi.
3. Meningkatkan semangat kompetisi antar daerah dalam pembangunan
koperasi.
Sasaran dan Output
Sasaran kualitatif dari kegiatan ini adalah terdapatnya hasil studi tentang model
pemeringkatan daerah dalam pembangunan koperasi. Adapun sasaran kuantitatif adalah
terdapatnya informasi mengenai indikator, model, dan mekanisme pemeringkatan yang
mencakup 5 (lima) propinsi sampel. Output studi ini adalah tersusunnya buku hasil studi
5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&
"
8
8
8
8
14&99&&
14&99&&
14&99&&
14&99&&
5
5
5
5
)-1./01&
)-1./01&
)-1./01&
)-1./01&
+
+
+
+
%0%-&$1.
%0%-&$1.
%0%-&$1.
%0%-&$1.&&&&
&&&&
:
:
:
:
#1./&
#1./&
#1./&
#1./&
;
;
;
;
%./0#6&
%./0#6&
%./0#6&
%./0#6&
!!!!
"#$%
"#$%
"#$%
"#$%
&&&&
2.1. Kerangka Pikir
Empat komponen utama dalam penyusunan kerangka pikir studi ini adalah (1)
konsepsi model, (2) kerangka pembangunan wilayah, (3) kerangka pembangunan koperasi
yang merupakan bagian tak terpisahkan dari pembangunan wilayah, dan (4) formulasi
model integratif pembangunan koperasi dengan wilayah. Secara teori dan empiris keempat
aspek tersebut dijelaskan berturut-turut di bawah ini.
2.1.1. Konsepsi Model
Studi ini merupakan sebuah studi model untuk pemeringkatan daerah dalam
pembangunan koperasi. Karena itu yang hendak dihasilkan adalah sebuah model yang
terukur setelah melalui uji sahih untuk mendapatkan peringkat daerah dalam pembangunan
koperasi. Secara teoritis, sebuah model merupakan abstraksi dari dunia nyata. Begitu
kompleksnya dunia nyata karena mengandung sangat banyak indikator dan permasalahan
sehingga suatu studi tidak mungkin mampu menyelesaikan semua aspek yang kompleks.
Model memberikan solusi atas kekompleksan dunia nyata agar diperoleh hasil yang
memadai untuk kepentingan pengambilan keputusan (Taha, 1982; Bronson, 1982; Nasendi
dan Anwar, 1985; Johnson, 1986; Dimiyati dan Dimiyati, 1987; Makridakis dan Wheelright,
1989; Mulyono, 1999).
Menurut Taha (1982), Nasendi dan Anwar (1985), dan Muyono (1999) bahwa
pengambilan keputusan adalah suatu proses yang dikembangkan secara bertahap dan
sistematis yang bermakna memiliki kriteria yang sistematis melalui prosedur tertentu yang
jelas dan teratur. Kriteria yang baik memenuhi tiga syarat, yakni (1) mempunyai ukuran
yang jelas, (2) dapat dipergunakan untuk menilai berbagai alternatif pilihan, dan (3) mudah
dihitung dan dijabarkan. Untuk proses itu sampai pada pengambilan keputusan,
dibutuhkanlah model.
Sebagai abstraksi dunia nyata, model memberikan manfaat dalam penentuan
optimalisasi penggunaan sumberdaya sehingga pengambilan keputusan bisa menciptakan
efisiensi dalam organisasi dan wilayah. Model mencerminkan hubungan fungsional yang
langsung atau tak langsung, dan interaksi atau interdependensi antar elemen sehingga
5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&
#
Sebagaimana terlihat pada Gambar 1, Nasendi dan Anwar menyatakan bahwa
model dibangkitkan dari teori dan fakta atau kenyataan dan hasil prosesnya dipergunakan
sebagai Pola Dasar Sistem (PDS) yang mengandung visi dan misi, landasan, dan azas.
PDS melahirkan Strategi dan Kebijakan (S&K) yang merupakan arah dan langkah-langkah
apa yang harus dilakukan. Sedangkan S&K melahirkan proyek/pelaksanaan kebijakan yang
[image:17.522.93.445.192.389.2]mengandung kegiatan.
Gambar 1. Peran Model dalam Pengambilan Keputusan (Nasendi dan Anwar, 1985)
Suatu model yang baik harus memenuhi tiga persyaratan, yakni (1) kesesuaian,
model harus mampu merangkum unsur-unsur pokok dari persoalan yang dihadapi,
(2) kesederhanaan, model harus sesuai dengan kemampuan dan kepentingan, dan
(3) keserasian, model harus mampu mengesampingkan hal-hal yang tak berguna.
Berdasarkan tipe, dimensi, fungsi, tujuan, dan tingkat abstraksinya, terdapat tiga jenis
model, yakni Model Ikonik, Model Analog, dan Model Matematika. Model Ikonik adalah
model yang berdimensi dua atau tiga yang merupakan ikon dari suatu obyek, misalnya
fotograf, bumi, dan mobil. Model Analog adalah analogi dari persoalan atau fenomena
yang terjadi secara dinamis, misalnya warna peta dan kurva. Model Matematika atau
Simbolik adalah merupakan model abstrak karena menggunakan simbol matematika
mewakili dunia nyata yang kompleks. Model Matematika terdiri dari dua kelompok yakni
model deterministik yang menggunakan data pada kondisi tertentu (certainty) dan model
stokhastik yang menggunakan data dalam kondisi probabilistik. Dengan memperhatikan
permasalahan dan tujuan riset, studi ini menggunakan Model Matematika yang bersifat
5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&
$
Dalam proses pengambilan keputusan dapat menggunakan berbagai macam
model, tergantung kepada tujuan pengambilan keputusan. Secara umum model dapat
dibedakan atas model kualitatif dan kuantitatif. Model kualitatif pada umumnya
menggunakan skala ordinal dan nominal, paling sering dipergunakan dalam ilmu sosial,
budaya, dan politik. Misalnya, smoothing factor untuk melakukan peramalan. Model
kuantitatif lebih menggunakan skala interval dan rasio dan juga dapat menggabungkan
skala ordinal dan nominal. Model yang termasuk dalam kuantitatif adalah ekonometrika dan
linear programming. Model ekonometrika biasanya digunakan untuk peramalan atau
prediksi dengan tingkat akurasi tinggi. Sementara model linear programming digunakan
untuk mengetahui optimalisasi alokasi sumberdaya. Dalam rangka membangun
benchmarking kapasitas kreatif suatu entitas negara atau wilayah, Bowen et al., (2006)
menerapkan model composite index of the creative economi untuk melihat best practices
regional. Berdasarkan pengalaman lembaga internasional dalam pemeringkatan
negara-negara dan juga sebagaimana kajian Bowen et al., studi pemeringkatan ini lebih tepat
menggunakan model kuantitatif berdasarkan analisis indeks.
2.1.2. Kerangka Pembangunan Wilayah
2.1.2.1. Teori Pembangunan dan Pertumbuhan Wilayah
Menurut Rahardjo Adisasmita (2005), pembangunan wilayah (regional)
merupakan fungsi dari potensi sumberdaya alam, tenaga kerja dan sumberdaya manusia,
investasi modal, prasarana dan sarana pembangunan, transportasi dan komunikasi,
komposisi industri, teknologi, situasi ekonomi dan perdagangan antar wilayah, kemampuan
pendanaan dan pembiayaan pembangunan daerah, kewirausahaan (kewiraswastaan),
kelembagaan daerah dan lingkungan pembangunan secara luas. Semua faktor di atas
adalah penting tetapi masih dianggap terpisah-pisah satu sama lain dan belum menyatu
sebagai komponen yang membentuk basis untuk penyusunan teori pembangunan wilayah
(regional) secara komprehensif.
Dalam melaksanakan pembangunan diperlukan landasan teori yang mampu
menjelaskan hubungan korelasi antara fakta-fakta yang diamati sehingga dapat merupakan
kerangka orientasi untuk analisis dan membuat ramalan terhadap gejala-gejala baru yang
diperkirakan akan terjadi. Dengan semakin majunya studi-studi pembangunan ekonomi,
banyak teori telah diperkenalkan, dan teori-teori tersebut dapat digunakan sebagai
landasan untuk menjelaskan pentingnya pembangunan wilayah.
Beberapa teori di dalam pembangunan wilayah yang lebih dikenal adalah
pemikiran-pemikiran menurut beberapa aliran dalam Ilmu Ekonomi (misalnya Klasik, Neo
5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&
%
industri dan pertumbuhan wilayah, dan teori kausasi kumulatif. Juga teori-teori seperti teori
lokasi dan aglomerasi, teori tempat sentral, teori kutub pertumbuhan, dan teori
pembangunan polarisasi.
Teori Aliran Klasik
Aliran Klasik dipelopori oleh Adam Smith pada akhir abad ke-18 berpendapat
bahwa tingkat output dan harga keseimbangan hanya dapat dicapai bila perekonomian
berada pada tingkat kesempatan kerja penuh (full employment) dan keseimbangan dengan
tingkat kesempatan kerja penuh itu hanya dapat dicapai melalui bekerjanya mekanisme
pasar secara bebas (free operation of market mechanism). Pertumbuhan ekonomi
disebabkan oleh faktor akumulasi modal dan perkembangan jumlah penduduk. Dengan
adanya akumulasi modal akan memungkinkan dilaksanakannya spesialisasi atau
pembagian kerja sehingga produktivitas tenaga kerja dapat ditingkatkan. Dampaknya akan
mendorong penambahan investasi (pembentukan modal) dan persediaan modal (capital
stock) yang selanjutnya diharapkan akan meningkatkan pendapatan.
Bertambahnya pendapatan berarti meningkatnya kemakmuran (kesejahteraan)
penduduk. Peningkatan kemakmuran mendorong bertambahnya jumlah penduduk.
Penduduk selain merupakan pasar karena pendapatannya meningkat juga merupakan
sumber tabungan yang digunakan untuk akumulasi modal yang selanjutnya akan
mendorong pertumbuhan yang semakin meningkat. Bertambahnya jumlah penduduk
menyebabkan berlakunya hukum pertambahan hasil yang semakin berkurang (law of
diminishing returns) yang selanjutnya akan menurunkan akumulasi modal. Doktrin atau
semboyan aliran Klasik adalah persaingan bebas. Artinya pemerintah tidak perlu campur
tangan dalam perdagangan dan perekonomian.
Teori Aliran Neo Klasik
Aliran Neo Klasik menggantikan aliran Klasik. Ahli-ahli Neo Klasik banyak
menyumbangkan pemikiran mengenai teori pertumbuhan ekonomi, yaitu sebagai berikut:
a. Akumulasi modal merupakan faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi.
b. Pertumbuhan ekonomi merupakan proses yang gradual.
c. Pertumbuhan ekonomi merupakan proses yang harmonis dan kumulatif.
d. Aliran Neo Klasik merasa optimis terhadap pertumbuhan (perkembangan).
Meskipun model pertumbuhan Neo Klasik telah digunakan secara luas dalam
5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&
&'
terus menerus tidak dapat diterapkan pada sistem multi-regional dimana
persoalan-persoalan regional timbul disebabkan karena perbedaan-perbedaan geografis dalam hal
tingkat penggunaan sumberdaya, dan (b) persaingan sempurna tidak dapat diberlakukan
pada perekonomian dan spasial.
Tingkat pertumbuhan terdiri dari tiga sumber, yaitu akumulasi penawaran tenaga
kerja, modal dan kemajuan teknik. Model Neo Klasik menarik perhatian ahli-ahli teori
ekonomi regional karena mengandung teori tentang mobilisasi faktor. Implikasi dari
persaingan sempurna adalah modal dan tenaga kerja yang berpindah apabila balas jasa
faktor-faktor tersebut berbeda-beda. Modal akan mengalir dari daerah yang mempunyai
tingkat biaya tinggi ke daerah yang mempunyai tingkat biaya rendah karena keadaan ini
memberikan suatu penghasilan (return) yang lebih tinggi. Tenaga kerja yang kehilangan
pekerjaan akan pindah ke daerah lain yang mempunyai lapangan kerja baru yang
merupakan pendorong untuk pembangunan di daerah tersebut.
Teori Aliran Keynes dan Pasca Keynes
Bersamaan dengan masa depresi yang melanda dunia tahun 1930-an muncullah
pemikiran John Maynard Keynes yang mengemukakan perubahan besar. Keynes dalam
bukunya yang berjudul General Theory of Employment, Interest and Money (1936)
menyatakan bahwa karena upah bergerak lamban maka sistem kapitalisme tidak akan
secara otomatis akan mencapai kepada keseimbangan penggunaan tenaga kerja penuh
(full-employment equilibrium). Karena itu akibat yang ditimbulkan saat itu adalah pengangguran yang sangat berlebih yang mana dapat diperbaiki melalui kebijakan fiskal
atau moneter untuk meningkatkan permintaan agregat.
Aliran Pasca Keynes memperluas teori Keynes menjadi teori output dan
kesempatan kerja dalam jangka panjang yang menganalisis fluktuasi jangka pendek untuk
mengetahui adanya perkembangan jangka panjang. Beberapa persoalan penting dalam
analisis Pasca Keynes adalah:
a. Syarat-syarat apakah yang diperlukan untuk mempertahankan perkembangan
pendapatan yang mantap (steady growth) pada tingkat pendapatan dalam
kesempatan kerja penuh (full employment income) tanpa mengalami deflasi ataupun
inflasi.
b. Apakah pendapatan itu benar-benar bertambah pada tingkat sedemikian rupa
sehingga dapat mencegah terjadinya kemacetan yang lama atau tingkat inflasi yang
terus menerus.
Apabila jumlah penduduk bertambah maka pendapatan per kapita akan berkurang
5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&
&&
maka output harus bertambah juga untuk mempertahankan kesempatan kerja penuh. Bila
terjadi investasi maka pendapatan riil harus bertambah pula untuk mencegah terjadinya
kapasitas yang menganggur (idle capacity).
Teori Basis Ekspor (Export Base Theory)
Teori basis ekspor adalah bentuk model pendapatan yang paling sederhana. Teori
ini menyederhanakan suatu sistem regional menjadi dua bagian yaitu daerah yang
bersangkutan dan daerah-daerah lainnya. Masyarakat di dalam satu wilayah dinyatakan
sebagai suatu sistem sosial ekonomi. Sebagai suatu sistem, keseluruhan masyarakat
melakukan perdagangan dengan masyarakat lain di luar batas wilayahnya. Faktor penentu
(determinan) pertumbuhan ekonomi dikaitkan secara langsung kepada permintaan akan
barang dari daerah lain di luar batas masyarakat ekonomi regional. Pertumbuhan industri
yang menggunakan sumberdaya lokal termasuk tenaga kerja dan material (bahan) untuk
komoditas ekspor, akan meningkatkan kesempatan kerja dan kesejahteraan masyarakat.
Aktivitas dalam perekonomian regional digolongkan dalam dua sektor kegiatan
yakni aktivitas basis dan non basis. Kegiatan basis merupakan kegiatan yang melakukan
aktivitas yang berorientasi ekspor (barang dan jasa) ke luar batas wilayah perekonomian
yang bersangkutan. Kegiatan non-basis adalah kegiatan yang menyediakan barang dan
jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat yang berada di dalam batas wilayah perekonomian
yang bersangkutan. Luas lingkup produksi dan pemasarannya adalah bersifat lokal.
Aktivitas basis memiliki peranan sebagai penggerak utama (primer mover) dalam
pertumbuhan suatu wilayah. Semakin besar ekspor suatu wilayah ke wilayah lain akan
semakin maju pertumbuhan wilayah tersebut, dan demikian sebaliknya. Setiap perubahan
yang terjadi pada sektor basis akan menimbulkan efek ganda (multiplier effect) dalam
perekonomian regional.
Analisis basis ekonomi adalah berkenaan dengan identifikasi pendapatan basis
(Richardson 1977). Bertambah banyaknya kegiatan basis dalam suatu wilayah akan
menambah arus pendapatan ke dalam wilayah yang bersangkutan yang selanjutnya
menambah permintaan terhadap barang atau jasa di dalam wilayah tersebut sehingga pada
akhirnya akan menimbulkan kenaikan volume kegiatan non basis. Sebaliknya,
berkurangnya aktivitas basis akan mengakibatkan berkurangnya pendapatan yang mengalir
ke dalam suatu wilayah sehingga akan menyebabkan turunnya permintaan produk dari
aktivitas non basis.
Walaupun teori basis ekspor mengandung kelemahan yang membagi
5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&
&(
upaya tersebut dapat bermanfaat sebagai sarana untuk memperjelas pengertian mengenai
struktur daerah atau wilayah yang bersangkutan dan bukan sebagai alat untuk membuat
proyeksi jangka pendek atau jangka panjang.
Untuk menganalisis basis ekonomi suatu wilayah, salah satu teknik yang lazim
digunakan adalah location quotient (LQ). Teknik LQ digunakan untuk mengetahui seberapa
besar tingkat spesialisasi sektor-sektor basis atau unggulan (leading sectors). Dalam teknik
LQ berbagai peubah (faktor) dapat digunakan sebagai indikator pertumbuhan wilayah
misalnya kesempatan kerja (tenaga kerja) dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
suatu wilayah.
Analisis location quotient merupakan suatu alat yang dapat digunakan dengan
mudah, cepat dan tepat. Karena kesederhanaannya, teknik LQ dapat dihitung berulang kali
dengan menggunakan berbagai peubah acuan dan periode waktu. Location quotient
merupakan rasio antara jumlah tenaga kerja pada sektor tertentu (misalnya industri) atau
PDRB terhadap total jumlah tenaga kerja sektor tertentu (industri) atau total nilai PDRB di
suatu daerah (kabupaten) dibandingkan dengan rasio tenaga kerja dan sektor yang sama
di propinsi dimana kabupaten tersebut berada dalam lingkupnya. Perhitungan LQ dapat
dilakukan pula untuk membandingkan indikator di tingkat propinsi dengan di tingkat
nasional.
Analisis LQ dimaksudkan untuk mengidentifikasi dan merumuskan komposisi dan
pergeseran sektor-sektor basis suatu wilayah dengan menggunakan Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) sebagai indikator pertumbuhan wilayah.
Formulasi matematisnya adalah:
V
V
V
V
LQ
R R
/
/
1 1
=
dimana :
R
V
1 = Nilai PDRB suatu sektor kabupaten/kotaR
V
= Nilai PDRB seluruh sektor kabupaten/kota1
V
= Nilai PDRB suatu sektor tingkat propinsiV
= Nilai PDRB seluruh sektor tingkat propinsi.• Jika LQ lebih besar dari 1, sektor tersebut merupakan sektor basis, artinya
5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&
&)
• Jika LQ lebih kecil dari 1, merupakan sektor non basis, yaitu sektor yang
tingkat spesialisasinya lebih rendah dari tingkat propinsi.
• Jika LQ sama dengan 1, berarti tingkat spesialisasi kabupaten sama dengan
tingkat propinsi.
Teori Sektor (Sector Theory of Growth)
Setiap wilayah mengalami perkembangan meliputi siklus jangka pendek dan
jangka panjang. Faktor-faktor dalam analisis perkembangan jangka pendek yang umumnya
digunakan adalah penduduk, tenaga kerja, upah, harga, teknologi dan distribusi penduduk,
tetapi laju pertumbuhan jangka panjang biasanya diukur menurut keluaran (output) dan
pendapatan. Pada umumnya pertumbuhan dapat terjadi sebagai akibat dari faktor-faktor
penentu endogen maupun eksogen yaitu faktor-faktor yang terdapat di dalam wilayah yang
bersangkutan atau faktor-faktor di luar wilayah atau kombinasi dari keduanya.
Salah satu teori pertumbuhan wilayah yang paling sederhana adalah teori sektor.
Teori ini dikembangkan berdasarkan hipotesis Clark-Fisher yang mengemukakan bahwa
kenaikan pendapatan per kapita akan dibarengi oleh penurunan dalam proporsi
sumberdaya yang digunakan dalam sektor pertanian (sektor primer) dan kenaikan dalam
sektor industri manufakfur (sektor sekunder) dan kemudian dalam industri jasa (sektor
tersier). Laju pertumbuhan dalam sektor yang mengalami perubahan (sector shift),
dianggap sebagai determinan utama dari perkembangan suatu wilayah.
Alasan dari perubahan atau pergeseran sektor tersebut dapat dilihat dari sisi
permintaan dan sisi penawaran. Pada sisi permintaan, yaitu elastisitas pendapatan dari
permintaan untuk barang dan jasa yang disuplai oleh industri manufaktur dan industri jasa
adalah lebih tinggi dibandingkan untuk produk-produk primer. Maka pendapatan yang
meningkat akan diikuti oleh perpindahan (realokasi) sumberdaya dari sektor primer ke
sektor manufaktur dan sektor jasa. Sisi penawaran yaitu realokasi sumberdaya tenaga
kerja dan modal dilakukan sebagai akibat dari perbedaan tingkat pertumbuhan produktivitas
dalam sektor-sektor tersebut. Kelompok sektor-sektor sekunder dan tersier menikmati
kemajuan yang lebih besar dalam tingkat produktivitas. Hal ini akan mendorong
peningkatan pendapatan dan produktivitas yang lebih cepat (kombinasi dari keduanya
misalnya dalam skala ekonomi), karena produktivitas yang lebih tinggi baik untuk tenaga
kerja maupun untuk modal, dan penghasilan yang lebih tinggi tersebut memungkinkan
untuk melakukan realokasi sumberdaya.
Tingkat pertumbuhan produktivitas tergantung pada inovasi dan kemajuan teknik
5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&
&*
terhadap produk-produknya akan meningkat cepat, maka terdapat kausalitas
"produktivitas - harga rendah - permintaan bertambah luas", bukan sebaliknya. Terjadinya
perubahan atau pergeseran sektor dan evaluasi spesialisasi (pembagian kerja) dipandang
sebagai sumber dinamika pertumbuhan wilayah. Perluasan dari teori sektor ini adalah teori
tahapan (stages theory) yang menjelaskan bahwa perkembangan wilayah adalah
merupakan proses evolusioner internal dengan tahapan-tahapan sebagai berikut :
a. Tahapan perekonomian subsistem swasembada dimana hanya terdapat sedikit
investasi atau perdagangan. Sebagian besar penduduk bekerja pada sektor
pertanian.
b. Dengan kemajuan transportasi di wilayah yang bersangkutan akan mendorong
perdagangan dan spesialisasi. Industri pedesaan masih bersifat sederhana
(tradisional) untuk memenuhi kebutuhan para petani.
c. Dengan bertambah majunya perdagangan antar wilayah maka wilayah yang maju
akan memprioritaskan pada pengembangan sub sektor tanaman pangan, selanjutnya
diikuti oleh sub-sub sektor peternakan dan perikanan.
d. Industri sekunder berkembang, pada permulaan mengolah produk-produk primer,
kemudian diperluas dan makin lebih berspesialisasi.
e. Pengembangan industri tersier (jasa) yang melayani permintaan dalam wilayah
maupun di luar wilayah.
Teori Pertumbuhan Wilayah dan Struktur Industri (Regional Growth and
Industrial Structure)
Interpretasi pertumbuhan wilayah dalam arti dinamika struktur industri adalah
sangat penting. Alasannya adalah kerangka dasar analisis pertumbuhan wilayah dan lokasi
industri secara komprehensif dan konsisten diperlukan untuk memahami dan mengevaluasi
ekonomi sub nasional (wilayah) dan pembangunan fisik. Analisis tersebut menggunakan
tiga asumsi, yaitu (1) bahwa pertumbuhan wilayah secara overall (volume kegiatan
ekonomi) ditentukan oleh kondisi bermacam-macam faktor lain dari pada pendapatan
regional per kapita (aspek kesejahteraan dari pertumbuhan); (2) bahwa pembangunan
masa depan adalah hasil dari kegiatan dan keputusan masa lalu dan sekarang, dan (3)
bahwa faktor-faktor kritis dalam pola pertumbuhan wilayah yang terus berubah itu adalah
hasil keputusan perusahaan-perusahaan mengenai lokasi dan output (jika dilihat ke
belakang adalah sebagai input, dan dihubungkan ke depan adalah pasar dari
5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&
&+
Peranan suatu wilayah sebagai komponen (bagian) ekonomi nasional
direpresentasikan oleh sektor industri dan struktur industri yang terdapat pada
masing-masing wilayah. Ada bermacam-macam industri yaitu industri besar, sedang dan kecil, dan
terdapat pula industri yang mempunyai tingkat pertumbuhan tinggi, lamban, dan bahkan
ada yang stagnan. Ada suatu wilayah yang memiliki keunggulan lokasional (locational
advantage) yang memungkinkan pengembangan industri. Sebaliknya wilayah-wilayah lain
tidak memiliki keunggulan lokasional sehingga pengembangan industri mengalami
hambatan.
Tanpa memandang industri itu berkembang cepat atau lamban, yang penting
diukur adalah proporsi atau kontribusi sektor industri di masing-masing wilayah terhadap
total industri nasional (indikator pertumbuhan lain misalnya penduduk dan pendapatan).
Analisis kontribusi (share analysis) ini memberikan gambaran struktur suatu wilayah secara
statis. Upaya untuk mengkaji struktur wilayah secara dinamis adalah menerapkan shift
analysis (analisis pergeseran). Analisis ini membandingkan perubahan regional yang terjadi di suatu wilayah antara dua titik waktu tertentu dan khususnya mengkonsentrasikan pada
apakah perubahan regional itu lebih besar atau lebih kecil dibandingkan dengan perubahan
rata-rata nasional (yaitu apakah terjadi pergeseran atau perubahan yang menaik atau
menurun).
Perubahan regional terdiri dari dua komponen yaitu pergeseran proporsional
(proportionality shift) dan pergeseran diferensial (differential shift). Pergeseran proporsional
mengukur pengaruh komposisi industri yang dilihat secara nasional bahwa beberapa sektor
mengalami pertumbuhan lebih cepat dibandingkan sektor-sektor lainnya. Jadi, suatu
wilayah yang memiliki sektor-sektor yang tingkat pertumbuhannya lamban akan
memperlihatkan pergeseran proporsional yang menurun. Sebaliknya suatu wilayah yang
mempunyai sektor-sektor yang tingkat pertumbuhannya tinggi akan memperlihatkan
pergeseran yang menaik. Pergeseran diferensial terjadi dari keadaan bahwa
industri-industri tumbuh di beberapa wilayah lebih cepat dari wilayah-wilayah lain. Wilayah-wilayah
yang mempunyai karakteristik pergeseran yang menaik adalah daerah-daerah yang
memiliki keunggulan lokasional yang memungkinkan pengembangan kegiatan-kegiatan
tertentu lebih baik dibandingkan daerah-daerah lain.
Teori Kausasi Kumulatif (Cummulative Causation Theory)
Tahun 1955, sepuluh tahun setelah Perang Dunia II berakhir Gunnar Myrdal
mengemukakan tiga kesimpulan penting yaitu:
a. Dunia dihuni oleh segelintir negara-negara yang sangat kaya dan sejumlah besar
5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&
&"
b. Negara-negara kaya melaksanakan pola perkembangan ekonomi yang terus menerus
sedangkan negara-negara miskin mengalami perkembangan yang sangat lamban dan
bahkan ada yang mandeg.
c. Jurang ketidakmerataan ekonomi antara negara-negara kaya dan negara-negara
miskin semakin bertambah besar.
Ada dua asumsi pokok yang tidak realistis yang melemahkan teori ekonomi
tradisional untuk menjelaskan ketidakmerataan itu yaitu : pertama, adalah keseimbangan
stabil (stable equilibrium) artinya sistem perekonomian pasar selalu bergerak menuju
kepada keseimbangan, dan kedua, analisis ekonomi dibatasi pada faktor-faktor ekonomi
saja akibatnya variabel-variabel non-ekonomi diperlakukan sebagai data yang sudah
tertentu (ceteris paribus). Sedangkan antara faktor ekonomi dan faktor non-ekonomi
terdapat saling keterkaitan dan saling pengaruh yang bersifat sirkuler satu sama lain.
Berdasarkan prinsip kausasi sirkuler kumulatif dapat dijelaskan terjadinya
ketidakmerataan ekonomi (internasional, nasional dan regional). Apabila proses kausasi
sirkuler kumulatif dibiarkan bekerja atas kekuatan sendiri maka akan menimbulkan
pengaruh merambat yang ekspansioner di satu pihak (spread effects) dan pengaruh
pengurasan (backwash effects). Strategi campur tangan pemerintah yang dikehendaki
adalah pengambilan tindakan kebijakan yang mengurangi backwash effects dan
memperkuat spread effects agar proses kausasi sirkuler kumulatif mengarah ke atas yakni
semakin memperkecil ketidakmerataan. Ketidakmerataan sangat tidak dikehendaki oleh
semua bangsa.
Teori Lokasi dan Aglomerasi
1. Teori Lokasi
Dari sekian banyak teori lokasi dan teori perwilayahan yang telah ada, beberapa di
antaranya yang dianggap penting yaitu Von Thunen (1826), A. Weber (1909), W. Christaller
(1933), A. Losch (1944), F. Perroux (1955), W. Isard (1956), dan J. Friedmann (1964). Von
Thunen telah mengembangkan hubungan antara perbedaan lokasi pada tata ruang (spatial
location) dan pola penggunaan lahan. Menurut von Thunen jenis pemanfaatan lahan
dipengaruhi oleh tingkat sewa lahan dan didasarkan pula pada aksesibilitas relatif. Lokasi
berbagai jenis produksi pertanian (seperti menghasilkan tanaman pangan, perkebunan, dan
sebagainya) ditentukan oleh kaitan antara harga barang-barang hasil dalam pasar dan
jarak antara daerah produksi dengan pasar penjualan. Kegiatan yang mampu
menghasilkan panen fisik tertinggi per hektar akan ditempatkan pada kawasan konsentris
5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&
&#
untuk membayar sewa lahan yang tinggi. Kawasan produksi berikutnya kurang intensif
dibandingkan dengan kawasan produksi yang pertama, demikian seterusnya.
Analisis penentuan lokasi optimum seperti dikemukakan oleh von Thunen telah
mendapat perhatian oleh Alfred Weber. Weber menekankan pentingnya biaya transportasi
sebagai faktor pertimbangan lokasi. Teori Weber sebenarnya menekankan dua kekuatan
lokasional primer yaitu selain orientasi transportasi juga orientasi tenaga kerja. Weber telah
mengembangkan pula dasar-dasar analisis wilayah pasar dan merupakan seorang ahli
teori lokasi yang pertama membahas mengenai aglomerasi. Pemikiran Weber telah
memberikan sumbangan ilmiah dalam banyak aspek diantaranya penentuan lokasi yang
optimal dan kontribusinya yang esensial dalam pengembangan wilayah yaitu mengenai
munculnya pusat-pusat kegiatan ekonomi (industri).
Losch mengintroduksikan pengertian-pengertian wilayah pasar sederhana,
jaringan wilayah pasar, dan sistem jaringan wilayah pasar. Prasarana transportasi
merupakan unsur pengikat wilayah-wilayah pasar. Unit-unit produksi pada umumnya
ditetapkan pada pusat-pusat pasar yang juga merupakan pusat-pusat urban.
Perusahaan-perusahaan akan memilih lokasinya pada suatu tempat dimana terdapat permintaan
maksimum (Loschian demand cone theory).
Berdasarkan struktur herarkis tempat sentral yang ditunjukkan oleh Christaller,
Isard telah menekankan pentingnya kedudukan pusat-pusat urban tingkat nasional
(metropolis) dalam kaitannya dengan aglomerasi industri. Isard mengembangkan gejala
locational economies (penghematan lokasi), dan urbanization economies (penghematan urbanisasi) sebagai akibat dari pengaruh lokasi. Urutan besarnya peranan kota-kota dapat
ditentukan dengan cara merangking pusat-pusat yang bersangkutan (rank size rule)
menurut jumlah penduduknya.
Konsepsi Perroux merupakan langkah utama untuk memberi bentuk konkrit pada
aglomerasi. Ia menyatakan bahwa pembangunan atau pertumbuhan tidak terjadi di segala
tempat akan tetapi hanya terbatas pada beberapa tempat tertentu. Ia lebih memberikan
tekanan pada aspek konsentrasi proses pembangunan dan menganggap industri
pendorong (propulsive industries) sebagai titik awal perubahan unsur yang esensial untuk
menunjang pembangunan selanjutnya. Meskipun teori kutub pertumbuhan ini berguna
untuk menguji atau membandingkan konsekuensi yang berbeda-beda dari pemilihan
alternatif lokasi akan tetapi teori tersebut tidak dikategorikan sebagai teori lokasi.
Dimensi geografis telah dimasukkan ke dalam pengaruh kutub pengembangan.
Antara kota dan pedesaan terdapat kaitan yang sangat erat dimana satu sama lainnya
saling melengkapi. Friedman meninjaunya dari ruang lingkup yang luas dengan
5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&
&$
dominan terhadap perkembangan wilayah-wilayah di sekitarnya misalnya sebagai pusat
perdagangan atau pusat industri. Wilayah-wilayah di sekitar wilayah pusat disebut
wilayah-wilayah pinggiran.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pemilihan lokasi suatu industri atau
unit produksi pada umumnya dikaitkan dengan lokasi sumber bahan mentah dan wilayah
pasarnya. Kriteria penentuan yang digunakan bermacam-macam yaitu biaya transportasi
terendah, sumber tenaga kerja yang relatif murah, ketersediaan sumberdaya air, energi
ataupun daya tarik lainnya berupa penghematan-penghematan lokasional dan
penghematan-penghematan aglomerasi. Dimensi wilayah dan aspek tata ruang telah
dimasukkan sebagai variabel tambahan yang penting dalam kerangka teori pembangunan.
2. Kekuatan Aglomerasi dan Deglomerasi
Aglomerasi adalah terkonsentrasinya kegiatan industri dan
kegiatan-kegiatan lainnya pada suatu tempat. Sebaliknya, deglomerasi adalah dekonsentrasi atau
dispersi kegiatan-kegiatan industri dan kegiatan-kegiatan lainnya pada beberapa tempat.
Untuk menganalisis pembangunan kota dan wilayah perlu dipahami sepenuhnya mengenai
kekuatan-kekuatan aglomerasi dan deglomerasi.
Terdapat 3 (tiga) kategori kekuatan yang merupakan manfaat aglomerasi yaitu :
1. Penghematan skala (scale economies). Terdapat penghematan dalam produksi
secara internal bila skala produksinya ditingkatkan. Biaya tetap yang besar sebagai
akibat investasi dalam bentuk pabrik dan peralatan, yang memungkinkan
dilaksanakan pemanfaatan pabrik dan peralatan tersebut dalam skala besar dapat
membagi-bagi beban biaya-biaya tetap pada berbagai unit yang terdapat dalam
sistem produksi. Sebagai konsekuensinya, unit biaya produksi menjadi lebih rendah
sehingga dapat bersaing dengan perusahaan-perusahaan lain. Produksi pada skala
besar dimaksudkan untuk menghindari unit biaya operasi yang eksesif. Hal ini dapat
dipertanggung-jawabkan hanya pada lokasi-lokasi yang melayani penduduk dalam
jumlah besar atau dengan kata lain mempunyai suatu pasar yang luas.
2. Penghematan lokalisasi. Dimaksudkan sebagai penghematan yang dinikmati oleh
semua perusahaan dalam suatu industri yang sejenis pada suatu lokasi tertentu. Hal
ini disebabkan bertambahnya jumlah keluaran (total output) industri tersebut. Sebagai
ilustrasi terlihat Gambar 2. Terdapat 3 pabrik tekstil yang membutuhkan reparasi
fasilitasnya. Bila unit reparasi dibangun pada titik Z maka hanya menguntungkan
pabrik A dan C yaitu mereka memperoleh biaya reparasi yang lebih murah dibanding
pabrik B. Lokasi yang tepat untuk pembangunan unit reparasi adalah pada titik A.
5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&
&%
A[image:29.522.222.367.69.200.2]
Gambar 2. Penghematan Lokalisasi Tiga Pabrik Tekstil
3. Penghematan urbanisasi. Penghematan urbanisasi diasosiasikan dengan
pertambahan jumlah total (penduduk, hasil industri, pendapatan, dan kemakmuran) di
suatu lokasi untuk semua kegiatan yang dilakukan bersama-sama. Penghematan ini
mengaitkan kegiatan industri-industri dan sektor-sektor secara agregatif. Misalnya
suatu kegiatan yang sangat tergantung pada manajemen kreatif dan tenaga kerja
terampil. Dalam hal ini terdapat resiko untuk menempatkan kegiatan te