• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kematangan gonad adalah tahapan tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah memijah. Selama proses reproduksi, sebagian energi dipakai untuk perkembangan gonad. Bobot gonad ikan akan mencapai maksimum sesaat ikan akan memijah kemudian akan menurun dengan cepat selama proses pemijahan berlangsung sampai selesai. Menurut Effendie (1997), umumnya pertambahan bobot gonad ikan betina pada saat stadium matang gonad dapat mencapai 10-25 persen dari bobot tubuh dan pada ikan jantan 5-10 persen. Lebih lanjut dikemukakan bahwa semakin rneningkat tingkat kematangan gonad, diameter telur yang ada dalam gonad akan

menjadi semakin besar. Pendapat ini diperkuat oleh Kuo et al. (1974) bahwa

kematangan seksual pada ikan dicirikan oleh perkembangan diameter rata-rata telur dan melalui distribusi penyebaran ukuran telurnya.

Ikan lele (Clarias batrachus) pertama kali matang kelamin pada umur satu tahun

(Chinabut et al. 1991) dengan ukuran panjang tubuh sekitar 20 cm dan ukuran berat

tubuh 100 sampai 200 gram (Mollah dan Tan 1983; Suyanto 1986). Di Thailand, ikan lele yang hidup di alam memijah pada musim penghujan dari bulan Mei sampai

Oktober (Chinabut et al. 1991).

Perkembangan sel telur (oosit) diawali dari germ cell yang terdapat dalam lamela dan membentuk oogonia. Oogonia yang tersebar dalam ovarium menjalankan suksesi pembelahan mitosis dan ditahan pada "diploten" dari profase meiosis pertama. Pada stadia, ini oogonia dinyatakan sebagai oosit primer (Harder 1975). Oosit primer kemudian menjalankan masa tumbuh yang meliputi dua fase. Pertama adalah fase previtelogenesis, ketika ukuran oosit membesar

akibat pertambahan volume sitoplasma (endogenous vitelogenesis), namun

belum terjadi akumulasi kuning telur. Kedua adalah fase vitelogenesis, ketika terjadi akumulasi material kuning telur yang disintesis oleh hati, kemudian dibebaskan ke darah dan dibawa ke dalam oosit secara mikropinositosis (Zohar 1991; Jalabert dan Zohar 1982). Peningkatan ukuran indeks gonad somatik atau perkembangan ovarium disebabkan oleh perkembangan stadia oosit. Pada

saat perkembangan oosit terjadi perubahan morfologis yang mencirikan stadianya. Menurut Nagahama (1983) stadium oosit dapat dicirikan berdasarkan volume sitoplasma, penampilan nukleus dan nukleolus, serta keberadaan butiran kuning telur. Berdasarkan kriteria ini, oosit dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa

kelas. Yamamoto dalam Nagahama (1983) membaginya ke dalam 8 kelas, yaitu

stadia kromatin-nukleolus, perinukleolus (yang terdiri atas awal dan akhir

nukleolus), stadium oil drop stadium yolk primer, sekunder, tertier, dan stadium

matang. Sedangkan Chinabut et al. (1991) membagi oosit dalam 6 kelas untuk

Clarias sp, dimana stadia nukleolus dan perinukleolus dikategorikan sebagai stadium pertama, dan setiap stadium dicirikan sebagai berikut:

-stadium 1 : Oogonia dikelilingi satu lapis set epitel dengan pewarnaan hematoksilin-eosin plasma berwarna merah jambu, dengan inti

yang besar di tengah.

-stadium 2 : Oosit berkembang ukurannya, sitoplasma bertambah besar, inti biru terang dengan pewarnaan, dan terletak masih di tengah sel. Oosit dilapisi oleh satu lapis epitel.

-stadium 3 : Pada stadium ini berkembang sel folikel dan oosit membesar dan provitilin nukleoli mengelilingi inti.

-stadium 4 : Euvitilin inti telah berkembang dan berada disekitar selaput inti

Stadium ini merupakan awal vitelogenesis yang ditandai dengan

adanya butiran kuning telur pada sitoplasma. Pada stadium ini, oosit dikelilingi oleh dua lapis sel dan lapisan zona radiata tampak jelas pada epitel folikular.

-stadium 5 : Stadia peningkatan ukuran oosit karena diisi oleh kuning telur. Butiran kuning telur bertambah besar dan memenuhi sitoplasma

dan zona radiata terlihat jelas.

-stadium 6 : Inti mengecil dan selaput inti tidak terlihat, inti terletak di tepi. Zona radiata, sel folikel, dan sel teka terlihat jelas.

Pengetahuan tingkat kematangan gonad sangat penting dan sangat menunjang keberhasilan dalam membenihkan ikan karena berkaitan erat dengan pemilihan calon-calon induk ikan yang akan dipijahkan. Semakin tinggi tingkat perkembangan gonad,

telur yang terkandung di dalamnya semakin membesar sebagai hasil dari akumulasi kuning telur, hidrasi, dan pembentukan butir-butir minyak yang berjalan secara bertahap.

Secara garis besar, perkembangan gonad ikan dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap pertumbuhan gonad ikan sampai ikan menjadi dewasa kelamin dan selanjutnya adalah pematangan gamet. Tahap pertama berlangsung mulai dari ikan menetas hingga mencapai dewasa kelamin dan tahap kedua dimulai setelah ikan mencapai dewasa, dan terus berkembang selama fungsi reproduksi masih tetap berjalan

normal (Lagler et al. 1977).

Tam et al. (1986) menyatakan bahwa pada saat menjelang ovulasi akan terjadi peningkatan diameter oosit karena diisi oleh massa kuning telur yang homogen akibat adanya peningkatan kadar estrogen dan vitelogenin. Sementara itu, menurut Bagenal (1969), ukuran telur juga berperan dalam kelangsungan hidup ikan. Benih ikan brown trout yang berasal dari telur yang berukuran besar mempunyai daya hidup yang lebih tinggi daripada benih ikan yang berasal dari telur yang berukuran kecil. Hal ini terjadi karena kandungan kuning telur yang berukuran besar lebih banyak sehingga larva yang dihasilkan mempunyai persediaan makanan yang cukup untuk membuat daya tahan tubuh yang lebih tinggi dibanding dengan telur-telur yang berukuran kecil.

Woynarovich dan Horvath (1980) menyatakan bahwa induk yang pantas dipijahkan adalah induk yang telah melewati fase pembentukan kuning telur (fase vitellogenesis) dan masuk ke fase dorman. Fase pembentukan kuning telur dimulai sejak terjadinya penumpukan bahan-bahan kuning telur da!am sel telur dan berakhir setelah sel telur mencapai ukuran tertentu atau nukleolus tertarik ke tengah nukleus. Setelah fase pembentukan kuning telur berakhir, sel telur tidak mengalami perubahan bentuk selama beberapa saat, tahap ini disebut fase istirahat (dorman). Menurut Lam (1985), apabila rangsangan diberikan pada saat ini, maka akan menyebabkan terjadinya migrasi inti ke perifer, kemudian inti pecah atau melebur pada saat pematangan oosit, ovulasi (pecahnya folikel), dan oviposisi. Menurut Suyanto (1986), bilamana kondisi lingkungan tidak cocok dan rangsangan tidak tersedia maka telur dorman tersebut akan mengalami degenerasi (rusak) lalu diserap kembali oleh lapisan folikel melalui atresia. Faktor-faktor eksternal lain yang menyebabkan terjadinya atresia adalah ketersediaan pakan (Bagenal 1978), sedangkan faktor internal adalah umur telur.

Ukuran sel telur ada hubungannya dengan fekunditas. Makin banyak telur yang dipijahkan ukuran telurnya makin kecil, misalnya ikan cod (diameternya 1-1,7mm) produksinya 10 juta telur. Salmon Atlantik yang memiliki diameter telur 5-6 mm, produksi telurnya 2.000-3.000 butir (Blaxter 1969), sedangkan untuk ikan belut dengan diameter telur 1–1,5 mm produksinya 2.200–5.400 telur (Sidthimunka 1972).

Vitelogenesis

Sintesis vitelogenin (prekursor kuning telur) di dalam hati disebut vitelogenesis.

Vitelogenin diangkut dalam darah menuju oosit, lalu diserap secara selektif dan

disimpan sebagai kuning telur. Vitelogenin ini berupa glikofosfoprotein yang mengandung kira-kira 20% lemak, terutama fosfolipid, trigliserida, lipoprotein, dan kolesterol. Berat molekul vitelogenin untuk beberapa jenis ikan diketahui antara 140- 220 kDa (Tyler 1991; Komatsu dan Hayashi 1997).

Proses oogenesis pada teleost terdiri atas dua fase, yaitu pertumbuhan oosit (vitelogenesis) dan pematangan oosit. Vitelogenesis merupakan aspek penting dalam pertumbuhan oosit yang meliputi rangkaian proses (1) adanya sirkulasi estrogen

(estradiol-17β) dalam darah menggertak hati untuk mensintesis dan mensekresikan

vitelogenin yang merupakan prekursor protein kuning telur; (2) vitelogenin diedarkan menuju lapisan permukaan oosit yang sedang tumbuh; (3) secara selektif, vitelogenin akan ditangkap oleh reseptor dalam endositosis, dan (4) terjadi translokasi sitoplasma membentuk badan kuning telur bersamaan dengan pembelahan proteolitik dari vitelogenin menjadi subunit lipoprotein kuning telur, lipovitelin, dan fosvitin. Adanya vitelogenin menunjukkan terjadinya akumulasi lipoprotein kuning telur di dalam oosit. Pada beberapa jenis ikan selama pertumbuhan oosit terjadi peningkatan Indeks Somatik Gonad (IGS) 1 sampai 20% atau lebih.

Pada ikan betina, ovari berespons terhadap peningkatan konsentrasi gonadotropin

dengan meningkatkan secara tidak langsung produksi estrogen, yakni estradiol-17β

(E2). Estradiol-17β beredar menuju hati, memasuki jaringan dengan cara difusi dan

secara spesifik merangsang sintesis vitelogenin (Ng dan Idler 1983). Aktivitas vitelogenesis ini menyebabkan nilai indeks hepatosomatik (IHS) dan indeks

Pembesaran oosit disebabkan terutama oleh penimbunan kuning telur. Seperti pada kebanyakan ikan, kuning telur merupakan komponen penting oosit ikan Teleostei. Ada tiga tipe material kuning telur pada ikan Teleostei: butiran kecil minyak,

gelembung kuning telur (yolk vesicle) dan butiran kuning telur (yolk globule). Secara

umum, butiran kecil minyak yang kita kenal dengan lipid yang berantai panjang (asam lemak tidak jenuh) pertama kali muncul di daerah perinuklear dan kemudian berpindah ke periferi (tepi sel) pada tahap selanjutnya. Urutan kemunculan material kuning telur bervariasi antarspesies. Pada rainbow trout, butiran kecil muncul segera setelah

dimulainya pembentukan gelembung kuning telur (Yamamoto et al. 1965 dalam

Nagahama 1983).

Fenomena penimbunan material kuning telur oleh oosit ikan dibagi menjadi dua

fase, yakni sintesis kuning telur di dalam oosit atau vitelogenesis endogen dan

penimbunan prekursor (bahan pembentuk) kuning telur yang disintesis di luar oosit

atau vitelogenesis eksogen (Matty 1985). Gelembung kuning telur positif-PAS

(mukopolisakarida atau glikoprotein) umumnya merupakan struktur yang pertama muncul dalam sitoplasma oosit selama pertumbuhan sekunder oosit, dan pertama kali muncul di zona terluar dan zona midkortikal pada oosit.

Ketika vitelogenesis berlangsung, sebagian besar sitoplasma telur matang ditempati oleh banyak gelembung kuning telur yang padat dengan asam lemak dan dikelilingi oleh selapis membran pembatas. Selama tahap akhir vitelogenesis, globula kuning telur beberapa ikan Teleostei bergabung satu sama lain membentuk masa tunggal kuning telur.

Perkembangan gonad ikan betina terdiri atas beberapa tingkat yang dapat didasarkan atas pengamatan secara mikroskopis dan makroskopis. Secara mikroskopis perkembangan telur diamati untuk menilai perkembangan ovarium antara lain tebal dinding indung telur, keadaan pembuluh darah, inti butiran minyak, dan kuning telur. Secara makroskopis perkembangan ovarium ditentukan dengan mengamati warna indung telur, ukuran butiran telur, dan volume rongga perut ikan.

Pada ovarium ikan terdapat bakal sel telur yang dilindungi suatu jaringan pengikat yang bagian luarnya dilapisi peritoneum dan bagian dalamnya dilapisi epitelium. Sebagian dari sel-sel epitelium akan membesar dan berisi nukleus, yang kemudian butiran ini kelak akan menjadi telur. Selama perkembangannya, ukuran oosit

akan bervariasi. Pada tahap perkembangan awal, oogonia terlihat masih sangat kecil, berbentuk bulat dengan inti sel yang sangat besar dibandingkan dengan sitoplasmanya. Oogonia terlihat berkelompok tapi kadang-kadang ada juga yang berbentuk tunggal. Sementara itu oogonia terus membelah diri dengan cara mitosis. Pada ikan yang mempunyai siklus reproduksi tahunan atau tengah tahunan akan terlihat adanya puncak-puncak pembelahan oogonia. Pada ikan yang memijah sepanjang tahun, perbanyakan oogonia akan terus menerus sepanjang tahun.

Transformasi oogonia menjadi oosit primer banyak terjadi pada tahap pertumbuhan yang ditandai dengan munculnya kromosom. Segera setelah itu, folikel berubah bentuk, dari semula yang berbentuk skuamosa menjadi berbentuk kapsul oosit. Inti sel terletak pada bagian sentral dibungkus oleh lapisan sitoplasma yang tipis. Pada perkembangan selanjutnya, oosit membentuk lapisan korion, membran, granulosa, membran, dan teka. Juga butir-butir lemak mulai terlihat ditumpuk pada sitoplasma

dan bersamaan dengan itu muncul cortical alveoli. Pada saat ini, ketersediaan vitamin

C mutlak diperlukan karena dengan peningkatan kadar asam lemak, kebutuhan vitamin C semakin meningkat pula. Vitamin C dapat mencegah terjadinya oksidasi pada unit-unit asam lemak, terutama asam lemak tidak jenuh (Machlin 1990). Butir-butir lemak ini selanjutnya akan bertambah besar pada vitelogenesis yang diawali dengan pembentukan vakuola-vakuola yang kemudian diikuti dengan munculnya globula kuning telur, bersamaan dengan itu oosit membengkak secara menyolok. Kuning telur pada ikan terdiri atas fosfoprotein dan lipoprotein yang dihasilkan oleh hati kemudian disalurkan ke dalam peredaran darah.

Peranan Vitamin C pada Reproduksi Ikan

Vitamin C adalah nutrien yang dibutuhkan untuk proses fisiologi hewan,

termasuk ikan (Tolbert 1979 dalam Al Amoudi et al. 1992). Sebagai vitamin yang larut

dalam air, vitamin C disintesis dari asam glukuronat oleh beberapa hewan, namun ikan

tidak dapat mensintesisnya walaupun sel-selnya membutuhkan (Masumoto et al. 1991).

Oleh sebab itu, vitamin C harus tersedia dalam pakan (Faster dalam Sandnes 1991). Ketidakmampuan ikan mensintesis vitamin C disebabkan oleh tidak adanya enzim L--gulunolakton oksidase yang berperan dalam konversi L-L--gulunolakton ke bentuk 2-keto-L-gulunolakton sebagai tahapan akhir dalam sintesis vitamin C (Dabrowski 1991).

Variasi kadar vitamin C ovarium pada saat siklus reproduksi dari berbagai spesies ikan telah dicatat oleh beberapa peneliti sehingga menimbulkan spekulasi kemungkinan pentingnya senyawa ini saat ovarium berkembang. Kadar vitamin C ikan

karper Krusian (Carassius carassius) saat siklus reproduksi berkisar dari 92 sampai 203

ug/g (Saeymour 1981), ikan cod Atlantik (Gadus morrhua) berkisar dari 80 sampai 203

ug/g (Sandnes dan Braekkan 1981), dan karper India dari 225 sampai 286 ug/g)

(Agrawal dan Mahajan 1980). Cho et al. (1979) mendapatkan bahwa kadar vitamin C

ovarium ikan trout (Oncorhynchus mykiss) mencapai maksimum pada 451 ug/g bobot

basah pada saat akan ovulasi. Dengan memperhatikan indeks gonad somatik, Sandnes dan Braekkan (1981) mencatat bahwa akumulasi vitamin C tertinggi menjelang GSI mencapai maksimum, kemudian menurun saat terjadi ovulasi. Pengamatan pada ikan kod Atlantik memperlihatkan bahwa kandungan vitamin C pada stadia awal pertumbuhan ovarium adalah 150 ug/g dan tertinggi mencapai 500 ug/g (Sandnes

1984). Menurut Ishibashi et al. (1994), perubahan vitamin C ovarium selama periode

pematangan berkaitan dengan peningkatan ukuran oosit karena akumulasi material kuning telur. Agrawal dan Mahajan (1980) mencatat bahwa kandungan vitamin C darah ikan karper India yang ditangkap di alam mencapai titik terendah saat musim pemijahan, yaitu 17,95-19,65 ug/ml, dan saat pertumbuhan ovarium kadar vitamin C mencapai kisaran 20,39-25,95 ug/ml. Disimpulkan pula bahwa ada mobilisasi vitamin C yang diperoleh dari pakan alami ke ovarium saat siklus reproduksi.

Soliman et al. (1986) menyatakan bahwa tingginya kandungan vitamin C saat

ovarium berkembang berkaitan dengan fungsinya sebagai kofaktor enzim prolil dan lisil hidroksilase yang mengkatalis hidroksilasi prolin dan lisin, dan esensial untuk perkembangan normal jaringan kolagen yang banyak terdapat dalam ovarium. Kolagen

merupakan penyusun utama dinding dalam kantung ovarium (Sandnes et al. 1984).

Waagbo et al. (1989) telah mengamati adanya akumulasi vitamin C di jaringan

kolagen yang mengitari sel telur sehingga disimpulkan bahwa pada saat gonad berkembang vitamin C digunakan untuk sintesis kolagen. Pendapat lain dikemukakan oleh Sandnes (1984) bahwa peningkatan kadar vitamin C dalam siklus reproduksi berhubungan dengan proses vitelogenesis. Proses ini dikontrol oleh hormon estrogen yang mampu menstimulasi hati untuk mensintesis protein spesifik, yang kemudian diakumulasikan pada oosit bersama senyawa lipida. Vitamin C pada ovarium berperan dalam reaksi hidroksilasi sintesis hormon steroid reproduksi.

Penelitian Alava et al. (1993) memperlihatkan bahwa pemberian askorbil-2-fosfat magnesium, suatu bentuk turunan vitamin C, dalam ransum dapat menstimulasi

perkembangan gonad induk udang Penaeus japonicus betina. Percobaannya dengan

menggunakan pakan yang disuplementasi askorbil-monofosfat magnesium masing-masing 500, 1000, dan 1500 mg/kg. Setelah pemeliharaan 170 hari, nilai IGS induk betina mencapai 2.40, 2.51, dan 1.81%, sedangkan nilai IGS induk jantan adalah 0.76, 0.87, dan 0.91%. Untuk kontrol tidak diperoleh data karena induk mati sebelum

berakhimya percobaan. Penelitian Ishibasi et al. (1994) terhadap ikan Japanese parrot

(Oplegnathus fasciatus) memperlihatkan peningkatan indeks gonad somatik dengan peningkatan dosis vitamin C yang diberikan. Ikan yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C 0, 300, 1000, dan 3000 mg/kg memperlihatkan nilai IGS masing-masing 0.5, 0.9, 1.4, dan 2.2 % untuk induk betina, dan 0.4, 0.6, 0.5, dan 0.8 untuk induk jantan. Pengamatan secara mikrokospis terhadap ovarium juga memperlihatkan persentase induk yang mencapai aktivitas vitelogenesis meningkat dengan peningkatan dosis vitamin C. Induk yang menerima pakan tanpa suplementasi vitamin C tidak menunjukkan adanya oosit pada fase vitelogenesis, sedangkan dengan perlakuan suplementasi vitamin C 300, 1000, dan 3000 mg/kg pakan, jumlah induk yang ovarinya mencapai stadium vitelogenesis hingga matang adalah 20, 40, dan 80%.

Soliman et al. (1986) mengamati pengaruh asam askorbat pada penampilan reproduksi

ikan Oreochromis mossambicus melaporkan bahwa ikan yang menerima pakan dengan

suplementasi vitamin C biasa 1250 mg/kg memperlihatkan gejala siap mijah lebih cepat dua minggu dibandingkan induk yang menerima pakan tanpa suplementasi vitamin C.

Percobaan Priyono et al. (1996) mencatat bahwa ikan bandeng (Chanos chanos

Forskal) yang menerima pakan dengan suplementasi askorbil-2-fosfat magnesium 1500 mg/kg pakan menunjukkan frekuensi bertelur lebih tinggi dibandingkan dengan induk yang menerima pakan dengan suplementasi 1000 mg/kg pakan, dan tidak ditemukan induk yang memijah pada kontrol. Vitamin C ovarium induk yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C lebih tinggi dibandingkan dengan induk yang menerima pakan tanpa suplementasi vitamin C, namun kadar vitamin C ovarium dapat

mencapai kadar tertentu (Ishibashi et al. 1994). Percobaannya memperlihatkan bahwa

kandungan vitamin C ovarium induk yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C masing-masing 0, 300, 1000, dan 3000 mg/kg pakan mencapai 70.6, 657.1,

vitamin C dalam ransum yang diterima oleh induk dapat ditransfer ke telur, dan

disiapkan untuk perkembangan embrio. Pengamatannya pada telur ikan Oreochromis

mossambicus dimana induk yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C 1250 mg/kg pakan mengandung vitamin C 201.83 ug/g dan daya tetas telur mencapai 89.33%, sedangkan kandungan vitamin C telur dari induk yang menerima pakan tanpa vitamin C tidak terdeteksi dan mempunyai daya tetas 56.90%, dan 85% pascalarva yang dihasilkan mengalami gangguan pertumbuhan tulang belakang. Percobaan

Akiyama et al. (1990) pada ikan sardin (Sardinops sagaxmelanosticia) menunjukkan

bahwa tidak ditemui telur yang menetas dari induk yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C 80 mg/kg pakan, sedangkan induk yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C lebih tinggi, yaitu 3200 mg/kg pakan menghasilkan daya tetas telur lebih baik. Vitamin C yang ditransfer dari induk ke material telur berperan dalam mendukung perkembangan embrio (Sandnes 1991). Menurut Sandnes

et al. (1984) kandungan vitamin C telur 20 ug/g merupakan batas terendah untuk perkembangan normal embrio ikan trout.

Peranan Estradiol-17β pada Reproduksi Ikan

Proses vitelogenesis pada ikan melibatkan beberapa hormon, dan pada ikan ada dua macam hormon gonadotropin yang dihasilkan oleh adenohipofisis yang berperan

sebagai follicle stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH). Hormon

tersebut adalah FSH (GTH I), yang bekerja merangsang perkembangan folikel melalui

sekresi estradiol-17β pada ovari dan LH (GTH II) yang dibutuhkan untuk proses

pematangan akhir oosit (Nagahama 1983). Gonadotropin yang dihasilkan akan bekerja pada sel teka sebagai tempat sintesis testosteron. Testosteron yang dihasilkan oleh lapisan sel teka akan masuk ke dalam lapisan granulosa. Di dalam lapisan granulosa

testosteron diubah menjadi estradiol-17β dengan bantuan enzim aromatase.

Estradiol-17β merupakan perangsang dalam biosintesis vitelogenin di hati. Di

samping itu, estradiol-17β yang terdapat dalam darah memberikan rangsangan balik

terhadap hipofisis dan hipotalamus ikan. Rangsangan yang diberikan oleh estradiol-17β

terhadap hipofisis ikan adalah rangsangan dalam proses pembentukan gonadotropin. Rangsangan terhadap hipotalamus adalah dalam memacu proses GnRH. GnRH yang dihasilkan ini bekerja untuk merangsang hipofisis melepaskan gonadotropin yang

nantinya berperan dalam proses biosintesis estradiol-17β pada lapisan granulosa. Siklus hormonal terus berjalan di dalam tubuh ikan selama terjadinya proses vitelogenesis

(Nagahama 1983 dan Yaron 1995). Menurut Aida et al. (1991) proses vitellogenesis

pada ikan terjadi seperti pada Gambar 1.

Gambar 1. Proses vitelogenesis pada ikan (Aida et al. 1991)

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi

estradiol-17β akan meningkatkan konsentrasi vitelogenin darah dan konsentrasi

estradiol-17β tinggi pada saat vitelogenesis pada European sea bass (Dicebtrachus labrax)

(Hassin et al. 1991); salmon (Salmo gairdneri) (Van Bohemen et al. 1981); mas

koki (Pankhurst et al. 1986); jambal siam (Pangasius hypophthalmus) (Indriastuti

2000 dan Monijung 2002). Penelitian untuk melihat hubungan tersebut telah

dilakukan pada ikan trout, Salmo trutta dan rainbouw trout Salmo gairdneri

(Hjartarson et al. 1991), Striped bass Morone sexatilis (Sullivan et al. 1991), dan

Clarias macrocepalus (Tan-Fermin et al. 1997). Sintesis vitelogenin di hati sangat

dipengaruhi oleh estradiol-17β yang merupakan stimulator dalam biosintesis

vitelogenin. Selain itu, sintesis tersebut dipengaruhi juga oleh androgen yang ada

Dokumen terkait