• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kewenangan Arbitrase Internasional Dalam Penyelesaian Sengketa Utang Terkait Perjanjian yang Memiliki Klausul Hukum Indonesia (Studi Kasus: Putusan No. 288 B/Pdt.Sus-Arbt/2014)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kewenangan Arbitrase Internasional Dalam Penyelesaian Sengketa Utang Terkait Perjanjian yang Memiliki Klausul Hukum Indonesia (Studi Kasus: Putusan No. 288 B/Pdt.Sus-Arbt/2014)"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A.Buku

Abdurrasyid, H.Priyatna. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa (Suatu

Pengantar). Jakarta: Fikahati Aneska, 2002.

Adolf, Huala. Arbitrase Komersial Internasional. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.

Asyhadie, Zaeni dan Sudiarto, H. Mengenali Arbitrase ( Salah Satu Alternatif

Penyelesaian Sengketa Bisnis). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

2004.

BPHN. Analisis dan Evaluasi Hukum Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase

(Undang – Undang Nomor 30 tahun 1999). Jakarta: BPHN.

Fuady, Munir. ARBITRASE NASIONAL (Alternatif Penyelesaian Sengketa

Bisnis). Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.

Gautama, Sudargo. Arbitrase Luar Negeri dan Pemakaian Hukum Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004.

Harahap, M.Yahya. Arbitrase. Jakarta: Pustaka Kartini,1991.

Harjono, Dhaniswara.K. Pemahaman Hukum Bisnis Bagi Para Pengusaha. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006.

Margono, Suyud. ADR & Arbitrase ( Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum). Jakarta : Ghalia Indonesia, 2000.

______________. Penyelesaian Sengketa Bisnis (ALTERNATIVE DISPUTE

RESOLUTIONS). Jakarta: Ghalia Indonesia,2010.

Mertokusumo, Soedikno. Mengenal Hukum. Yogyakarta: Liberty, 1988.

Nasution, Bismar. Hukum Kegiatan Ekonomi. Bandung: Books Terrace & Library, 2007.

Rajaguguk,Erman. Arbitrase dalam Putusan Pengadilan. Jakarta: Chandra Pratama, 2001.

(2)

Soemartono,Gatot. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,2006.

Starke, J.G. Introduction to International Law (Ninth Edition). London: Butterworth & Co Publishers Ltd, 1984.

Subekti. Kamus Hukum. Jakarta: Penerbit Pradyana Paramita,1971

Sumitro, Ronitjo Hanitjo. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia,1990.

Suparman, Erman. Arbitrase dan Dilema Penegakan Keadilan. Jakarta : PT. Fikahati Aneska, 2012.

Susilawetty. Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Ditinjau dalam

Perspektif Peraturan Perundang-Undangan. Jakarta: Gramata Publishing, 2013.

Wariono, Kelik dan Dimyati, Khudzaifah. Metode Penelitian Hukum. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakata, 2004.

Winarta, Frans Hendra. Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional

Indonesia dan Internasional. Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2012.

Yani, Ahmad dan Widjaja, Gunawan. Hukum Arbitrase. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001.

Zuraida,Tin. Prinsip Eksekusi Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia. Surabaya : PT. Wastu Lanas Grafika, 2009.

B.Peraturan perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal

Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa

Keputusan Presiden No 34 Tahun 1981 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional

PERMA Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing

(3)

C. Jurnal

Juwana, Hikmahanto. ”Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional oleh Pengadilan Nasional.Jurnal Hukum Bisnis, Jakarta 2002

D.Website

https://id.wikipedia.org/wiki/Utang. (diakses pada tanggal 15 Desember 2015)

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl5475/bolehkah-memakai-jasa-polisi-untuk-penagihan-utang. (diakses pada 15 Desember 2015)

http://kbbi.web.id/sengketa. (diakses pada tanggal 15 Desember 2015)

http://kbbi.web.id/wenang. (diakses pada tanggal 15 Desember 2015)

http://www.informasi-pendidikan.com/2013/08/penelitian-hukum-normatif.html. (diakses pada tanggal 15 Desember 2015)

http://en.m.wikipedia.org/wiki/international_arbitration. (diakses pada tanggal 8

Desember 2015)

Hetty Hassanah. “Penyelesaian Sengketa Perdagangan Melalui Arbitrase Secara

Elektronik ( Arbitrase On Line ) Berdasarkan Undang – Undang Nomor

30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.”

http://ejournal.sthb.ac.id (diakses pada tanggal 24 November 2015)

Dedi harianto. “Beberapa Faktor Penghambat Pelaksanaan Keputusan Arbitrase

(4)

BAB III

PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA

A. Pengakuan terhadap Putusan Arbitrase Internasional dalam Hukum Nasional

Putusan arbitrase internasional diakui dan dapat dilaksanakan di Indonesia

apabila dijatuhkan oleh arbiter atau lembaga arbiter atau badan arbitrase di suatu

negara yang dengan negara Indonesia terikat dengan perjanjian baik perjanjian

bilateral maupun multilateral, khususnya mengenai konvensi Pengakuan dan

Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.84

Indonesia telah meratifikasi 2 konvensi Internasional yaitu :

1. Konvensi New York 1958

Diratifikasinya Convention on the Recognition and Enforcement of

Foreign Arbitral Awards yang juga dikenal dengan The 1958 Konvensi New York

dengan Keppres No.34 Tahun 1981 berarti telah menjadikan Indonesia sebagai

salah satu anggota dari konvensi yang mengikatkan dirinya terhadap konvensi

tersebut dan tidak keberatan dengan ketentuan-ketentuan Konvensi tersebut.

Konvensi New York 1958 ini mengenai Pengakuan dan Pelaksanaan

Putusan-Putusan Arbitrase Internasional. Maksud dari ketentuan ini adalah adanya timbal

balik antara negara yang menjatuhkan putusan arbitrase internasional dengan

negara tempat memohon pengakuan dan pelaksanaan. Jika suatu putusan arbitrase

internasional di jatuhkan di Singapura lalu dimintakan pengakuan dan pelaksaan

84

(5)

putusan tersebut di Indonesia dan Indonesia mengakui dan melaksanakannya;

berarti Singapura harus pula mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase

internasional yang dijatuhkan dan diputuskan di Indonesia. Ini diesbut dengan ada

“prestasi” harus ada “kontraprestasi”.85

Lampiran Keppres No.34/1981 tentang pengesahan “Konvensi New

York 1958” dinyatakan beberapa hal sebagai berikut :

a. Pemerintah Republik Indonesia akan melaksanakan konvensi atas dasar

resiprositas (timbal balik).

b. Pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase luar negeri hanya

diberikan pada putusan-putusan arbitrase yang dibuat di wilayah negara

peserta lain (yang ikut menjadi perserta konvensi).

c. Konvensi hanya akan diterapkan atas sengketa-sengketa yang timbul dari

hubungan-hubungan hukum yang lahir, baik secara kontraktual atau tidak

yang dianggap sebagai komersial menurut Hukum Indonesia.

Keppres Nomor 34 Tahun 1981 yang tidak diikuti dengan peraturan tata

cara pelaksanaan putusan arbitrase internasional tersebut menimbulkan

“kekosongan hukum” atau ketidakjelasan apakah permohonan eksekusi putusan

arbitrase internasional ini dapat langsung diajukan ke Pengadilan Negeri (yang

mana) ataukah ke Mahkamah Agung. Karena kekosongan hukum tersebut

dikeluarkanlah PERMA Nomor 1 Tahun 1990, pada pasal 1 PERMA Nomor 1

Tahun 1990 menyebutkan:

(6)

“yang diberi wewenang menangani masalah-masalah yang berhubungan

dengan pengakuan suatu pelaksanaan putusan arbitrase asing adalah

pengadilan Negeri Jakarta Pusat.”

Kemudian diundangkanlah UU Arbitrase dan APS pada tanggal 12

Agustus 1999. Dalam pasal 65 Undang-Undang Arbitrase dan APS juga

menyatakan

“yang berwenang menangani masalah pengakuan dalam pelaksanaan

putusan arbitrase internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat”

Terdapat perbedaan tata cara pelaksanaan putusan arbitrase internasional

yang dirumuskan dalam PERMA No 1 Tahun 1990 dengan UU Arbitrase dan

APS. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari penjelasan berikut ini:

a. Tata cara pelaksanaan putusan arbitrase internasional dalam PERMA No 1

Tahun 1990

Jika ada putusan arbitrase internasional yang ingin dieksekusi di

Indonesia menurut PERMA No. 1 Tahun 1990 maka harus diajukan fiat eksekusi

pada Mahkamah Agung. Mahkamah Agung tidak memeriksa susbstansi putusan

kembali, hanya menilai apakah putusan tersebut melanggar ketertiban umum atau

tidak. Jika Mahkamah Agung menilai bahwa perkara tersebut melanggar

ketertiban umum, maka perkara tersebut ditolak untuk dieksekusi di Indonesia

tetapi jika perkara tersebut disetujui oleh Mahkamah Agung untuk dieksekusi di

Indonesia maka perkara itu akan dilimpahkan pada Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dapat meneruskan atau tidak meneruskan

pelaksanaanya kepada Pengadilan Negeri lainnya yang berwenang. Jadi, putusan

(7)

maupun para pihak yang salah satunya Negara Indonesia vs investor asing pada

PERMA No 1 Tahun 1990, putusan arbitrase asing yang ingin di eksekusi di

Indonesia haruslah dengan diajukan fiat eksekusi pada Mahkamah Agung.

b. Tata cara pelaksanaan putusan arbitrase internasional dalam UU Arbitrase

dan APS

Jika ada putusan arbitrase internasional yang ingin dieksekusi di Indonesia

menurut UU Alternatif dan Penyelesaian Sengketa, diajukan fiat eksekusi

tergantung substansinya, Jika susbtansinya individu/badan hukum vs

individu/badan hukum (investor vs investor) maka fiat eksekusi diajukan pada

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak

memeriksa perkara secara substansi lagi tetapi hanya menilai apakah putusan

tersebut melanggar ketertiban umum atau tidak, apabila melanggar ketertiban

umum maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akan menolak putusan tersebut dan

apabila tidak melanggar ketertiban umum maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

dapat melaksanakan putusan arbitrase internasional tersebut di Indonesia atau

melimpahkan perkara tersebut pada Pengadilan Negeri daerah yang berwenang.

Jika salah satu substansinya adalah negara yaitu negara Indonesia vs badan

hukum/ individu (investor) dalam hal penanaman modal, pada konvensi ICSID

yang telah diratifikasi dengan UU No. 5 Tahun 1968 tentang Penyelesaian

Perselisihan Antara Negara dan Warganegara Asing Mengenai Penanaman Modal

Asing (selanjutnya disebut dengan UU Penyelesaian Perselisihan Antara Negara

dengan PMA) maka diajukan fiat eksekusi pada Mahkamah Agung. Mahkamah

Agung tidak memeriksa susbstansi putusan kembali, hanya menilai apakah

(8)

menilai bahwa perkara tersebut melanggar ketertiban umum, maka perkara

tersebut ditolak untuk dieksekusi di Indonesia tetapi jika perkara tersebut disetujui

oleh Mahkamah Agung untuk dieksekusi di Indonesia maka perkara itu akan

dilimpahkan pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat dapat meneruskan atau tidak meneruskan pelaksanaanya kepada Pengadilan

Negeri lainnya yang berwenang.

2. Konvensi ICSID 1965

Konvensi ICSID (Convention on the Settlement of Investment Dispute

Between States and Nationals of Other States), yang juga dikenal dengan

Konvensi Bank Dunia. Konvensi ini mengenai Penyelesaian Sengketa dalam Hal

Penanaman Modal (investasi) antara Negara dengan Investor Asing yang

disponsori oleh World Bank. Konvensi ICSID ini diratifikasi dengan UU

Penyelesaian Sengketa Antara Negara dan PMA. Dalam pelaksanaanya, putusan

penyelesaian sengketa penanaman modal antar negara Indonesia dengan investor

asing ini ketentuannya diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU Penyelesaian Perselisihan

antara Negara dan PMA yang berbunyi:

“Untuk melaksanakan putusan Mahkamah Arbitrase sebagaimana dimaksud

dalam konvensi tersebut mengenai perselisihan antara Republik Indonesia

dan Warga Negara Asing di wilayah Indonesia, diperlukan surat pernyataan

Mahkamah Agung bahwa putusan tersebut dapat dilaksanakan.”

Agar putusan arbitrase internasional mengenai sengketa dalam penanaman modal

(9)

Mahkamah Agung kepada Pengadilan Negeri dalam daerah hukum mana putusan

itu harus dijalankan dan memerintahkan untuk melaksanakannya.86

Putusan arbitrase internasional dalam Pasal 1 angka (9) UU Arbitrase dan

APS adalah Putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter

perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu

lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum

Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional.

Putusan arbitrase asing dalam pasal (2) PERMA No. 1 Tahun 1990 tentang

Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing adalah Putusan yang dijatuhkan

oleh suatu Badan Arbitrase ataupun Arbiter perorangan di luar wilayah hukum

Republik Indonesia, ataupun putusan suatu Badan Arbitrase ataupun Arbiter

perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai

suatu putusan Arbitrase Asing, yang berkekuatan hukum tetap.

Putusan yang dapat digolongkan pada putusan arbitrase internasional

apabila putusan tersebut dijatuhkan di luar wilayah hukum Indonesia. Walaupun

pihak-pihak yang terlibat dalam putusan merupakan orang-orang Indonesia, dan

sama-sama warga negara Indonesia, jika putusan dijatuhkan di luar wilayah

hukum Republik Indonesia, dengan sendirinya menurut hukum, putusan tersebut

dikualifikasikan menjadi putusan arbitrase internasional. Dalam hal ini faktor

teritorial mengungguli faktor kewarganegaraan atau faktor tata hukum. Kesamaan

kewarganegaraan maupun kesamaan tata hukum yang berlaku terhadap para

pihak, tunduk sepenuhnya kepada faktor teritorial. Ini berarti, sangat mudah

mengenal putusan arbitrase yang didasarkan faktor teritorial. Asal putusan

86

(10)

dijatuhkan diluar wilayah hukum Republik Indonesia, sudah pasti tergolong dan

disebut “ putusan arbitrase internasional”.87

Prinsip teritori ini juga dapat dianut dalam Article 1 Konvensi New York

1958 yaitu

“Arbitral awards made in the territory of a state other than the state where

the recognition and enforcement of such awards are sought, and arising out

of differences between person whether physical or legal.”

Berdasarkan pengertian tersebut dapat diketahui bahwa prinsip teritori

dijadikan patokan untuk mengidentifikasi apakah putusan arbitrase itu

internasional atau nasional adalah wilayah. Jadi relevansi untuk menentukan

kepastian apakah putusan tersebut putusan arbitrase internasional atau tidak,

apabila ada permintaan kepada Pengadilan Negeri agar putusan tersebut diakui

dan dieksekusi.

Syarat permintaan pengakuan dan eksekusi pada sadarnya merupakan satu

kesatuan dengan prinsip territorial. Prinsip territorial baru efektif menentukan

adanya keputusan arbitrase internasional apabila pengakuan dan eksekusinya

dimintakan kepada negara lain di luar negara dimana putusan arbitrase diputus.

Sekiranya suatu putusan arbitrase dijatuhkan di suatu negara sedangkan

eksekusinya diminta di negara itu juga, dia tidak tergolong pada arbitrase asing,

tetapi termasuk putusan arbitrase domestik atau nasional.88

87

M.Yahya Harahap, Arbitrase (Jakarta: Pustaka Kartini, 1991), hlm. 438

88

(11)

B. Peranan Pengadilan Negeri dengan Putusan Arbitrase Internasional

Peranan dari pengadilan yang berkaitan dengan putusan arbitrase

internasional yakni untuk memperkuat proses arbitrase baik dari awal proses

arbitrase sampai pada pelaksanaan proses arbitrase internasional tersebut. Putusan

arbitrase internasional tidak dapat dilaksanakan di Indonesia apabila belum

mendapat eksekuatur dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan

putusan arbitrase internasional.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebelum mengeluarkan eksekuatur

terhadap putusan arbitrase internasional tersebut terlebih dahulu meninjau putusan

arbitrase internasional tersebut apakah telah memenuhi persyaratan untuk dapat

diakui dan dilaksanakannya putusana arbitrase internasional di Indonesia.

Syarat-syarat dapat diakui dan dilaksanakannya putusan arbitrase internasional di

Indonesia adalah:89

a. Putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis

arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat kepada

perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral mengenai pengakuan

dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.

Pernyataan huruf a diatas mengharuskan telah dibuat perjanjian secara

bilateral antara negara Indonesia dengan negara lainnya tentang pengakuan

dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional atau hanya negara yang

telah meratifikasi kententuan Konvensi New York 1958 lah yang putusan

arbitrase internasionalnya dapat diakui dan dilaksanakan di Indonesia. Ini

89

(12)

dikenal dengan asas resiprositas atau asas timbal balik yang maksudnya

pengakuan dan pelaksaan putusan arbitrase internasional di suatu negara

akan juga mendapat balasan yang sama yaitu diakuinya dan

dilaksanakannya putusan arbitrase internasional di negaranya hanya jika

antar negara tersebut telah terikat dalam perjanjian bilateral mengenai

pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional atau negara-

negara tersebut telah meratifikasi Konvensi New York 1958.

b. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a,

terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk

dalam ruang lingkup perdagangan.

Dalam penjelasannya dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan “ruang

lingkup hukum perdagangan” adalah kegiatan-kegiatan lain di bidang:

1) perniagaan;

2) perbankan;

3) keuangan;

4) penanaman modal;

5) industri;

6) hak kekayaan intelektual.

c. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a,

hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak

bertentangan dengan ketertiban umum.

Persyaratan yang tercantum dalam point c menetapkan keputusan lembaga

arbitrase asing yang bersangkutan tidak boleh bertentangan dengan

(13)

dapat dijadikan sebagai alasan perbuatan yang bertentangan dengan

ketertiban umum mengalami perbedaan di setiap negara tergantung kepada

falsafah bangsa, sistem politik, dan pemerintahan, serta kepribadian suatu

bangsa.

Untuk melihat hal-hal apa saja yang dapat dianggap bertentangan dengan

ketertiban umum dalam kaitannya dengan pengakuan dan pelaksanaan

keputusan arbitrase asing, dapat diketahui dari pendapat Erman

Rajagukguk, yaitu : 90

1) Adalah bertentangan dengan ketertiban umum, jika salah satu pihak

tidak diberikan kesempatan untuk didengar dengan cukup sebelum

keputusan diambil. Namun apabila pihak yang bersangkutan sudah

dipanggil, namun menolak untuk mengambil bagian atau tidak aktif

dalam arbitrase, keadaan ini tidak dapat dianggap bertentangan dengan

ketertiban umum.

2) Karena keputusan arbitrase tidak memuat alasan-alasan , maka

pelaksanaannya akan bertentangan dengan ketertiban umum. Di

beberapa negara, misalnya Italia, undang-undang arbitrase setempat

mengharuskan keputusan arbitrase memuat alasan-alasan yang

menjadi dasar keputusan tersebut. Namun perlu diketahui, tidak semua

negara mengharuskan dicantumkannya alasan-alasan yang menjadi

dasar keputusan arbitrase, misalnya di beberapa negara “Common

Law”

90 Dedi harianto, Beberapa Faktor Penghambat Pelaksanaan Keputusan Arbitrase Asing

(14)

3) Alasan selanjutnya yang dipergunakan sebagai hal yang bertentangan

dengan ketertiban umum ialah apabila pengambilan keputusan

arbitrase tersebut melanggar prosedur dari arbitrase yang

bersangkutan, misalnya apabila keputusan tersebut harus dikuatkan

oleh pengadilan setempat.

4) Ketertiban umum juga dikaitkan dengan apakah perjanjian dibuat

dengan paksaan atau tidak.

Begitu banyaknya penafsiran yang dapat diberikan oleh pengadilan

terhadap lembaga ketertiban umum ini, sehingga dapat diibaratkan

sebagai suatu kuda binal “unruly horse” yang bisa lari ke sana ke mari, terutama dalam kaitannya untuk menolak pemberlakuan

keputusan lembaga ketertiban umum.91

d. Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah

memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

e. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a,

yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak

dalam sengketa hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur

dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan

kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

Dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase asing (individu/badan hukum

dengan individu/badan hukum) lembaga yang berwenang untuk mengeksekusinya

adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

memeriksa perkara tersebut apakah melanggar ketertiban umum atau tidak. Jadi

91

(15)

putusan arbitrase internasional tersebut dapat dilaksanakan di Indonesia setelah

memperoleh eksekuatur dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hal ini sesuai

dengan Pasal 66 huruf D UU Arbitrase dan APS. Sementara dalam hal

pelaksanaan putusan arbitrase asing yang salah satu pihaknya adalah Negara

Indonesia maka yang berwenang mengeksekusinya adalah Mahkamah Agung. Ini

diatur dalam Pasal 66 huruf E UU Arbitrase dan APS. Putusan arbitrase

internasional tersebut baru dapat dilaksanakan setelah mendapat eksekuatur/surat

pernyataan dari Mahkamah Agung, ini juga sesuai dengan ketentuan dalam pasal

3 ayat (1) UU Penyelesaian Perselisihan Antara Negara dan PMA. Setelah

diperiksa oleh Mahkamah Agung, pelaksanaan putusan arbitrase internasional

tersebut dilimpahkan pada Ketua Pengadilan Jakarta Pusat dan apabila putusan

arbitrase internasional merupakan juridiksi daerah, maka akan dilimpahkan pada

Pengadilan Negeri Daerah.

Untuk memperlancar pelaksanaan keputusan lembaga arbitrase

internasional yang telah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat atau Mahkamah Agung, maka pengadilan juga akan membantu

dalam hal pelaksanaannya di lapangan dengan perantaraan alat-alatnya, seperti

juru sita, panitera dan sebagainya. Sehingga pelaksanaan keputusan arbitrase asing

dimaksud dapat berlangsung dengan lancar dan cepat.92

Namun, dalam hal-hal peranan Pengadilan Negeri dalam proses arbitrase

itu dibatasi. Ini dapat ditemukan dalam hal:

(16)

1. Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk

mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam

perjanjiannya ke Pengadilan Negeri. (Pasal 11 ayat (1)).

2. Pengadilan negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam

penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam

hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang (Pasal 11 ayat(2)).

3. Dalam hal penunjukan arbiter oleh para pihak atau Ketua Pengadilan Negeri,

maka Hakim, Jaksa, Panitra, dan Pejabat Pengadilan lainnya tidak dapat

ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter (Pasal 12 ayat (2)).

4. Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari

putusan arbitrase (Pasal 62 ayat (4))

C. Tahap-Tahap Eksekusi Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia

Pelaksanaan putusan arbitrase internasional terbagi dalam 2 tahap yaitu:

1. Tahap pendaftaran dan pencatatan putusan arbitrase internasional

Dalam pasal 66 UU No 30 tahun 1999 dan pasal 1 PERMA No. 1 Tahun

1990 dinyatakan bahwa instansi yang berwenang melakukan pendaftaran putusan

arbitrase internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Jadi putusan

arbitrase internasional bisa dilaksanakan di Indonesia setelah dilakukannya

pendaftaran terlebih dahulu oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat. Untuk keperluan pendaftaran dan pencatatan ini, dokumen

yang diperlukan adalah:93

93

(17)

a. Lembar asli atau salianan autentik putusan arbitrase internasional, sesuai

ketentuan perihal autentifikasi/legalisasi dokumen asing, dan naskah

terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia;

b. Lembar asli atau salinan autentik perjanjian yang menajdi dasar putusan

arbitrase internasional sesuai dengan ketentuan perihal autentifikasi

dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia;

c. Keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara

tempat putusan arbitrase internasional tersebut ditetapkan yang

menyatakan bahwa negara pemohon terikat dengan perjanjian, baik secara

bilateral maupun multilateral dengan negara Republik Indonesia perihal

pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.

Jika diperhatikan ketentuan UU Arbitrase dan APS, khususnya yang

berkaitan dengan pelaksanaan putusan arbitrase internasional, ternyata Undang –

Undang ini tidak menentukan batas jangka waktu pendaftaran putusan arbitrase

internasional yang hendak dimintakan eksekusi ke Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat. Demikian juga dengan PERMA No 1 Tahun 1990 tidak menentukan batas

jangka waktu pendaftaran putusa arbitrase internasional.94

M. Yahya Harahap menyatakan bahwa batas tenggang waktu yang tepat

bagi permohonanan eksekusi arbitrase internasional di Indonesia adalah tiga

bulan. Pernyatakan hal itu didasarkan pada:95

a. Pengurusan penyelesaian dokumen-dokumen yang harus diserahkan

memakan waktu yang realtif panjang meningat dokumen-dokumen yang

harus diserahkan untuk pendaftaran putusan arbitrase internasional adalah

94

(18)

cukup banyak. Di samping lembar asli autentik dari naskah yang harus

diserahkan, terjemahannya dalam bahasa Indonesia juga harus diserahkan.

Disamping itu harus juga diserahkan surat keterangan dari perwakilan

diplomatik Republik Indonesia yang berada di negara di tempat putusan

tersebut dijatuhkan yang menyatakan bahwa negara pemohon terikat

dengan perjanjian, baik secara bilateral dan multilateral dengan negara

Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelkasanaan putusan arbitrase

internasional.

Dari sekian jenis jumlah dokumen yang harus diserahkan tentu saja

memerlukan waktu pengurusan, termasuk waktu menerjemahkannya ke

dalam bahasa Indonesia.

c. Yang menyangkut trasnportasi dan komunikasi meskipun diakui pada saat

sekarang dunia semakin kecilnya, dimana jarak antar satu negara dengan

negara lain sudah terbuka lebar sehingga antarnegara dan antarabenua

sudah dapat ditempuh dalam jangka waktu yang singkat. Namun

demikian, pengurusan perjalanan antar satu negara dengan negara lain

masih tetap memakan waktu. Kendala komunikasi,baik yang berupa

prasarana perangkat keras maupun prasangka perangkat lunak, seperti

masalah bahasa dan sistem tata hukum dan administrasi yudisial dapat

diperkirakan merupakan hambatan atas kelancaran penyelesaian segala

macam urusan yang memerlukan waktu pendekatan yang agak memadai

sehaingga tidak mungkin dapat diatasi dalam jangka waktu empat belas

(19)

2. Tahap pelaksanaan putusan arbitrase internasional

Setelah putusan arbitrase internasional tersebut didaftarkan pada panitera

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, maka ketua Pengadilan Negeri memeriksa

apakah putusan tersebut melanggar ketertiban umum atau tidak. Putusan arbitrase

internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh exequatur dari

Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam hal putusan arbitrase internasional

tersebut menyangkut Negara Republik Indonesia, maka pelaksanaan putusan

arbitrase intersional tersebut dapat dilaksanakan setelah memperoleh exequatur

dari Mahkamah Agung.

Terhadap putusan arbitrase internasional yang telah memperoleh

exequatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengakui dan

melaksanakan putusan arbitrase internasional, tidak dapat diajukan banding atau

kasasi. Terhadap putusan arbitrase internasional dimana Ketua Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat menolak untuk mengakui dan melaksankan suatu Putusan Arbitrase

Internasional, maka dapat diajukan kasasi pada Mahkamah Agung. Mahkamah

Agung mempertimbangkan serta memutuskan setiap pengajuan kasasi yang

disebabkan oleh ditolaknya putusan tersebut untuk diakui dan dilaksanakan di

Indonesia oleh Ketua Pengadilan Negeri dalam jangka waktu paling lama 90

(sembilan puluh) hari setelah permohonan kasasi tersebut diterima oleh

Mahkamah Agung.

Tidak semua putusan arbitrase internasional yang telah didaftarkan dan

dicatatkan pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dapat dilaksanakan di Indonesia.

Ada kalanya putusan arbitrase internasional tersebut ditolak untuk dilaksanakan di

(20)

pengakuan serta pelaksanaannya di Indonesia jika pihak yang menolak,

mengajukan bukti-bukti penolakan, dan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

berpendapat bahwa : 96

a. pokok sengketa tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase menurut

undang-undang ini.

b. negara tempat putusan ini dibuat tidak terikat secara bilateral atau

bersamasama bergabung dengan Indonesia dalam Konvensi Internasional.

c. putusan tidak dalam ruang lingkup Hukum Dagang menurut

undang-undang Republik Indonesia.

d. pengakuan atau pelaksanaan putusan tersebut secara langsung akan

bertentangan dengan ketertiban umum Negara Republik Indonesia.

Upaya hukum terhadap keputusan arbitrase yang ditolak eksekusinya dapat

dilakukan dengan mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung yang akan

menangani dan memeriksa serta mempertimbangkan permohonan kasasi tersebut

secepatnya dan tidak melampaui 90 hari sejak permohonan tersebut disampaikan

kepada Mahkamah Agung, perlu pula ditambahkan bahwa dalam hal pengadilan

menerima permohonan eksekusi keputusan eksekusi arbitrase/peradilan asing

maka tertutup kemungkinan para pihak untuk melakukan banding atau kasasi atas

keputusan tersebut. Baik Mahkamah Agung maupun pengadilan banding yang

lain tidak boleh menangani atau mempertimbangkan permohonan banding atas

keputusan tersebut.97

96

Dedi harianto, Op.Cit, hlm..10

97

(21)

Secara umum ada 5 (lima) alasan yang dapat digunakan untuk menolak

permohonan eksekusi arbitrase internasional. Alasan penolakan permohonan

tersebut adalah: 98

a. Perjanjian arbitrase tidak sah

Ketidakabsahan perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak, baik

menurut hukum di negara mana putusan arbitrase tersebut dijatuhkan

maupun menurut hukum di negar mana putusan akan dieksekusi, dapat

dijadikan alasan untuk menolak permohonan pengakuan dan pelaksanaan

putusan tersebut. Ketidakabsahan ini umumnya disebabkan para pihak

yang membuat perjanjian arbitrase “tidak berwenang” membuat perjanjian.

Ini dikarenakan:

1) Jika para pihaknya adalah perorangan, perorangan tidak berwenang

untuk membuat suatu perjanjian jika:

a) yang bersangkutan di bawah umur;

b) yang bersangkuran berada di bawah pengampuan.

2) Jika salah satu pihak adalah lembaga negara yang menurut hukum

dimana perjanjian arbitrase tersebut dibuat, lembaga negara yang

bersangkutan tidak berwenang untuk membuat perjanjian arbitrase.

b. Tidak memperoleh kesempatan melakukan pembelaan

Sudah dikemukakan bahwa dalam proses pemeriksaan penyelesaian

perselisihan dengan arbitrase, para pihak harus diberi kesempatan yang

sama untuk membela kepentingan masing – masing (audi et alteram

partem). Jika salah satu pihak tidak diberi kesempatan untuk membela

(22)

kepentingannya, putusan arbitrase tersebut dianggap tidak sah karena

arbiternya tidak bertindak secara adil atau berat sebelah.

Dalam hal demikian, jika salah satu pihak dapat menunjukkan bukti bahwa

yang bersangkutan tidak memperoleh kesempatan atau tidak , diberi

kesempatan untuk melakukan pembelaan (dalam pemeriksaan), pihak yang

berwenang (pihak yang akan memberikan pengakuan dan pelaksanaan

putusan tersebut), dapat menolak permohonan pengakuan dan

pelaksanaannya.

c. Putusan tidak sesuai dengan penugasan

Jika putusan yang dimohonkan pengakuan dan pelaksanaannya (eksekusi)

tidak sesuai dengan penugasan yang diberikan kepada arbiter, maka

permohonan tersebut dapat ditolak.

Suatu putusan dikatakan tidak sesuai dengan penugasan pada saat:

1) Putusan tidak sejalan dengan yang disengketakan;

2) Putusan tidak sesuai dengan syarat yang diajukan kepada para arbiter;

3) Putusan berisi ketetapan mengenai hal-hal yang berada di ruang

lingkup yang diajukan kepada arbitrase.

d. Susunan atau penunjukkan arbiter tidak sesuai dengan kesepakatan

Alasan penolakan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase

internasional dengan alasan susunan atau penunjukkan arbiter tidak sesuai

dengan kesepakatan dijumpai dalam Pasal V ayat (1) huruf (d) Konvensi

New York 1958. Dinyatakan tidak sesuai kesepaktan para pihak apabila:

1) Susunan majelis arbitrase yang menjatuhkan putusan tidak

(23)

2) Penunjukan anggota arbiter tidak sesuai dengan kesepakatan atau

dengan prosedur yang ditentukan dalam rule yang disepakati.

3) Persetujuan yang menjadi dasar sengketa tidak sesuai dengan sistem

dan nilai tata hukum negara tempat dimana arbitrase dilaksanakan.

e. Putusan belum mengikat para pihak

Setiap putusan arbitrase bersifat final and binding (akhir dan mengikat).

Suatu putusan dianggap belum mengikat para pihak karena adanya upaya

pembatalan putusan arbitrase internasional. Dengan adanya upaya

pembatalan ini bukanlah berarti permohonan pengakuan dan pelaksanaan

benar-benar ditolak, tetapi hanya “ditunda” sampai permohonan

pembatalan tersebut disetujui atau tidak Jika memang permohonan

pembatalannya disetujui, parktis permohonan pengakuan dan

pelaksanannya ditolak.

Jika alasan-alasan untuk mengajukan penolakan putusan arbitrase diterima

oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terbukti, maka Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat wajib menolak putusan arbitrase internasional tersebut, untuk hal tersebut

dapat diajukan kasasi pada Mahkamah Agung, dan Mahkamah Agung harus

mempertimbangkan memutus pengajuan kasasi putusan arbitrase internasional

tersebut paling lama 90 (sembilan puluh) hari. Terhadap putusan yang diputuskan

oleh Mahkamah Agung tidak dapat diajukan upaya perlawanan sebaliknya jika

alasan-alasan untuk mengajukan penolakan terhadap putusan arbitrase

internasional itu tidak terbukti maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat wajib

(24)

Perbedaan yang terdapat pada penolakan putusan arbitrase internasional

dengan pembatalan putusan arbitrase internasional adalah apabila yang dimaksud

adalah penolakan putusan arbitrase internasional berarti pada dasarnya putusan

arbitrase internasional tersebut diakui dan diterima kebenarannya oleh pihak yang

kalah untuk dilaksanakan, tetapi putusan arbitrase internasional tersebut tidak

dapat dieksekusi pada negara pihak yang kalah tersebut, dikarenakan melanggar

ketertiban umum. Penolakan putusan arbitrase internasional tersebut memiliki

konsekuensi tidak dapatnya putusan arbitrase internasional dilaksanakan di

yuridiksi pengadilan yang telah menolaknya.99 Sementara yang dimaksud dengan pembatalan putusan arbitrase internasional adalah bahwa pada dasarnya pihak

yang kalah tidak membenarkan putusan arbitrase internasional tersebut dan

terhadap putusan arbitrase internasional tersebut hanya dapat diajukan

pembatalannya pada negara dimana putusan arbitrase internasional tersebut

diputuskan. Selain itu, perbedaan antara penolakan putusan arbitrase internasional

dengan pembatalan putusan arbitrase ditentukan berdasarkan juridiksi primer

(primary jurisdiction) dan juridiksi sekunder (secondary jurisdiction) dari

putusan arbitrase yang telah diputuskan. Pembatalan putusan arbitrase dapat

dilakukan dari forum yang merupakan juridiksi primer dari suatu putusan

arbitrase, sedanagan penolakan putusan arbitrase dilakukan dari forum yang

merupakan juridiksi sekunder.100

99 Hikmahanto Juwana, Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional oleh Pengadilan

Nasional, Jurnal Hukum Bisnis Vol.21 (Jakarta, 2002), Hlm.67

100

(25)

Untuk mempermudah memahami mengenai tata cara pelaksanaan putusan

arbitrase internasional maka dapat dilihat dari bagan berikut ini.101

Gambar 1: Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia

1

Arbiter atau kuasanya Pengadilan Negeri

2 Jakarta Pusat

1 3 5 4

Mahkamah Agung Eksekusi Putusan

Sumber : H. Sudiarto & Zaeni Asyhadie pada buku Mengenal Arbitrase (

Salah Satu Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis )

Keterangan :

1. Arbiter atau para arbiter atau kuasanya mengajukan permohonan pengakuan

dan pelaksanaan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atau ke Mahkamah Agung

jika menyangkut negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak

2. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dapat menolak pengakuan dan pelaksanaan

putusan arbitrase internasional jika putusan tersebut tidak sesuai dengan

ketentuan Pasal 66 UU No 30 Tahun 1999

3. Terhadap penolakan tersebut arbiter atau para arbiter atau kuasanya dapat

mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung

(26)

4. Setelah mengeluarkan putusan pengakuan dan pelaksanan, perintah eksekusi

selanjutnya akan dilimpahkan pada Pengadilan Negeri yang berwenang.

5. Jika menyangkut negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak, perintah

(27)

BAB IV

PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DALAM PENYELESAIAN SENGKETA UTANG TERKAIT PERJANJIAN YANG

MEMILIKI KLAUSUL HUKUM INDONESIA DALAM PUTUSAN PERKARA NO. 288 B/PDT.SUS-ARBT/2014

A. Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional Menurut UNCITRAL Arbitration Rule

Upaya pembatalan putusan tidak dikenal dalam UNCITRAL. Namun

demikian UNCITRAL mengenal upaya lain dalam bentuk berikut ini:102 1. Interpretation of the award (penafsiran putusan)

Article 35 dari UNCITRAL Arbitration Rule mengatur tentang interpretation of the award. Bunyi dari article 35 tersebut sebagai berikut:

(1)Within thirty days after the receipt of the award, either party with notice

to the other party, may request that the arbitral tribunal give an interpretation of the award.

(2)The interpretation shall be given in writing within forty five days after

the receipt of the request. The interpretation shall form part of the award and the provisions or article 32, paragraphs 2 to 7, shall apply.

Article 32 dari UNCITRAL Arbitration Rule mengatur tentang form and effect of the award. Bunyi dari article 32 tersebut sebagai berikut:

(1)In addition to making a final award, the arbitral tribunal shall be entitled

to make interim, interlocutory, or partial awards.

(2)The award shall be made in writing and shall be final and binding on the

parties. The parties undertake to carry out the award without delay.

(3)The arbitral tribunal shall state the reasons upon which the award is

based, unless the parties have agreed that no reasons are to be given.

(4)An award shall be be signed by the arbitrators and it shall contain the

date on which and the place where the award was made. Where there are three arbitrators and one of them fails to sign, the award shall state the reasons for the absence of the signature.

(5)The award may be made public only with the consent of both parties.

(28)

(6)Copies of the award signed by the arbitrators shall be communicated to

the parties by the arbitral tribunal.

(7)If the arbitration law of the country where the award is made requires

that the award be filed or registered by the arbitral tribunal, the tribunal shall comply with this requirement within the period or time required by law.

Makna interpretation adalah sebagai perbedaan pengertian, pemahaman,

atau jangkauan pendapat para pihak terhadap arbitrase. Timbulnya perbedaan

pemahaman inilah yang menyebabkan para pihak dapat mengajukan permohonan

“penafsiran resmi” yang berupa penjelasan yang terang sehingga tidak lagi

menimbulkan keraguan.

Permohonan harus diajukan secara tertulis kepada sekretaris jendral

UNCITRAL dalam jangka waktu paling lama 30 hari sejak putusan diterima.

Dalam surat permohonan harus dijelaskan mengenai hal mana atau kalimat mana

dalam putusan arbitrase yang harus diberikan penjelasan oleh majelis arbitrase

yang memberi putusan. Majelis arbitrase yang mengeluarkan atau menjatuhkan

putusan tersebutlah yang selayaknya memberikan penjelasan yang berkenaan

dengan perbedaan pemahaman tentang kalimat/hal dalam putusan tersebut. Akan

tetapi, apabila ada seseorang atau dua orang di antara anggota dewan yang

memutus perselisihan tersebut berhalangan tetap (sakit berkepanjangan, pergi

cukup lama, atau mungkin meninggal dunia), UNCITRAL akan membentuk

majelis arbitrase baru dengan mengikutsertakan anggota majelis arbitrase yang

tidak berhalangan. Majelis arbitrase tersebut harus sudah memberikan penjelasan

secara tertulis dalam jangka waktu paling lama 45 hari sejak diterimanya

(29)

Penjelasan/interpretasi tertulis tersebut harus menerangkan:

a. Dasar-dasar pertimbangan dalam memberikan penafsiran/penjelasan,

kecuali para pihak yang mengajukan permohonan interpretasi tidak

memerlukan dasar pertimbangan.

b. Penafsiran harus ditandatangani oleh para anggota arbiter dan menyebut

tempat dan tanggal penafsiran diambil.

c. Salinan penjelasan/penafsiran yang telah ditandatangani harus

diberitahukan kepada para pihak.

d. Hasil penafsiran tidak boleh dipublikasikan tanpa persetujuan para pihak.

Penjelasan/interpretasi ini bersifat final dan binding, serta tidak ada upaya

lagi untuk banding, kasasi atau peninjauan kembali. Dengan demikian, setelah

penjelasan ini, putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap dan sudah

dapat dilaksanakan (eksekusi).

2. Correction of the award (perbaikan putusa )

Article 36 dari UNCITRAL Arbitration Rule mengatur tentang correction of the award. Bunyi dari article 36 tersebut sebagai berikut

(1)Within thirty days after the receipt of the award, either party, with notice

to the other party, may request the arbitral tribunal to correct in the award any errors in computation, any clerical or typographical errors, or any errors of similar nature. The arbitral tribunal may within thirty days after the communication of the award make such corrections on its own initiative.

(2)Such corrections shall be in writing and the provisions of article 32

paragraphs 2 to 7, shall apply.

Dapat diketahui dari Article diatas bahwa perbaikan putusan atau koreksi

terhadap putusan arbitrase harus dimohonkan oleh salah satu pihak yang

(30)

koreksi/perbaikan terhadap putusan arbitrase dapat diajukan jika putusan tersebut

mengandung kesalahan mengenai:

a. Penulisan kata;

b. Salah pengetikan;

c. Kesalahan perhitungan jumlah ganti kerugian, dan lain-lain.

Kesalahan tulisan, pengetikan atau penjumlahan ganti kerugian sifatnya

“vital” karena dapat mempengaruhi isi putusan. Mengenai bagaimana cara

mengajukan permohonan koreksi dan jangka waktu pengajuan sama dengan tata

cara permohonan penafsiran begitu juga proses pemeriksaan permohonan koreksi

putusan dan tata cara memberikan hasil koreksi sama ketentuannya dengan tata

cara interpretasi diatas.

3. Additional of the award (tambahan putusan)

Article 37 dari UNCITRAL Arbitration Rule mengatur tentang additional award. Bunyi dari Article 37 tersebut sebagai berikut:

(1)Within thirty days after the receipt of the award, either party, with notice

to the other party, may request the arbitral tribunal to make an additional award as to claim presented in the arbitral proceeding but omitted from the award.

(2)If the arbitral tribunal considers the request for an additional award to

be justified and considers that the omission can be reflacted without any further hearings and evidence, it shall complete its award within sixty days after the receipt of the request

(3)When an additional award is made, the provisions of article 32,

paragraphs 2 to 7, shall apply

Permohonan penambahan putusan hanya dapat dilakukan jika terdapat

alasan bahwa dalam putusan arbitrase yang dijatuhkan dijumpai adanya claim/

tuntutan para pihak tidak tercantum dalam putusan tersebut, atau tidak

diikutsertakan menjadi bahan pertimbangan dalam mengambil atau menjatuhkan

(31)

Menurut ketentuan Article 37 ayat (1) UNCITRAL Arbitration Rule

tenggang waktu untuk dapat mengajukan “penambahan” putusan adalah 30 hari

sejak putusan tersebut diterima oleh para pihak. Jika melewati ketetapan 30 hari

maka permohonan tidak akan diterima. Permohonan pengajuan penambahan

diajukan langsung kepada majelis arbitrase yang mengeluarkan putusan. Yang

berhak untuk menyelesaikan permohonan penambahan adalah majelis arbitrase

atau anggota-anggota arbiter yang menjatuhkan putusan tersebut, kecuali jika

anggota arbiter yang bersangkutan berhalangan tetap maka dapat dibentuk majelis

arbitrase dengan tetap mengikutsertakan anggota arbitrase yang semula memutus

yang tidak berhalangan.

Tata cara pemberian penambahan putusan ini diatur dalam Article 37 ayat

(2) UNCITRAL Arbitration Rule, yaitu:

a. Dapat langsung memberikan perbaikan atau tambahan tanpa memerlukan

proses persidangan. Dengan demikian, dalam hal ini tidak diperlukan lagi

proses pemeriksaan para pihak maupun pembuktian. Proses pemeriksaan

ulangan juga tidak diperlukan jika memang alasan permohonan

penambahan yang diajukan menurut pertimbangan majelis arbitrase proses

pemeriksaan ulangan itu tidak diperlukan

b. Tata cara yang kedua adalah pemberian tambahan harus dilakukan dengan

pemeriksaan atau persidangan ulangan karena menurut pertimbangan

majelis arbitrase hal ini dianggap perlu sehubungan dengan alasan

permohonan tambahan putusan sangat “vital”.

Yang dikatakan “vital” dapat dicontohkan apabila dalam permohonan

(32)

termohon (respondent) membayar ganti kerugian sehubungan dengan

wanprestasinya. Permohonan pembayaran ganti rugi ini tidak disinggung

dalam putusan yang dijatuhkan dalam putusan sehingga pihak clainmant

mengajukan permohonan tambahan.

Permohonan ganti kerugian sifatnya perlu pembuktian apakah pihak

respondent memang benar telah wanprestasi atau overmacht, cara atau

proses permohonan tambahan dengan alasan yang demikian perlu

diadakan pemeriksaan ulangan untuk memanggil para pihak.

Jangka waktu pemeriksaan permohonan tambahan putusan tersebut

ditentukan paling lama 60 hari terhitung sejak tanggal majelis arbitrase

menerima permohonan. Jika jangka waktu 60 hari itu terlewati atau

dengan kata lain, pemeriksaan permohonan tambahan tidak bisa selesai

dalam jangka waktu 60 hari, majelis arbitrase bisa dituntut telah

melakukan perbuatan melawan hukum.

Permohonan tambahan putusan tersebut tidak selalu dikabulkan,

tergantung dari penilai majelis arbitrase dalam proses pemeriksaan ulangan. Jika

memang dasar hukum untuk mangabulkan permohonan tambahan cukup, maka

majelis arbitrase akan menuangkannya dalam bentuk restification atau ralat.

Sebaliknya, apabila tidak mempunyai dasar hukum, permohonan tambahan akan

ditolak dengan suatu “penetapan”.

Ralat atau penetapan tersebut harus dibuat/diputuskan secara tertulis

dengan ketentuan sebagai berikut:

(33)

2) Ditandatangani oleh para arbiter. Apabila salah seorang anggota tidak

ikut menandatangani, harus dijelaskan alasan-alasannya.

3) Memuat dasar-dasar alasan tentang pengabulan atau penolakan

permohonan penambahan, kecuali para pihak sepakat untuk tidak

memerlukan atau memuat dasar alasan tersebut.

Jika ralat atau penetapan sebagai hasil permohonan penambahan tersebut

sudah dijatuhkan, ralat atau penetapan tersebut merupakan satu kesatuan yang

terpisahkan dengan putusan arbitrase semula (putusan yang dimohonkan

penambahan). Dengan demikian, putusan arbitrase tersebut sudah mengandung

sifat final and binding dan segera dapat dimohonkan eksekusinya.

B. Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional Menurut UU Arbitrase dan APS

Permohonan pembatalan putusan arbitrase diatur dalam Pasal 70 UU

Arbitrase dan APS, dapat diajukan oleh para pihak apabila para pihak menduga

putusan yang dijatuhkan mengandung unsur-unsur:

1. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan

dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;

2. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang

disembunyikan oleh pihak lawan;

3. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak

dalam pemeriksaan sengketa.

Alasan-alasan pengajuan permohonan pembatalan putusan arbitrase

(34)

untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase. Berdasarkan

ketantuan tersebut, Pasal 70 UU Arbitrase dan APS hanya mengatur alasan-alasan

yang dapat digunakan oleh para pihak yang bersengketa untuk mengajukan

permohonan pembatalan putusan arbitrase.103 Walaupun dalam Pasal 70 UU Arbitrase dan APS tidak mengatur mengenai alasan-alasan apa yang dapat

dipergunakan oleh pengadilan untuk mengajukan pembatalan terhadap putusan

arbitrase, tidak berarti bahwa pengadilan tidak dapat melakukan pembatalan

terhadap putusan arbitrase.

Apabila ditelaah ketentuan Pasal 70 UU Arbitrase dan APS, pembatalan

putusan arbiter atau majelis arbiter baru akan terjadi apabila diajukan oleh pihak

yang merasa dirugikan terhadap putusan arbitrase tersebut, jadi bukan batal

dengan sendirinya tetapi harus berdasarkan inisiatif dari pihak yang dirugikan.

Sama halnya dengan syarat perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata

menyangkut syarat subjektif, maka para pihak yang merasa dirugikan mempunyai

hak untuk membatalkan perjanjian tersebut jika perjanjian dianggap mengandung

cacat hukum yakni yerdapat unsur paksaan, kekeliruan dan penipuan.104

Tapi hak para pihak untuk mengajukan pembatalan putusan arbiter atau

majelis arbitrase telah dibatasi oleh undang-undang yakni pemohonan pengajuan

pembatalan tersebut harus diajukan dalam jangka waktu 30 hari terhitung sejak

hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan

Negeri dan harus dibuat secara tertulis kepada Pengadilan wilayah hukum dimana

keputusan tersebut diambil. Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30

hari sejak permohonan pembatalan putusan arbitrase tersebut diterima sudah harus

103

Frans Hendra Winarta, Op.Cit,hlm. 86

104

(35)

menetapkan putusan pembatalan putusan arbitrase baik pembatalan seluruh atau

sebagian dari putusan arbitrase tersebut.

Ketentuan mengenai batas waktu pengajuan banding dan memori banding

tidak diatur dalam UU Arbitrase dan APS, maka ketentuan ini harus didasarkan

pada ketentuan hukum acara yang berlaku, yang menyatakan bahwa pengajuan

memori banding wajib disampaikan dalam tenggang waktu 14 hari setelah

permohonan banding dicatat dalam buku daftar register. Sejak permohonan

banding diterima paling lama 3 hari kemudian sudah harus diputus.105

Menurut pendapat Tin Zuraida dalam bukunya “ Prinsip Eksekusi Putusan

Arbitrase Internasional di Indonesia (Teori dan Praktek yang Berkembang)” , ketetentuan Pasal 70 sampai dengan Pasal 72 UU Arbitrase dan APS hanya

terbatas pada putusan arbitrase nasional. Sedangkan pembatalan putusan arbitrase

internasional tidak diatur dalam UU Arbitrase dan APS. Oleh karena itu, substansi

Pasal 70 sampai dengan Pasal 72 UU Arbitrase dan APS tidak dapat dijadikan

landasan hukum untuk menggunakan upaya hukum pembatalan terhadap putusan

arbitrase internasional

Pembatalan putusan arbitrase internasional tidak diatur dalam UU

Arbitrase dan APS. Ini dikarenakan Pasal 70, Pasal 71 dan Pasal 72 UU Arbitrase

dan APS hanya memberi wewenang kepada pengadilan Indonesia untuk

melakukan pembatalan putusan arbitrase yang dibuat di Indonesia. Hal ini dapat

diartikan bahwa ketentuan-ketentuan pembatalan tersebut bukan sebagai dasar

bagi pengadilan Indonesia untuk melakukan pembatalan putusan arbitrase

internasional. Hal ini terlihat dari pengunaan kata putusan arbitrase internasional

(36)

dalam Pasal 65 sampai dengan Pasal 69 UU Arbitrase dan APS yang dibedakan

dengan kata putusan arbitrase seperti tercantum dalam Pasal 70 UU Arbitrase dan

APS. Maka, Pengadilan Negeri tidak dapat membatalkan putusan arbitrase

internasional, sedangkan putusan arbitrase yang dibuat dalam negeri hanya dapat

dibatalkan dengan melihat persyaratan dalam Pasal 70 UU Arbitrase dan APS106 Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berpendapat bahwa secara

prinsip hanya Pasal VI jo V (1) (e) Konvensi New York 1958 yang menyatakan

pengadilan yang memiliki wewenang (competent authority) untuk memutus

permohonan pembatalan arbitrase internasional adalah pengadilan di negara mana

putusan tersebut dibuat atau pengadilan berdasarkan hukum mana putusan

tersebut dibuat. Interpretasi competent authority dari Pasal V (1) (e) Konvensi

New York 1958 hanya merujuk pada satu otoritas yang berwenang (one

competent authority). Hanya ada satu pengadilan yang berwenang dalam

membatalkan putusan arbitrase internasional, yaitu pengadilan dimana putusan

arbitrase tersebut dibuat.107

C. Ada Tidaknya Kompetensi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk Membatalkan Putusan Arbitrase Internasional dalam Penyelesaian Sengketa Utang Terkait Perjanjian yang Memiliki Klausul Hukum Indonesia ( Studi Kasus : Putusan No.288 B/Pdt.Sus-Arbt/2014)

1. Kronologis

PT. SUMBER SUBUR MAS adalah sebuah perseroan yang berkedudukan

di Jakarta Timur, Indonesia. Perusahaan ini bergerak dalam bidang pakan ternak.

Pada tanggal 30 Juni 1994, telah memperoleh fasilitas obligasi sebesar US$

(37)

Serikat) dan pada tanggal 17 September 1997 dengan total utang pokok sebesar

US$ 12.296.000,00 (dua belas miliar dua ratus sembilan puluh enam juta dolar)

dari TRANSPAC CAPITAL Pte.Ltd yang merupakan sebuah perseroan yang

didirikan menurut hukum negara Republik Singapura dan berkedudukan di

Singapura serta tunduk pada hukum Singapura.

Pada tahun 1988 krisis ekonomi yang melanda Indonesia mengakibatkan

PT. SUMBER SUBUR MAS mengalami kesulitan mengembalikan kewajibannya

pada TRANSPAC CAPITAL Pte.Ltd. Dikarenakan kesulitan dalam

mengembalikan kewajibannya maka pada tanggal 16 Oktober 2000 dibuat

kesepakatan dalam menyelesaikan utang antara para Tergugat (Tergugat I :

TRANSPAC CAPITAL Pte.Ltd ; Tergugat II : TRANSPAC INDUSTRIAL

HOLDING LIMITED) dengan para penggugat (Penggugat I : PT.SUMBER

SUBUR MAS ; Penggugat II : Yusman Tamara selaku Direktur dan Pemegang

Saham PT.SUMBER SUBUR MAS ; Penggugat III : Imelda Irawan selaku

Komisaris dan Pemegang Saham PT.SUMBER SUBUR MAS) sebagaimana

tertuang dalam Akta Perjanjian Penyelesaian Utang Nomor 73 dan Akta

Pengakuan Hutang Nomor 74 yang dibuat dihadapan Darbi, S.H., Notaris di

Jakarta.

Dalam perjanjian tersebut (pada pasal 12 ayat (6) , pasal 13 Akta

Perjanjian Penyelesaian Sengketa Utamg No. 73 dan Pasal 4 Akta Perjanjian

penyelesaian Sengketa Utang No.74), diperjanjikan bahwa apabila timbul

sengketa maka penyelesaiannya dilakukan pada kantor panitera Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat dan dengan menggunakan hukum Indonesia. Maka, apabila terjadi

(38)

Negeri Jakarta Pusat. Sesuai dengan kesepakatan tersebut, penggugat juga telah

membayar tanda kesunggugan kepada para tergugat sebesar Rp.2.000.000.000,00

(dua miliar rupiah) dan menyerahkan 2 (dua) bidang tanah berikut bangunan

sebagaimana yang tercantum dalam Sertipikat Hak Milik No.656/Dukuh, seluas

342m2 atas nama Penggugat III (Imelda Irawan) dan Sertipikat Hak Milik No. 756 /Dukuh, seluas 167m2 atas nama Penggugat II (Yusman Tamara). Disamping itu,

para Penggugat juga telah membayar para tergugat melalui kuasanya di Indonesia

sebesar Rp.8.750.000,00 (delapan miliar tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

Dikarenakan kelalaian Penggugat dalam membayar kewajibannya kepada

tergugat, maka tergugat membawa perkara ini untuk diselesaikan pada arbitrase

internasional (Singapore International Arbitration Centre) dimana SIAC

memenangkan para tergugat (para termohon banding). Setelah itu, para Tergugat

mendaftarkan putusan ini pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar dapat

dilaksanakan pada Indonesia dan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah

menyatakan bahwa putusan tersebut dapat dilaksanakan di Indonesia. Oleh karena

itu, maka para Penggugat mengajukan gugatan pembatalan putusan arbitrase

internasional pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dikarenakan sebelum telah

dibuatnya perjanjian penyelesaian sengketa utang dimana jika terjadi sengketa

maka penyelesaiannya harus diselesaikan dengan hukum Indonesia.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengeluarkan putusan bahwa tidak

berwenang memeriksa dan mengadili perkara pembatalan putusan arbitrase

internasional yang berarti menyatakan para pihak Penggugat adalah pihak yang

kalah. Lalu, para Penggugat mengajukan gugatan banding atas putusan yang

(39)

dengan alasan bahwa karena telah dibuatnya akta perjanjian penyelesaian hutang

tersebut diselesaikan dengan hukum Indonesia dengan forum Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat,maka penyelesaian hutang tersebut harus dilaksanakan menurut

hukum Indonesia di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan menyatakan bahwa

putusan SIAC tersebut bertentangan dengan perjanjian penyelesaian utang yang

telah dibuat sebelumnya dan lembaga SIAC tidak mempunyai yuridiksi untuk

memeriksa dan mengadili permasalahan utang antara para pemohon banding (para

Penggugat) dan para termohon banding (para Tergugat).

2. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim

Pertimbangan Hukum Majelis Hakim dalam Putusan No. 288 B /

Pdt.sus-Arb / 2014 adalah :

a. Bahwa berdasarkan Pasal 72 ayat (4) Undang - Undang Nomor 30 Tahun

1999, terhadap pembatalan Putusan Arbitrase oleh Pengadilan Negeri

dapat diajukan banding kepada Mahkamah Agung yang memutus dalam

tingkat terakhir, sedangkan dalam penjelasannya dinyatakan bahwa yang

dimaksud “banding” adalah hanya terhadap pembatalan Putusan Arbitrase

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 UUArbitrase dan APS. Oleh

karena yang diperiksa dalam perkara ini adalah permohonan pembatalan

putusan arbitrase, maka Mahkamah Agung akan memeriksa perkara ini

dalam tingkat terakhir

b. Bahwa Judex Facti telah tepat dengan menyatakan tidak berwenang secara

absolut untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara a quo, karena

seharusnya yang berwenang adalah Pengadilan dimana tempat

(40)

c. Bahwa alasan-alasan banding tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena

pertimbangan Pengadilan Negeri telah tepat dan benar dengan alasan

bahwa Pemohon tidak dapat membuktikan adanya unsur-unsur

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 UU Arbitrase dan APS tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang dapat membatalkan

Putusan Badan Arbitrase Nasional/ Internasional.

d. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah Agung

berpendapat bahwa Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor

494/Pdt.ARB/2011/PN.JKT.PST, tanggal 10 Januari 2013 telah tepat dan

benar, sehingga beralasan untuk dikuatkan.

e. Bahwa oleh karena Putusan Pengadilan Negeri tersebut dikuatkan, maka

para pemohon banding dihukum untuk membayar biaya perkara

3. Putusan Majelis Hakim

Putusan Majelis Hakim pada perkara Nomor 288 B / Pdt.sus–Arbt / 2014

adalah:

a. Menerima permohonan banding dari Para Pemohon Banding: 1.

PTSUMBER SUBUR MAS, 2. YUSMAN TAMARA, dan 3. IMELDA

IRAWAN tersebut

b. Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor

494/Pdt.ARB/2011/PN.JKT.PST, tanggal 10 Januari 2013 yang

menyatakan tidakberwenang mengadili perkara a quo;

c. Menghukum Para Pemohon Banding untuk membayar biaya perkara

ditetapkansebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah)

(41)

Putusan Mahkamah Agung yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat Nomor 494/Pdt.ARB/PN.JKT.PST yang menyatakan bahwa

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk mengadili perkara

putusan pembatalan putusan arbitrase internasional sudah tepat karena putusan

arbitrase yang dapat diajukan pembatalan hanya putusan arbitrase nasional dengan

cara mengajukannya pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sementara untuk

putusan arbitrase internasional, hukum Indonesia tidak mengakui kewenangan

pengadilan Indonesia untuk membatalkan putusan arbitrase internasional.

Ketentuan hukum Indonesia yang mengatur tentang arbitrase yaitu UU

Arbitrase dan APS hanya mengatur mengenai pendaftaran, pengakuan dan

pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase internasional di Indonesia (Pasal 65

sampai dengan Pasal 69 UU Arbitrase dan APS). Sementara, ketentuan

mengenai pembatalan putusan arbitrase (Pasal 70 sampai dengan 72 UU Arbitrase

dan APS) hanya berlaku terhadap pembatalan putusan arbitrase nasional, tidak

terhadap putusan arbitrase internasional. Hal ini secara tegas dinyatakan oleh

Mahkamah Agung dalam Buku II Mahkamah Agung (MA), halaman 176 yang

berbunyi sebagai berikut:

“Yang dapat dimohonkan pembatalan adalah putusan arbitrase nasional,

sepanjang memenuhi persyaratan yang diatur dalam UU Arbitrase dan APS,

sesuai ketentuan Pasal 70 sampai dengan 72 UU Arbitrase dan APS”.

Jadi dapat dilihat bahwa yurispurudensi pengadilan Indonesia telah secara

konsisten mengakui bahwa Pengadilan Indonesia (Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat) tidak berwenang membatalkan putusan arbitrase internasional. Beberapa

(42)

a. Putusan Mahkamah Agung Nomor 01/Banding/Wasit-Int/2002, tanggal 8

Maret 2004

“Bahwa oleh karena itu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak

berwenang untuk memeriksa dan memutus gugatan pembatalan Putusan

Arbitrase Internasional yang diajukan oleh Penggugat.”

b. Putusan Mahkamah Agung Nomor 64 K/PDT.SUS/2010, tanggal 26 April

2010

“Bahwa judex facti (Pengadilan Negeri) tidak salah dalam menerapkan

hukum ;... Oleh karena itu Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang memeriksa dan memutus gugatan pembatalan Arbitrase

Internasional yang diajukan oleh Pemohon. “

Selain itu, ahli – ahli hukum Indonesia, salah satunya Tin Zuraida, juga

berpendapat bahwa hukum Indonesia tidak mengakui kewenangan pengadilan

Indonesia untuk membatalkan putusan arbitrase yang dijatuhkan di negara lain. Ia

menyatakan:108

“Ketentuan Pasal 70 s/d Pasal 72 UU Arbitrase dan APS tidak dapat dipergunakan sebagai landasan hukum untuk membatalkan keputusan arbitrase internasional. Hal tersebut disebabkan oleh karena putusan arbitrase internasional tersebut dijatuhkan di wilayah Negara lain sehingga berlaku hukum arbitrase negara yang bersangkutan (lex loci arbitri), sehingga tidak dapat dinilai dan dibatalkan berdasarkan hukum Indonesia (UU Arbitrase dan APS).”

Ahli hukum Indonesia lainnya, Dhaniswara K. Harjono, S.H.,

M.H.,M.B.A., menyatakan:109

“Khusus untuk pembatalan putusan arbitrase internasional, pengadilan yang berwenang untuk memutus permohonan tersebut adalah pengadilan di negara mana putusan tersebut dijatuhkan. Dalam hal ini, negara dengan

108 Tin Zuraida,Op.Cit, hlm. 277

109

Gambar

Gambar 1: Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

Periode tahun 1990-an, mulai tumbuh kesadaran dalam diri perempuan perupa untuk memanfaatkan karya seni rupa sebagai media ekspresi mengungkapkan berbagai persoalan gender yang

Therefore, the learning process of vocational school students is particularly purposes at preparing thegraduates to gain supporting skills of any careers

[r]

Sidik Ragam Tinggi Tanaman

Kriteria suatu jenis tumbuhan dapat dolongkan sebagai hiperakumulator adalah : (1) Tahan terhadap unsur logam dalam konsentrasi tinggi pada jaringan akar dan tajuk; (2) Tingkat

tailing pasir untuk budidaya pakchoy, pengaruh amelioran pupuk organik dan pupuk NPK terhadap pertumbuhan dan produksi pakchoy di lahan tailing pasir bekas

Homoseksual merupakan salah satu faktor resiko penularan HIV/AIDS, hal ini dikarenakan perilaku seksual pada kelompok homoseksual mempunyai peranan penting dalam

Anestesi lokal adalah obat yang diberikan secara lokal (topikal atau suntikan) dalam kadar yang cukup dapat menghambat hantaran impuls pada saraf yang dikenai oleh obat