• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keragaman Domba Lokal Indonesia

Domba merupakan ternak yang pertama kali didomestikasi, dimulai dari daerah Kaspia, Iran, India, Asia Barat, Asia Tenggara, dan Eropa sampai ke Afrika (Gatenby 1991). Indonesia mempunyai tiga jenis domba yang telah beradaptasi dengan baik pada kondisi lingkungan dan pengelolaan secara intensif maupun ekstensif. Dua jenis di antaranya adalah Domba Ekor Tipis (DET) (Javanese Thin Tailed) dan Domba Ekor Gemuk (DEG) (Javanese Fat Tailed) (Subandriyo 1993), serta domba Priangan yang dikenal sebagai domba Garut (Mulyaningsih 1990). Domba-domba lokal lainnya yang tersebar di Indonesia diduga merupakan rumpun dari ketiga jenis domba tersebut. DET diduga berasal dari India/Bangladesh sedangkan DEG kemungkinan berasal dari Asia Barat. Selama kurun 150 tahun terakhir juga telah dintroduksikan bangsa domba Eropa dari Belanda, Australia dan New Zealand namun kontribusinya terhadap pool gen domba lokal hanya sedikit diakibatkan tingginya mortalitas domba import tersebut (Bradford & Inounu 1996).

Domba Ekor Tipis (DET)

Domba ekor tipis merupakan domba yang banyak terdapat di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Domba ini termasuk golongan domba kecil, dengan bobot

potong pada jantan berkisar 30 – 40 kg, sedangkan pada betina berkisar 15 - 20 kg. Warna bulu putih dan biasanya memiliki bercak hitam di sekeliling

matanya. Domba jantan memiliki tanduk melingkar, sedangkan yang betina biasanya tidak bertanduk. Bulunya berupa wol yang kasar (Subandriyo 1993). Ekornya tidak menunjukkan adanya deposisi lemak, dengan ukuran panjang ekor rata-rata 19.3 cm, lebar pangkal 5.6 cm dan tebal 2.7 cm (Tiesnamurti 1992).

Salah satu keunggulan Domba Ekor Tipis (DET) adalah sifatnya yang prolifik, karena mampu beranak kembar, rata-rata anak lahir per ekor induk (litter size) adalah 1.96 dan terdapat hubungan yang positif antara bobot badan induk saat dikawinkan dengan jumlah anak yang dilahirkan (Inounu et al. 1986). Produktivitas DET pada sistem penggembalaan antara lain rataan bobot lahir

2.2 kg, rataan bobot sapih 10.0 kg, rataan pertambahan bobot badan harian 87.96 g (Priyanto et al. 1992).

Sumantri et al. (2007) melaporkan domba Jonggol jantan dewasa mempunyai bobot badan sebesar 34.9 kg, sedangkan bobot badan betina sebesar 26.11 kg. Bobot badan domba Jonggol lebih tinggi bila dibandingkan sejumlah domba lokal lainnya, misalnya bila dibandingkan dengan bobot badan jantan dewasa dan betina dari domba Donggala (24.0 dan 25.3 kg), Kisar (25.8 dan 18.9 kg), dan Rote (27.9 dan 20.3 kg), akan tetapi hampir sama dengan bobot badan dewasa domba jantan dan betina dari Sumbawa (33.8 dan 26.9 kg).

Domba Ekor Gemuk (DEG)

Domba Ekor Gemuk (DEG) banyak terdapat di Jawa Timur dan Madura, serta pulau-pulau di Nusa Tenggara (pulau Rote dan Sumbawa). Telinga DEG umumnya berukuran medium dengan posisi agak tegak menggantung (semipendulous). Di Sulawesi Tengah dikenal sebagai domba Palu atau Donggala. Tanda-tanda yang merupakan karakteristik khas domba ekor gemuk adalah ekor yang besar, lebar dan panjang. Bagian pangkal ekor membesar merupakan timbunan lemak, sedangkan bagian ujung ekor kecil tidak berlemak. Warna bulu putih, tidak bertanduk. Bulu wolnya kasar. Domba ini dikenal sebagai domba yang tahan terhadap panas dan kering. Domba ini diduga berasal dari Asia Barat Daya yang dibawa oleh pedagang bangsa Arab pada abad ke-18 (Salamena 2006).

Bentuk tubuh domba ekor gemuk lebih besar dari pada domba ekor tipis. Domba ini merupakan domba tipe pedaging, bobot jantan dewasa antara 40

– 60 kg, sedangkan bobot badan betina dewasa 25 – 35 kg. Tinggi badan pada jantan dewasa antara 60 – 65 cm, sedangkan pada betina dewasa 52 – 60 cm. (Tiesnamurti 1992; Davendra & McLeroy 1992; Hardjosubroto 1994).

Domba Priangan / Domba Garut

Jenis domba lokal lainnya adalah domba Priangan yang tersebar di daerah Bandung, Garut, Sumedang, Ciamis, dan Tasikmalaya. Domba Garut dikelompokkan dalam dua kelompok yakni domba Garut Wanaraja (Garut pedaging) dan domba Garut Cibuluh (Garut tangkas). Kedua jenis domba ini memiliki penampilan yang berbeda. Domba Garut Wanaraja umumnya berbulu putih dan bulunya lebih halus. Domba Garut Cibuluh mudah dikenali karena daun telinganya yang kecil (rudimenter), memiliki tubuh yang kekar dan besar, serta umumnya berwarna hitam. Domba jantan bertanduk besar sehingga sering dipertandingkan, khususnya untuk diadu tangkas, sedangkan domba betina umumnya tidak bertanduk (Wiradarya 2005).

Domba Priangan merupakan domba utama di Jawa Barat yang telah beradaptasi baik dengan kondisi lingkungan panas dan kelembaban tinggi. Domba ini memiliki ciri-ciri profil kepala cembung dan mempunyai bentuk muka bagian atas lebar, pendek, sedikit cembung, kelopak mata agak menonjol. Pada jantan mempunyai tanduk berat, melingkar mendekati leher karena besar, panjang mencapai 55 cm, dasar tanduk 21 cm, jarak dasar tanduk hampir bersentuhan satu sama lain. Pada betina tidak bertanduk hanya kadang-kadang dijumpai benjolan, kepala kecil terutama bagian atas tidak demikian sempurna, hanya betina bentuknya lebih halus. Bobot badan dewasa dapat mencapai kisaran 50 – 62 kg pada jantan dan 35 – 40 kg pada betina (Davendra & McLeroy 1992).

Sistem Kalpain Kalpastatin dan Struktur Molekuler Gen Kalpastatin

Pada level fisiologik, kalpastatin adalah inhibitor spesifik bagi kalpain yang merupakan enzim protease yang tergantung pada ion Ca2+ (µ-calpain dan

m-calpain) (Goll et al. 2003). Sistem kalpain kalpastatin ditemukan hampir di semua jaringan tubuh hewan dan mempengaruhi banyak proses penting seperti pengaturan fusi dan migrasi mioblas (Barnoy et al. 1996; Dedieu et al. 2004), turn over protein dan pertumbuhan otot (Huang & Forsberg 1998), proliferasi sel (Stifanese et al. 2008), serta lama hidup (longevity) dan kesuburan (fertility) (Garcia et al. 2006). Sistem kalpain kalpastatin banyak mendapat perhatian khusus karena peranan utamanya dalam produksi daging dan diyakini terlibat

dalam proses degradasi protein miofibril dalam proses keempukan pasca pemotongan melalui pengaturan aktivitas kalpain (Koohmaraie 1992).

Banyak penelitian dalam bidang peternakan, khususnya pada ternak pedaging berusaha untuk mengungkap peranan kalpastatin secara genetik dan fisiologis di dalam tubuh ternak. Level kalpastatin bervariasi di antara spesies ternak (Koohmaraie 1992), bangsa (Shackelford et al. 1995), otot (Geesink & Koohmaraie 1999), dan berpengaruh secara genetik terhadap kualitas karkas (Bickerstaffe et al. 2006; Schenkel et al. 2006) dan daging (Perry et al. 2009; Van Eeneenaam et al. 2007).

Pada level protein, kalpastatin merupakan protein dengan lima domain penghambat (Gambar 2) yang diperkirakan memiliki bobot molekul sekitar 65 - 76 kDa yang ditemukan pada eritrosit (Killefer & Koohmaraie 1994) dan sekitar 107 – 172 kDa pada jaringan yang lebih besar (Raynoud et al. 2005a). Kalpastatin ada diseluruh jaringan otot yang mengekspresikan kalpain. Salah satu domain yakni N-terminal leader (L) tidak menghambat aktivitas kalpain (Emori et al. 1987), namun kemungkinan terlibat dalam lokalisasi intraselular (Averna et al. 2001) sedangkan 4 domain lainnya (domain I – IV) memiliki homologi yang tinggi dan masing-masing mempunyai kemampuan menghambat aktivitas kalpain (Emori et al. 1987; Cong et al. 1998). Domain penghambat pada kalpastatin memiliki tiga region yang sangat terkonservasi yakni region A, B dan C. Region A dan C terikat pada kalpain yang tergantung pada ion Ca2+ namun tidak memiliki aktivitas penghambat sedangkan region B menghambat aktivitas kalpain (Tompa

et al. 2002).

Gambar 2 Struktur domain protein kalpastatin. 4 domain penghambat dengan 786 asam amino. A, B dan C adalah domain penghambat yang sangat

conserve (Odeh 2003)

Keberadaan beberapa transkrip protein kalpastatin menunjukkan bahwa kalpastatin memiliki bentuk (isoform) yang bervariasi (Cong et al. 1998) dan diketahui pula bahwa dengan menghilangkan domain daerah XL atau domain L memiliki pengaruh terhadap pola fosforilasi protein. Pada level molekuler, gen kalpastatin (CAST) terdiri atas 30 ekson dengan panjang sekitar 130 kb dengan 4 promotor yang mengatur langsung pola ekspresinya (Gambar 3). Struktur gen ini adalah sama untuk manusia, sapi, babi, tikus ataupun domba (Raynaud et al. 2005a dan 2005b). Promotor yang mengatur langsung ekspresi gen ini diberi nama berdasarkan 4 tipe transkripsinya yaitu tipe I, II, III dan IV yang berbeda

pada ujung 5’ pada sapi, babi (Parr et al. 2004) dan tikus (Takano et al. 2000). Promotor P3 yang berhubungan dengan ekson 1u terekspresi di seluruh jaringan tubuh ternak dan sampai saat ini masih sedikit yang diketahui terkait dengan aktivitas pengaturan pada tahap transkripsi dan translasi pada gen ini (Kubiak et al. 2009).

Gambar 3 Struktur gen kalpastatin (4 promoter 1xa (P1), 1xb (P2), 1u (P3) dan 14t (P4) serta 30 ekson). Tipe isoform kalpastatin berdasarkan regulator promoter (Parr et al. 2001 dan Kemp et al. 2010)

Keragaman Gen CAST dan Hubungannya dengan Sifat Produksi

Gen CAST dikenal bersifat polimorfik pada ternak sapi, dan variasi gen CAST telah digunakan sebagai marker gen pada dua marker komersial yakni GeneStar Tenderness dan Igenity TenderGENE. GeneStar Tenderness

menggunakan SNP G/A pada daerah 3’ UTR (posisi basa 2959 dari gen Bank :

AF159246) (Barendse et al. 2002), sementara Igenity TenderGENE menggunakan SNP G/C pada daerah intron 5 (posisi basa 282 dari gen Bank : AY008267) (Van Eeneenam et al. 2007). Gen CAST juga diketahui bersifat polimorfik pada babi (Krzęcio 2008), dan kambing (Zhou & Hickford 2008c). Pada domba gen CAST juga diketahui sangat polimorfik dengan 5 allel pada daerah intron 5– ekson 6 (Zhou et al. 2007) dan 4 allel pada daerah intron 12 (Roberts et al. 1996, Byun et al. 2009a). Namun sampai saat ini keragaman gen CAST pada daerah promotor baru dilaporkan pada sapi (Kubiak et al. 2009) dan belum ada informasi terkait dengan polimorfisme tersebut pada ternak domba.

Hasil analisis Quantitative Traits Loci (QTL) menunjukkan bahwa gen CAST berasosiasi kuat dengan sifat pertumbuhan pada domba silang balik antara Domba Ekor Tipis (DET) dengan domba Merino (Margawati 2005). Sumantri et al. (2008) melaporkan gen CAST pada fragmen intron 1 memiliki hubungan yang kuat dengan bobot badan pada domba lokal, individu bergenotipe MN mempunyai bobot badan lebih besar daripada individu bergenotipe NN. Frekuensi alel M sangat bervariasi tertinggi pada domba Garut tangkas Ciomas/Bogor (0.29), Garut Margawati (0.24), DET Jonggol/Bogor (0.16) dan terendah pada domba DEG Madura dan Sumbawa (0.04). Lebih lanjut Sumantri et al. (2008) melaporkan frekuensi alel M di tiga populasi berkisar 0.16 – 0.29, tetapi individu bergenotipe MM tidak ditemukan pada domba lokal yang diobservasi. Fenomena ini kemungkinan disebabkan oleh seleksi negatif, domba berbobot badan besar kemungkinan besar bergenotipe MM banyak dipotong.

Nassiry et al. (2006) juga melaporkan gen CAST intron 1 memiliki hubungan yang kuat dengan pertambahan bobot badan harian (daily gain) pada domba Kurdi. Namun variasi tersebut dilaporkan tidak ada hubungannya dengan kualitas daging pada domba (Zhou et al. 2008b). Byun et al. (2008) melaporkan keragaman gen kalpastatin pada ekson 6 memiliki hubungan yang kuat dengan

bobot lahir. Namun hubungan keragaman tersebut tidak ada hubungannya dengan lama hidup (longevity) dan fertilitas pada domba (Byun et al. 2009c) hal berbeda yang diketahui pada sapi perah (Garcia et al. 2006). Bickerstaffe et al. (2006) melaporkan variasi di ekson 6 berhubungan dengan kualitas karkas, dimana alel A berpengaruh pada peningkatan 15% otot longissimus dorsi (shortloins).

Penelitian lain pada ternak sapi menunjukkan beberapa polimorfisme dari gen CAST memiliki hubungan dengan kualitas karkas, ternak dengan genotipe CC cenderung memiliki persentase daging tanpa lemak (lean) dan tulang yang lebih rendah dibanding genotipe GG (Schenkel et al. 2006). Polimorfisme gen CAST juga memiliki hubungan dengan nilai keempukan Warner-Bratzler Shear Force

(WBSF) (Barendse 2002; Koohmaraie et al. 1995). Secara khusus korelasi genetik antara aktivitas kalpastatin dengan keempukan daging telah diukur oleh Casas et al. (2006) dengan menggunakan WBSF. Hasil penelitian tersebut menunjukkan hubungan antara marker gen CAST dengan WBSF dan nilai keempukan sangat signifikan (P<0.01). Ternak dengan genotipe CC dan CT menghasilkan daging yang lebih alot dibandingkan dengan genotipe TT. Estimasi heritabilitas dari keempukan uji organoleptik berkisar 0.22 sampai 0.50, sedangkan heritabilitas WBSF sekitar 0.12 sampai 0.58 (Gregory et al. 1995; Wheeler et al. 1996;

O’Connor et al. 1997). Heritabilitas yang cukup tinggi dari sifat keempukan daging menunjukkan bahwa gen tersebut sangat potensial digunakan untuk memprediksi dan menekan variabilitas dari sifat tersebut dengan seleksi menggunakan teknologi biologi molekuler (Costello et al. 2007).

Pertumbuhan Otot

Hyperplasia (peningkatan jumlah sel) dan hypertrophy (peningkatan ukuran sel) adalah penentu utama massa otot. Jika hyperplasia didefinisikan sebagai jumlah sel secara aktual, maka sifat ini ditentukan oleh proliferasi sel-sel embrional. Namun, jika hyperplasia didefinisikan sebagai total kandungan DNA sel-sel otot, maka hal tersebut ditentukan oleh proliferasi sel-sel sebelum lahir, dan pertumbuhan setelah lahir dan perkembangan sel-sel satelit. Ternak yang dilahirkan dengan jumlah sel yang tinggi (double muscling) akan memiliki

potensi perototan yang lebih besar, demikian pula dengan ternak yang memiliki sel-sel satelit yang lebih aktif juga akan memiliki potensi untuk memiliki perototan yang besar (Koohmaraie et al. 2002).

Besar ukuran otot ditentukan oleh keseimbangan antara jumlah protein otot yang disintesa dengan yang didegradasi. Jika jumlah protein otot yang disintesa lebih besar dibanding jumlah protein otot yang didegradasi, maka akan menyebabkan hypertrophy. Ada beberapa skenario yang dapat menyebabkan

hypertrophy yaitu : 1). Peningkatan sintesa protein yang diikuti dengan penurunan degradasi protein, 2). Peningkatan sintesa protein dan degradasi protein, namun peningkatan sintesa protein lebih tinggi dibanding peningkatan degradasi protein, dan 3). Penurunan sintesa protein dan degradasi protein, namun tingkat penurunan degradasi protein lebih rendah dibanding dengan tingkat penurunan sintesa (Koohmaraie et al. 2002).

Protein otot yang memegang peranan penting dalam pertumbuhan otot rangka adalah protein miofibril yang merupakan fraksi protein utama dalam otot rangka. Degradasi dari protein miofibril yang menyebabkan variasi dalam pertumbuhan otot serta kualitas daging (keempukan) khususnya pada otot

longissimus (Koohmaraie et al. 2002). Goll et al. (1989) menunjukkan pentingnya degradasi protein terhadap efisiensi deposisi massa daging tanpa lemak (lean mass deposition). Pengurangan 10% dari tingkat degradasi protein (dari 3%/hari menjadi 2.7%/hari) akan menyebabkan penggandaan pertambahan bobot badan secara hipotesis pada sapi yang memiliki bobot 454 kg.

Hubungan Kualitas Daging (Keempukan) dengan Pertumbuhan Otot

Jika pertumbuhan otot adalah hasil dari hyperplasia (peningkatan jumlah sel pada fase embrional atau peningkatan kandungan DNA melalui aktivitas sel- sel satelite), maka tidak akan ada pengaruh negatif terhadap sifat keempukan daging (Koohmaraie et al. 2002). Sebagai contoh adalah fenotip double muscling pada sapi, daging yang berasal dari sapi ini lebih empuk khususnya pada daging dimana jaringan ikat sebagai penentu keempukan (Wheeler et al. 2001). Namun hal yang berbeda jika pertumbuhan otot adalah hasil dari

Hypertrophy terjadi akibat penurunan laju degradasi protein otot dan dapat mempengaruhi kualitas daging khususnya keempukan. Hal ini ditunjukkan pada domba dengan fenotip Callipyge. Otot domba Callipyge mengalami hypertrophy akibat penurunan laju degradasi protein otot. Hal ini ditandai dengan aktivitas kalpastatin otot yang tinggi dan menyebabkan domba memiliki fenotipe perdagingan yang ekstrim pada bagian hindquarter, namun dagingnya akan sangat alot (Freking et al. 1998 & 2004; Koohmaraie et al. 1995).

Karkas dan Komponennya

Karkas adalah bagian tubuh ternak setelah dikurangi bagian saluran pencernaan, kepala, kulit dan keempat kaki. Bobot karkas adalah bobot hidup setelah dikurangi bobot saluran pencernaan, darah, kepala, kulit dan keempat kaki dari persendian carpus atau tarsus ke bawah (Berg & Butterfield 1976). Terkadang dijumpai beberapa modifikasi dengan atau tanpa ginjal, lemak ginjal, lemak pelvis, lemak sekitar ambing, diaphragma dan ekor. Perbedaan sangat besar adalah lemak atau ginjal termasuk dalam karkas atau tidak (Colomer-Rocher et al. 1987).

Persentase karkas dapat diukur dalam beberapa cara yakni dengan mengukur perbandingan antara bobot karkas dengan bobot hidup saat dipotong atau perbandingan bobot hidup dengan bobot kosong (empty body weight) yakni bobot setelah dikurangi isi saluran pencernaan dan urine (Ekiz et al. 2009). Persentase karkas dipengaruhi oleh bobot karkas, bobot ternak, kondisi, bangsa ternak, proporsi bagian-bagian non karkas, ransum yang diberikan serta cara pemotongan (Berg & Butterfield 1976).

Herman (2005) menyatakan bahwa persentase karkas domba Priangan adalah sebesar 48.70% dan domba Ekor Gemuk adalah sebesar 52.39% pada bobot potong 25 kg. Pada bobot potong 40 kg, domba Priangan memiliki persentase karkas sebesar 54.90% dan domba Ekor Gemuk sebesar 55.49% (Herman 2002). Persentase karkas bervariasi karena bobot hidup dan perlemakan dari domba tersebut, sedangkan persentase tulang, otot dan lemak dalam karkas dipengaruhi oleh bobot hidup, bangsa dan perlemakan pada domba.

Persentase karkas domba lokal tidak terlalu jauh berbeda dengan persentase karkas pada beberapa bangsa domba lainnya seperti yang dilaporkan pada domba Omani (48%) oleh Mahgoub et al. (2000), domba Mexican Pelibuey (44%), Gutierrez et al. (2005); domba berambut yang dipelihara secara intensif (52%), Burke et al. (2003) dan Kawas et al. (2007), domba Ovin Martinik (57%) (Archimede et al. 2008), dan domba Chios (54.59%) Ekiz et al. (2009).

Komponen utama karkas terdiri atas jaringan otot, tulang dan lemak. Kualitas karkas sangat ditentukan oleh ketiga komponen tersebut. Perubahan proporsi dari satu komponen akan mempengaruhi proporsi komponen lainnya. Proporsi relatif dari ketiga komponen tersebut yang menentukan kualitas karkas (Aberle et al. 2001). Tulang sebagai kerangka tubuh merupakan komponen karkas yang tumbuh dan berkembang paling dini (early maturing tissue), kemudian disusul oleh jaringan otot, dan yang paling akhir adalah jaringan lemak (late maturing tissue) (Aberle et al. 2001; Abdullah et al. 2008). Proporsi komponen karkas dan potongan karkas yang dikehendaki oleh konsumen adalah karkas atau potongan karkas yang terdiri atas proporsi daging tanpa lemak (lean) yang tinggi, tulang yang rendah dan lemak yang optimal (Macit 2002).

Komponen karkas yang dapat memberikan nilai ekonomis adalah lemak, karena lemak berfungsi sebagai pembungkus daging dan memberikan keempukan pada daging (Berg & Butterfield 1976). Namun, seiring dengan meningkatnya kesadaran konsumen akan makanan yang sehat, perlemakan yang terlalu banyak pada karkas cenderung dihindari. Kandungan lemak (perlemakan) pada domba lokal memperlihatkan perbedaan yang nyata karena perbedaan bangsa. Herman (2002) menyatakan bahwa pada bobot potong 25 kg, persentase karkas, otot, tulang dan lemak pada domba Priangan berturut-turut adalah sebesar 48.80%, 62.28%, 17.05%, dan 18,67%, sedangkan pada domba Ekor Gemuk berturut-turut adalah 52.73%, 53.55%, 15.50%, dan 29.30%.

Pertumbuhan jaringan lemak lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan otot, tetapi dengan berlangsungnya pertumbuhan ternak, peletakan lemak secara bertahap akan melebihi pertumbuhan otot, selanjutnya begitu tingkat kedewasaan ternak tercapai pertumbuhan otot cenderung stabil tetapi perletakan lemak akan terus berlangsung. Lemak merupakan jaringan yang dinamis yang

artinya secara konstan lemak disimpan dan dimobilisasi dalam tubuh, lemak banyak terkumpul dalam dinding rongga perut dan ginjal (Aberle et al. 2001).

Pada ternak muda, lemak dideposisi pertama kali pada daerah organ dalam tubuh (visceral), kemudiaan saat mendapatkan nutrisi yang cukup, maka lemak akan dideposisi di bawah kulit (lemak subkutan), kemudian lemak antar otot (intermuskular) dan lemak yang paling terakhir dideposisi adalah lemak di antara serat otot (intramuskular) (Aberle et al. 2001).

Rasio perbandingan antara ketiga komponen karkas baik berupa rasio daging dengan tulang, ataupun rasio daging dengan lemak umumnya dikaitkan dengan tingkat perdagingan ternak (Purchas et al. 1991). Rasio daging dengan tulang atau rasio daging dengan lemak yang tinggi menunjukkan perdagingan yang bagus, rasio daging dan lemak pada daerah leg dan shoulder umumnya lebih tinggi dibanding pada daerah rack atau loin, yang disebabkan pola pertumbuhan distoproksimal pada ternak. Artinya bagian tubuh ternak khususnya pada daerah

shoulder dan leg berkembang lebih awal dibandingkan pada bagian rack atau loin

(Abdullah et al. 2008).

Potongan Komersial Karkas Domba

Cara pemotongan potongan komersial karkas ditentukan oleh spesies ternak dan selera konsumen, oleh karena itu ditemukan cara pemotongan yang berbeda-beda pada satu negara dengan negara yang lainnya. Bicer et al. (1995) hanya membagi potongan karkas domba dalam empat potongan utama yakni

shoulder-neck-brisket, back-chest, loin-belly dan rump-leg-hindshanks. Colomer- Rocher et al. (1987) membagi karkas dalam enam potongan yakni leg, shoulder, neck, ribs, loin, dan breast. Abdullah et al. (2008) membagi potongan utama karkas (primal cut) hanya dalam empat potongan utama yakni shoulder, rack, loin

dan leg. Rodrigues et al. (2006) membagi potongan karkas dalam tiga kategori, yakni potongan leg, chump dan loin sebagai kategori/kualitas pertama, ribs,

anterior ribs dan shoulder sebagai kualitas kedua, sedangan breast, shank dan

neck adalah kualitas ketiga.

Herman (1993) menyatakan bahwa pada irisan karkas utama, memperlihatkan bahwa domba Priangan mempunyai potongan shoulder yang

lebih besar dengan persentase otot lebih tinggi dan lemak lebih rendah dibandingkan dengan irisan shoulder domba Ekor Gemuk. Ekor Gemuk mempunyai potongan leg yang lebih besar daripada Priangan, tetapi persentase lemaknya lebih tinggi dan ototnya lebih rendah. Persentase potongan leg pada Priangan (30.8%) pada Ekor Gemuk (32.3%), loin pada Priangan (9.1%) pada Ekor Gemuk (10.1%), rack pada Priangan (9.4%) pada Ekor Gemuk (8.6%) dan

shoulder pada Priangan (28.2%) pada Ekor Gemuk (27.3%).

Marker Assisted Selection (MAS)

Penggunaan Marker Assisted Selection (MAS) didasarkan pada gagasan bahwa terdapat gen yang memegang peranan utama dan menjadi sasaran atau target secara spesifik dalam seleksi (Van der Werf 2000). Beberapa sifat yang dikendalikan oleh gen tunggal seperti warna bulu merupakan pola pewarisan sifat yang sederhana, namun beberapa sifat utamanya sifat produksi yang kompleks (kuantitatif) dikontrol oleh banyak gen (poly gene) (Nicholas 1996; Noor 2008). Gen-gen sifat kuantitatif yang memiliki pengaruh besar merupakan gen-gen yang disebut sebagai gen utama (major gene) yang terletak pada lokus sifat kuantitatif (Quantitative Trait Loci/QTL). Marker gen telah banyak digunakan untuk mengidentifikasi ternak sapi yang memiliki performa lebih bagus pada beberapa sifat komersial seperti kualitas daging (keempukan) (Barendse et al. 2008).

Dua dekade terakhir telah diidentifikasi beberapa gen yang memiliki pengaruh utama (major gene) terhadap sifat-sifat ekonomis pada ternak. Beberapa gen utama seperti gen Myostatin yang menyebabkan double muscling dan berpengaruh pada produksi daging sapi (Grobet et al. 1997), gen Callipyge yang berpengaruh pada produksi daging domba (White et al. 2008), serta gen Booroola

atau gen prolifik (banyak anak) pada domba (Fogarty 2009).

Walaupun penggunaan MAS adalah suatu harapan yang optimis, penerapan MAS akan lebih tepat digunakan pada skala industri pemuliaan ternak atau industri peternakan sehingga keberhasilan penerapannya memerlukan strategi terpadu yang menyeluruh untuk skala usaha peternakan besar (Dekkers 2004). Meuwissen (2001) menyatakan bahwa MAS penting pada situasi yang ketepatan seleksi rendah, nilai heritabilitas rendah dan terbatas. Melalui seleksi MAS yang

digunakan, ketepatan seleksi diharapkan dapat lebih baik sejak periode anak atau fase embrional.

Marker Assisted Selection (MAS) dapat membantu dalam meningkatkan laju peningkatan mutu genetik ternak melalui pemanfaatan informasi molekuler genetik dalam program pemuliaan (breeding programme) (Dekers & Hospital 2002; Dekkers 2004).

KERAGAMAN GENETIK GEN KALPASTATIN (CAST)

Dokumen terkait