• Tidak ada hasil yang ditemukan

Botani Tanaman Jagung

Jagung merupakan salah satu jenis tanaman pangan biji-bijian (serealia). Tanaman jagung tidak membutuhkan persyaratan khusus untuk tumbuh. Iklim yang dikehendaki oleh sebagian besar tanaman jagung adalah daerah-daerah beriklim sedang hingga daerah beriklim subtropis/ tropis basah. Agar dapat tumbuh optimal, jagung memerlukan beberapa persyaratan. Jagung dapat tumbuh baik pada 0°-50° LU hingga 0°-40° LS, dengan ketinggian tempat sekitar 3000 meter dari permukaan laut dengan derajat keasaman tanah (pH) yaitu 5.5 sampai 7, curah hujan 85-200 mm/ bulan pada lahan yang tidak beririgasi, suhu ideal 23°-27° C, dan pada tanah latosol berdebu (Purwono dan Purnamawati, 2008).

Jagung merupakan tanaman semusim (annual). Satu siklus hidupnya diselesaikan dalam 80 – 150 hari. Paruh pertama dari siklus merupakan tahap pertumbuhan vegetatif dan paruh kedua untuk tahap pertumbuhan generatif. Menurut Purwono dan Hartono (2005), jagung memiliki akar serabut yang terdiri dari akar seminal, akar adventif, dan akar udara. Batang jagung tidak bercabang, berbentuk silinder, dan terdiri dari beberapa ruas dan buku ruas. Pada buku ruas akan muncul tunas yang berkembang menjadi tongkol. Daun jagung keluar dari buku-buku batang. Jumlah daun terdiri dari 4-48 helaian, tergantung varietasnya. Bunga betina terdapat di ketiak daun ke-6 atau ke-8 dari bunga jantan.

Jagung merupakan tanaman berumah satu (monoecious) karena bunga betina sebagai tongkol terpisah dengan bunga jantan sebagai malai tetapi terletak dalam satu tanaman. Bunga betina muncul pada buku sekitar pertengahan batang. Bunga jantan dapat menghasilkan sekitar 25 juta serbuk sari yang mudah diterbangkan oleh angin. Penyerbukan terjadi dengan jatuhnya serbuk sari pada rambut tongkol. Serbuk sari mulai dihasilkan oleh bunga satu sampai tiga hari lebih awal dari keluarnya rambut tongkol. Oleh karena itu, peluang penyerbukan silang sebesar 95% dan penyerbukan sendiri 5% (Poehlman dan Borthakur, 1969).

Jagung Semi

Jagung semi (baby corn) adalah jagung yang dipetik pada saat masih muda dan belum terbentuk biji. Jagung semi sangat digemari oleh masyarakat yang umumnya menyukai mengkonsumsi sayuran muda. Selain itu, jagung semi digunakan sebagai pelengkap berbagai masakan sehingga penggunaan jagung semi oleh masyarakat semakin bertambah. Jagung semi akan terasa lebih renyah dan segar serta relatif lebih sedikit mengandung bahan kimia dibandingkan sayuran biasa karena dipanen pada saat muda dan tidak terlalu banyak menggunakan pestisida (Thai Food Composition, 1999).

Nilai gizi baby corn sebanding dengan kembang kol, kubis, terong, tomat, dan mentimun. Produk sampingannya seperti tassel, kelobot muda, rambut dan batang hijau jagung semi dapat menyediakan makanan ternak yang bagus. Jagung semi mengandung vitamin B, riboflavin, vitamin B6, kalium, vitamin C dan serat (Thai Food Composition, 1999).

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi produksi jagung semi diantaranya kultivar, waktu tanam, dan jarak tanam (Kotch et al., 1995). Teknik budidaya jagung semi pada umumnya sama dengan jagung biasa dan jagung manis, kecuali jarak tanam yang digunakan umumnya lebih rapat karena dipanen lebih cepat. Jarak tanam yang lebih rapat cenderung meningkatkan produksi. Akan tetapi, bila jarak tanam terlalu rapat, produksi akan merosot karena kebutuhan unsur hara dan cahaya matahari tidak tercukupi.

Jagung semi dipanen 2-4 hari setelah rambut muncul dari kelobotnya yaitu 5-7 Minggu Setelah Tanam (MST). Sebelum pemanenan, pada saat muncul tassel yaitu 4-5 MST dilakukan detasseling atau pembuangan bunga jantan (Sutjahjo et al., 2005b).

Menurut Yodpetch dan Beutista dalam Sutjahjo et al., (2005), karakter jagung yang diharapkan dimiliki oleh kultivar jagung semi bermutu adalah produktivitas tinggi, umur panen pendek, dan pada umur tertentu mampu mencapai ukuran yang diinginkan, selain itu rasanya manis, tidak berserat, dan bagian tengahnya tidak bergabus. Palungkun dan Budiarti (2002) menyatakan keterlambatan panen dapat menurunkan mutu baby corn. Keterlambatan panen

menyebabkan tongkol semakin besar dan keras, sebaliknya panen yang dilakukan terlalu awal akan menyebabkan ujung tongkol menjadi mudah patah.

Pemuliaan Jagung Semi

Pemuliaan tanaman adalah ilmu dan seni dalam rangka mengubah dan memperbaiki pola genetik dari satu atau beberapa karakter penting dari populasi tanaman menjadi bentuk yang lebih bermanfaat (unggul) bagi manusia. Tujuan pemuliaan tanaman adalah membentuk tanaman yang unggul yang memiliki produksi dan produktivitas yang tinggi, tahan penyakit, stabil terhadap tekanan lingkungan serta memenuhi kebutuhan petani (Chaudhari, 1971).

Menurut Moedjiono dan Mejaya (1994) program pemuliaan jagung mencakup tiga tahap, yaitu: pemilihan plasma nutfah, perbaikan berulang plasma nutfah yang terpilih, dan pembuatan galur untuk tetua hibrida dari plasma nutfah yang telah diperbaiki secara berkala tersebut. Pemilihan plasma nutfah sangat penting untuk menemukan populasi atau kultivar yang baik. Sutjahjo et al. (2005a) menambahkan pada penemuan plasma nutfah tersebut ada perbedaan di antara bahan-bahan pemuliaan disebabkan oleh perbedaan genetik yang telah ada dan seleksi yang telah dilakukan sebelumnya, sehingga menghasilkan kumpulan gen-gen yang baik dengan frekuensi yang lebih tinggi.

US Patent (2009) mencatat W701BC menghasilkan beberapa varietas inbrida yang sangat ideal untuk produksi jagung semi. Varietas tersebut mampu menghasilkan 7.2 tongkol/tanaman. Menurut Gurgaon (2005) Thailand telah memulai pengembangan jagung semi sejak 1976 dengan pendekatan awal mengembangkan varietas open-pollinated dan pada tahun 1981 merilis Rangsit-1, kemudian Suwan2 dan Chieng-mai90. Selanjutnya merakit varietas hibrida jagung semi diantaranya G 5414, SG 18, Pacific-116, Pacific-283, Uniseeds B-65, Kasetsart2.

Produksi jagung semi di Indonesia saat ini masih terbatas dan biasanya hanya ditanam sebagai hasil sampingan jagung produksi. Selain itu, Indonesia belum memiliki varietas khusus jagung semi sehingga budidaya jagung semi menggunakan varietas lokal maupun hibrida jagung yang ditujukan untuk jagung pipilan dengan jumlah tongkol per tanaman hanya satu atau dua buah. Menurut

Fadhil (2004), varietas jagung yang banyak digunakan untuk jagung semi adalah hibrida CPI-1, AGX, Pioneer, dan Arjuna.

Kegiatan pemuliaan tanaman dalam perbaikan kultivar jagung untuk jagung semi bertujuan membentuk kultivar jagung bertongkol banyak (Sutjahjo et al., 2005b). Selain itu, membentuk varietas yang memiliki kualitas yang seragam dan baik. Jagung lokal memiliki karakteristik/sifat tertentu yang diperlukan seperti: masa kedewasaan lebih awal (70-80 hari), tingkat adaptasi, ketahanan terhadap penyakit downy mildew (Peronosclerospora maydis) (Food and Fertilizer Technology Center for the Asian and Pacific Region, 2001). Penelitian varietas lokal untuk produksi jagung semi diharapkan mampu memberikan potensi hasil yang relatif sama dengan jagung-jagung hibrida sehingga dapat menjadi solusi bagi petani dalam budidaya jagung semi, lebih jauh untuk peningkatan keuntungan ekonomi petani.

Salah satu tahapan dalam pembentukan varietas adalah uji daya hasil. Pengujian daya hasil dilakukan untuk melihat kemampuan tanaman terhadap lingkungan dibanding varietas unggul yang sudah ada (Poespodarsono, 1988). Pengujian daya hasil jagung semi varietas unggul yang dihasilkan diharapkan dapat digunakan secara luas oleh petani sehingga dapat mengurangi penggunaan benih hibrida.

Pemotongan Bunga Jantan

Bunga jantan pada jagung disebut tassel. Malai bunga jantan biasanya muncul pada umur 40 – 50 hari setelah tanam, lalu diikuti bunga betina 1 – 3 hari kemudian (Purwono dan Purnamawati, 2008). Bunga jantan menggunakan energi hasil fotosintat untuk mekar dan memproduksi serbuk sari (pollen). Tanaman jagung menggunakan tassel untuk penyerbukan bunga betina yang lebih dikenal dengan silk atau rambut jagung. Bunga jantan muncul 5-6 hari sebelum silk keluar. Jumlah pollen yang banyak dan kondisi lingkungan yang mendukung seperti kecepatan angin dan tidak hujan dapat membantu terjadinya penyerbukan sempurna sehingga tongkol jagung berbiji penuh.

Menurut Smith et al. (2004), pemotongan bunga jantan digunakan pada produksi jagung semi untuk mencegah penyerbukan ke tongkol, menstimulasi

panen lebih awal, meningkatkan prolifikasi (jumlah tongkol per tanaman), dan meningkatkan hasil dari jumlah tongkol. Pembuangan bunga jantan merupakan salah satu cara untuk menghindari terjadinya dominansi apikal yang memacu pertumbuhan vertikal sehingga fotosintat dapat dipergunakan untuk pertumbuhan ke samping diantaranya untuk pembentukan tongkol. Menurut Palungkun dan Budiarti (2002), pembuangan bunga jantan sebelum mekar menyebabkan penyerbukan tidak terjadi sehingga energi yang akan dipakai untuk mekarnya bunga jantan dan penyerbukan dialihkan untuk memperbanyak pembentukan tongkol baru dan memperbesar tongkol yang dihasilkan. Hasil penelitian Bakrie et al. (1995) menunjukkan bahwa pembuangan bunga jantan meningkatkan produksi per hektar dan kadar sukrosa. Pemotongan bunga jantan (detasseling) dilakukan setelah bunga jantan keluar tetapi belum sempat mekar.

Korelasi dan Analisis Lintasan

Budiarti et al. (2004) menyatakan pola hubungan antara hasil dapat diketahui melalui perhitungan dengan menggunakan analisis korelasi. Korelasi menggambarkan keeratan hubungan antara karakter. Korelasi berada diantara nilai -1 dan +1. Analisis korelasi memiliki kelemahan yaitu dapat terjadi kesalahan dalam penafsiran data. Asumsi dalam analisis korelasi bahwa selain kedua sifat yang dipasangkan, yang lain dianggap konstan. Asumsi ini jelas kurang berlaku bagi makhluk hidup, karena pada makhluk hidup terjadi berbagai proses yang saling berkaitan antara satu dengan yang lain (Ganefianti et al., 2006). Oleh sebab itu, karakter yang berkorelasi nyata dilanjutkan dengan analisis lintasan.

Analisis lintasan merupakan metode yang menjelaskan pola hubungan antara hasil dan komponen hasil melalui pengaruh langsung dan tidak langsung. Menurut Budiarti et al. (2004), analisis koefisien lintasan (path-coefficient analysis) mampu menentukan kontribusi relatif, dari komponen hasil terhadap hasil, baik langsung maupun tidak langsung sehingga hubungan kausal diantara karakter yang dikorelasikan dapat diketahui.

Asadi et al. (2004) menyatakan melalui analisis lintasan dapat diketahui pengaruh langsung dan tidak langsung antar variabel-variabel bebas dengan variabel tidak bebas (hasil) sehingga akan lebih memudahkan pemulia dalam

melakukan seleksi, terutama karakter-karakter yang berpengaruh langsung terhadap hasil serta sebagai landasan pemulia dalam perbaikan tanaman. Menurut Wahyuni et al. (2004), jika pengaruh totalnya besar namun pengaruh langsungnya negatif atau kecil sekali (diabaikan) maka karakter-karakter yang berperan secara tidak langsung harus dipertimbangkan secara simultan dalam seleksi.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Percobaan ini dilakukan di kebun percobaan IPB Cikarawang, Darmaga, Bogor dengan jenis tanah latosol. Waktu pelaksanaan penelitian yaitu pada bulan Juni sampai September 2010.

Bahan dan Alat

Percobaan ini menggunakan benih jagung hasil perbanyakan pada generasi sebelumnya. Benih yang digunakan terdiri dari tujuh varietas jagung yaitu empat varietas jagung lokal (Campaloga 2009, Lokal Srimanganti 3201, Ketip Kuning 2117, Lokal Oesao 3033), satu varietas unggul (Arjuna 2585), dua varietas introduksi (Phill DMR Comp 2 3423 dan EW DMR Pool C6S2 3325), dan satu varietas hibrida BISI 2 sebagai pembanding. Bahan lain yang digunakan adalah pupuk kandang, urea, SP-18, KCl, Furadan 3G, Saromyl 35 SD, Decis dan Dithane. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan digital, meteran, penggaris, jangka sorong, kamera digital, alat tulis dan alat yang umum digunakan untuk budidaya.

Metode Percobaan

Percobaan menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) dengan dua faktor yang disusun dalam rancangan petak tebagi (Split Plot), terdiri dari perlakuan detasseling (pemotongan bunga jantan) dan nondetasseling (tanpa pemotongan bunga jantan) sebagai petak utama serta varietas sebagai anak petak. Varietas terdiri dari 7 varietas jagung lokal dan 1 varietas hibrida sebagai pembanding. Ketujuh varietas merupakan perlakuan percobaan yang disusun dalam tiga kelompok (ulangan) dalam masing-masing petak utama sehingga terdapat 48 satuan percobaan. Setiap perlakuan terdiri dari 75 individu tanaman yang ditanam dalam lima baris dengan 15 tanaman per baris sehingga keseluruhan percobaan terdiri dari 3 600 individu tanaman.

Model statistika yang digunakan adalah:

Yijk = µ + αi+ βj + ij+ k+ (α )ik+ εijk (i= 1,2; j= 1,2,3, k=1,2,3...8)

Yijk = Nilai pengamatan pada detasseling ke-i, ulangan ke-j, dan varietas ke-k

µ = Rataan umum

αi = Petak detasseling ke-i

βj = Pengaruh ulangan ke-j

ij = Galat petak utama (galat a) k = Pengaruh varietas ke-k

(α )ik = Pengaruh interaksi detasseling taraf ke-i dan varietas ke-k εijk = Galat anak petak (galat b)

Perbedaan antar perlakuan yang dievaluasi diuji dengan uji F. Bila perlakuan berbeda nyata, maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji t-Dunnett untuk membandingkan dengan kontrol dan kontras ortogonal untuk membandingkan antar perlakuan sesuai kebutuhan pada taraf 5%.

Pelaksanaan Percobaan

Tahap awal dilakukan pengolahan tanah dengan menggunakan cangkul disertai dengan pemberian pupuk kandang 2 ton/ha. Ukuran petak setiap satuan percobaan adalah 3 m x 4 m. Sebelum ditanam terhadap benih diaplikasikan Saromyl 35 SD 2.5 g/75 ml air untuk tiap kg benih. Setiap varietas ditanam dalam lima baris dengan jarak tanam 80 cm x 20 cm, jarak dalam ulangan dan antar ulangan 0.5 m sehingga luas lahan keseluruhan 770 m2. Penanaman dilakukan dengan memasukkan dua benih per lubang dan Furadan 3G secukupnya. Pemupukan dilakukan dengan membuat alur di samping baris tanam. Urea 250 kg/ha diberikan 50% pada saat tanam dan 50% lagi pada 28 Hari Setelah Tanam (HST). KCl 100 kg/ha dan SP-18 200 kg/ha diberikan sekaligus pada saat tanam. Penyulaman dilakukan dengan sulam pindah ketika 7 HST pada benih yang tidak tumbuh. Pemeliharaan dilakukan dengan pembumbunan, pengendalian gulma, serta pengendalian hama dan penyakit. Pengendalian gulma dilakukan pada 14 HST, 28 HST bersamaan dengan pembumbunan dan pemupukan serta pada 56 HST. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan pada 14 HST dan 42 HST.

Pemotongan bunga jantan (detasseling) dilakukan pada tanaman dengan perlakuan detasseling segera setelah bunga jantan terbentuk. Pemanenan dilakukan tergantung pada umur tiap varietas yaitu setelah tongkol keluar rambut 2-3 cm. Pemanenan dilakukan bertahap yaitu sehari sekali dengan memotong pangkal tongkol.

Pengamatan

Pengamatan dilakukan pada setiap petak dengan mengambil 10 tanaman contoh acak kompetitif. Peubah yang diamati meliputi:

1. Tinggi tanaman yang diukur dari atas permukaan tanah hingga ujung daun tertinggi yang ditegakkan, dilakukan sesudah keluar malai.

2. Diameter batang yang diukur sekitar 5 cm dari permukaan tanah, dilakukan setelah pertumbuhan vegetatif maksimal yang ditandai dengan munculnya tassel.

3. Jumlah buku per tanaman yang dihitung dari buku terbawah pada tanaman contoh, dilakukan setelah pertumbuhan vegetatif maksimal yang ditandai dengan munculnya tassel.

4. Umur berbunga (bunga jantan) yang dihitung dari hari penanaman hingga 50% dari tanaman keluar malai.

5. Tinggi tongkol, diukur dari atas permukaan tanah hingga pangkal tongkol pertama, dilakukan setelah pertumbuhan vegetatif maksimal yang ditandai dengan munculnya tassel.

6. Ruas muncul tongkol pertama yang dihitung berdasarkan jumlah ruas tempat tongkol pertama kali muncul dari atas permukaan tanah, dilakukan setelah pertumbuhan vegetatif maksimal yang ditandai dengan munculnya tassel. 7. Umur panen yang dihitung berdasarkan rata-rata umur petik tiap tongkol pada

tanaman contoh.

8. Jumlah tongkol per tanaman yang dihitung dari jumlah tongkol setiap tanaman contoh.

9. Bobot kotor per tongkol yang ditimbang berdasarkan rata-rata bobot tongkol per tanaman contoh beserta kelobot dan rambutnya.

10. Bobot bersih per tongkol yang ditimbang berdasarkan rata-rata bobot tongkol per tanaman contoh tanpa kelobot dan rambutnya.

11. Bobot kotor tongkol per tanaman yang ditimbang berdasarkan jumlah bobot semua tongkol per tanaman contoh beserta kelobot dan rambutnya.

12. Bobot bersih tongkol per tanaman yang ditimbang berdasarkan jumlah bobot semua tongkol per tanaman contoh tanpa kelobot dan rambutnya.

13. Ukuran tongkol yang terdiri dari panjang dan diameter tongkol. Panjang tongkol diukur dari pangkal tongkol sampai ujung tongkol jagung, sedangkan diameter diukur pada lingkar tongkol terbesar.

14. Jumlah tongkol layak pasar dihitung dari jumlah tongkol semua tanaman contoh per tanaman yang memiliki kriteria tongkol layak pasar. Pengkelasan yang dipakai berdasarkan ketentuan standar CODEX baby corn (1993) yaitu panjang tongkol dengan kriteria kelas A (5.0 cm – 7.0 cm), kelas B (7.0 cm – 9.0 cm), kelas C (9.0 cm – 12.0 cm), dan afkir (>12.0 cm). Pada semua kriteria panjang tongkol, harus memiliki diameter antara 1 – 2 cm. 15. Jumlah tongkol afkir yaitu jumlah tongkol semua tanaman contoh per

tanaman yang tongkolnya bengkok atau tidak menarik, tidak mulus, terserang hama dan penyakit, cacat atau tidak memenuhi kriteria pengkelasan berdasarkan ukuran.

16. Persentase tongkol layak pasar dihitung dari perbandingan jumlah tongkol layak pasar per tanaman dengan total tongkol per tanaman.

17. Persentase tongkol afkir dihitung dari perbandingan jumlah tongkol afkir per tanaman dengan total tongkol per tanaman.

18. Tanaman terserang penyakit bulai per plot dihitung berdasarkan persentase tanaman terserang dengan jumlah tanaman keseluruhan.

Analisis Data

Terhadap data yang diperoleh dari pengamatan tiap peubah dilakukan analisis dengan rancangan petak terbagi dengan rancangan lingkungan kelompok lengkap teracak. Sumber keragaman dan harapan kuadrat tengah untuk sumber keragaman yang relevan dengan penduga parameter genetik disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Sidik Ragam RKLT Split Plot (Steel dan Torrie, 1989) Sumber Keragaman Derajat Bebas (db) Kuadrat Tengah (KT) H (KT) Ulangan (r) r-1 KTk Detasseling (D) a-1 KTp Galat-a (r-1) (a-1) KTg Varietas (V) b-1 KT3 2ε + r 2 + r a 2 D x V (a-1) (b-1) KT2 2ε + r 2 Galat-b a(r-1) (b-1) KT1 2ε Umum rab-1

Keterangan: D = banyaknya taraf detasseling, V = banyaknya taraf varietas, r = banyaknya

ulangan Rumus: 2g = KT3 – KT2 ra 2 e = KT1 rab 2 ge = KT2 – KT1 r

Keterangan: KT1 = Kuadrat tengah galat

KT2 = Kuadrattengah detasseling x varietas KT3 = Kuadrat tengah varietas

Analisis data digunakan untuk menghitung nilai heritabilitas, koefisien keragaman genetik, korelasi, dan analisis lintas.

Nilai dugaan heritabilitas (h2bs) dalam arti luas (Allard, 1960) menggunakan rumus: h2bs =

Keterangan h2bs = heritabilitas arti luas 2 g = ragam genetik 2 P = ragam fenotipe 2 P = 2g + 2e + 2ge (Stansfield, 1983)

Nilai koefisien keragaman genetik dapat dihitung menggunakan rumus: KKG =

Keterangan KKG = koefisien keragaman genetik 2

g = ragam genetik

r 1y r2y r3y : : r x11 x12 ... x18 x21 x22 …… x28 x31 x32 …… x38 : ; x81 x82 …… x88 p 1y p2y p3y : : p = A B C

Keeratan hubungan antar pasangan ditentukan dengan nilai koefisien korelasinya (r). Rumus koefisien korelasi adalah:

Nilai r berada diantara -1 dan +1. Nilai r sama dengan 1 menunjukkan bahwa hubungan linear sempurna dan jika r sama dengan 0 maka tidak ada hubungan antara kedua peubah (Steel dan Torrie, 1989).

Analisis lintas ini dilakukan dengan menggunakan persamaan matriks yang dikemukakan Shing dan Chaudary (1977). Bobot bersih tongkol per tanaman digunakan sebagai peubah tak bebas (y) dan karakter agronomi lain sebagai peubah bebas (x). Rumus matriks analisis lintas adalah sebagai berikut: ry = rx P0n

Sehingga untuk mendapatkan nilai C (koefisien lintasan) digunakan rumus: C = B-1 A

Keterangan :

C = Koefisien lintasan ; B-1 = invers matriks korelasi antar peubah bebas A = Koefisien korelasi antar peubah dengan peubah tidak bebas.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum

Penelitian ini diawali penanaman untuk perbanyakan benih jagung

varietas yang digunakan dalam penelitian. Penanaman dilakukan tanggal 2 Februari 2010 di empat lokasi yaitu Cikarawang, Sawah Baru, Sindang Barang,

dan BB Biogen Cimanggu. Penanaman untuk penelitian dimulai pada tanggal 17 Juni 2010 dan panen terakhir tanggal 21 September 2010. Daya berkecambah benih pada umumnya tinggi yaitu 98.50%. Data BMKG menunjukkan bahwa pada lokasi penelitian dari bulan Juni-September 2010 rata-rata suhu 25.67°C, kelembaban 84.29%, dan curah hujan 413.10 mm.

Gambar 1. Beberapa Serangan Hama dan Penyakit pada Pertanaman Jagung Semi. (A) Belalang (B) Ulat Penggerek Tongkol (C) Ulat Penggerek Batang (D) Bulai (E) Hawar Daun (F) Karat Daun

Penjarangan dilakukan pada 4 MST untuk mengantisipasi terjadinya serangan bulai yang dikhawatirkan dapat menurunkan populasi tanaman. Hal ini diduga menimbulkan terjadinya persaingan memperoleh hara dari kedua tanaman

sehingga perkembangannya terganggu. Hujan disertai angin ketika tanaman berumur 4 MST menjadikan tanaman rebah dan beberapa patah karena itu segera ditegakkan dan dilakukan pembumbunan sehingga tanaman dapat tumbuh dengan baik.

Hama yang terdapat pada penelitian jagung semi ini diantaranya adalah belalang (Locusta spp.), ulat penggerek tongkol (Heliothis armigera), dan ulat penggerek batang (Sesamia inferens). Penyakit yang mengganggu pertanaman jagung semi adalah bulai (Sclerospora maydis), hawar daun (Helminthosporium maydis), dan karat daun (Puccinia sp.), adapun yang paling berat adalah bulai. Secara keseluruhan pertanaman terserang bulai sebesar 26.72%. Ketip Kuning merupakan varietas yang paling rentan terserang bulai yaitu sebesar 59.12%. Hal ini karena ketika perbanyakan benih, tanaman terserang bulai akibat penanaman yang berdekatan dengan tanaman jagung lain yang terserang bulai. Gejala serangan bulai pada tanaman dapat dilihat pada Gambar 1.

Keragaan Karakter Agronomi

Hasil Uji F Tabel 2 menunjukkan bahwa karakter yang sangat nyata dipengaruhi varietas adalah tinggi tanaman, diameter batang, umur berbunga, tinggi tongkol, ruas muncul tongkol pertama, panjang tongkol, jumlah tongkol per tanaman, jumlah tongkol afkir, bobot bersih per tongkol dan bobot bersih tongkol per tanaman. Karakter jumlah buku per tanaman, diameter tongkol, persentase tongkol layak pasar, jumlah tongkol layak pasar, dan bobot kotor per tongkol nyata dipengaruhi oleh varietas. Pemotongan bunga jantan pada varietas yang diuji berpengaruh nyata terhadap jumlah tongkol per tanaman, jumlah tongkol layak pasar, bobot kotor per tongkol, dan bobot kotor tongkol per tanaman. Interaksi varietas dan pemotongan bunga jantan (detasseling) berpengaruh nyata untuk karakter umur panen dan bobot kotor per tongkol. Karakter persentase tongkol afkir tidak dipengaruhi baik oleh varietas, detasseling, maupun interaksi antara kedua faktor.

Tabel 2. Rekapitulasi Sidik Ragam Karakter Agronomi Beberapa Varietas Jagung dalam Produksi Jagung Semi

Karakter F – hitung

No Varietas Detasseling Interaksi KK

1 Tinggi tanaman 8.99** 0.0048 5.36tn 0.1466 2.27tn 0.0656 7.83 2 Diameter batang 11.85** 0.0021 0.06tn 0.8325 0.84tn 0.5663 8.81 3 Jumlah buku per tanaman 3.97*

0.0446 1.70tn 0.3225 0.68tn 0.6901 20.89 4 Umur berbunga 65.94** <.0001 0.12tn 0.7588 2.16tn 0.0770 2.50 5 Tinggi tongkol 7.45** 0.0084 0.39tn 0.5964 1.57tn 0.1947 14.95 6 Umur panen 19.34** 0.0004 1.78tn 0.3143 3.08* 0.0194 3.22 7 Ruas muncul tongkol

pertama 85.39** <.0001 3.39tn 0.2071 1.32tn 0.2845 4.80 8 Panjang tongkol 36.43** <.0001 0.09tn 0.7980 0.56tn 0.7785 8.10 9 Diameter tongkol 4.03* 0.0431 0.11tn 0.7723 1.08tn 0.4067 7.38 10 Jumlah tongkol per

tanaman 11.48** 0.0023 56.11* 0.0174 0.47tn 0.8428 13.35 11 Persentase tongkol layak

pasar 4.68* 0.0297 6.79tn 0.1211 0.96tn 0.4855 17.59 12 Persentase tongkol afkir 3.13tn

0.0775 6.80tn 0.1210 1.67tn 0.1662 26.06 13 Jumlah tongkol layak pasar 4.00*

0.0439 23.57* 0.0399 2.35tn 0.0572 13.15 14 Jumlah tongkol afkir 8.53**

0.0056 0.52tn 0.5468 0.47tn 0.8493 37.40 15 Bobot kotor per tongkol 5.94*

0.0158 20.44* 0.0456 2.48* 0.0472 12.72 16 Bobot kotor tongkol per

tanaman 3.58tn 0.0571 54.41* 0.0179 1.93tn 0.1110 18.99 17 Bobot bersih per tongkol 33.23**

<.0001 2.54tn 0.2521 0.50tn 0.8278 15.54 18 Bobot bersih tongkol per

tanaman 20.71** 0.0004 6.06tn 0.1330 1.04tn 0.4302 18.02

Keterangan: KK = Koefisien Keragaman, * = berbeda nyata pada α = 0.05, ** = berbeda nyata pada α = 0.01, tn = tidak berbeda nyata

Karakter Hasil dan Komponen Hasil

Karakter hasil dan komponen hasil terdiri dari jumlah tongkol per tanaman, bobot kotor tongkol per tanaman, bobot kotor per tongkol, bobot bersih tongkol per tanaman, dan bobot bersih per tongkol.

Dokumen terkait