• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keong ini disebut keong tutut (Bellamnya javanica van den Bush), termasuk filum Mollusca dengan famili Viviparidae. Tutut hidup diperairan dangkal yang berdasar lumpur dan ditumbuhi rerumputan air, dengan aliran air yang lamban, seperti sawah, rawa-rawa, pinggir danau, sungai kecil, lebih menyukai perairan yang jernih dan bersih. Di Indonesia keong ini tersebar dari Sumatera sampai Irian Jaya (LIPI 1977).

Keong air tawar ini mudah dikenal karena bentuk cangkangnya seperti kerucut, meruncing ke belakang dan berwarna hijau kehitaman. Ukuranya dapat mencapai sebesar biji pala. Bagi penduduk Indonesia bagian Barat, terutama yang tinggal atau berasal dari Jawa, tutut merupakan sumber protein yang sudah banyak dikonsumsi. Daging yang dapat dimakan beratnya sekitar 4-5 g dari berat total. Keong tutut hanya memakan tanaman air seperti jenis lumut, ganggang, dan bahan organik. Cara pengambilan tutut mudah dan sudah umum diperdagangkan. (LIPI 1977)

Tabel 1. Kandungan gizi dari 100 g BDD daging keong tutut

Kandungan Gizi Nilai Gizi

Energi (Kalori) 64 Protein (g) 11,8 Lemak (g) 5,3 Karbohidrat (g) 3,0 Kalsium (mg) 299,2 Fosfor (mg) 122,5 Besi (mg) 11,7 Air (g) 75,8 BDD (%) 21 Sumber : Risjad (1996)

Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa daging keong tutut memiliki beberapa kelebihan zat gizi, seperti kandungan lemak yang rendah, sehingga dapat digunakan untuk menu bagi orang yang sedang menjalankan diet rendah lemak. Tingginya kalsium dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan mineral dalam pembentukan tulang dan gigi.

Protein

Istilah protein berasal dari bahasa Yunani proteos, yang berarti yang utama atau yang didahulukan. Protein adalah bagian dari semua sel hidup dan merupakan bagian terbesar tubuh sesudah air. Seperlima bagian tubuh adalah protein, setengahnya ada di dalam otot, seperlima di dalam tulang rawan, sepersepuluh di dalam kulit, dan selebihnya di dalam jaringan lain dan cairan tubuh. Semua enzim, berbagai hormon, pengatur zat-zat gizi dan darah, matriks intraseluler, dan sebagiannya adalah protein (Almatsier 2001).

Asam amino yang membentuk protein bertindak sebagai prekursor sebagian besar koenzim, hormon, asam nukleat, dan molekul-molekul yang esensial untuk kehidupan. Protein memiliki fungsi khas yang tidak dapat digantikan oleh zat gizi lain, yaitu membangun serta memelihara sel-sel jaringan tubuh (Almatsier 2001).

Riset Kesehatan Dasar (2007) menunjukan rata-rata konsumsi protein per kapita per hari penduduk Indonesia adalah 55,5 gram. Berdasarkan evaluasi Susenas (2003) tingkat konsumsi pangan hewani masyarakat Indonesia baru sekitar 58% dari kebutuhan (Dirjen Bina Produksi Peternakan 2004). Konsumsi protein hewani di Indonesia relatif rendah yaitu 4,7 g/orang/hari. Konsumsi ini jauh dari target 6 g/orang/hari, padahal Malaysia, Thailand, dan Filipina, rata-rata 10 g/orang/hari. Konsumsi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Prancis, Jepang, Kanada, dan Inggris adalah 50-80 g/kapita/hari, sedangkan konsumsi di negara-negara berkembang lainnya seperti Korea, Brasil, dan Tiongkok 20-40 g/kapita/hari (Siagian 2008).

Muchtadi (2010) menyatakan sumber protein bagi manusia dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu sumber protein konvensional dan dan non-konvesional. Sumber protein konvensional adalah yang berupa hasil-hasil pertanian pangan serta produk-produk hasil olahannya. Berdasarkan sifatnya sumber protein konvensional ini dibagi lagi menjadi dua golongan yaitu golongan sumber protein nabati dan sumber protein hewani. Sumber potein non- konvensional merupakan sumber protein baru, yang dikembangkan untuk menutupi kebutuhan penduduk dunia akan protein. Sumber protein non konvesional berasal dari mikroba (bakteri dan kapang).

Protein hewani disebut sebagai protein yang lengkap dan bermutu tinggi, karena mempunyai kandungan asam-asam amino esensial yang lengkap yang susunannya mendekati apa yang diperlukan oleh tubuh, serta daya cernanya

yang tinggi sehingga jumlah yang dapat diserap (dapat digunakan oleh tubuh) juga tinggi. Masalah utama yang umum ditemui dalam penggunaan hasil-hasil hewani ini terutama menyangkut harga produk yang tinggi atau daya beli masyarakat yang rendah. Sampai saat ini produk-produk hewani terutama daging, masih dirasakan sangat mahal oleh sebagian besar penduduk Indonesia. (Muchtadi 2010).

Protein Hewani

Muchtadi dan Sugiyono (1989) menyatakan hasil-hasil hewani yang umum digunakan sebagai sumber protein adalah daging (sapi, kerbau, kambing dan ayam), telur (ayam dan bebek), susu (terutama susu sapi), dan hasil-hasil perikanan (ikan, udang, kerang, dan lain-lain). Pada produk perikanan protein merupakan komponen penting ditinjau dari sudut gizi dan bisanya terkandung sekitar 15-25% dari berat total daging. Berdasarkan kelarutannya, protein dibedakan atas tiga kelas yaitu protein larut air, protein larut garam dan protein tidak larut.

Protein larut air adalah protein sarkoplasma yang terdapat sekitar 20-30% dari protein total. Sebagian besar protein ini memiliki aktivitas enzimatis. Diantara enzim-enzim sarkoplasma yang mempengaruhi mutu produk perikanan adalah enzim glikolitik dan enzim hidrolitik lisosom (Irianto dan Giatmi 2009).

Protein miofibril adalah protein serabut otot yang larut dalam larutan garam. Protein jenis ini merupakan komponen terbesar dari protein produk perikanan. Irianto dan Giatmi (2009) menyatakan didalam daging produk perikanan, proporsi protein miofibril 65-75% dari seluruh protein daging. Protein miofibril terdiri dari aktin, miosin dan komponen minor lainnya. Protein miofibril merupakan protein yang paling berperan dalam tekstur produk perikanan serta sifat fungsional daging lumat dan homogenat, khususnya kemampuan membentuk gel.

Rinaldi (1992) menyatakan protein miofibril yang paling berperan dalam pembentukan emulsi adalah miosin, karena mempunyai gugus hidrofilik dan lipofilik, sehingga dapat membentuk ikatan air dan lemak. Pada produk perikanan proporsi miosin 50-58% fraksi miofibril. Miosin produk perikanan jika dibandingkan dengan miosin mamalia tidak berbeda sifat fisikokimia dan berat molekulnya. Akan tetapi, antara miosin produk perikanan dengan mamalia ditemukan perbedaan besar dalam hal stabilitas dan aktivitas ATPase. Miosin

pada produk perikanan cenderung lebih tidak stabil jika dibandingkan dengan produk mamalia.

Protein tidak larut garam adalah stroma yang terdiri dari dari protein jaringan ikat, yaitu kolagen dan elastin. Jumlah rata-rata stroma dalam daging ikan adalah 2-3%, umumnya lebih sedikit jika dibandingkan dengan yang terdapat pada daging mamalia (Irianto dan Giatmi 2009).

Kalsium

Mineral yang paling banyak terdapat dalam tubuh manusia adalah kalsium, yaitu sebanyak 1,5 sampai 2% dari berat badan orang dewasa atau sekitar 1 kg. Sebanyak 99% dari jumlah tersebut terdapat pada jaringan keras, yaitu tulang dan gigi, selebihnya kalsium tersebar dalam tubuh. Menurut Winarno (2008), keperluan kalsium dalam tubuh biasanya dihitung dengan keseimbangan kalsium, dimana perhitungannya hampir sama dengan yang digunakan untuk menghitung keseimbangan nitrogen. Orang dewasa memerlukan 800 mg (0,8 g) kalsium per hari.

Sumber kalsium dalam pangan yang memiliki tingkat absorpsi yang tinggi adalah susu dan hasil olahannya seperti keju. Selain itu, sumber kalsium lain adalah sayuran berdaun hijau seperti kangkung, bayam, dan daun lobak cina, brokoli, kubis, bunga kol, kecambah, dan makanan yang difortifikasi kalsium seperti sereal dan jus buah. Kalsium juga terdapat pada ikan kalengan yang memiliki tulang lunak dan tipis seperti salmon dan sarden (Bredbenner et al.

2007).

Peranan kalsium dalam tubuh pada umumnya dapat dibagi dua, yaitu membantu membentuk tulang dan gigi serta mengatur proses biologis dalam tubuh. Keperluan kalsium terbesar adalah pada waktu pertumbuhan dan keperluan kalsium ini akan terus berlanjut meskipun sudah mencapai usia dewasa. Selain berperan dalam pembentukan tulang, mineral kalsium juga berperan dalam proses kontraksi otot. Di samping berperan dalam pembentukan trombin dan proses penggumpalan darah, kalsium juga diperlukan dalam proses penyerapan vitamin B12 serta bermanfaat dalam struktur dan fungsi dari sel membran (Winarno 2008).

Kekurangan kalsium pada anak-anak mengakibatkan pertumbuhan tulang dan gigi tidak sempurna. Pada orang dewasa, kalsium tulang kadang-kadang dipakai untuk menjaga kadar kalsium dalam darah tetap, sehingga jika

kekurangan kalsium dapat mengakibatkan osteoporosis, yaitu pengeroposan tulang yang berakibat tulang menjadi rapuh, mudah retak atau patah. Selain

osteoporosis, bila konsumsi kalsium menurun dapat terjadi kekurangan kalsium yang menyebabkan osteomalasia. Pada osteomalasia, tulang menjadi lunak karena matriksnya kekurangan kalsium (Winarno 2008).

Nugget

Menurut SNI 01-6683-2002 nugget adalah suatu bentuk produk olahan daging yang terbuat dari daging giling yang dicetak dalam bentuk potongan empat persegi dua dilapisi dengan tepung berbumbu (battered and breaded). Produk nugget dapat dibuat dari daging sapi, ayam, ikan, dan lainnya (BSN 2002).

Nugget merupakan produk makanan yang dibekukan, rasanya lezat, gurih dan dapat dihidangkan dengan cepat karena hanya digoreng dan dapat langsung dimakan. Pada umumnya nugget berbentuk persegi panjang. Adonan nugget

merupakan sistem emulsi minyak dan air seperti halnya dengan bakso dan sosis. Pada dasarnya pembuatan nugget mencakup lima tahap, yaitu penggilingan yang disertai oleh pencampuran bumbu, bahan pengikat dan emulsifier, pencetakan, breading, pre-frying dan pembekuan (Tanoto 1994).

Pemakaian emulsifier berfungsi untuk memperbaiki elastisitas produk akhir, mengikat air, dan menstabilkan emulsi. Bahan pengikat berguna untuk memperbaiki tekstur, meningkatkan cita rasa dan meningkatkan daya ikat air serta menghemat biaya operasi. Produk yang sudah dicetak kemudian dicelupkan ke dalam batter dan tepung roti (breading). Pre-frying dilakukan dengan menggunakan minyak mendidih (160-180°C) sampai setengah matang. Kemudian nugget dibekukan dalam suhu -20 sampai -30°C (Tanoto 1994).

Bahan Pengikat

Bahan pengikat adalah bahan yang digunakan dalam makanan untuk mengikat air yang terdapat dalam adonan. Fungsi bahan pengikat adalah untuk memperbaiki stabilitas emulsi, menurunkan penyusutan akibat pemasakan, memberi warna yang terang, meningkatkan elastisitas produk, memberi tekstur padat, dan menarik air dari adonan (Harahap 2003).

Jenis bahan pengikat yang umum ditambahkan adalah tepung tapioka, beras, maizena, sagu, dan terigu (Harahap 2003). Produk-produk pati yang berasal dari serealia mampu mengikat air, namun berbagai macam pati tidak

sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai karbonnya serta ada tidaknya cabang pada rantai molekulnya (Aspiatun 2004).

Bahan Pembantu

Bahan pembantu adalah bahan yang sengaja ditambahkan untuk meningkatkan konsistensi, nilai gizi, cita rasa, mengendalikan keasaman dan kebasaan, serta memantapkan bentuk dan rupa (Muchtadi dan Sugiyono 1989). Bahan pembantu yang biasa digunakan adalah bawang putih, merica, dan garam.

Bawang putih berfungsi sebagai penambah aroma dan meningkatkan cita rasa produk yang dihasilkan. Bawang putih ditambahan dalam produk untuk memperoleh aroma yang khas guna meningkatkan selera makan. Bau khas bawang putih barasal dari minyak volatil yang mengandung komponen sulfur. Karakteristik bawang putih muncul jika terjadi parusakan jaringan atau pemotongan (Palungkun & Budiarti 1992).

Merica sering ditambahkan dalam bahan makanan untuk menigkatkan cita rasa sekaligus memperpanjang daya awetnya. Merica disukai karena memiliki dua sifat penting yaitu rasa pedas dan aroma khas. Rasa pedas disebabkan oleh adanya zat piperin dan piperanin serta chacivia (Rismunandar 1993).

Garam merupakan komponen bahan makanan yang ditambahkan dan digunakan sebagai penegas cirta rasa, bahan pengawet, dan bahan untuk melemaskan adonan dalam industri roti. Garam bisa terdapat secara alami dalam makanan atau ditambahkan pada waktu pengolahan dan penyajian makanan. Makanan yang mengandung kurang dari 0,3% garam akan terasa hambar dan tidak disukai. Penggunaan garam bertujuan untuk menyempurnakan proses pelayuan daging, sehingga menimbulkan aroma khas daging yang digunakan. Garam juga mempengaruhi aktivitas air (aw), sehingga dapat mengendalikan pertumbuhan mikroorganisme dengan metode yang bebas dari pengaruh racunnya (Buckle etal 1987).

Pembuatan Nugget

Pembuatan nugget pada dasarnya mencakup lima tahap, yaitu: penggilingan yang disertai oleh pencampuran bumbu, bahan pengikat dan

emulsifier; pengukusan dan pencetakan; battering dan breading; pre-frying dan pembekuan.

Penggilingan dan Pencampuran

Proses penggilingan sebaiknya dilakukan pada suhu di bawah 200C. Pendinginan ini bertujuan untuk mencegah denaturasi protein aktomiosin oleh panas, karena pada proses penggilingan terjadi gesekan-gesekan yang menimbulkan panas. Selain itu, pada proses penggilingan daging sebaiknya ditambahkan dengan garam untuk mengekstrak aktomiosin sehingga akan terbentuk produk dengan stabilitas emulsi yang baik (Tanoto 1994).

Menurut Kramlich (1973), cara yang dapat digunakan selama proses penggilingan agar suhu tetap di bawah 200C adalah dengan menambahkan air dalam bentuk serpihan es ke adonan nugget. Air ini penting untuk membentuk adonan yang baik dan untuk mempertahankan temperatur selama pendinginan. Air ini selain berfungsi sebagai fase pendispersi dalam emulsi daging juga berfungsi untuk melarutkan protein sarkoplasma dan sebagai pelarut garam yang akan melarutkan protein miofibril. Setelah dilakukan penggilingan dilakukan pencampuran bahan-bahan sesuai dengan formula.

Pengukusan dan Pencetakan

Pengukusan merupakan proses pemanasan yang sering diterapkan pada sistem jaringan sebelum pembekuan, pengeringan atau pengalengan. Pengukusan sebelum pengeringan utama untuk menginaktifkan enzim yang akan menyebabkan perubahan warna, cita rasa dan nilai gizi yang tidak dikehendaki selama penyimpanan. Adapun tujuan dilakukannya pengukusan adalah untuk mengurangi kadar air dalam bahan baku, sehingga tekstur bahan menjadi kompak. Proses pengukusan menggunakan suhu tinggi dan penambahan air sehingga menyebabkan proses gelatinisasi pati (Hariss & Karmas 1989).

Menurut Winarno (2008), gelatinisasi merupakan pengembangan dan proses tidak teratur yang terjadi dalam granula-granula pati ketika dipanaskan dengan air. Pengembangan granula-granula pati selama pemasakan disebabkan karena penetrasi air dan hidrasi molekul pati. Pati akan mengembang setelah mencapai suhu kritis. Pengembangan pati akan menghasilkan pasta yang kenyal atau gel yang kaku. Pati yang mengandung amilopektin yang tinggi atau amilosa yang rendah akan membentuk produk yang lengket.

Setelah proses pengukusan adonan siap untuk dicetak dan dibentuk. Bentuk yang paling umum adalah oval atau lonjong dan lingkaran. Pencetakan

dengan conveyor belt atau ban berjalan (Owens 2001). Pencetakan pada industri skala kecil dapat dilakukan dengan menggunakan tangan.

Battering dan Breading

Menurut Fellow (2000), perekat tepung (batter) adalah campuran yang terdiri dari air, tepung pati dan bumbu-bumbu atau telur ayam yang dikocok, dan digunakan untuk mencelupkan produk sebelum dimasak. Pelapisan produk atau

coating dapat digunakan untuk melindungi produk dari dehidrasi selama pemasakan dan penyimpanan. Breading merupakan bagian yang terpenting dalam proses pembuatan produk pangan beku. Kerenyahan dari produk yang dilumuri (breading) tepung roti akan membuat produk tersebut lebih enak dan lezat (Fellows 1992).

Menurut Cuningham dan Suderman (1983) battering dan breading

memiliki berbagai fungsi dalam melapisi produk makanan. Fungsi utamanya adalah memperbaiki penampakan dan memberi karakteristik ras produk, seperti kerenyahan tekstur dan warna yang lebih menarik. Battering dan breading juga dapat meningkatkan nilai gizi dari suatu produk pangan dan menambah kenikmatan ketika mengkonsumsi produk tersebut. Selain itu, battering dan

breading bertindak dalam menjaga kelembaban produk pangan.

Tepung yang digunakan pada proses breading adalah tepung roti yang dikeringkan dan dihaluskan sehingga terbentuk serpihan. Menurut SNI 01-6683- 2002 tepung roti yang digunakan harus segar, berbau khas roti, tidak berbau tengik atau asam, warna cemerlang, serpihan rata, tidak berjamur dan tidak mengandung benda asing (BSN 2002).

Karakteristik breading mempengaruhi hasil akhir penampilan dan tekstur produk. Tebal tipisnya batter dan ukuran butirannya dapat mempengaruhi tekstur

berading. Jika butirannya halus, maka tekstur permukan nugget akan halus dan lebih mulus. Jika butirannya kasar, maka tekstur yang muncul akan renyah dan

crispy.

Pre-frying

Menurut Tanoto (1994) pre-frying adalah langkah terpenting dalam proses aplikasi batter dan breading. Tujuan pre-frying adalah untuk menempelkan batter

pada produk sehingga dapat diproses lebih lanjut dengan pembekuan. Pre-frying

juga akan memberikan warna pada produk, membentuk kerak pada produk setelah digoreng, memberikan penampakan goreng (fried) pada produk serta kontribusi terhadap rasa produk.

Pembekuan

Proses akhir dari pembuatan nugget adalah freezing atau pembekuan. Tujuan dari pembekuan adalah menurunkan suhu produk matang 760C sampai -180C sehingga akan membunuh mikroba tahan panas yang belum matang karena proses pre-frying. Penentuan suhu produk sebesar -180C berdasarkan pertimbangan bahwa suhu tersebut tidak memungkinkan adanya pertumbuhan mikroba sehingga produk aman untuk dikonsumsi (Anggraini 2002).

Pembekuan adalah sebuah unit operasi yang menurunkan suhu bahan pangan sampai di bawah titik beku sehingga proporsi air dalam bahan pangan berubah bentuk menjadi kristal es. Perubahan bentuk air menjadi kristal es menyebabkan turunnya aktivitas air (aw) bahan pangan. Kombinasi dari suhu yang rendah, berkurangnya aw dan adanya perlakuan awal untuk beberapa bahan pangan seperti blansir menjadi suatu bentuk pengawetan bagi bahan pangan yang dibekukan. Hanya ada sedikit perubahan kandungan gizi atau kualitas sensori apabila mengikuti prosedur penyimpanan dan pembekuan yang benar. Secara umum semakin rendah suhu penyimpanan beku maka semakin kecil terjadinya perubahan biokimia dan mikrobiologi produk (Fellows 1992).

Uji Organoleptik

Menurut Soekarto (1985) penilaian dengan indera disebut juga penilaian organoleptik atau penilaian sensorik. Penilaian dengan indera ini banyak digunakan untuk menilai mutu komoditi hasil pertanian dan makanan. Penilaian cara ini banyak disenangi karena dapat dilaksanakan dengan cepat dan langsung. Sistem penilaian organoleptik telah dapat dibakukan dan dijadikan alat penilaian dalam laboratorium, dunia usaha, dan perdagangan. Penilaian organoleptik telah digunakan sebagai metode dalam penelitian dan pengembangan.

Uji Organoleptik pada produk pangan berguna untuk memberikan informasi mengenai kualitas dan karakteristik dari suatu produk pangan dan merupakan salah satu faktor utama untuk meningkatkan daya terima dan kepuasan konsumen.

Rasa

Rasa makanan yang kita kenal sehari-hari sebenarnya bukan satu tanggapan melainkan campuran dari tanggapan cicip, bau, dan trigeminal yang diramu oleh kesan-kesan lain seperti penglihatan, sentuhan dan pendengaran. Peranan pendengaran terutama terlihat dari penilaian terhadap kerenyahan makanan tertentu seperti kerupuk, mentimun, wortel, keripik. Peramuan rasa itu ialah suatu sugesti kejiwaan terhadap makanan yang menentukan nilai pemuasan orang yang memakannya (Soekarto 1985).

Warna

Pada penilaian mutu komoditi, cara yang terutama masih dipakai ialah dengan penglihatan. Dengan melihat orang dapat mengenal dan menilai bentuk, ukuran, kekeruhan, kesegaran produk, warna, dan sifat-sfat permukaan seperti suram, mengkilap, homogen-heterogen dan datar gelombang. Meskipun warna paling cepat dan mudah memberi kesan, tetapi paling sulit diberi deskripsi dan sulit cara pengukurannya. Itulah sebabnya penilaian secara subjektif dengan penglihatan masih sangat menentukan dalam penilaian komoditi (Soekarto 1985).

Aroma

Pembauan juga disebut pencicipan jarak jauh karena manusia dapat mengenal enaknya makanan yang belum terlihat hanya dengan mencium baunya atau aromanya dari jarak jauh. Indera pembau berfungsi untuk menilai aroma dari suatu produk atau komoditi baik berupa makanan maupun nonpangan. Kepekaan pembauan lebih tinggi daripada pencicipan. Zat yang diperlukan untuk dapat merangsang indera pembau jumlahnya lebih rendah daripada zat yang diperlukan untuk perangsang indera pencicip. Dalam banyak hal enaknya makanan ditentukan oleh aromanya. Industri pangan menganggap sangat penting uji aroma karena dapat dengan cepat memberikan hasil penilaian produksinya, disukai atau tidak disukai (Soekarto 1985).

Tekstur

Penginderaan tentang tekstur yang berasal dari sentuhan dapat ditangkap oleh seluruh permukaan kulit. Tetapi biasanya jika orang ingin menilai tekstur suatu bahan digunakan ujung jari tangan. Biasanya bahan yang dinilai itu diletakkan di antara permukaan dalam ibu jari, telunjuk, jari tengah atau kadang- kadang dengan jari manis (Soekarto 1985).

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini berlangsung pada bulan Juni sampai September 2010. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Analisis Pangan, Laboratorium Percobaan Makanan, dan Laboratorium Penilaian Organoleptik Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor serta di Laboratorium Jasa Analisis Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Bahan dan Alat

Bahan baku utama dalam penelitian ini adalah keong tutut dan daging ayam yang diperoleh dari pasar Anyar kota Bogor. Bahan baku lainnya adalah tepung terigu, bawang putih, bawang merah, bawang bombay, lada, garam, gula, jahe, susu dan es batu. Lapisan terluar nugget (coating) digunakan tepung bumbu komersial, tepung maizena, tepung terigu, telur kocok, tepung roti kuning dan tepung roti putih. Bahan kimia yang digunakan untuk analisis gizi adalah akuades, akuabides, heksan, asam sulfat, asam klorida, selenium mix, asam borat, NaOH, multienzim (tripsin, kimotripsin dan peptidase), indikator MM:MB (2:1), Buffer Na Fosfat pH 6 yang didapatkan dari laboratorium Kimia dan Analisis Pangan Departemen Gizi Masyarakat, FEMA-IPB.

Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan nugget adalah blender, timbangan, panci, piring plastik, loyang, penggorengan, piring, pisau dan sendok. Alat yang digunakan untuk analisis fisik dan kimia adalah alat penetrometer, pH meter, cawan porselen, soxhlet, buret, pipet, erlenmeyer, gelas ukur, labu lemak, gelas piala, desikator, timbangan, tanur, penjepit, tabung reaksi, pengangas, oven dan AAS.

Tahapan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan. Skema penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Skema penelitian

Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan metode terbaik dalam pembuatan nugget berdasarkan persen penerimaan tertinggi dengan menggunakan uji organoleptik

Bahan Pembuatan Nugget

Pembuatan nugget keong tutut menggunakan proses pengolahan nugget

modifikasi Patriani (2010). Modifikasi yang dilakukan adalah mengganti penggunaan daging itik mandalung sebagai bahan utama dengan keong tutut. Bagian dari keong tutut yang digunakan pada penelitian ini adalah bagian kaki dari keong tutut. Tingkat subsitusi daging keong tutut yaitu 0%, 60%, 70%, 80%, 90%, dan 100%. Formula nugget hasil modifikasi kemudian dilakukan percobaan

Dokumen terkait