• Tidak ada hasil yang ditemukan

Selulosa ialah homopolisakarida yang tersusun dari satuan anhidroglukopiranosa yang berikatan dengan ikatan glikosida-β- (1,4) membentuk rantai molekul linear glukan. Selulosa secara empiris dapat ditulis sebagai (C6H10O5)n dengan n adalah derajat

polimerisasinya yang menyatakan jumlah satuan glukosa yang berikatan. Derajat polimerisasi selulosa tumbuhan berada pada kisaran 305–15300.

Perbandingan energi ikatan antara berbagai atom menunjukkan bahwa ikatan hidrogen sekitar 10 kali lebih lemah daripada ikatan koordinasi, tetapi sekitar 100 kali lebih kuat daripada gaya van der Waals. Energi ikatan antara gugus-gugus –OH selulosa hampir sama atau sedikit lebih besar daripada energi ikatan gugus –OH dalam alkohol. Menurut Chaplin (2004), residu glukosa ke- (n+1) terorientasi 180° relatif terhadap residu ke-n, sehingga satuan berulang dari rantai selulosa ialah suatu dimer, yaitu selobiosa [4-

O-(β-D-glukopiranosil)-D-glukopiranosa], dan bukan D-glukopiranosa (Gambar 1).

O H OH H OH CH2OH H OH H H O O H H OH H OH CH2OH H H O O H OH H CH2OH H OH H H O O H H OH OH H OH CH2OH H H n

Gambar 1 Rumus Haworth selulosa. Berdasarkan Gambar 1, setiap residu anhidroglukosa dari rantai selulosa memiliki 3 gugus –OH. Ketiganya tidak berada dalam keadaan bebas, tetapi saling bertautan melalui ikatan hidrogen. Gugus-gugus –OH pada molekul selulosa dapat membentuk 2 macam ikatan hidrogen. Ikatan hidrogen antara gugus-gugus –OH dari satuan glukosa yang berdekatan dalam molekul selulosa yang sama disebut ikatan intramolekul (O5’H-O3 dan

O2’-HO6) yang menyebabkan masing-

masing rantai memiliki kekakuan tertentu. Terdapat juga ikatan hidrogen antara gugus- gugus –OH dari molekul-molekul selulosa yang berdampingan atau disebut ikatan

2

antarmolekul (O3’H-O6). Ikatan tersebut

menyebabkan pembentukan struktur supramolekul seperti dilukiskan pada Lampiran 1 (Bergenstrahle et al. 2009). Adanya ikatan hidrogen intramolekul dan antarmolekul menyebabkan gugus-gugus –OH pada selulosa sukar dimasuki oleh pereaksi (aksesibilitas rendah). Pereaksi sukar berpenetrasi ke dalam serat, sehingga hanya terjadi reaksi topokimiawi atau permukaan. Jika terjadi penetrasi, reaksi hanya terjadi pada daerah amorf, sehingga produk reaksi tidak seragam. Gugus-gugus –OH yang tidak saling bebas juga membuat selulosa bersifat hidrofobik dan sama sekali tidak larut dalam pelarut berair (Blackwell et al. 1986).

Selulosa terbentuk dari lembaran-lembaran panjang dan tipis, saling berimpit secara non- enzimatis dengan bantuan gaya London antarcincin hidrofobik, membentuk mikrofibril. Sebanyak 36 molekul selulosa terikat bersama-sama oleh ikatan hidrogen membentuk seberkas fibril elementer. Fibril elementer bergabung membentuk mikrofibril (Sanjaya 2001). Mikrofibril memiliki berbagai derajat penyusunan lateral (sisi ke sisi), mulai dari pengemasan geometrik sempurna kisi kristal (daerah kristalin) sampai kondisi acak (daerah amorf). Umum diterima bahwa dalam satu mikrofibril, kedua daerah itu berselang- seling, dengan nisbah antara daerah kristalin dan amorf (kristalinitas) sangat beragam, bergantung pada sumbernya, dan pada tingkat perlakuan fisis atau kimiawi yang dialami. Selanjutnya mikrofibril-mikrofibril bergabung menjadi fibril-fibril dan bergabung lagi menjadi serat selulosa (Lai 1996).

Selulosa pada Tanaman

Selulosa merupakan struktur dasar sel-sel tumbuhan. Struktur primer yang dibentuk oleh ikatan-ikatan hidrogen adalah fibril yang membentuk lapisan dinding dan akhirnya seluruh dinding sel, sehingga secara kuantitas jumlahnya sangat besar. Di dalam biosfer terdapat sekitar 27 × 1010 ton karbon yang terikat pada organisme hidup dan lebih dari 99% ada pada tumbuhan. Sekitar 40% karbon di antaranya terikat pada selulosa tumbuhan yang berarti total selulosa dalam dunia tumbuhan berjumlah sekitar 26.5 × 1010. Penggunaan terbesar selulosa berupa serat kayu dalam industri kertas dan produk turunan kertas lainnya. Industri lain yang banyak menggunakan bahan baku ini adalah industri tekstil yang dikenal sebagai serat rayon.

Selulosa merupakan penyusun utama jaringan tanaman berkayu. Pada dasarnya selulosa terdapat pada setiap jenis tanaman, termasuk tanaman semusim, tanaman perdu, dan tanaman rambat, bahkan tumbuhan paling sederhana sekalipun. Sumber utama selulosa adalah kayu, umumnya kayu mengandung sekitar 50% selulosa bersama dengan penyusun lainnya seperti lignin. Pemisahan selulosa dari kayu melibatkan pelumatan kayu dengan larutan sulfur dioksida dan hidrogen sulfit (bisulfit) dalam air pada proses sulfat (proses kraft). Pada kedua proses ini lignin dilarutkan sehingga diperoleh selulosa. Sumber lain selulosa adalah kapas, dengan kandungan selulosa 88–96% (Brown & Ware 1958). Ekstraksi selulosa dari kapas dilakukan dengan mereaksikannya dengan larutan NaOH di bawah tekanan, dilanjutkan dengan pengelantangan menggunakan gas klorin atau kalsium hipoklorit (Cowd 1991).

Selulosa hampir tidak pernah ditemukan dalam keadaan murni di alam, dan umumnya berikatan dengan bahan lain, yaitu lignin dan hemiselulosa membentuk lignoselulosa (Akmar & Kennedy 2001). Pada umumnya, tanaman mengandung 40–55% selulosa, 15– 35% lignin, dan 25–40% hemiselulosa berdasarkan bobot kering (Pushpamalar et al. 2006). Lignin adalah polimer aromatik yang sebagian besar tidak larut dalam kebanyakan pelarut organik. Lignin tidak dapat diurai menjadi satuan monomer karena apabila dihidrolisis, monomer sangat cepat teroksidasi dan terjadi reaksi kondensasi. Hemiselulosa adalah heteropolimer dari berbagai monomer gula dengan rantai molekul lebih pendek daripada selulosa. Hemiselulosa merupakan senyawa amorf karena banyak percabangan pada rantai molekulnya. Jika dihidrolisis, akan dihasilkan D-manosa, D-galaktosa, D-xilosa,

L-arabinosa, dan asam uronat. Holoselulosa merupakan bagian dari serat yang bebas dari sari dan lignin, merupakan campuran selulosa dan hemiselulosa (Sanjaya 2001). Selulosa α paling tinggi mutunya (murni). Selulosa

α>92% memenuhi syarat untuk digunakan sebagai bahan baku utama pembuatan propelan dan atau bahan peledak. Selulosa dengan mutu di bawahnya digunakan sebagai bahan baku pada industri kertas dan industri sandang/kain (serat rayon).

S

elulosa murni terdiri dari 2 macam struktur kristal yang berbeda, yaitu selulosa Iα

dan Iβ. Perbedaan ini terdapat pada resonans

atom C1. Resonans atom C1 selulosa Iα singlet

dan memiliki struktur unit sel triklinik, sedangkan resonans atom C1 selulosa Iβ duplet

3

dengan struktur unit sel monoklinik (Chaplin 2004). Selulosa Iα bersifat metastabil dan

dapat diubah menjadi Iβ yang secara

termodinamika lebih stabil dengan proses penganealan pada suhu 260 °C, reaksi ini berlangsung secara tidak balik. Selulosa bakteri mengandung selulosa Iα kira-kira 60%,

hal ini berbeda dengan selulosa yang berasal dari tanaman misalnya rami dan kapas yang mengandung selulosa Iα hanya 30%

sedangkan 70% lainnya selulosa Iβ

(Yoshinaga et al. 1997).

Akrilamida

Akrilamida adalah bahan organik yang memiliki satu ikatan rangkap dengan rumus kimia C3H5NO (Gambar 2). Akrilamida

merupakan salah satu monomer hidrofilik yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan poliakrilamida, berwarna putih, tidak berbau, berbentuk kristal padat yang sangat mudah larut dalam air, metanol, etanol, etil asetat, eter, aseton, sedikit larut dalam kloroform dan mudah bereaksi pada gugus amida atau ikatan rangkapnya. Polimerisasi mudah terjadi pada titik leburnya atau di bawah sinar ultraviolet. Akrilamida dalam larutan bersifat stabil pada suhu kamar dan tidak berpolimerisasi secara spontan (Harahap 2006). Akrilamida tidak kompatibel dalam suasana asam, basa, oksidator, dan besi. Pada kondisi normal, akrilamida terdekomposisi menjadi amonia tanpa pemanasan atau menjadi karbon dioksida, karbon monoksida, dan oksida nitrogen dengan pemanasan.

C H

NH2

O

H2C

Gambar 2 Struktur akrilamida. Poliakrilamida adalah zat penggumpal polimer sintetik yang sering dipakai dalam pengolahan air limbah karena daya ikatnya yang kuat terhadap partikel tersuspensi dalam air. Poliakrilamida juga banyak digunakan di laboratorium untuk penelitian dan analisis. Akrilamida juga digunakan sebagai bahan baku untuk membuat beberapa jenis zat penjernih, perekat, tinta cetak, zat warna sintetik, zat penstabil emulsi, kertas, kosmetik, dan beberapa monomer seperti N- butoksiakrilamida dan N-metoksiakrilamida. Akrilamida juga digunakan sebagai kopolimer pada pembuatan lensa kontak. Di samping itu, akrilamida juga digunakan dalam konstruksi

fondasi bendungan atau terowongan (Muliani & Trinovitarini 2008).

Kopolimerisasi Pencangkokan dan Penautan Silang

Kopolimerisasi cangkok merupakan proses yang sering digunakan untuk membuat produk polimer. Metode ini sangat baik digunakan untuk memperbaiki beberapa sifat yang berbeda dari akrilamida atau selulosa. Kopolimerisasi cangkok merupakan metode yang sangat efisien untuk memodifikasi polimer alami dan polimer sintetis. Kopolimer cangkok terdiri dari rantai utama atau kerangka dasar dan rantai cabang (Cowd 1991). Metode pencangkokan yang paling banyak digunakan didasarkan pada pengaktifan rantai polimer utama, sebagai tempat menginisiasi pencangkokan monomer- monomer rantai cabang pada rantai utama.

Pengaktifan adalah pembentukan pusat- pusat aktif pada rantai utama yang dapat dilakukan dengan radiasi seperti sinar ultraviolet dan menggunakan zat kimia atau inisiator. Metode kopolimerisasi pencangkokan menggunakan zat kimia telah dikembangkan, yang meliputi metode simultan, tidak simultan dengan bantuan sinar ultraviolet, dan tidak simultan tanpa oksigen (Kurniadi 2010). Metode simultan dilakukan dengan memasukkan polimer ke dalam larutan campuran monomer dan inisiator. Pada umumnya campuran tersebut telah dibuat menggelembung (swelling) terlebih dahulu supaya kerangka polimer mempunyai daya serap yang besar terhadap monomer dan inisiator. Keadaan tersebut akan meningkatkan persentase pencangkokan. Metode tidak simultan dilakukan dengan memasukkan polimer ke dalam larutan inisiator, kemudian dimasukkan ke dalam larutan monomer. Metode tidak simultan tanpa oksigen dilakukan dengan menghilangkan oksigen dengan mengaliri gas nitrogen selama kopolimerisasi.

Mekanisme polimerisasi umumnya terdiri dari 3 tahap, yaitu inisiasi, propagasi, dan terminasi. Inisiasi merupakan pembentukan fragmen yang bersifat radikal dengan bantuan inisiator. Beberapa metode inisiasi telah digunakan untuk menghasilkan radikal bebas, yaitu melalui iradiasi dan inisiator kimia (Handayani 2008). Inisiasi melalui iradiasi sangat populer beberapa tahun ini untuk penerapan kopolimerisasi pencangkokan karena kemudahan dalam pencangkokan,

4

memiliki efisiensi pencangkokan yang tinggi, dan memiliki sifat fisik yang baik.

Di sisi lain, iradiasi merupakan teknik yang mahal dan berbahaya. Keamanan dan pengendalian peralatan akan menjadi masalah yang serius untuk skala industri. Modifikasi selulosa yang disintesis menggunakan inisiator kimia seperti amonium peroksidisulfat (APS) telah banyak dipelajari. Menurut Abdel-Salam (1986), ion persulfat dapat digunakan sebagai inisiator untuk pencangkokan monomer vinil serta pencangkokan akrilonitril ke tulang punggung selulosa. Jenis inisiator lain yang dapat digunakan untuk membentuk kopolimer cangkok ialah serium(IV) amonium nitrat (CAN) dengan medium larutan pada kondisi suhu 80 °C, Ce(IV), Fe(III), Cu(II), Co(III), V(III), Cr(VI), Cr(IV), dan Mn(V) (Silvianita

et al. 2004; Kurniadi 2010).

Rantai radikal yang terbentuk pada tahap inisiasi mampu menambah monomer untuk memperpanjang rantai (propagasi). Terminasi merupakan tahap penghentian polimerisasi. Menurut Stevens (1999), terdapat 2 kemungkinan cara terminasi dalam polimerisasi radikal bebas, yaitu penggabungan atau disproporsionasi yang melibatkan transfer atom, biasanya atom hidrogen dari satu ujung rantai yang lain. Penggabungan kedua ujung rantai polimer menghasilkan ikatan jenuh. Disproporsionasi melibatkan pengalihan atom hidrogen-β dari satu radikal ke radikal lainya menghasilkan 2 molekul polimer takaktif, salah satu mempunyai ikatan rangkap dua pada ujung molekulnya, yang lain mengandung ikatan jenuh.

Beberapa rantai lurus dan bercabang dapat bergabung membentuk polimer bertautan silang. Penaut silang yang digunakan berupa senyawa yang mempunyai minimum 2 gugus fungsi (Hashem & Hauser 2003; Kuang et al.

2004). Masing-masing gugus fungsi akan berikatan dengan radikal selulosa tercangkok- poliakrilamida, sehingga terjadi tautan silang di antara keduanya (Abdel-Salam 1986). Penaut silang yang lazim digunakan ialah

N,N’-metilena-bis-akrilamida (MBA) (Gambar 3). C H C N H O H2C H2 C N H C C H O CH2

Gambar 3 Struktur N,N’-metilena-bis- akrilamida.

BAHAN DAN METODE

Dokumen terkait