• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ARBITRASE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN

D. Klausula Arbitrase

Klausula (Clause) adalah catatan tambahan pada suatu kontrak atau akta yang biasanya mengandung suatu pernyataan khusus.65Arbitrase sebagaimana

64

Huala Adolf, Op Cit, hlm.18

65

dimaksud dalam UU Arbitrase dan APS adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Klausula arbitrase dalam kontrak dianggap sebagai kesepakatan / perjanjian arbitrase.66

Perjanjian arbitrase sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 UU Arbitrase dan APS adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.

Perjanjian arbitrase haruslah dibuat secara tertulis67, tidak berkekuatan hukumlah perjanjian arbitrase itu apabila dibuat secara lisan. Keabsahan dan mengikatnya suatu perjanjian arbitrase sebagai metode untuk penyelesaian sengketa baik internasional maupun nasional pada para pihak haruslah didasarkan atas faktor kesukarelaan, kesadaran, dan atas kesepakatan bersama (mutual

consent).

Adanya perjanjian tertulis yang disepakati oleh para pihak meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke pengadilan negara.68 Jadi pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Hal ini diperlukan, dengan maksud agar posisi lembaga arbitrase diperkuat dimana para pihak telah mengatur bila terjadi beda pendapat

66 H.Priyatna Abdurrasyid, Op.Cit, hlm..82

67

atau sengketa yang mungkin timbul dalam suatu hubungan hukum tertentu akan diselesaikan melalui lembaga arbitrase.69

Penyelesaian sengketa yang para pihaknya berasal dari negara yang berbeda, para pihak dapat menentukan pilihan hukum yang akan diberlakukan terhadap penyelesaian sengketa.70 Sesuai dengan azas kebebasan berkontrak sebagaimana dimuat dalam Pasal 1338 jo Pasal 1320 KUHPerdata, para pihak dalam sebuah kontrak dagang internasional diperkenankan untuk melakukan pilihan hukum guna menentukan sendiri ketentuan hukum yang dipergunakan untuk mengatur kontrak maupun hukum yang akan dipergunakan dalam menyelesaikan perselisihan kontrak dagang mereka. Namun pilihan hukum yang

dipilih oleh para pihak dalam kontrak dagang internasional itu “ada batasnya” jadi

tidak absolut. Dalam melakukan pilihan hukum, para pihak dibatasi oleh norma atau aturan hukum Hukum Perdata Internasional yaitu :

a. Pilihan hukum pada negara Civil Law dan Anglosaxon

1) Bagi negara yang menganut tradisi Civil Law atau Eropa Kontinental, pilihan hukum hanya dapat dilakukan terhadap ketentuan-ketentuan hukum suatu negara yang memiliki keterkaitan (connecting factor) dengan perjanjian atau kontrak internasional tersebut, tidak diperkenankan memilih ketentuan negara lain yang tidak ada

kaitannya dengan kontrak tersebut, kecuali dalam “perjanjian pengangkutan laut” diperkenankan untuk memilih hukum laut Inggris

69 Suyud Margono, Penyelesaian Sengketa Bisnis (ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTIONS) (Jakarta: Ghalia Indonesia,2010),selanjutnya disebut sebagai Suyud Margono II, hlm.145

70

walaupun tidak ada kaitannya dengan perjanjian pengangukutan laut tersebut.

2) Bagi negara yang menganut tradisi Anglosaxon atau Common Law, para pihak dalam sebuah kontrak dagang internasional diberi suatu kebebasan untuk mempergunakan ketentuan hukum negara lain. Walaupun tidak ada kaitannya dengan perjanjian dengan perjanjian dagang yang dibuat oleh para pihak asalkan pilihan hukum terhadap

ketentuan hukum negara ketiga tersebut “memberikan manfaat”

terhadap perjanjian yang dibuat oleh para pihak.

b. Pilihan hukum tidak boleh melanggar ketertiban umum. Ketertiban umum maksudnya adalah alasan-alasan yang dapat dipergunakan oleh hakim suatu negara untuk menolak pemberlakuan suatu ketentuan hukum asing yang seharusnya berlaku karena bertentangan dengan sendi-sendi asasi hukum, kepatutan, kesusilaan dan adat istiadat.

c. Pilihan hukum tidak boleh mengandung unsur penyeludupan hukum. Yang dimaksud dengan penyeludupan hukum adalah upaya-upaya yang dilakukan oleh para pihak dalam suatu kontrak untuk menghindarkan suatu ketetuan hukum yang bersifat memaksa dengan tujuan guna menghindarkan akibat-akibat hukum yang tidak dikehendaki maupun untuk mewujudkan suatu tujuan tertentu yang dikehendaki para pihak dalam kontrak.

Suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh keadaan, antara lain:71

a. meninggalnya salah satu pihak. b. bangkrutnya salah satu pihak. c. novasi.

d. insolvensi salah satu pihak. e. pewarisan.

f. berlakunya syarat – syarat perikatan pokok.

g. bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihgunakan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut. h. berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.

1. Bentuk klausula arbitrase

Jenis-jenis perjanjian arbitrase terdiri dari 2 ( dua ) bentuk, yaitu:

a. Pactum De Compromittendo

Pactum De Compromittendo berarti “kesepakatan setuju dengan putusan arbiter”.72

Bentuk klausul ini diatur dalam Pasal 2 UU Arbitrase dan APS, yang berbunyi sebagai berikut:

Undang-undang ini mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa.

Pactum De Compromittendo adalah klausul arbitrase yang dipersiapkan

untuk mengantisipasi perselisihan yang mungkin timbul dimasa yang akan datang.73 Para pihak disini setuju untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan yang mungkin timbul di kemudian hari kepada lembaga arbitrase.

72

Frans Hendra Winarta, Op.Cit, hlm. 38

73

Terdapat 2 cara pada praktiknya untuk membuat klausul Pactum de

compromitendo yaitu:

1) Mencantumkan klausul arbitrase tersebut dalam perjanjian pokok. Ini cara yang lazim diterapkan dalam praktik, yaitu perjanjian pokok menjadi satu kesatuan dengan klausul arbitrase. Persetujuan arbitrase yang berisi kesepakatan bahwa para pihak setuju akan menyelesaikan perselisihan (dispute) yang timbul dikemudian hari melalui forum arbitrase, dimuat dalam perjanjian pokok

2) Pactum de compromittendo dimuat dalam akta tersendiri atau

terpisah dari perjanjian pokok. Apabila pactum de compromittendo berupa akta yang terpisah dari perjanjian pokok, waktu pembuatan perjanjian arbitrase harus tetap berpegang pada ketentuan, bahwa akta

persetujuan arbitrase harus dibuat “sebelum” perselisihan atau

sengketa terjadi. Hal itu harus sesuai dengan syarat formal keabsahan

pactum de compromittendo, harus dibuat sebelum perselisihan

timbul.74 b. Akta Kompromis

Akta kompromis diatur dalam pasal 9 UU Arbitrase dan APS. Berdasarkan ketentuan Pasal 9 UU APS dapat diketahui bahwa akta kompromis sebagai perjanjian khusus yang dibuat setelah timbul perselisihan antara para pihak guna untuk mengatur tentang cara mengajukan perselisihan yang telah terjadi itu kepada seorang atau beberapa orang arbiter untuk diselesaikan.75 Akta kompromis itu harus dalam bentuk tertulis dan ditandatangani oleh kedua pihak, tetapi jika

74

tidak dapat ditandatangani oleh kedua belah pihak maka dibuat dalam bentuk akta notaris.

Akta kompromis dapat batal demi hukum apabila tidak memenuhi ketentuan isi akta kompromis.76 Isi akta kompromis memuat:77

1) masalah yang dipersengketakan;

2) nama lengkap dan tampat tinggal para pihak;

3) nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis atbiter; 4) tempat arbiter atau majelis arbiter akan mengambil keputusan; 5) nama lengkap sekretaris;

6) jangka waktu penyelesaian sengketa; 7) pernyataan kesediaan dari arbiter;

8) pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase.

2. Sifat perjanjian arbitrase

Perjanjian arbitrase bersifat accesoir yang merupakan tambahan yang diletakkan pada perjanjian pokok. Karena keberadaannya merupakan perjanjian tambahan, perjanjian arbitrase tidak mempengaruhi pelaksanaan perjanjian pokoknya. Tanpa klausula arbirtase, pelaksanaan perjanjian pokok tidak terhalang, sebaliknya tanpa perjanjian pokok maka para pihak tidak mungkin mengadakan ikatan perjanjian arbitrase.78 Demikian pula batal atau cacatnya perjanjian arbitrase tidak mengakibatkan batal atau cacatnya perjanjian pokok. Akan tetapi,

76

Pasal 9 ayat (4) UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

77 Pasal 9 ayat (3) UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

78

lain halnya jika perjanjian pokoknya yang cacat atau batal, ini praktis mengakibatkan klausula arbitrase gugur dan tidak mengikat.79

Perjanjian arbitrase tidak bisa berdiri dan tidak bisa mengikat para pihak jika perjanjian arbitrase tidak berbarengan dengan perjanjian pokok, karena yang akan ditangani oleh perjanjian arbitrase adalah mengenai perselisihan-perselisihan yang timbul dari perjanjian pokok. Perjanjian arbitrase hanya merupakan perjanjian asesor yang berisi persyaratan khusus mengenai cara penyelesaian perselisihan yang timbul dari perjanjian pokok. Itu sebabnya dia disebut sebagai klausula arbitrase, yang berisi persyaratan khusus tentang penyelesaian perselisihan melalui arbiter, sehingga klausul arbiter yang ditambahkan dalam perjanjian, pada hakikatnya berada di luar isi atau materi perjanjian pokok.80 3. Isi klausul arbitrase

Kelemahan klausul-klausul arbitrase adalah tidak diaturnya secara terperinci tentang bagaimana arbitrase akan dilaksanakan, kapan, dimana, dan berapa lama akan berlangsung, serta siapa yang akan memimpin. Sebagian besar klausul arbtitrase hanya menyatakan secara sederhana bahwa para pihak akan menggunakan arbitrase atas semua sengketa yang mungkin timbul dari perjanjian.81

Isi klausul arbitrase adalah mengenai hal apa saja yang bisa diatur atau dimuat dalam perjanjian arbitrase. Secara umum, klausula arbitrase akan mencakup hal ini:82

a. Komitmen/ kesepakatan para pihak untuk melaksanakan arbitrase.

79

H.Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, Op.Cit, hlm.71

80 Suyud Margono II, Op.Cit, hlm.150

81 Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,2006), hlm.34

b. Ruang lingkup arbitrase.

c. Apakah arbitrase akan berbentuk arbitrase institusional atau ad hoc. Apabila memilih ad hoc, maka klausul tersebut harus merinci metode penunjukkan arbiter atau majelis arbitrase.

d. Aturan prosedur yang berlaku.

e. Tempat dan bahasa yang digunakan dalam arbitrase.

f. Pilihan terhadap hukum substantif yang berlaku bagi arbitrase.

g. Klausul – klausul stabilisasi dan hak kekebalan (imunitas) jika relevan. Isi perjanjian arbitrase pada prinsipnya haruslah sah (tidak bertentangan dengan syarat sahnya perjanjian), dan harus memperhatikan hal berikut ini:

a. Tidak melampaui isi perjanjian pokoknya

Isi perjanjian arbitrase tersebut harus mengenai penyelesaian perselisihan mengenai objek perjanjian pokoknya. Isi perjanjian arbitrase haruslah jelas dan sederhana.

b. Isinya boleh dibuat secara umum

Para pihak diperkenankan untuk membuat isi perjanjian secara umum. Cara perumusan secara umum yang diperkenankan oleh Konvensi New York 1958 dalam pasal 2 ayat 1 menyatakan “the parties undertakes to submit to arbitration all any differences which have arrisen between them.” Kelemahan dari isi perjanjian arbitrase yang dibuat secara umum yaitu apabila salah satu pihak dalam perjanjian beritikad tidak baik maka cendrung menafsirkan klausula arbitrase itu untuk menguntungkan dirinya atau dengan sengaja mengulur waktu bagi anggota arbiter yang akan mengadakan pemeriksaan atas pokok perselisihan

c. Isinya boleh dibuat secara terinci

Untuk menghindarkan berbagai permasalahan dalam pelaksanaan arbitrase, jika terjadi perselisihan yang menyangkut perjanjian pokoknya, maka sebaiknya isi perjanjian dibuat secara rinci. Suatu klausula arbitrase dikatakan rinci apabila perumusannya mencantumkan semua aspek perjanjian pokok. Dikatakan mengandung semua aspek perjanjian pokok apabila klausula merinci mulai dari masalah perselisihan yang akan timbul, tentang keabsahan perjanjian, arti perjanjian, hak dan kewajiban para pihak dalam pemenuhan perjanjian.

Apabila klausula arbitrase dibuat secara rinci maka para pihak lebih mudah memantau dan menentukan apakah suatu tindakan yang dilakukan oleh salah satu pihak termasuk atau tidak termasuk dalam kerangka arbitrase. Selain itu, juga dapat memberi pegangan yang lebih pasti bagi anggota arbiter untuk menentukan kewenangan dalam penyelesaian perselisihan.83

Contoh klausul abitrase: a. SIAC

Any dispute arising out of or in connection with this contract, including any question regarding its existance, validity or termination, shall be referred to and finally resolved by arbitration in Singapore in accordance with the Arbitration Rules of Singapore International Arbitration Centre (“SIAC Rules”) for the time being in force which rules are deemed to be incorporated by reference into this clause.

b. ICC

All disputes arrising in connection with the present contract shall be finally settled under the Rules of Conciliation and Arbitration of the International

Chamber of Commerce by one or more arbitrators appointed in accordance with the said Rules.

c. UNCITRAL

Any dispute, controversy or claim arrising out of or relating to this contract, or breach, termination, or invalidity thereof, shall be settled by arbitration in accordance with UNCITRAL Arbitration Rules as at present in force. The appointing authority shall be the ICC acting in accordance with the rules adopted by the ICC for this purpose.

d. BANI

Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan

– peraturan prosedur arbitrase BANI, yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Banyak permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia pada era globalisasi ini, khususnya dalam hal pertumbuhan ekonomi. Perdagangan merupakan salah satu bidang yang dapat menunjang kegiatan ekonomi masyarakat selain itu juga dapat menunjang pertumbuhan serta pembangunan perekonomian nasional.1 Di era modern ini, kegiatan perdagangan cakupannya tidak hanya dalam lingkup nasional yaitu antar subjek dan pihak-pihak orang Indonesia saja tetapi juga dalam lingkup internasional (antar negara) yang dapat melibatkan baik individu kewarganegaraan lainnya, badan hukum swasta kewarganegaraan lainnya, maupun pihak pemerintahan negara lainnya. Kegiatan perdagangan yang tergolong lingkup internasional apabila menyangkut antara:2

1. Suatu negara dengan negara lainnya.

2. Antara negara disuatu pihak dengan individu di lain pihak.

3. Antara negara di suatu pihak dengan organisasi atau badan hukum di lain pihak.

4. Antara lembaga swasta atau individu disuatu pihak dengan lembaga swasta atau individu di pihak lainnya.

1 Hetty Hassanah, Penyelesaian Sengketa Perdagangan Melalui Arbitrase Secara Elektronik ( Arbitrase On Line ) Berdasarkan Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, http://ejournal.sthb.ac.id (diakses pada tanggal 24 November 2015) .

2

Perkembangan masyarakat serta laju dunia bisnis saat ini berlangsung demikian pesat dimana dapat ditandai dengan lahirnya berbagai macam perjanjian multilateral dan bilateral maupun pembentukan blok-blok ekonomi yang menjurus kepada kondisi borderless dalam dunia perdagangan.3 Perkembangan pesat perdagangan dunia ini tidak menutup kemungkinan akan terjadinya sengketa yang disebabkan oleh wanprestasinya salah satu pihak atas perjanjian yang telah disepakati bersama. Dinamika dan kepesatan yang terjadi dalam kegiatan ekonomi dan bisnis itu ternyata telah membawa implikasi yang cukup mendasar terhadap pranata maupun lembaga hukum.4 Dengan demikian, sebagai salah satu negara eksis di dunia, Indonesia harus menyesuaikan hukumnya dengan sistem hukum yang berlaku didunia.5 Berbagai upaya dilakukan untuk membaharui substansi-substansi hukum, salah satunya dengan diratifikasinya Konvensi New York 1958, dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Mengesahkan Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign

Arbitral Awards 1958 (selanjutnya disebut dengan Keppres Nomor 34 Tahun

1981). Akibat dari menandatangani konvensi ini berarti Indonesia setuju untuk diikat dalam ketentuan-ketentuan Konvensi New York.

Sementara itu implikasi dari kegiatan bisnis terhadap lembaga hukum dalam kaitannya dengan penyelesaian sengketa internasional, badan pengadilan nasional dianggap oleh para pengusaha tertutama pengusaha asing sebagai lembaga hukum yang kurang efektif dan efisien. Ini dikarenakan:

3 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001) , hlm 1.

4 Erman Suparman, Arbitrase dan Dilema Penegakan Keadilan (Jakarta : PT. Fikahati Aneska, 2012), hlm 1.

5

Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi (Bandung: Books Terrace & Library, 2007)

1. Penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui pengadilan di Indonesia memakan waktu yang lama dengan prosedur yang panjang dengan tata cara peradilan yang terstruktur.

2. Biaya yang besar.

3. Pengadilan bersifat terbuka yang berarti pemeriksaan perkara dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum, jadi kerahasian para pihak yang bersengketa tidak terjamin.

4. Hakim yang memeriksa perkara cenderung lebih menguasai hukum negaranya sendiri dibanding hukum negara lainnya (subjektifitas).

5. Mengenal adanya tingkatan pemeriksaan perkara, dimana sering disalah gunakan oleh pihak yang kalah untuk mengulur-ulur pelaksanaan putusan hakim yang dijatuhkan kepadanya.6

Rendahnya kesadaran hukum juga ikut mempengaruhi, dimana para pihak yang berperkara di pengadilan bukan untuk mencari keadilan melainkan untuk memenangkan perkara. Karenanya, tidak jarang terdengar ada pihak yang tidak mau melaksanakan putusan pengadilan, biasanya mereka merupakan pihak yang dikalahkan.7

Dunia perdagangan mengenal bentuk penyelesaian sengketa non litigasi yang merupakan penyelesaian sengketa diluar pengadilan, yang dapat memberi rasa keadilan bagi para pihak. Penyelesaian sengeketa non litigasi tersebut diantaranya meliputi: negosiasi, konsoliasi, mediasi, dan arbitrase. Dari keempat penyelesaian sengketa alternatif non litigasi diatas, hanya penyelesaian sengketa

6 BPHN, Analisis dan Evaluasi Hukum Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase (Undang – Undang Nomor 30 tahun 1999), (Jakarta: BPHN)

7

melalui arbitrase yang keputusannya bersifat mengikat dan final, yang berarti tidak dapat diajukan banding maupun kasasi terhadap putusan yang telah dikeluarkan oleh badan arbitrase tersebut.

Negosiasi dapat dilakukan secara langsung tanpa menyertakan pihak ketiga (simpliciter negotiation) maupun dengan bantuan pihak ketiga yang selanjutnya berkembang dalam bentuk mediasi dan konsoliasi. Sedangkan arbitrase adalah mekanisme yang dilakukan dengan bantuan pihak ketiga (arbitrator) yang ditunjuk dan diberi wewenang oleh para pihak.8

Arbitrase adalah salah satu alternatif penyelesaian sengketa bisnis yang populer digunakan karena penyelesaian melalui arbitrase ini lebih diminati karena sifat kerahasian para pihak hasil putusannya tidak dipublikasikan9, serta putusan yang dihasilkan bersifat final dan mengikat. Arbitrase menjadi pilihan forum penyelesaian sengketa yang paling diminati dikarenakan oleh berbagai kelebihannya tersebut.

Indonesia sejak lama telah mengenal arbitrase, terbukti dari adanya berbagai peraturan yang mengatur tentang arbitrase yang sudah ada sejak zaman masa Hindia Belanda. Peraturan arbitrase di Indonesaia yang digunakan pada masa Hindia belanda terdiri dari: Pasal 377 HIR (Herziene Inlandsch Reglement) yang berlaku di pulau Jawa dan Madura, Pasal 705 RBG (Rechsreglement voor de

Buitengewesten) yang berlaku bagi daerah di luar pulau Jawa dan Madura dan

Pasal 615 – 651 RV (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering). Setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut dengan UU Arbitrase dan

8 Ibid, hlm 4

9

Suyud Margono, ADR & Arbitrase ( Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum), selanjutnya disebut dengan Suyud Margono I (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2000), hlm 21

APS), berbagai peraturan terdahulu yang mengatur tentang arbitrase sudah tidak berlaku lagi. Perkembangan dunia bisnis yang pesat mengharuskan Indonesia dalam menghadapi pengaruh yang timbul dalam perekonomian dan perdagangan dan semua aspeknya harus melakukan pembaharuan dalam hukum ekonominya termasuk juga dalam hal penyelesaian sengketa yang terjadi akibat hubungan komersial tersebut yang mengakibatkan peraturan arbitrase pada masa Hindia Belanda tersebut yang sebelumnya dipakai sebagai acuan terhadap arbitrase tidak sesuai dengan perkembangan zaman lagi. Dengan demikian, yang menjadi dasar hukum diberlakukannya Arbitrase di Indonesia sekarang adalah UU Arbitrase dan APS.

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang diasumsikan sebagai penyelesaian sengketa yang lebih diminati oleh kalangan pengusaha dikarenakan banyak keungulan dan berisiko kecil dibandingkan dengan pengadilan, ternyata pada fakta yang ditemukan tidak seperti yang diperkirakan. Sebagaimana diketahui bahwa arbitrase tidak memiliki “kewenangan publik” untuk dapat mengeksekusi sendiri terhadap putusan yang sudah dijatuhkan. Dengan demikian, suatu putusan arbitrase, dimanapun putusan tersebut dijatuhkan akan selalu tidak

memiliki “titel eksekutorial“ 10

sebelum putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya pada pengadilan negeri. 11 Bahkan untuk putusan abitrase internasional ditentukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan baru dapat dilaksanakan di Indonesia setelah mempunyai eksekuatur

10 Erman Supraman, Op Cit, hlm.11

11

dari Pengadilan Jakarta Pusat.12 Jadi faktanya membuktikan bahwa putusan arbitrase belum mandiri, belum final, dan belum mengikat. Belum mandiri dapat dilihat dari ketentuan mengenai “...putusan arbitrase terlebih dahulu harus

diserahkan dan didaftarkan kepada panitera pengadilan negeri,” dengan ancaman

sanksi “...tidak dipenuhinya ketentuan ini berakibat putusan arbitrase tidak dapat

dilaksanakan.”13Kemudian putusan arbitrase “belum final”, dibuktikan dengan “

Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan secara sukarela, maka putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan

salah satu pihak yang bersengketa.”14

Jadi, dalam keadaan salah satu pihak tidak secara sukarela melaksanakan putusan arbitrase, maka forum arbitrase sebagai pemutus sama sekali tidak mempunyai kewenangan apa pun untuk dapat melaksanakan putusan yang dijatuhkan agar dapat dilaksanakan oleh pihak yang menolak untuk melaksanakannya.15

Disamping itu, agar putusan arbitrase dapat dieksekusi di Indonesia, pilihan hukum yang disepakati oleh pihak yang bersengketa tidak boleh melanggar ketertiban umum. Ketertiban umum itu bersifat subjektifitas hakim. Hakim dapat mempergunakan alasan melanggar ketertiban umum sehingga tidak dapat dieksekusi apabila bertentangan dengan sendi-sendi azasi hukum, kepatutan

Dokumen terkait