• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kacang Panjang ( Vigna sinensis L.)

Kacang panjang adalah tanaman hortikultura yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia, baik sebagai sayuran maupun sebagai lalapan. Kacang panjang merupakan anggota famili Fabaceae yang termasuk ke dalam golongan sayuran. Selain rasanya enak, sayuran ini juga mengandung zat gizi cukup banyak. Kacang panjang adalah sumber protein yang baik, vitamin A, thiamin, riboflavin, besi, fosfor, kalium, vitamin C, folat, magnesium dan mangan (Haryanto et al. 1999).

Kacang panjang merupakan tanaman semusim (annual) yang bersifat membelit (merambat) dan setengah membelit. Daunnya merupakan daun majemuk yang tersusun tiga helaian dan melekat pada tangkai daun yang agak panjang serta berwarna hijau sampai hijau tua. Bunga berbentuk seperti kupu- kupu (papiliona cues), terletak pada ujung tangkai yang panjang dan warna bunga bervariasi putih, kuning, atau biru. Bunganya tergolong bunga sempurna, yakni dalam satu bunga terdapat alat kelamin betina (putik) dan alat kelamin jantan (benang sari).

Buahnya berbentuk bulat panjang dan ramping dan biasanya disebut polong dengan panjang bervariasi antara 30-100 cm. Warna polong juga bervariasi yaitu hijau keputih-putihan, hijau, dan hijau muda namun setelah tua menjadi putih kekuning-kuningan atau hijau kekuning-kuningan. Bijinya berbentuk bulat panjang agak pipih, tetapi terkadang sedikit melengkung (Cahyono 2006).

Tanaman kacang panjang dapat tumbuh dengan baik di dataran rendah sampai menengah hingga ketinggian 700 m di atas permukaan laut (dpl). Pada ketinggian di atas 700 m dpl pertumbuhan kacang panjang biasanya terhambat. Temperatur yang sesuai untuk pertumbuhan kacang panjang adalah 25-350C pada siang hari dan pada malam hari sekitar 150C (Prosea 1996).

Komposisi gizi setiap 100 g bagian kacang panjang yang dapat dimakan adalah 89 g air, 3 g protein, 0,5 g lemak, 5,2 g karbohidrat, 1,3 g serat, 0,6 g hidrat

arang, 64 mg kalsium, 54 mg fosfor, 1,3 mg zat besi, 167 IU vitamin A, 0,07 g vitamin B1, 28 g vitamin C dan menghasilkan 125 kalori (Prosea 1996).

Hama Utama Tanaman Kacang Panjang

Secara umum diketahui bahwa serangga hama yang biasa menyerang tanaman kacang panjang adalah lalat kacang (Agromyza phaseoli), ulat tanah (Agrotis ipsilon), ulat bunga/penggerek polong (Maruca testulalis), kutu daun (Aphis craccivora), kepik polong (Riptortus linearis) dan wereng Empoasca sp. (Syahrawati & Busniah 2009).

Maruca testulalis Geyer (Lepidoptera: Pyralidae)

M. testulalis tergolong ke dalam ordo Lepidoptera dan famili Pyralidae. Serangga ini juga dikenal dengan sebutan mung moth atau pod borer. Serangga ini merupakan hama penting pada tanaman kacang-kacangan, dan hingga kini telah menyebar ke beberapa negara di Afrika, India Barat, Fiji, Australia dan Amerika Latin. Persebaran yang luas disebabkan oleh kisaran inang yang luas (Taylor 1987).

M. testulalis adalah salah satu hama penting pada tanaman kacang panjang yang menyerang bagian bunga dan polong. Telur diletakkan pada bagian bunga, daun dan polong secara berkelompok. Satu kelompok telur terdiri dari 2-4 butir telur dengan bentuk lonjong agak pipih serta berwarna putih kekuningan agak bening. Stadium telur berlangsung 2-3 hari. Larva berwarna putih kekuningan dengan panjang mencapai 18 mm. Kepalanya berwarna coklat hingga hitam dan setiap segmen terdiri dari bintik-bintik gelap di sepanjang tubuhnya yang terletak pada bagian punggungnya. Stadium larva berlangsung selama 10-15 hari. Pupa terbentuk di dalam tanah atau di dalam polong. Tubuh pupa berwarna coklat dengan panjang kira kira 13,5 mm dan stadium pupa berlangsung 7-10 hari (Kalshoven 1981).

Gejala serangan hama ini tampak pada bunga dan bakal polong yang rusak dan kemudian gugur. Satu ekor larva selama hidupnya dapat merusak 4-6 bunga per tanaman. Gerekan pada polong menyebabkan biji pada polong menjadi rusak,

kulit polong berlubang dan dari lubang tersebut keluar serbuk gerek yang basah bercampur kotoran larva yang berwarna coklat (Harahap 1994).

Kutu daun Aphis craccivora Koch. (Hemiptera: Aphididae)

Aphididae berasal dari bahasa Yunani yang berarti menghisap cairan. Serangga ini menghisap cairan dari tumbuhan untuk mendapatkan nutrisi yang dibutuhkannya. Kutu daun dewasa ada yang bersayap dan tidak bersayap, imago bersayap muncul apabila kepadatan populasi tinggi, dan di daerah tropis berkembang biak secara partenogenesis dan vivipar. Embrio dapat terbentuk tanpa melalui proses pembuahan dan telah berkembang di dalam tubuh induknya sehingga imago kutu daun tampak seperti melahirkan nimfa (Kalshoven 1981).

Kutu daun A. craccivora menyerang tanaman kacang panjang mulai awal

pertumbuhan sampai masa pertumbuhan bunga dan polong. Serangan

A. craccivora menyebabkan kerusakan pada bagian-bagian tanaman yang masih muda, misalnya tunas-tunas dan daun-daun serta tangkai daun yang masih muda (Darsono 1991). Daun yang terserang menjadi berkerut dan keriting serta pertumbuhannya terhambat. Pada bagian tanaman di sekitar aktivitas kutu daun tersebut terlihat adanya cendawan hitam (Capnodium sp.). yang tumbuh pada sekresi atau kotoran kutu daun berupa embun madu. Selain sebagai hama pada tanaman, A. craccivora dapat menularkan lebih dari 30 virus tanaman secara non persisten (Blackman & Eastop 2000).

Laju pertumbuhan kutu daun dipengaruhi oleh tingkat kelahiran, kematian, faktor lingkungan, kepadatan populasi dan perbandingan antara serangga yang tidak produktif dengan yang masih produktif. Tingkat kelahiran dipengaruhi oleh banyak faktor di antaranya kualitas dan kauntitas makanan. Tingkat kematian di pengaruhi oleh musuh alami dan faktor iklim. Populasi kutu daun biasanya meningkat pada musim kemarau dan berkurang pada musum hujan. Tingkat kepadatan populasi yang tinggi disertai dengan menurunnya tingkat kualitas makanan akan merangsang terbentuknya populasi bersayap yang berfungsi untuk migrasi sehingga dapat menurunkan kepadatan populasi (Dixon 1985).

Empoasca sp. (Hemiptera : Cicadellidae)

Serangga hama ini dikenal dengan wereng empoasca, termasuk ordo Hemiptera, famili Cicadellidae dan mempunyai daerah penyebaran yang cukup luas di antaranya adalah Indonesia. Telur diletakkan dekat tulang daun. Stadium telur berlangsung selama 9 hari. Serangga dewasa berwarna hijau kekuningan dengan bintik coklat pada kedua sayapnya. Wereng empoasca menyerang daun muda dan daun kacang-kacangan yang belum membuka (Kalshoven 1981).

Seperti halnya kutu daun, Empoasca sp. juga menyerang tanaman dengan cara menghisap cairan tanaman (daun). Bekas luka yang ditimbulkan berupa bercak-bercak putih yang mengelompok pada permukaan daun. Serangan berat mengakibatkan daun menguning, mengeriting, dan mati mirip dengan kerusakan yang diakibatkan oleh kutu daun. Relung dan perilaku makan serta kebutuhan akan pakan yang sama menjadikan Empoasca sp. dan kutu daun bersaing ketat untuk mempertahankan hidup masing-masing (Tenrirawe & Talanca 2008).

Riptortus linearis Fabr. (Hemiptera: Alydidae)

R. linearis tergolong dalam famili Alydidae, ordo Hemiptera. Imagonya berbadan panjang lurus, berwarna kuning coklat. Bentuknya mirip sekali dengan walang sangit (Leptocorisa oratorius F.), tetapi mudah dikenal dengan adanya garis putih kekuningan yang terdapat di sepanjang sisi badannya. Pada femur tungkai belakang dijumpai duri-duri, dan bagian posterior dari protoraks dilengkapi dengan duri-duri halus (Kalshoven 1981).

Imago dan nimfa sama-sama merusak polong dengan cara menusuk mengisap biji pada polong muda maupun polong tua. Serangan pada polong muda mengakibatkan biji menjadi kempis dan kering dan pada polong yang bijinya belum mengeras mengakibatkan biji menjadi hitam dan tidak berisi. Serangan pada polong tua mengakibatkan biji keriput dan terlihat adanya bintik atau bercak hitam pada biji atau pada kulit polong bagian dalam yang merupakan bekas tusukan serangga.

Musuh Alami pada Tanaman Kacang Panjang

Di antara beberapa cara pengendalian hama tumbuhan yang ada, pengendalian hayati dengan memanfaatkan musuh alami merupakan cara pengendalian yang paling aman. Musuh alami yang terdapat pada tanaman kacang panjang adalah kumbang Coccinellidae, lalat Syrphidae, kumbang

Paederus sp., laba-laba (Araneae) dan Formicidae (Syahrawati & Busniah 2009).

Kumbang Coccinellidae (Coloeptera: Coccinellidae)

Kumbang famili Coccinellidae banyak ditemukan di tanaman sayuran yang merupakan habitatnya. Perbedaan karakteristik dari distribusi kumbang koksi dipengaruhi oleh topografi, posisi geografi wilayah dan kekayaan floranya. Kumbang koksi dewasa aktif pada pagi dan sore hari sedangkan siang hari biasanya tersembunyi. Subfamili Coccinellinae berperan sebagai predator yang biasa ditemukan pada tanaman yang terdapat kutu daun. Seekor kumbang Coccinellinae dapat memangsa 1.000 ekor kutu daun sepanjang hidupnya (Joento 2009).

Coccinellidae predator sangat efektif dalam mengendalikan kutu daun (A. craccivora) dan mempunyai spektrum mangsa yang luas karena dapat memangsa berbagai jenis serangga antara lain dari famili Aphididae, Coccidae, Diaspidae dan Aleyrodidae. Larva kumbang Coccinellidae predator juga bersifat sebagai predator dengan mangsa yang sama dengan imagonya. Lama stadium larva biasanya singkat dan aktivitas makannya tinggi. Pupa biasanya menempel pada bagian tanaman seperti batang, ranting atau daun dan terkadang masih tertutup kulit larva instar terakhir. Lama hidup kumbang dan jumlah telur yang dapat dihasilkan oleh seekor kumbang dipengaruhi oleh makanan yang tersedia (Dixon 2000).

Lalat Syrphidae (Diptera: Syrphidae)

Serangga ini biasanya disebut hover fly karena kemampuannya melakukan

hovering. Syrphidae termasuk famili yang besar. Tercatat terdapat 870 spesies di Amerika Utara, 250 spesies di Eropa kepulauan Inggris, 300 spesies di Eropa daratan dan mungkin lebih banyak lagi di Asia termasuk Indonesia. Anggota

Syrphidae hidup pada berbagai habitat dengan beragam peran seperti sebagai saprofag, mikofag, herbivor, dan predator. Subfamili yang anggotanya sebagian besar menjadi predator terutama kutu daun adalah Subfamili Syrphinae (Kalshoven 1981).

Beberapa contoh spesies yang telah dikenal sebagai predator di agroekosistem adalah Episyrphus balteatus, Syrphus corrolae dan Ischidion scutellaris. Larva syrphidae bertindak sebagai predator dan dewasa hidup mengkonsumsi nektar. Betina dewasa selama hidupnya mampu menghasilkan sampai 1900 butir telur, dan tiap harinya betina mampu meletakkan sampai 100 butir telur. Lalat syrphidae meletakkan telur di dekat koloni kutu daun yang berguna sebagai sumber makanan saat telur menetas menjadi larva. Larva Syrphidae tidak memiliki mata dan tidak bertungkai (Hindayana 2001).

Kumbang Paederus sp. (Coleoptera: Staphylinidae)

Paederus sp. merupakan salah satu predator polifag yang memangsa antara lain wereng batang coklat, wereng punggung putih, wereng zigzag, dan wereng hijau. Kumbang ini termasuk ke dalam ordo Coleoptera, super famili Staphylinoidea, famili Staphylinidae dan genus Paederus. Pergiliran tanaman dengan kedelai atau jagung setelah padi dapat membantu mempertahankan populasi predator tersebut (Kalshoven 1981).

Kumbang Paederus sp. dewasa berukuran panjang berkisar antara 6,0-8,0 mm. Tubuhnya berwarna hitam atau biru kecoklatan dan merah kecoklatan. Predator ini banyak ditemukan pada pertanaman padi terutama pada pertanaman padi yang sudah tua. Disamping itu, juga ditemukan pada pertanaman palawija seperti pertanaman kedelai, kacang-kacangan ataupun jagung. Kumbang dewasa dapat ditemukan pada seluruh bagian tanaman, di dalam tanah dan di bawah kulit- kulit pohon. Siklus hidupnnya berkisar antara 90-100 hari. Lama hidup imago berkisar antara 30-60 hari. Kumbang ini lebih aktif memangsa pada malam hari dari pada siang hari. Serangga fitofag yang sudah diketahui sebagai mangsa

Paederus sp. adalah larva H. armigera, telur E. zinckenella, larva S. litura (Taulu 2001). Selain itu, Paederus sp. juga dapat tumbuh dan berkembang biak dengan mangsa Collembola dan A. glycines (Suastika 2005).

Laba-laba (Araneae)

Laba-laba merupakan hewan pemangsa (karnivora), bahkan kadang- kadang kanibaldengan mangsa utamanya adalah serangga. Kebanyakan laba-laba merupakan predator (pemangsa) penyergap, yang menunggu mangsa lewat di dekatnya sambil bersembunyi di balik daun, lapisan daun bunga, celah bebatuan, atau lubang di tanah. Beberapa jenis memiliki pola warna yang menyamarkan tubuhnya di atas tanah, batu atau pepagan pohon, sehingga tidak perlu bersembunyi. Shepard et al. (1987) menyebut delapan spesies laba-laba predator yang umum ditemukan di ekosistem persawahan. Mereka tergolong dalam genus Pardosa (Lycosidae) (1 spesies), Oxypes (Oxyopidae) (2 spesies), Phidipus

(Salticidae) (1 spesies), Atypena (Linyphiidae) (1 spesies), Argiope (Araneidae) (2 spesies), dan Tetragnatha (Tetragnathidae) (1 spesies).

Laba-laba merupakan predator polifag sehingga berperan penting dalam mengontrol populasi serangga. Lebih lanjut dinyatakan bahwa dari seluruh kelompok predator yang terdapat pada ekosistem sawah, sekitar 16-35% adalah laba-laba. Laba-laba Oxyopes javanus mampu mengendalikan serangan kepik polong dan Lycosa psudoannulata merupakan pemangsa wereng yang efektif (Riechert & Lockley 1984).

Artropoda Permukaan Tanah

Berdasarkan tingkat trofiknya, artropoda dalam pertanian dibagi menjadi 3 yaitu artropoda herbivora, artropoda karnivora dan artropoda omnivora. Di ekosistem persawahan, artropoda predator (serangga dan laba-laba) merupakan musuh alami yang paling berperan dalam menekan populasi hama. Hal ini disebabkan predator tersebut memiliki kemampuan untuk beradaptasi di ekosistem efemeral tersebut. Menurut Herlinda et al. (2008), artropoda yang aktif pada permukaan tanah yang kelimpahannya tertinggi ialah famili Carabidae, Formicidae, Collembola dan Lycosidae.

Berbagai cara atau praktek pengelolaan agroekosistem dapat mempengaruhi keanekaragaman artropoda dalam agroekosistem tersebut. Peningkatan keanekaragaman spesies tanaman menyebabkan peningkatan keanekaragaman artropoda di dalamnya. Dalam budidaya polikultur misalnya

tumpang sari tanaman terjadi peningkatan keanekaragaman spesies tanaman, perubahan jarak antar tanaman, kerapatan populasi tanaman dan kualitas tanaman yang pada akhirnya perubahan tersebut akan mempengaruhi kerapatan populasi hama dan organisme lain. Sebagai akibat perubahan tersebut, kelimpahan artropoda tanah juga akan menjadi bertambah (Arriaga & Altieri 1990).

Penggunaan Insektisida dan Dampaknya terhadap Hama dan Musuh Alami Meskipun secara konsepsional penggunaan pestisida diposisikan sebagai alternatif pengendalian terakhir dalam pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT), namun kenyataannya di lapangan penggunaan insektisida sering merupakan pilihan utama dan paling umum dilakukan petani. Bahkan dinyatakan hampir 85% pestisida yang beredar di dunia ini digunakan untuk bidang pertanian. Komoditi sayur-sayuran dan buah-buahan merupakan komoditi yang paling banyak menggunakan pestisida yaitu sekitar 26%, serealia 15%, padi 10%, jagung 12%, kedelai 9,4%, kapas 8,6% dan sisanya untuk komoditi pertanian lainnya (Dadang 2007).

Menurut Sudarmo (1990), kemungkinan yang timbul akibat dari penggunaan pestisida sintetik adalah keracunan terhadap pemakai dan pekerja, keracunan terhadap ternak dan hewan peliharaan, keracunan terhadap ikan, keracunan terhadap satwa liar, keracunan terhadap tanaman, kematian musuh alami, kenaikan populasi organisme pengganggu, resistensi organisme pengganggu dan meninggalkan residu. Menurut Dadang (2007), aplikasi yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan pada tanaman (fitotoksisitas) sehingga perlu keakuratan dalam penentuan dosis/konsentrasi dan jumlah aplikasi yang diperlukan.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan pada lahan tanaman kacang panjang di Desa Situgede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor dan di Laboratorium Ekologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dari bulan Februari sampai Mei 2011.

Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman Kacang Panjang

Varietas kacang panjang yang ditanam adalah New Jaliteng. Pengolahan tanah dan pembuatan guludan dilakukan sebelum benih ditanam. Setelah dibuat guludan lalu diberi pupuk kandang dengan dosis 2500 kg/ha dan pupuk Urea dengan dosis 200 kg/ha untuk 2 kali aplikasi. Jarak tanam dalam guludan 40 cm dan antar guludan 100 cm. Tiap lubang tanam diisi satu sampai dua benih kacang panjang. Lahan tanaman kacang panjang yang diamati terdiri dari 10 petak, 5 petak disemprot dengan insektisida dan 5 petak tidak disemprot. Setiap petak memiliki luas ± 42 m2 yang terdiri dari 6-8 guludan. Jumlah tanaman dalam setiap guludan 15 tanaman. Pemasangan ajir dilakukan setelah tanaman berumur ± 2 minggu. Setiap rumpun tanaman diberi ajir, kemudian ujung empat ajir yang berdekatan diikat. Pada umur tanaman 3 minggu setelah tanam (MST) diberikan pupuk urea dengan dosis 100 kg/ha dengan cara ditebar di sekitar pangkal batang tanaman.

Aplikasi Insektisida

Penyemprotan insektisida dilakukan setelah tanaman berumur 6 MST, yaitu setelah mulai muncul bunga. Jenis insektisida yang digunakan Dangke 40 WP dengan bahan aktif metomil 40%. Penyemprotan dilakukan setiap minggu sekali sampai 5 kali aplikasi dengan konsentrasi formulasi sesuai anjuran 4 g/l air.

Pengamatan Hama dan Musuh Alami

Pengamatan hama dan musuh alami dilakukan mulai umur tanaman kacang panjang 6 MST. Pengamatan dilakukan pada 3 rumpun tanaman (setiap rumpun terdiri dari 4 lubang tanam). Tanaman contoh ditentukan secara diagonal dan menyebar di dalam petak perlakuan. Pengamatan terhadap kelimpahan hama utama dan musuh alami dilakukan 3 hari setelah aplikasi insektisida.

Pengamatan kutu daun A. craccivora dilakukan pada 4 pucuk per rumpun tanaman contoh yaitu pada pucuk yang terletak di bagian atas, tengah dan bawah dari rumpun tanaman. Pengamatan hama Thrips sp. dilakukan pada bunga, setiap rumpun tanaman contoh diamati 4 tangkai bunga. Pengamatan terhadap hama

Empoasca sp. dilakukan pada permukaan bawah daun. Dari setiap rumpun contoh diamati 4 tangkai daun (setiap tangkai daun terdiri dari 3 anak daun). Daun-daun yang diamati menyebar di dalam rumpun tanaman contoh. Untuk pengamatan belalang Oxya sp., R. linearis dan musuh alami dilakukan pada seluruh bagian rumpun tanaman contoh. Pengamatan dilakukan selama lima minggu.

Pengamatan Tingkat Serangan Maruca testulalis

Pengamatan terhadap tingkat serangan M. testulalis pada tanaman, dilakukan dengan cara menghitung jumlah bunga dan polong secara keseluruhan dari unit tanaman contoh serta menghitung jumlah bunga dan polong yang terserang oleh M. testulalis. Pengamatan tingkat intensitas serangan dilakukan pada 3 rumpun tanaman (setiap rumpun terdiri dari 4 lubang tanam). Pengamatan dilakukan selama lima minggu. Intensitas serangan M. testulalis pada bunga dan polong dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:

Intensitas serangan pada bunga =

Intensitas serangan pada polong =

Jumlah bunga terserang

X 100% Jumlah bunga total

Jumlah polong terserang

X 100% Jumlah polong total

Pengamatan Artropoda Permukaan Tanah

Pemasangan perangkap jebakan (pitfall traps) dilakukan 2 hari setelah aplikasi insektisida. Jumlah perangkap yang dipasang untuk setiap petak perlakuan adalah 3 buah. Pemasangan perangkap dilakukan di atas guludan, yaitu guludan ke-2, 4 dan 6. Perangkap dibuat dari gelas plastik bekas air mineral volume 240 ml yang dipasang dengan cara dibenamkan di tanah dengan permukaan gelas dibuat rata dengan tanah di sekitarnya. Ke dalam gelas dimasukkan formalin 2% sekitar 50 ml. Perangkap diberi pelindung atau atap yang dibuat dari seng agar terhindar dari tetesan air hujan. Perangkap dipasang selama 24 jam, setelah itu diambil, dibungkus kantung plastik dan diberi label. Pengamatan dilakukan di laboratorium dengan bantuan mikroskop. Artropoda yang tertangkap dihitung dan diidentifikasi. Identifikasi dilakukan sampai tingkat famili, genus atau spesies dengan bantuan buku (Borror et al. 1992; Kalshoven 1981). Hasil tangkapan dikoleksi di dalam botol film yang diberi alkohol 70% dan pada tiap botol diberi label.

Rancangan Percobaan

Penelitian terdiri dari dua perlakuan, yaitu petak yang disemprot dengan insektisida dan tanpa insektisida. Parameter yang diamati adalah tingkat populasi hama utama dan musuh alami, tingkat serangan M. testulalis pada bunga dan polong kacang panjang, dan kelimpahan artropoda permukaan tanah.

Analisis Data

Data populasi hama dan musuh alami, tingkat serangan M. testulalis serta kelimpahan artropoda permukaan tanah dianalisis dengan Microsoft Office Excel 2007 dan uji t-student (α = 0.05) dengan bantuan program Minitab 14.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkembangan Populasi Hama dan Musuh Alami

Hama-hama yang ditemukan pada tanaman kacang panjang fase generatif adalah M. testulalis, A. craccivora, Oxya sp., Empoasca sp., Thrips sp. dan R. linearis (Tabel 1). Beberapa hama yang mendominasi pada fase ini adalah

A. craccivora, Empoasca sp. dan Thrips sp. Hama lainnya seperti Oxya sp. dan

R. linearis populasinya tidak terlalu tinggi.

Kutu daun A. craccivora populasinya terus meningkat seiring dengan bertambahnya usia tanaman. Diketahui bahwa A. craccivora menyerang bagian tanaman yang masih muda seperti tunas, pucuk dan polong kacang panjang. Tingginya populasi A. craccivora pada pucuk tanaman menyebabkan berbagai gejala kerusakan pada bagian yang terserang yaitu pertumbuhan pucuk menjadi

terhambat sehingga tanaman kacang panjang menjadi kerdil. Selain itu

A. craccivora juga dikenal sebagai vektor virus pada tanaman kacang panjang sehingga dapat memperparah kerusakan yang ditimbulkan. Beberapa penyakit mosaik pada tanaman kacang panjang yang ditularkan A. craccivora adalah Bean Common Mosaic Virus (BCMV), Bean Yellow Mosaic Virus (BYMV) dan

Cowpea Aphid Borne Mosaic Virus (CaBMV) (Anwar et al. 2005).

Kerugian yang ditimbulkan oleh hama ini cukup tinggi karena selain menghisap cairan tanaman inang, hama ini juga mengeluarkan embun madu yang dapat menjadi media tumbuh cendawan jelaga dan menutupi permukaan daun sehingga proses fotosintesis menjadi terhambat. Kerugian yang ditimbulkan oleh serangga ini sebagai hama adalah 16%, sedangkan sebagai vektor kerugian yang ditimbulkan adalah 44% (Inani 2006).

Berbagai faktor mempengaruhi populasi A. craccivora di antaranya adalah curah hujan. Akibat dari siraman air hujan diduga sebagian dari kutu daun yang jatuh ke tanah tidak dapat kembali lagi ke pertanaman sedangkan sebagian hanya dapat kembali hanya sampai batang bawah atau menempel pada ajir tanaman. Menurut Steyenoff (2001), serangga berukuran kecil seperti kutu daun yang biasanya hidup di bagian pucuk tanaman sangat rentan terhadap tetesan air hujan.

Tabel 1 Populasi rata-rata hama utama per unit contoh pada pertanaman kacang panjang fase generatif tanpa aplikasi insektisida

Hama Utama

Rataan populasi hama pada umur tanaman (MST)*±SD**

6 7 8 9 10 Aphis craccivora 22,53 ± 12,88 24,93 ± 3,69 25,93 ± 2,40 27,87 ± 12,29 9,13 ± 12,82 Oxya sp. 0,53 ± 0.47 0,20 ± 0,41 0,33 ± 0,49 0,27 ± 0,46 0,27 ± 0,46 Empoasca sp. 13,73 ± 2,71 12,93 ± 2,05 9,13 ± 2,59 13,13 ± 2,23 8,27 ± 1,16 Thrips sp. 10,27 ± 1,79 13,00 ± 1,41 11,47 ± 1,30 10,73 ± 1,98 13,27 ± 0,88 Riptortus linearis 2,73 ± 0,64 0,13 ± 0,35 0,20 ± 0,41 0,33 ± 0,49 0,20 ± 0,41

* MST = Minggu Setelah Tanam **SD = Standar Deviasi

Populasi hama Empoasca sp. juga cukup tinggi pada pertanaman kacang panjang dan telah menimbulkan gejala kerusakan terutama pada bagian daun. Kerusakan yang ditimbulkan oleh Empoasca sp. pada daun kacang panjang yaitu timbulnya gejala klorosis pada daun, sehingga mengganggu proses fotosintesis pada tanaman dan akhirnya menyebabkan daun berubah warna menjadi kuning. Menurut Nielson et al. (1990) kerusakan pada daun oleh hama Empoasca sp. disebabkan oleh terganggunya sistem translokasi hasil fotosintesis yang menyebabkan terakumulasinya karbohidrat pada tempat makan, sehingga timbul kerusakan pada bagian tanaman yang terserang.

Selain itu, kerusakan oleh Empoasca sp. juga disebabkan oleh: 1) racun yang terkandung di dalam saliva diinjeksikan ke tanaman pada saat makan 2) terjadinya penyumbatan floem secara mekanik karena rusaknya sel-sel atau penumpukan saliva, dan 3) senyawa tertentu di dalam saliva yang merangsang terjadinya hipertrofi pada sel-sel floem yang menyebabkan penyumbatan (Backus & Hunter 1989).

Tingkat populasi belalang Oxya sp. pada pertanaman kacang panjang fase

Dokumen terkait