• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekologi Rumen

Peningkatan produktivitas ternak sapi dapat dilakukan melalui ketersediaan pakan berkualitas. Pakan merupakan faktor yang penting dalam mensuplai fungsi dan efisiensi kerja rumen. Mikroba rumen memegang peranan besar dalam mendegradasi pakan yang dikonsumsi untuk menghasilkan sumber energi utama berupa VFA. Tempat pencernaan pakan pada ruminansia terbagi menjadi 4 bagian yaitu di rumen, retikulum, omasum, dan abomasum. Tempat pencernaan pada ruminansia yang utama adalah rumen yang memiliki kapasitas tampung substrat sekitar 60-100 liter atau 10-15% dari bobot badannya. Rumen merupakan organ yang menarik untuk diteliti, terkait fungsinya sebagai tempat fermentasi utama pakan yang dikonsumsi. Rumen dihuni oleh konsorsium mikroba, sekitar 1010-12 cfu/ml bakteri, metanogen 106-8 cfu/ml, 105-6/ml protozoa dan sebagian kecil cendawan anaerob, yang bekerja secara sinergi dalam biokonversi pakan (Ogimoto and Imai 1981; Wallace and Newbold 1992; Stewart and Flint 1997). Keberadaan mikroba rumen terbagi menjadi tiga, yaitu menempel pada dinding rumen, menempel pada partikel pakan, dan berada dalam cairan rumen.

Bakteri rumen digolongkan ke dalam kemampuan menggunakan substrat dan hasil akhir fermentasinya. Bakteri rumen yang aktif dalam memanfaatkan karbohidrat seperti selulosa yaitu Ruminococcus albus, Fibrobacter succinegenes, Eubacterium cellulosolvens, hemiselulosa (Butyrivibrio fibrisolvens), pati (Streptococcus bovis), gula atau dextrin (Succinivibrio dextrinosolvens dan

Lactobacillus sp.), dan pektin (Treponema saccharophilum dan Lachnospira multiparus) (Stewart and Flint 1997). Sebagian bakteri lainnya yang aktif dalam memanfaatkan nitrogen, seperti degradasi protein yaitu Ruminibacter amylophilus, Clostridium sp. dan hidrolisis urea (Megasphaera elsdenii). Kelompok bakteri pengguna asam (Succiniclasticum ruminis), bakteri lipolitik, asetogenik, pendegradasi anti nutrisi, dan archaea dari kelompok metanogen yaitu

Methanobrevibacter ruminantium, Methanosarcina sp, Methanosphaera stadmanae, Methanoculleus bourgensis, Methanimicrococcus blatticola, dan masih banyak metanogen yang belum dapat dikulturkan melengkapi keragaman mikroba dalam ekosistem rumen (Stewart and Flint 1997; Huang et al. 2012; Singh et al. 2012).

Proses pencernaan pakan di rumen terjadi melalui kombinasi proses biokimia dan proses mekanis yang menghasilkan VFA sebagai produk akhir dari metabolisme dalam rumen. Kandungan utama VFA adalah asam asetat, propionat, butirat, valerat dan asam lemak bercabang lainnya seperti butirat dan iso-valerat dalam konsentrasi yang lebih kecil. VFA yang dihasilkan dalam rumen sangat beragam dan sebanyak 80-160 mM dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan yang optimum. Ekivalen kadar VFA yang diproduksi dalam rumen menyumbang 60-80% dari kebutuhan energi ternak ruminansia (Sutardi 2001). Apabila terdapat penurunan perbandingan asetat:propionat dan penurunan produksi CH4, hal ini mengindikasikan adanya pengaruh dari pemberian aditif pakan dalam penurunan produksi CH4 dan meningkatkan penggunaan energi dalam pakan ruminansia (Mwenya et al. 2004).

Kecenderungan peningkatan asam propionat lebih menguntungkan karena dapat memasok energi pada ruminansia. Asam propionat merupakan VFA bersifat glukogenik yang dapat menjadi prekursor dalam sintesis glukosa melalui proses glukoneogenesis dan jalur asam laktat (McDonald et al. 1991). Pada sintesis asam propionat membutuhkan gas H2, sehingga gas H2 yang ada di rumen berkurang. Berkurangnya gas H2 mengakibatkan rendahnya produksi CH4, sehingga fermentasi mengarah pada pembentukan asam propionat yang lebih menguntungkan. Selain itu, potensi energi yang terbuang sebagai gas CH4

menjadi berkurang (Moss et al. 2000).

Calliandra calothyrsus

C. calothyrsus merupakan leguminosa pohon yang banyak dan tersebar luas di Indonesia (Gambar 2). C. calothyrsus dapat tumbuh pada ketinggian 0-1300 m dpl dan dengan curah hujan mencapai 700-3000 mm/tahun. Legum ini tidak toleran terhadap kekeringan, namun dapat tetap tumbuh dalam beberapa periode kekeringan yang berlangsung selama 2-6 bulan tetapi tetap memperoleh curah hujan yang tidak kurang dari 50 mm. C. calothyrsus biasa hidup atau ditanam dilereng-lereng bukit atau pengunungan sebagai tanaman penahan erosi. Daun dan ranting leguminosa ini sudah dikenal oleh masyarakat peternak sebagai pakan kambing, namun masih rendah proporsi pengunaannya untuk pakan sapi. Kandungan nutrisi C. calothyrsus cukup tinggi, terutama kandungan PK yang berkisar antara 17%-30% (Norton 1994; Hess et al. 2006; Jayanegara et al. 2011a). Tingginya kandungan PK yang terdapat pada legum ini banyak digunakan sebagai suplay N untuk sintesis mikroba di dalam rumen.

Gambar 2. Leguminosa pohon C. calothyrsus Tanin

C. calothyrsus memiliki kandungan polifenol yang tinggi. Tanin merupakan senyawa polifenol alami dari tanaman yang memiliki berat molekul yang beragam antara 500-3000 dalton. Tanin terbagi dua berdasarkan analisanya atau cara mendapatkannya yaitu tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi (Bhat et al.

1998). Tanin terhidrolisis seperti gallic (gallotannins) dan ellagic acid

(ellagitannins), dan tannic acid. Tanin ini dapat didegradasi dengan adanya kondisi asam dan aktivitas tanase dari beberapa mikroba rumen. Tannin

terkondensasi atau proanthocyanidins contohnya catechin dan gallocatechin yang polymer utamanya tersusun dari unit flavan3-ol (epi) catechin dan (epi)

gallocatechin serta ditandai dengan adanya ikatan rangkap C-C pada C ke-8 dan ke-4. Tanin terkondensasi sampai saat ini belum ada informasi dapat didegradasi oleh mikroba rumen karena tingkat toksisitas yang tinggi dan ikatan komplek C-C yang kuat. Pengaruh anti nutrisi dari tanin ini adalah dapat bergabung secara komplek dengan protein, polimer seperti selulosa, hemiselulosa dan pektin, dan mineral.

Tanin secara umum dapat menghambat pertumbuhan beberapa mikroba namun masih belum jelas mekanisme kerja secara menyeluruh. Tanin sangat reaktif terhadap dinding sel dan enzim ekstra seluler yang disekresikan oleh bakteri yang selanjutnya menghambat transport nutrisi ke sel dan menghambat pertumbuhan. Manfaat tanin banyak diteliti dijadikan bahan pakan aditif dalam menurunkan emisi enterik CH4. Mekanisme penghambatan emisi enterik CH4 dari MST dapat terjadi di rumen baik secara langsung dan tidak langsung dengan mekanisme sebagai berikut; 1) Secara langsung dapat menghambat proses metanogenesis dengan aktivitas sebagai anti metanogen, 2) Secara tidak langsung dengan memiliki aktivitas sebagai anti protozoa, metanogen dan protozoa diketahui memiliki hubungan endosimbion dalam hidupnya sehingga populasi protozoa berkurang dan metanogen secara tidak langsung mengalami penurunan, 3) Berperan sebagai anti bakteri dan anti cendawan, berkurangnya bakteri dan cendawan menyebabkan turunnya kecernaan pakan, sehingga substrat yang dibutuhkan untuk produksi CH4 mengalami penurunan (Kamra et al. 2012). Patra and Saxena (2010) menggambarkan hubungan fitokimia sebagai MST terhadap proses metanogenesis dan metabolisme di rumen (Gambar 3).

Fitokimia Perubahan Pola Fermentasi

Bakteri dan Cendawan Protozoa Metanogen

Kecernaan Pakan

Kecernaan Serat Metanogenesis

_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ + + +

Gambar 3. Hubungan fitokimia tanaman terhadap metanogenesis dan metabolisme rumen. (-); pengaruh negatif, (+); pengaruh positif (Patra and Saxena 2010).

Enterik CH4 yang dihasilkan oleh ternak ruminansia di rumen diperkirakan dapat menyumbangkan polutan sekitar 15% dari emisi CH4 total, dan potensi kehilangan energi sebesar maksimal 15 % dari konsumsi energi bruto (Moss et al. 2000; Bodas et al. 2012). Tanin dari C. calothyrsus dapat menurunkan gas CH4

secara in vitro, menghasilkan produksi gas CH4 sekitar 11.2% dari total gas (Jayanegara et al. 2011a). Banyak manfaat lainnya yang terdapat dari C. calothyrsus, oleh karena itu perlu dilakukan preservasi dalam upaya penyediaan

pakan berkelanjutan. Tanin yang terkandung dalam silase rumput-legum masih perlu dicari proporsi pemberian untuk sapi potong, karena masih ada dampak negatif dari pemberian tanin terhadap penurunan kecernaan bahan organik di rumen (Jayanegara et al. 2010; Boer et al. 2011).

Tanin banyak digunakan sebagai pakan aditif alami yang aman untuk regulasi metanogenesis di rumen. Tanin dapat menurunkan metanogenesis melalui penghambatan protozoa rumen dan dapat menekan aktivitas metanogen. Aditif lainnya seperti minyak atsiri, senyawa organosulphur dan flavonoid memiliki pengaruh langsung terhadap metanogen dan tidak langsung terhadap pengurangan protozoa (Patra and Saxena 2010). Sejumlah leguminosa telah diketahui mengandung total fenol dan tanin yang bervariasi. Jayanegara et al. (2011a) melaporkan bahwa semua fraksi fenol menunjukkan kemampuan menurunkan emisi CH4 dari fermentasi in vitro. Pemakaian leguminosa untuk pakan ruminansia yang dikombinasikan dengan rumput dapat bersifat saling melengkapi dimana rumput sebagai sumber serat kasar dan leguminosa sumber protein serta sumber MST. Pembuatan silase rumput-legum diharapkan mencukupi kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan oleh sapi dan dapat memberikan manfaat terhadap lingkungan. Fermentasi in vitro menggunakan ekstrak tanin 15 mg tanin kondensasi/500 mg bahan kering dari Leucaena leucocephala menunjukkan pola penurunan terhadap total gas, produksi CH4, konsentrasi VFA total, metanogen dan populasi protozoa. Penurunan tersebut sejalan dengan peningkatan penggunaan tanin, namun masih memiliki pengaruh negatif terhadap penurunan kecernaan bahan pakan (Tan et al. 2011; Jayanegara et al. 2010).

Silase

Prinsip pembuatan silase adalah fermentasi hijauan atau bahan pakan berbentuk segar oleh BAL. Fermentasi substrat oleh BAL sebagian besar menghasilkan asam laktat yang menjamin efisiensi fermentasi, sehingga dapat berperan sebagai zat pengawet alami (McDonald et al. 1991). Karbohidrat tersedia (WSC) dimanfaatkan oleh berbagai mikroba epifit pada saat awal fermentasi silase. Dominasi BAL tipe homofermentatif memegang peranan penting disaat awal fermentasi berlangsung dan dapat menentukan keberhasilan proses fermentasi silase. Jenis BAL ini menghasilkan asam laktat yang tinggi dan bermanfaat untuk menghambat pertumbuhan mikroba yang tidak diinginkan. Mikroba yang tidak diinginkan seperti clostridia dan enterobacter menghasilkan produk fermentasinya berupa butirat dan pH yang tinggi. Indikasi kehadiran dan pertumbuhan mikroba tersebut dapat menyebabkan kegagalan dalam pembuatan silase dan kehilangan sebagian kandungan nutrisinya.

Silase dibuat dengan tujuan menyediakan ketersediaan pakan yang berkualitas dan berkelanjutan. Peningkatan produktivitas sapi dapat tercapai dengan dukungan ketersediaan pakan yang kontinyu dan kualitas nutrisi yang baik. Nilai gizi dari silase hampir sama dengan hijauan segar, bahkan lebih tinggi kandungan nutriennya dengan penambahan inokulum atau dengan penambahan sumber karbohidrat dan protein (Ridwan et al. 2005). Pakan hijauan leguminosa dengan kandungan protein tinggi seperti C. calothyrsus dapat dilakukan penyimpanan menggunakan metode yang sesuai seperti silase. Namun, legum tersebut pada umumnya mempunyai kandungan WSC yang rendah dan tingginya kapasitas penyangga yang menyebabkan kualitas silase rendah (McDonald et al.

1991; Norton 1994). Kombinasi rumput dan legum merupakan solusi untuk keberhasilan proses fermentasi silase. Bahan pakan dengan kandungan protein tinggi dapat diawetkan dengan silase, dan merupakan suatu potensi dalam menyediakan pakan ruminansia yang berkelanjutan (Sun et al. 2012; Gómez-Vázquezet al.2011; Wanapat et al. 2014).

Peranan lain dari inokulum BAL dapat berperan sebagai probiotik. Hal ini didukung oleh fenomena keberadaan inokulum BAL yang masih bertahan hidup pada bagian cairan rumen secara in vitro (Weinberg et al. 2003) dan kemampuan silase untuk meningkatkan produktivitas secara in vivo. Peningkatan kecernaan pakan merupakan strategi yang cukup baik dalam meregulasi enterik CH4 pada ruminansia. Strategi tersebut diantaranya dengan pembuatan silase yang berkualitas dan rasio pemberian yang optimum antara konsentrat dan hijauan. Namun penambahan aditif tanin masih memberikan dampak yang ganda (Boer et al. 2011) dan dengan konsentrasi tanin yang tinggi dapat berpengaruh terhadap penurunan kecernaan bahan organik (Jayanegara et al. 2011a; Tiemann et al. 2008). Sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai pemberian silase yang tepat terkait dengan interaksi mikroba rumen dan kecernaan bahan pakan serta produk metabolisme rumen.

Metanogen Rumen

Rumen merupakan ekosistem sangat komplek dengan mikroba yang beragam. Metanogen merupakan salah satu mikroba rumen yang sebagian besar memanfaatkan substrat CO2, H2 dan merupakan suatu potensi kehilangan energi pada ruminansia dalam memproduksi enterik CH4. Metanogen yang sudah berhasil dikulturkan dan umum ditemukan di rumen adalah Methanobrevibacter ruminantium, M. olleyae, M. millerae, Methanobacterium formicicum, Methanobacterium bryantii, Methanomicrobium mobile, dan sebagian kecil dari

Methanosarcina barkeri (Zhou et al. 2011; Withman et al. 2006).

Terjadinya proses metanogenesis di rumen dapat mengakibatkan rendahnya produktivitas dan memiliki pengaruh negatif terhadap produksi ruminansia (Kumar et al. 2009; Patra 2014). Proses biometanisasi merupakan suatu alur pembentukan CH4 dari hasil konsorsium mikroba yang saling berhubungan di mana produk fermentasi dari satu populasi mikroba berfungsi sebagai substrat untuk mikroba berikutnya dalam menghasilkan CH4. Proses tersebut terbagi ke dalam empat tahapan: hidrolisis pemecahan senyawa komplek, acidogenesis, acetogenesis dan tahap akhir metanogenesis oleh metanogen (Weiland 2010). Tiga proses awal (hidrolisis, acidogenesis dan acetogenesis) yang terjadi di rumen dilakukan oleh konsorsium mikroba rumen yang selanjutnya metanogen memanfaatkan H2 untuk mereduksi sebagian besar sustrat CO2 menghasilkan CH4. Mikroba utama yang terlibat dalam proses metanogenesis menghasilkan CH4

adalah kelompok metanogen. Berhubungan dengan prekursor metabolik utama yang digunakan, metanogen dibagi menjadi dua kelompok yaitu metanogen aceticlastic yang dapat melakukan metabolisme asetat dengan keberadaannya sangat sedikit di dalam rumen dan metanogen hydrogenotrophic yang menggunakan H2 atau format sebagai donor elektron dan CO2 sebagai sumber karbon untuk proses metanogenesis (Demirel et al. 2008). Metanogen hydrogenotrophic dominan dan sangat umum dijumpai pada habitat rumen dalam menghasilkan enterik CH4.

Metan merupakan salah satu gas rumah kaca, yang paling besar dampaknya yaitu memiliki 21 kali lebih potensial pada pemanasan global daripada CO2, dan telah terjadi peningkatan akumulasi di atmosfir sekitar 2% per tahun (Tiantao et al. 2009). Oleh karena sangat berbahayanya dampak tersebut maka regulasi metanogen banyak dilakukan terhadap proses metanogenesis. Proses regulasi metanogen merupakan suatu upaya pengaturan proses metanogenesis melalui kompetitif substrat dan inhibitor CH4. Mikroba berkompetisi dalam memanfaatkan substrat yang tersedia di rumen, sehingga kebutuhan substrat metanogen menjadi berkurang. Sebagian model penghambatan lainnya dengan adanya metabolit sekunder yang dihasilkan oleh mikroba rumen atau dengan penambahan inhibitor metanogenesis secara langsung. Substrat yang dapat digunakan untuk proses metanogenesis di rumen adalah H2, CO2 dan asam-asam organik. Substrat tersebut juga dimanfaatkan secara kompetitif oleh mikroba rumen yang bermanfaat untuk proses-proses yang dapat menghasilkan energi untuk ternak, sehingga metanogen memiliki kesempatan yang terbatas dalam memanfaatkan substrat dan sebagian lagi terhambat karena ada MST yang digunakan sebagai bahan pakan (Bodas et al. 2012).

Pengurangan emisi CH4 baik secara langsung atau tidak langsung diperlukan penelitian yang lebih luas untuk mencapai solusi yang nyata. Penelitian yang dilakukan harus komprehensif mencakup aspek berbeda dari metanogenesis rumen seperti filogenetik metanogen, ekologi mikroba rumen, faktor yang mempengaruhi emisi CH4 dan strategi mitigasi (Kumar et al. 2009).

Teknik Ekologi Molekuler

Pada saat ini, analisis keragaman mikroba berdasarkan metode kultur telah ditambahkan informasinya dengan teknik ekologi molekuler berdasarkan 16S rDNA. Teknik ini dapat mengklasifikasikan bakteri untuk melihat hubungan filogenetiknya (Zoetendal et al. 2004). Aplikasi analisis T-RFLP dalam menentukan komposisi mikroba yaitu dengan memanfaatkan fragmen sekuen DNA hasil potongan dengan enzim restriksi dari total komunitas mikroba (Ferrero

et al. 2004). Analisis T-RFLP menunjukkan akurasi hasil yang tinggi, sehingga membuat atraktif dalam mempelajari struktur komunitas mikroba (Osborn et al. 2000).

Analisis T-RFLP adalah suatu metode untuk menggambarkan profil komunitas mikroba berdasarkan polimorfisme fragmen DNA hasil amplifikasi yang dipotong dengan enzim restriksi endonuclease. Proses amplifikasi 16S rDNA pada analisis T-RFLP digunakan primer yang telah dilakukan pelabelan di

ujung 5’ forwad dengan FAM 6-carboxylfluoresens untuk mengamplifikasi

daerah gen target dari total DNA komunitas. Selanjutnya dilakukan analisis potongan sekuen dengan menggunakan genetic analyzer. Alat ini dapat membaca

potongan nukleotida yang berflouresen pada ujung 5’ dan ditangkap oleh sensor (Liu et al. 1997; Kaplan et al. 2001). Selanjutnya dilakukan pemasukan data scaner pada program untuk melihat kedekatan situs restriksinya dengan mikroorganisme pada GenBankdatabase.

Analisis pustaka klon pada rumen merupakan suatu metode molekuler untuk mengumpulkan gen dari berbagai mikroba suatu sampel komunitas yang kemudian dapat digunakan untuk menggambarkan keragamannya. Teknik molekuler ini sekaligus dapat digunakan untuk mengidentifikasi mikroba rumen

yang komplek disuatu habitat (McSweeney et al. 2007). Klon DNA diligasikan pada vector dan ditansformasikan pada inang, kemudian gen target yang berhasil disisipkan pada daerah lacZ dikonfirmasi dengan seleksi biru putih dan di amplifikasi daerah 16S rDNA (Wright et al. 2005). Dinamika populasi mikroba pada suatu habitat dapat dimonitor pola perubahannya dengan metode kuantitatif qPCR. Prinsip analisa ini adalah dengan memanfaatkan mikroba rujukan sebagai standar DNA dan spesifik primer yang digunakan dalam menguantifikasi secara nyata jumlah copy DNA berdasarkan waktu amplifikasi (Tajima et al. 2001; Bustin et al. 2009). Proses mengamplifikasi gen pada qPCR ini sama halnya dengan PCR biasa, namun pada qPCR gen dapat diamati pada setiap tahapnya dan dapat diukur jumlah copy DNA yang telah teramplifikasi berdasarkan persamaan linier dari kurva standar DNA rujukan.

Aplikasi teknik molekuler digunakan untuk menambahkan dan mengonfirmasi keakuratan hasil yang didapatkan secara langsung saat jalannya proses metabolisme (Deng et al. 2008). Teknik molekuler 16S rDNA dapat melihat perbedaan genetik antar mikroba dan memberikan pengertian yang mendalam tentang struktur dan fungsi keberadaan suatu komunitas mikroba pada habitat tertentu (McSweeney et al. 2007). Komunitas mikroba dalam saluran pencernaan khususnya rumen sangat komplek dan mikroba yang berbeda-beda seperti bakteri, protozoa, cendawan anaerobik, dan metanogen. Bakteri dan metanogen menjadi sumber perhatian terkait dengan isu pencemaran enterik CH4

terhadap lingkungan. Oleh karena itu aplikasi teknik molekuler, khususnya keragaman sekuen menjadi populer karena dapat meneliti secara langsung jalannya kultivasi dalam ekosistem mikroba saluran pencernaan termasuk rumen (Zoetendal et al. 2004; Wright et al. 2005).

METODE

Bahan

Penelitian ini menggunakan bahan pakan dan ternak sebagai berikut; rumput raja (Pennisetum purpureum: hybrid) yang berasal dari kebun koleksi Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, C. calothyrsus yang diambil dari Laboratorium lapang Agrostologi Departemen INTP FAPET IPB untuk pembuatan silase dan dari PT. Perkebunan Nusantara VIII Gunung Mas Cisarua-Bogor untuk pembuatan silase pada fermentasi in vivo, tiga sapi PO fistula, konsentrat sapi potong, dan pakan silase rumput-legum. Bahan mikroba, medium dan analisis yang digunakan terdiri atas BAL Lactobacillus plantarum BTCC570, bakteri dan metanogen rujukan yang berasal dari JCM RIKEN Bioresouces Center Japan, primer universal bakteri 6FAM-27F dan 1492R, primer spesifik metanogen 6FAM-met86F dan met1340R, primer27F, bac520R, met86F dan met520R untuk pustaka klon, enzim restriksi AluI, HhaI, MspI dan RsaI (Takara Bio Inc.), dan bahan-bahan untuk PCR, T-RFLP, pustaka klon 16S rDNA, qPCR dan bahan kimia lainnya standar p.a.

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari-Desember 2013 di Laboratorium Mikrobiologi Terapan Pusat Penelitian Bioteknologi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan di Japan Collection of Microorganisms RIKEN Bioresource Center-Japan.

Prosedur Analisis

Penelitian diawali dengan persiapan bahan meliputi; peremajaan isolat BAL, pembuatan inokulum silase, dan pembuatan lubang fistula pada ketiga sapi PO. Penelitian ini dilakukan dengan tiga tahapan yaitu tahap I pembuatan silase rumput-legum, tahap II fermentasi in vitro HGT dan tahap III fermentasi in vivo

pada sapi PO fistula. Sampel dari setiap penelitian dilakukan analisis nutrisi dan mikrobiologi. Data yang didapatkan dilakukan pengolahan dan analisis.

Peremajaan Isolat dan Pembuatan Inokulum Silase

Isolat L. plantarum BTCC570 yang digunakan sebagai inokulum silase ditumbuhkan dalam medium spesifik BAL yaitu deMan Rogosa Sharpe (MRS) pada suhu inkubasi 30oC±0.5 selama 18 jam. Isolat L. plantarum BTCC570 dalam MRS agar digunakan sebagai stok dalam pembuatan inokulum silase. Inokulum silase dibuat dengan menginokulasikan 2 ose dari stok L. plantarum

BTCC570 ke dalam 5 ml medium MRS cair sebagai prekultur, ditransfer 5% (v/v) prekultur ke dalam medium produksi MRS cair yang bervolume lebih besar, setelah masa inkubasi selesai inokulum dipanen dan dilakukan perhitungan jumlah koloni BAL menggunakan metode total plate count (TPC) (Cappuccino and Sherman 2001), inokulum dikemas pada botol plastik steril dengan ukuran 1 lt sudah siap digunakan dalam permbuatan silase.

Penelitian Tahap I (Pembuatan Silase)

Silase yang dibuat dalam penelitian ini dengan perlakuan sebagai berikut (S0) Pennisetum purpureum 100%, (S1) P. purpureum 75% + C. calothyrsus

25%, (S2) P. purpureum 50% + C. calothyrsus 50%, (S3) P. purpureum 25% + C. calothyrsus 75%, dan (S4) C. calothyrsus 100%. Seluruh bahan hijauan sebelum digunakan terlebih dahulu dilayukan dengan diangin-anginkan selama 1 malam, dipotong-potong sekitar 5cm. Pada pembuatan silase ini ditambahkan 10% (w/w) sumber karbohidrat dan setelah bahan silase tercampur merata, kemudian ditambahkan inokulum silase L. plantarum BTCC570 dengan kepadatan populasi awal 106cfu/g bahan silase. Campuran bahan silase ditempatkan ke dalam silo toples plastik bervolume 1 kg (berat 600 g bahan silase) sambil dilakukan pemadatan sampai penuh. Silase diinkubasikan selama 30 hari pada suhu ruang (30oC). Setelah 30 hari inkubasi, silase dipanen dan dilakukan analisis nutrisi dan mikrobiologi. Parameter yang diamati adalah total BAL, pH, kandungan asam laktat total, total fenol dan tanin, N-NH3, proksimat, fraksi serat, dan keragaman mikroba silase (T-RFLP). Silase dilakukan pemilihan kualitas terbaik berdasarkan karakteristik fermentasi dan kandungan nutrisinya, kualitas perlakuan silase terpilih selanjutnya digunakan pada penelitian tahap II fermentasi in vitro.

Penelitian Tahap II (Fermentasi in vitro) Substrat dan medium fermentasi

Substrat fermentasi in vitroHohenheim Gas Test (HGT) (Gambar 4) adalah silase terpilih dengan kualitas terbaik dari pembuatan silase yaitu S2 (50%

P.purpureum:50% legum). Silase setelah dipanen dilakukan pengering bekuan menggunakan freeze dryer selama 48 jam, kemudian dihaluskan dan disaring menggunakan saringan 0.5 mm.

Gambar 4. Gelas Syringe HGT pada water bath

Cairan rumen yang digunakan sebagai sumber inokulum mikroba dalam sistem fermentasi in vitro dikoleksi dari tiga sapi PO fistula sebelum waktu pemberian pakan di pagi hari. Sapi PO fistula diberi konsumsi pakan sebanyak 2% BK berdasarkan bobot badannya (rataan 230 kg) dengan komposisi P. purpureum dan konsentrat sebesar 60%:40%. Penggunaan sapi fistula ini sudah mendapatkan persetujuan dari komisi etik hewan percobaan IPB dengan nomor

ACUC 01-2013 IPB. Cairan rumen diperas, dicampur, dihomogenkan, disaring menggunakan dua lapis kain kasa steril kemudian dipindahkan ke gelas

Erlenmeyer dan secara konstan dialirkan CO2, kondisi ini dijaga dalam water bath

pada suhu 39oC.

Fermentasi in vitro HGT

Perlakuan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap dengan 5 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan terdiri atas perbedaan penggunaan silase yang mengandung 50% (w/w) C. calothyrsus yaitu K; 100% konsentrat + tannic acid (1mg/ml) (Merck cat.no.1.00773), T1; 25% silase + 75% konsentrat, T2; 50% silase + 50% konsentrat, T3; 75% silase + 25% konsentrat, dan T4; 100% silase. Konsentrat yang digunakan adalah konsentrat komersial

Dokumen terkait