DAFTAR PUSTAKA
A.Buku
Abdurrasyid, H.Priyatna. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa (Suatu
Pengantar). Jakarta: Fikahati Aneska, 2002.
Adolf, Huala. Arbitrase Komersial Internasional. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
Asyhadie, Zaeni dan Sudiarto, H. Mengenali Arbitrase ( Salah Satu Alternatif
Penyelesaian Sengketa Bisnis). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2004.
BPHN. Analisis dan Evaluasi Hukum Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase
(Undang – Undang Nomor 30 tahun 1999). Jakarta: BPHN.
Fuady, Munir. ARBITRASE NASIONAL (Alternatif Penyelesaian Sengketa
Bisnis). Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.
Gautama, Sudargo. Arbitrase Luar Negeri dan Pemakaian Hukum Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004.
Harahap, M.Yahya. Arbitrase. Jakarta: Pustaka Kartini,1991.
Harjono, Dhaniswara.K. Pemahaman Hukum Bisnis Bagi Para Pengusaha. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Margono, Suyud. ADR & Arbitrase ( Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum). Jakarta : Ghalia Indonesia, 2000.
______________. Penyelesaian Sengketa Bisnis (ALTERNATIVE DISPUTE
RESOLUTIONS). Jakarta: Ghalia Indonesia,2010.
Mertokusumo, Soedikno. Mengenal Hukum. Yogyakarta: Liberty, 1988.
Nasution, Bismar. Hukum Kegiatan Ekonomi. Bandung: Books Terrace & Library, 2007.
Rajaguguk,Erman. Arbitrase dalam Putusan Pengadilan. Jakarta: Chandra Pratama, 2001.
Soemartono,Gatot. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,2006.
Starke, J.G. Introduction to International Law (Ninth Edition). London: Butterworth & Co Publishers Ltd, 1984.
Subekti. Kamus Hukum. Jakarta: Penerbit Pradyana Paramita,1971
Sumitro, Ronitjo Hanitjo. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia,1990.
Suparman, Erman. Arbitrase dan Dilema Penegakan Keadilan. Jakarta : PT. Fikahati Aneska, 2012.
Susilawetty. Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Ditinjau dalam
Perspektif Peraturan Perundang-Undangan. Jakarta: Gramata Publishing, 2013.
Wariono, Kelik dan Dimyati, Khudzaifah. Metode Penelitian Hukum. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakata, 2004.
Winarta, Frans Hendra. Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional
Indonesia dan Internasional. Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2012.
Yani, Ahmad dan Widjaja, Gunawan. Hukum Arbitrase. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
Zuraida,Tin. Prinsip Eksekusi Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia. Surabaya : PT. Wastu Lanas Grafika, 2009.
B.Peraturan perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal
Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa
Keputusan Presiden No 34 Tahun 1981 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional
PERMA Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing
C. Jurnal
Juwana, Hikmahanto. ”Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional oleh Pengadilan Nasional.” Jurnal Hukum Bisnis, Jakarta 2002
D.Website
https://id.wikipedia.org/wiki/Utang. (diakses pada tanggal 15 Desember 2015)
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl5475/bolehkah-memakai-jasa-polisi-untuk-penagihan-utang. (diakses pada 15 Desember 2015)
http://kbbi.web.id/sengketa. (diakses pada tanggal 15 Desember 2015)
http://kbbi.web.id/wenang. (diakses pada tanggal 15 Desember 2015)
http://www.informasi-pendidikan.com/2013/08/penelitian-hukum-normatif.html. (diakses pada tanggal 15 Desember 2015)
http://en.m.wikipedia.org/wiki/international_arbitration. (diakses pada tanggal 8
Desember 2015)
Hetty Hassanah. “Penyelesaian Sengketa Perdagangan Melalui Arbitrase Secara
Elektronik ( Arbitrase On Line ) Berdasarkan Undang – Undang Nomor
30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.”
http://ejournal.sthb.ac.id (diakses pada tanggal 24 November 2015)
Dedi harianto. “Beberapa Faktor Penghambat Pelaksanaan Keputusan Arbitrase
BAB III
PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA
A. Pengakuan terhadap Putusan Arbitrase Internasional dalam Hukum Nasional
Putusan arbitrase internasional diakui dan dapat dilaksanakan di Indonesia
apabila dijatuhkan oleh arbiter atau lembaga arbiter atau badan arbitrase di suatu
negara yang dengan negara Indonesia terikat dengan perjanjian baik perjanjian
bilateral maupun multilateral, khususnya mengenai konvensi Pengakuan dan
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.84
Indonesia telah meratifikasi 2 konvensi Internasional yaitu :
1. Konvensi New York 1958
Diratifikasinya Convention on the Recognition and Enforcement of
Foreign Arbitral Awards yang juga dikenal dengan The 1958 Konvensi New York
dengan Keppres No.34 Tahun 1981 berarti telah menjadikan Indonesia sebagai
salah satu anggota dari konvensi yang mengikatkan dirinya terhadap konvensi
tersebut dan tidak keberatan dengan ketentuan-ketentuan Konvensi tersebut.
Konvensi New York 1958 ini mengenai Pengakuan dan Pelaksanaan
Putusan-Putusan Arbitrase Internasional. Maksud dari ketentuan ini adalah adanya timbal
balik antara negara yang menjatuhkan putusan arbitrase internasional dengan
negara tempat memohon pengakuan dan pelaksanaan. Jika suatu putusan arbitrase
internasional di jatuhkan di Singapura lalu dimintakan pengakuan dan pelaksaan
84
putusan tersebut di Indonesia dan Indonesia mengakui dan melaksanakannya;
berarti Singapura harus pula mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase
internasional yang dijatuhkan dan diputuskan di Indonesia. Ini diesbut dengan ada
“prestasi” harus ada “kontraprestasi”.85
Lampiran Keppres No.34/1981 tentang pengesahan “Konvensi New
York 1958” dinyatakan beberapa hal sebagai berikut :
a. Pemerintah Republik Indonesia akan melaksanakan konvensi atas dasar
resiprositas (timbal balik).
b. Pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase luar negeri hanya
diberikan pada putusan-putusan arbitrase yang dibuat di wilayah negara
peserta lain (yang ikut menjadi perserta konvensi).
c. Konvensi hanya akan diterapkan atas sengketa-sengketa yang timbul dari
hubungan-hubungan hukum yang lahir, baik secara kontraktual atau tidak
yang dianggap sebagai komersial menurut Hukum Indonesia.
Keppres Nomor 34 Tahun 1981 yang tidak diikuti dengan peraturan tata
cara pelaksanaan putusan arbitrase internasional tersebut menimbulkan
“kekosongan hukum” atau ketidakjelasan apakah permohonan eksekusi putusan
arbitrase internasional ini dapat langsung diajukan ke Pengadilan Negeri (yang
mana) ataukah ke Mahkamah Agung. Karena kekosongan hukum tersebut
dikeluarkanlah PERMA Nomor 1 Tahun 1990, pada pasal 1 PERMA Nomor 1
Tahun 1990 menyebutkan:
“yang diberi wewenang menangani masalah-masalah yang berhubungan
dengan pengakuan suatu pelaksanaan putusan arbitrase asing adalah
pengadilan Negeri Jakarta Pusat.”
Kemudian diundangkanlah UU Arbitrase dan APS pada tanggal 12
Agustus 1999. Dalam pasal 65 Undang-Undang Arbitrase dan APS juga
menyatakan
“yang berwenang menangani masalah pengakuan dalam pelaksanaan
putusan arbitrase internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat”
Terdapat perbedaan tata cara pelaksanaan putusan arbitrase internasional
yang dirumuskan dalam PERMA No 1 Tahun 1990 dengan UU Arbitrase dan
APS. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari penjelasan berikut ini:
a. Tata cara pelaksanaan putusan arbitrase internasional dalam PERMA No 1
Tahun 1990
Jika ada putusan arbitrase internasional yang ingin dieksekusi di
Indonesia menurut PERMA No. 1 Tahun 1990 maka harus diajukan fiat eksekusi
pada Mahkamah Agung. Mahkamah Agung tidak memeriksa susbstansi putusan
kembali, hanya menilai apakah putusan tersebut melanggar ketertiban umum atau
tidak. Jika Mahkamah Agung menilai bahwa perkara tersebut melanggar
ketertiban umum, maka perkara tersebut ditolak untuk dieksekusi di Indonesia
tetapi jika perkara tersebut disetujui oleh Mahkamah Agung untuk dieksekusi di
Indonesia maka perkara itu akan dilimpahkan pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dapat meneruskan atau tidak meneruskan
pelaksanaanya kepada Pengadilan Negeri lainnya yang berwenang. Jadi, putusan
maupun para pihak yang salah satunya Negara Indonesia vs investor asing pada
PERMA No 1 Tahun 1990, putusan arbitrase asing yang ingin di eksekusi di
Indonesia haruslah dengan diajukan fiat eksekusi pada Mahkamah Agung.
b. Tata cara pelaksanaan putusan arbitrase internasional dalam UU Arbitrase
dan APS
Jika ada putusan arbitrase internasional yang ingin dieksekusi di Indonesia
menurut UU Alternatif dan Penyelesaian Sengketa, diajukan fiat eksekusi
tergantung substansinya, Jika susbtansinya individu/badan hukum vs
individu/badan hukum (investor vs investor) maka fiat eksekusi diajukan pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak
memeriksa perkara secara substansi lagi tetapi hanya menilai apakah putusan
tersebut melanggar ketertiban umum atau tidak, apabila melanggar ketertiban
umum maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akan menolak putusan tersebut dan
apabila tidak melanggar ketertiban umum maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
dapat melaksanakan putusan arbitrase internasional tersebut di Indonesia atau
melimpahkan perkara tersebut pada Pengadilan Negeri daerah yang berwenang.
Jika salah satu substansinya adalah negara yaitu negara Indonesia vs badan
hukum/ individu (investor) dalam hal penanaman modal, pada konvensi ICSID
yang telah diratifikasi dengan UU No. 5 Tahun 1968 tentang Penyelesaian
Perselisihan Antara Negara dan Warganegara Asing Mengenai Penanaman Modal
Asing (selanjutnya disebut dengan UU Penyelesaian Perselisihan Antara Negara
dengan PMA) maka diajukan fiat eksekusi pada Mahkamah Agung. Mahkamah
Agung tidak memeriksa susbstansi putusan kembali, hanya menilai apakah
menilai bahwa perkara tersebut melanggar ketertiban umum, maka perkara
tersebut ditolak untuk dieksekusi di Indonesia tetapi jika perkara tersebut disetujui
oleh Mahkamah Agung untuk dieksekusi di Indonesia maka perkara itu akan
dilimpahkan pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat dapat meneruskan atau tidak meneruskan pelaksanaanya kepada Pengadilan
Negeri lainnya yang berwenang.
2. Konvensi ICSID 1965
Konvensi ICSID (Convention on the Settlement of Investment Dispute
Between States and Nationals of Other States), yang juga dikenal dengan
Konvensi Bank Dunia. Konvensi ini mengenai Penyelesaian Sengketa dalam Hal
Penanaman Modal (investasi) antara Negara dengan Investor Asing yang
disponsori oleh World Bank. Konvensi ICSID ini diratifikasi dengan UU
Penyelesaian Sengketa Antara Negara dan PMA. Dalam pelaksanaanya, putusan
penyelesaian sengketa penanaman modal antar negara Indonesia dengan investor
asing ini ketentuannya diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU Penyelesaian Perselisihan
antara Negara dan PMA yang berbunyi:
“Untuk melaksanakan putusan Mahkamah Arbitrase sebagaimana dimaksud
dalam konvensi tersebut mengenai perselisihan antara Republik Indonesia
dan Warga Negara Asing di wilayah Indonesia, diperlukan surat pernyataan
Mahkamah Agung bahwa putusan tersebut dapat dilaksanakan.”
Agar putusan arbitrase internasional mengenai sengketa dalam penanaman modal
Mahkamah Agung kepada Pengadilan Negeri dalam daerah hukum mana putusan
itu harus dijalankan dan memerintahkan untuk melaksanakannya.86
Putusan arbitrase internasional dalam Pasal 1 angka (9) UU Arbitrase dan
APS adalah Putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter
perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu
lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum
Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional.
Putusan arbitrase asing dalam pasal (2) PERMA No. 1 Tahun 1990 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing adalah Putusan yang dijatuhkan
oleh suatu Badan Arbitrase ataupun Arbiter perorangan di luar wilayah hukum
Republik Indonesia, ataupun putusan suatu Badan Arbitrase ataupun Arbiter
perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai
suatu putusan Arbitrase Asing, yang berkekuatan hukum tetap.
Putusan yang dapat digolongkan pada putusan arbitrase internasional
apabila putusan tersebut dijatuhkan di luar wilayah hukum Indonesia. Walaupun
pihak-pihak yang terlibat dalam putusan merupakan orang-orang Indonesia, dan
sama-sama warga negara Indonesia, jika putusan dijatuhkan di luar wilayah
hukum Republik Indonesia, dengan sendirinya menurut hukum, putusan tersebut
dikualifikasikan menjadi putusan arbitrase internasional. Dalam hal ini faktor
teritorial mengungguli faktor kewarganegaraan atau faktor tata hukum. Kesamaan
kewarganegaraan maupun kesamaan tata hukum yang berlaku terhadap para
pihak, tunduk sepenuhnya kepada faktor teritorial. Ini berarti, sangat mudah
mengenal putusan arbitrase yang didasarkan faktor teritorial. Asal putusan
86
dijatuhkan diluar wilayah hukum Republik Indonesia, sudah pasti tergolong dan
disebut “ putusan arbitrase internasional”.87
Prinsip teritori ini juga dapat dianut dalam Article 1 Konvensi New York
1958 yaitu
“Arbitral awards made in the territory of a state other than the state where
the recognition and enforcement of such awards are sought, and arising out
of differences between person whether physical or legal.”
Berdasarkan pengertian tersebut dapat diketahui bahwa prinsip teritori
dijadikan patokan untuk mengidentifikasi apakah putusan arbitrase itu
internasional atau nasional adalah wilayah. Jadi relevansi untuk menentukan
kepastian apakah putusan tersebut putusan arbitrase internasional atau tidak,
apabila ada permintaan kepada Pengadilan Negeri agar putusan tersebut diakui
dan dieksekusi.
Syarat permintaan pengakuan dan eksekusi pada sadarnya merupakan satu
kesatuan dengan prinsip territorial. Prinsip territorial baru efektif menentukan
adanya keputusan arbitrase internasional apabila pengakuan dan eksekusinya
dimintakan kepada negara lain di luar negara dimana putusan arbitrase diputus.
Sekiranya suatu putusan arbitrase dijatuhkan di suatu negara sedangkan
eksekusinya diminta di negara itu juga, dia tidak tergolong pada arbitrase asing,
tetapi termasuk putusan arbitrase domestik atau nasional.88
87
M.Yahya Harahap, Arbitrase (Jakarta: Pustaka Kartini, 1991), hlm. 438
88
B. Peranan Pengadilan Negeri dengan Putusan Arbitrase Internasional
Peranan dari pengadilan yang berkaitan dengan putusan arbitrase
internasional yakni untuk memperkuat proses arbitrase baik dari awal proses
arbitrase sampai pada pelaksanaan proses arbitrase internasional tersebut. Putusan
arbitrase internasional tidak dapat dilaksanakan di Indonesia apabila belum
mendapat eksekuatur dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan
putusan arbitrase internasional.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebelum mengeluarkan eksekuatur
terhadap putusan arbitrase internasional tersebut terlebih dahulu meninjau putusan
arbitrase internasional tersebut apakah telah memenuhi persyaratan untuk dapat
diakui dan dilaksanakannya putusana arbitrase internasional di Indonesia.
Syarat-syarat dapat diakui dan dilaksanakannya putusan arbitrase internasional di
Indonesia adalah:89
a. Putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis
arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat kepada
perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral mengenai pengakuan
dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.
Pernyataan huruf a diatas mengharuskan telah dibuat perjanjian secara
bilateral antara negara Indonesia dengan negara lainnya tentang pengakuan
dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional atau hanya negara yang
telah meratifikasi kententuan Konvensi New York 1958 lah yang putusan
arbitrase internasionalnya dapat diakui dan dilaksanakan di Indonesia. Ini
89
dikenal dengan asas resiprositas atau asas timbal balik yang maksudnya
pengakuan dan pelaksaan putusan arbitrase internasional di suatu negara
akan juga mendapat balasan yang sama yaitu diakuinya dan
dilaksanakannya putusan arbitrase internasional di negaranya hanya jika
antar negara tersebut telah terikat dalam perjanjian bilateral mengenai
pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional atau negara-
negara tersebut telah meratifikasi Konvensi New York 1958.
b. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk
dalam ruang lingkup perdagangan.
Dalam penjelasannya dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan “ruang
lingkup hukum perdagangan” adalah kegiatan-kegiatan lain di bidang:
1) perniagaan;
2) perbankan;
3) keuangan;
4) penanaman modal;
5) industri;
6) hak kekayaan intelektual.
c. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak
bertentangan dengan ketertiban umum.
Persyaratan yang tercantum dalam point c menetapkan keputusan lembaga
arbitrase asing yang bersangkutan tidak boleh bertentangan dengan
dapat dijadikan sebagai alasan perbuatan yang bertentangan dengan
ketertiban umum mengalami perbedaan di setiap negara tergantung kepada
falsafah bangsa, sistem politik, dan pemerintahan, serta kepribadian suatu
bangsa.
Untuk melihat hal-hal apa saja yang dapat dianggap bertentangan dengan
ketertiban umum dalam kaitannya dengan pengakuan dan pelaksanaan
keputusan arbitrase asing, dapat diketahui dari pendapat Erman
Rajagukguk, yaitu : 90
1) Adalah bertentangan dengan ketertiban umum, jika salah satu pihak
tidak diberikan kesempatan untuk didengar dengan cukup sebelum
keputusan diambil. Namun apabila pihak yang bersangkutan sudah
dipanggil, namun menolak untuk mengambil bagian atau tidak aktif
dalam arbitrase, keadaan ini tidak dapat dianggap bertentangan dengan
ketertiban umum.
2) Karena keputusan arbitrase tidak memuat alasan-alasan , maka
pelaksanaannya akan bertentangan dengan ketertiban umum. Di
beberapa negara, misalnya Italia, undang-undang arbitrase setempat
mengharuskan keputusan arbitrase memuat alasan-alasan yang
menjadi dasar keputusan tersebut. Namun perlu diketahui, tidak semua
negara mengharuskan dicantumkannya alasan-alasan yang menjadi
dasar keputusan arbitrase, misalnya di beberapa negara “Common
Law”
90 Dedi harianto, Beberapa Faktor Penghambat Pelaksanaan Keputusan Arbitrase Asing
3) Alasan selanjutnya yang dipergunakan sebagai hal yang bertentangan
dengan ketertiban umum ialah apabila pengambilan keputusan
arbitrase tersebut melanggar prosedur dari arbitrase yang
bersangkutan, misalnya apabila keputusan tersebut harus dikuatkan
oleh pengadilan setempat.
4) Ketertiban umum juga dikaitkan dengan apakah perjanjian dibuat
dengan paksaan atau tidak.
Begitu banyaknya penafsiran yang dapat diberikan oleh pengadilan
terhadap lembaga ketertiban umum ini, sehingga dapat diibaratkan
sebagai suatu kuda binal “unruly horse” yang bisa lari ke sana ke mari, terutama dalam kaitannya untuk menolak pemberlakuan
keputusan lembaga ketertiban umum.91
d. Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah
memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
e. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak
dalam sengketa hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur
dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan
kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase asing (individu/badan hukum
dengan individu/badan hukum) lembaga yang berwenang untuk mengeksekusinya
adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
memeriksa perkara tersebut apakah melanggar ketertiban umum atau tidak. Jadi
91
putusan arbitrase internasional tersebut dapat dilaksanakan di Indonesia setelah
memperoleh eksekuatur dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hal ini sesuai
dengan Pasal 66 huruf D UU Arbitrase dan APS. Sementara dalam hal
pelaksanaan putusan arbitrase asing yang salah satu pihaknya adalah Negara
Indonesia maka yang berwenang mengeksekusinya adalah Mahkamah Agung. Ini
diatur dalam Pasal 66 huruf E UU Arbitrase dan APS. Putusan arbitrase
internasional tersebut baru dapat dilaksanakan setelah mendapat eksekuatur/surat
pernyataan dari Mahkamah Agung, ini juga sesuai dengan ketentuan dalam pasal
3 ayat (1) UU Penyelesaian Perselisihan Antara Negara dan PMA. Setelah
diperiksa oleh Mahkamah Agung, pelaksanaan putusan arbitrase internasional
tersebut dilimpahkan pada Ketua Pengadilan Jakarta Pusat dan apabila putusan
arbitrase internasional merupakan juridiksi daerah, maka akan dilimpahkan pada
Pengadilan Negeri Daerah.
Untuk memperlancar pelaksanaan keputusan lembaga arbitrase
internasional yang telah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat atau Mahkamah Agung, maka pengadilan juga akan membantu
dalam hal pelaksanaannya di lapangan dengan perantaraan alat-alatnya, seperti
juru sita, panitera dan sebagainya. Sehingga pelaksanaan keputusan arbitrase asing
dimaksud dapat berlangsung dengan lancar dan cepat.92
Namun, dalam hal-hal peranan Pengadilan Negeri dalam proses arbitrase
itu dibatasi. Ini dapat ditemukan dalam hal:
1. Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk
mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam
perjanjiannya ke Pengadilan Negeri. (Pasal 11 ayat (1)).
2. Pengadilan negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam
penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam
hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang (Pasal 11 ayat(2)).
3. Dalam hal penunjukan arbiter oleh para pihak atau Ketua Pengadilan Negeri,
maka Hakim, Jaksa, Panitra, dan Pejabat Pengadilan lainnya tidak dapat
ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter (Pasal 12 ayat (2)).
4. Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari
putusan arbitrase (Pasal 62 ayat (4))
C. Tahap-Tahap Eksekusi Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia
Pelaksanaan putusan arbitrase internasional terbagi dalam 2 tahap yaitu:
1. Tahap pendaftaran dan pencatatan putusan arbitrase internasional
Dalam pasal 66 UU No 30 tahun 1999 dan pasal 1 PERMA No. 1 Tahun
1990 dinyatakan bahwa instansi yang berwenang melakukan pendaftaran putusan
arbitrase internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Jadi putusan
arbitrase internasional bisa dilaksanakan di Indonesia setelah dilakukannya
pendaftaran terlebih dahulu oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat. Untuk keperluan pendaftaran dan pencatatan ini, dokumen
yang diperlukan adalah:93
93
a. Lembar asli atau salianan autentik putusan arbitrase internasional, sesuai
ketentuan perihal autentifikasi/legalisasi dokumen asing, dan naskah
terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia;
b. Lembar asli atau salinan autentik perjanjian yang menajdi dasar putusan
arbitrase internasional sesuai dengan ketentuan perihal autentifikasi
dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia;
c. Keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara
tempat putusan arbitrase internasional tersebut ditetapkan yang
menyatakan bahwa negara pemohon terikat dengan perjanjian, baik secara
bilateral maupun multilateral dengan negara Republik Indonesia perihal
pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.
Jika diperhatikan ketentuan UU Arbitrase dan APS, khususnya yang
berkaitan dengan pelaksanaan putusan arbitrase internasional, ternyata Undang –
Undang ini tidak menentukan batas jangka waktu pendaftaran putusan arbitrase
internasional yang hendak dimintakan eksekusi ke Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat. Demikian juga dengan PERMA No 1 Tahun 1990 tidak menentukan batas
jangka waktu pendaftaran putusa arbitrase internasional.94
M. Yahya Harahap menyatakan bahwa batas tenggang waktu yang tepat
bagi permohonanan eksekusi arbitrase internasional di Indonesia adalah tiga
bulan. Pernyatakan hal itu didasarkan pada:95
a. Pengurusan penyelesaian dokumen-dokumen yang harus diserahkan
memakan waktu yang realtif panjang meningat dokumen-dokumen yang
harus diserahkan untuk pendaftaran putusan arbitrase internasional adalah
94
cukup banyak. Di samping lembar asli autentik dari naskah yang harus
diserahkan, terjemahannya dalam bahasa Indonesia juga harus diserahkan.
Disamping itu harus juga diserahkan surat keterangan dari perwakilan
diplomatik Republik Indonesia yang berada di negara di tempat putusan
tersebut dijatuhkan yang menyatakan bahwa negara pemohon terikat
dengan perjanjian, baik secara bilateral dan multilateral dengan negara
Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelkasanaan putusan arbitrase
internasional.
Dari sekian jenis jumlah dokumen yang harus diserahkan tentu saja
memerlukan waktu pengurusan, termasuk waktu menerjemahkannya ke
dalam bahasa Indonesia.
c. Yang menyangkut trasnportasi dan komunikasi meskipun diakui pada saat
sekarang dunia semakin kecilnya, dimana jarak antar satu negara dengan
negara lain sudah terbuka lebar sehingga antarnegara dan antarabenua
sudah dapat ditempuh dalam jangka waktu yang singkat. Namun
demikian, pengurusan perjalanan antar satu negara dengan negara lain
masih tetap memakan waktu. Kendala komunikasi,baik yang berupa
prasarana perangkat keras maupun prasangka perangkat lunak, seperti
masalah bahasa dan sistem tata hukum dan administrasi yudisial dapat
diperkirakan merupakan hambatan atas kelancaran penyelesaian segala
macam urusan yang memerlukan waktu pendekatan yang agak memadai
sehaingga tidak mungkin dapat diatasi dalam jangka waktu empat belas
2. Tahap pelaksanaan putusan arbitrase internasional
Setelah putusan arbitrase internasional tersebut didaftarkan pada panitera
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, maka ketua Pengadilan Negeri memeriksa
apakah putusan tersebut melanggar ketertiban umum atau tidak. Putusan arbitrase
internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh exequatur dari
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam hal putusan arbitrase internasional
tersebut menyangkut Negara Republik Indonesia, maka pelaksanaan putusan
arbitrase intersional tersebut dapat dilaksanakan setelah memperoleh exequatur
dari Mahkamah Agung.
Terhadap putusan arbitrase internasional yang telah memperoleh
exequatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengakui dan
melaksanakan putusan arbitrase internasional, tidak dapat diajukan banding atau
kasasi. Terhadap putusan arbitrase internasional dimana Ketua Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat menolak untuk mengakui dan melaksankan suatu Putusan Arbitrase
Internasional, maka dapat diajukan kasasi pada Mahkamah Agung. Mahkamah
Agung mempertimbangkan serta memutuskan setiap pengajuan kasasi yang
disebabkan oleh ditolaknya putusan tersebut untuk diakui dan dilaksanakan di
Indonesia oleh Ketua Pengadilan Negeri dalam jangka waktu paling lama 90
(sembilan puluh) hari setelah permohonan kasasi tersebut diterima oleh
Mahkamah Agung.
Tidak semua putusan arbitrase internasional yang telah didaftarkan dan
dicatatkan pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dapat dilaksanakan di Indonesia.
Ada kalanya putusan arbitrase internasional tersebut ditolak untuk dilaksanakan di
pengakuan serta pelaksanaannya di Indonesia jika pihak yang menolak,
mengajukan bukti-bukti penolakan, dan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
berpendapat bahwa : 96
a. pokok sengketa tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase menurut
undang-undang ini.
b. negara tempat putusan ini dibuat tidak terikat secara bilateral atau
bersamasama bergabung dengan Indonesia dalam Konvensi Internasional.
c. putusan tidak dalam ruang lingkup Hukum Dagang menurut
undang-undang Republik Indonesia.
d. pengakuan atau pelaksanaan putusan tersebut secara langsung akan
bertentangan dengan ketertiban umum Negara Republik Indonesia.
Upaya hukum terhadap keputusan arbitrase yang ditolak eksekusinya dapat
dilakukan dengan mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung yang akan
menangani dan memeriksa serta mempertimbangkan permohonan kasasi tersebut
secepatnya dan tidak melampaui 90 hari sejak permohonan tersebut disampaikan
kepada Mahkamah Agung, perlu pula ditambahkan bahwa dalam hal pengadilan
menerima permohonan eksekusi keputusan eksekusi arbitrase/peradilan asing
maka tertutup kemungkinan para pihak untuk melakukan banding atau kasasi atas
keputusan tersebut. Baik Mahkamah Agung maupun pengadilan banding yang
lain tidak boleh menangani atau mempertimbangkan permohonan banding atas
keputusan tersebut.97
96
Dedi harianto, Op.Cit, hlm..10
97
Secara umum ada 5 (lima) alasan yang dapat digunakan untuk menolak
permohonan eksekusi arbitrase internasional. Alasan penolakan permohonan
tersebut adalah: 98
a. Perjanjian arbitrase tidak sah
Ketidakabsahan perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak, baik
menurut hukum di negara mana putusan arbitrase tersebut dijatuhkan
maupun menurut hukum di negar mana putusan akan dieksekusi, dapat
dijadikan alasan untuk menolak permohonan pengakuan dan pelaksanaan
putusan tersebut. Ketidakabsahan ini umumnya disebabkan para pihak
yang membuat perjanjian arbitrase “tidak berwenang” membuat perjanjian.
Ini dikarenakan:
1) Jika para pihaknya adalah perorangan, perorangan tidak berwenang
untuk membuat suatu perjanjian jika:
a) yang bersangkutan di bawah umur;
b) yang bersangkuran berada di bawah pengampuan.
2) Jika salah satu pihak adalah lembaga negara yang menurut hukum
dimana perjanjian arbitrase tersebut dibuat, lembaga negara yang
bersangkutan tidak berwenang untuk membuat perjanjian arbitrase.
b. Tidak memperoleh kesempatan melakukan pembelaan
Sudah dikemukakan bahwa dalam proses pemeriksaan penyelesaian
perselisihan dengan arbitrase, para pihak harus diberi kesempatan yang
sama untuk membela kepentingan masing – masing (audi et alteram
partem). Jika salah satu pihak tidak diberi kesempatan untuk membela
kepentingannya, putusan arbitrase tersebut dianggap tidak sah karena
arbiternya tidak bertindak secara adil atau berat sebelah.
Dalam hal demikian, jika salah satu pihak dapat menunjukkan bukti bahwa
yang bersangkutan tidak memperoleh kesempatan atau tidak , diberi
kesempatan untuk melakukan pembelaan (dalam pemeriksaan), pihak yang
berwenang (pihak yang akan memberikan pengakuan dan pelaksanaan
putusan tersebut), dapat menolak permohonan pengakuan dan
pelaksanaannya.
c. Putusan tidak sesuai dengan penugasan
Jika putusan yang dimohonkan pengakuan dan pelaksanaannya (eksekusi)
tidak sesuai dengan penugasan yang diberikan kepada arbiter, maka
permohonan tersebut dapat ditolak.
Suatu putusan dikatakan tidak sesuai dengan penugasan pada saat:
1) Putusan tidak sejalan dengan yang disengketakan;
2) Putusan tidak sesuai dengan syarat yang diajukan kepada para arbiter;
3) Putusan berisi ketetapan mengenai hal-hal yang berada di ruang
lingkup yang diajukan kepada arbitrase.
d. Susunan atau penunjukkan arbiter tidak sesuai dengan kesepakatan
Alasan penolakan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase
internasional dengan alasan susunan atau penunjukkan arbiter tidak sesuai
dengan kesepakatan dijumpai dalam Pasal V ayat (1) huruf (d) Konvensi
New York 1958. Dinyatakan tidak sesuai kesepaktan para pihak apabila:
1) Susunan majelis arbitrase yang menjatuhkan putusan tidak
2) Penunjukan anggota arbiter tidak sesuai dengan kesepakatan atau
dengan prosedur yang ditentukan dalam rule yang disepakati.
3) Persetujuan yang menjadi dasar sengketa tidak sesuai dengan sistem
dan nilai tata hukum negara tempat dimana arbitrase dilaksanakan.
e. Putusan belum mengikat para pihak
Setiap putusan arbitrase bersifat final and binding (akhir dan mengikat).
Suatu putusan dianggap belum mengikat para pihak karena adanya upaya
pembatalan putusan arbitrase internasional. Dengan adanya upaya
pembatalan ini bukanlah berarti permohonan pengakuan dan pelaksanaan
benar-benar ditolak, tetapi hanya “ditunda” sampai permohonan
pembatalan tersebut disetujui atau tidak Jika memang permohonan
pembatalannya disetujui, parktis permohonan pengakuan dan
pelaksanannya ditolak.
Jika alasan-alasan untuk mengajukan penolakan putusan arbitrase diterima
oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terbukti, maka Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat wajib menolak putusan arbitrase internasional tersebut, untuk hal tersebut
dapat diajukan kasasi pada Mahkamah Agung, dan Mahkamah Agung harus
mempertimbangkan memutus pengajuan kasasi putusan arbitrase internasional
tersebut paling lama 90 (sembilan puluh) hari. Terhadap putusan yang diputuskan
oleh Mahkamah Agung tidak dapat diajukan upaya perlawanan sebaliknya jika
alasan-alasan untuk mengajukan penolakan terhadap putusan arbitrase
internasional itu tidak terbukti maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat wajib
Perbedaan yang terdapat pada penolakan putusan arbitrase internasional
dengan pembatalan putusan arbitrase internasional adalah apabila yang dimaksud
adalah penolakan putusan arbitrase internasional berarti pada dasarnya putusan
arbitrase internasional tersebut diakui dan diterima kebenarannya oleh pihak yang
kalah untuk dilaksanakan, tetapi putusan arbitrase internasional tersebut tidak
dapat dieksekusi pada negara pihak yang kalah tersebut, dikarenakan melanggar
ketertiban umum. Penolakan putusan arbitrase internasional tersebut memiliki
konsekuensi tidak dapatnya putusan arbitrase internasional dilaksanakan di
yuridiksi pengadilan yang telah menolaknya.99 Sementara yang dimaksud dengan pembatalan putusan arbitrase internasional adalah bahwa pada dasarnya pihak
yang kalah tidak membenarkan putusan arbitrase internasional tersebut dan
terhadap putusan arbitrase internasional tersebut hanya dapat diajukan
pembatalannya pada negara dimana putusan arbitrase internasional tersebut
diputuskan. Selain itu, perbedaan antara penolakan putusan arbitrase internasional
dengan pembatalan putusan arbitrase ditentukan berdasarkan juridiksi primer
(primary jurisdiction) dan juridiksi sekunder (secondary jurisdiction) dari
putusan arbitrase yang telah diputuskan. Pembatalan putusan arbitrase dapat
dilakukan dari forum yang merupakan juridiksi primer dari suatu putusan
arbitrase, sedanagan penolakan putusan arbitrase dilakukan dari forum yang
merupakan juridiksi sekunder.100
99 Hikmahanto Juwana, Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional oleh Pengadilan
Nasional, Jurnal Hukum Bisnis Vol.21 (Jakarta, 2002), Hlm.67
100
Untuk mempermudah memahami mengenai tata cara pelaksanaan putusan
arbitrase internasional maka dapat dilihat dari bagan berikut ini.101
Gambar 1: Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia
1
Arbiter atau kuasanya Pengadilan Negeri
2 Jakarta Pusat
1 3 5 4
Mahkamah Agung Eksekusi Putusan
Sumber : H. Sudiarto & Zaeni Asyhadie pada buku Mengenal Arbitrase (
Salah Satu Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis )
Keterangan :
1. Arbiter atau para arbiter atau kuasanya mengajukan permohonan pengakuan
dan pelaksanaan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atau ke Mahkamah Agung
jika menyangkut negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak
2. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dapat menolak pengakuan dan pelaksanaan
putusan arbitrase internasional jika putusan tersebut tidak sesuai dengan
ketentuan Pasal 66 UU No 30 Tahun 1999
3. Terhadap penolakan tersebut arbiter atau para arbiter atau kuasanya dapat
mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung
4. Setelah mengeluarkan putusan pengakuan dan pelaksanan, perintah eksekusi
selanjutnya akan dilimpahkan pada Pengadilan Negeri yang berwenang.
5. Jika menyangkut negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak, perintah
BAB IV
PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DALAM PENYELESAIAN SENGKETA UTANG TERKAIT PERJANJIAN YANG
MEMILIKI KLAUSUL HUKUM INDONESIA DALAM PUTUSAN PERKARA NO. 288 B/PDT.SUS-ARBT/2014
A. Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional Menurut UNCITRAL Arbitration Rule
Upaya pembatalan putusan tidak dikenal dalam UNCITRAL. Namun
demikian UNCITRAL mengenal upaya lain dalam bentuk berikut ini:102 1. Interpretation of the award (penafsiran putusan)
Article 35 dari UNCITRAL Arbitration Rule mengatur tentang interpretation of the award. Bunyi dari article 35 tersebut sebagai berikut:
(1)Within thirty days after the receipt of the award, either party with notice
to the other party, may request that the arbitral tribunal give an interpretation of the award.
(2)The interpretation shall be given in writing within forty five days after
the receipt of the request. The interpretation shall form part of the award and the provisions or article 32, paragraphs 2 to 7, shall apply.
Article 32 dari UNCITRAL Arbitration Rule mengatur tentang form and effect of the award. Bunyi dari article 32 tersebut sebagai berikut:
(1)In addition to making a final award, the arbitral tribunal shall be entitled
to make interim, interlocutory, or partial awards.
(2)The award shall be made in writing and shall be final and binding on the
parties. The parties undertake to carry out the award without delay.
(3)The arbitral tribunal shall state the reasons upon which the award is
based, unless the parties have agreed that no reasons are to be given.
(4)An award shall be be signed by the arbitrators and it shall contain the
date on which and the place where the award was made. Where there are three arbitrators and one of them fails to sign, the award shall state the reasons for the absence of the signature.
(5)The award may be made public only with the consent of both parties.
(6)Copies of the award signed by the arbitrators shall be communicated to
the parties by the arbitral tribunal.
(7)If the arbitration law of the country where the award is made requires
that the award be filed or registered by the arbitral tribunal, the tribunal shall comply with this requirement within the period or time required by law.
Makna interpretation adalah sebagai perbedaan pengertian, pemahaman,
atau jangkauan pendapat para pihak terhadap arbitrase. Timbulnya perbedaan
pemahaman inilah yang menyebabkan para pihak dapat mengajukan permohonan
“penafsiran resmi” yang berupa penjelasan yang terang sehingga tidak lagi
menimbulkan keraguan.
Permohonan harus diajukan secara tertulis kepada sekretaris jendral
UNCITRAL dalam jangka waktu paling lama 30 hari sejak putusan diterima.
Dalam surat permohonan harus dijelaskan mengenai hal mana atau kalimat mana
dalam putusan arbitrase yang harus diberikan penjelasan oleh majelis arbitrase
yang memberi putusan. Majelis arbitrase yang mengeluarkan atau menjatuhkan
putusan tersebutlah yang selayaknya memberikan penjelasan yang berkenaan
dengan perbedaan pemahaman tentang kalimat/hal dalam putusan tersebut. Akan
tetapi, apabila ada seseorang atau dua orang di antara anggota dewan yang
memutus perselisihan tersebut berhalangan tetap (sakit berkepanjangan, pergi
cukup lama, atau mungkin meninggal dunia), UNCITRAL akan membentuk
majelis arbitrase baru dengan mengikutsertakan anggota majelis arbitrase yang
tidak berhalangan. Majelis arbitrase tersebut harus sudah memberikan penjelasan
secara tertulis dalam jangka waktu paling lama 45 hari sejak diterimanya
Penjelasan/interpretasi tertulis tersebut harus menerangkan:
a. Dasar-dasar pertimbangan dalam memberikan penafsiran/penjelasan,
kecuali para pihak yang mengajukan permohonan interpretasi tidak
memerlukan dasar pertimbangan.
b. Penafsiran harus ditandatangani oleh para anggota arbiter dan menyebut
tempat dan tanggal penafsiran diambil.
c. Salinan penjelasan/penafsiran yang telah ditandatangani harus
diberitahukan kepada para pihak.
d. Hasil penafsiran tidak boleh dipublikasikan tanpa persetujuan para pihak.
Penjelasan/interpretasi ini bersifat final dan binding, serta tidak ada upaya
lagi untuk banding, kasasi atau peninjauan kembali. Dengan demikian, setelah
penjelasan ini, putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap dan sudah
dapat dilaksanakan (eksekusi).
2. Correction of the award (perbaikan putusa )
Article 36 dari UNCITRAL Arbitration Rule mengatur tentang correction of the award. Bunyi dari article 36 tersebut sebagai berikut
(1)Within thirty days after the receipt of the award, either party, with notice
to the other party, may request the arbitral tribunal to correct in the award any errors in computation, any clerical or typographical errors, or any errors of similar nature. The arbitral tribunal may within thirty days after the communication of the award make such corrections on its own initiative.
(2)Such corrections shall be in writing and the provisions of article 32
paragraphs 2 to 7, shall apply.
Dapat diketahui dari Article diatas bahwa perbaikan putusan atau koreksi
terhadap putusan arbitrase harus dimohonkan oleh salah satu pihak yang
koreksi/perbaikan terhadap putusan arbitrase dapat diajukan jika putusan tersebut
mengandung kesalahan mengenai:
a. Penulisan kata;
b. Salah pengetikan;
c. Kesalahan perhitungan jumlah ganti kerugian, dan lain-lain.
Kesalahan tulisan, pengetikan atau penjumlahan ganti kerugian sifatnya
“vital” karena dapat mempengaruhi isi putusan. Mengenai bagaimana cara
mengajukan permohonan koreksi dan jangka waktu pengajuan sama dengan tata
cara permohonan penafsiran begitu juga proses pemeriksaan permohonan koreksi
putusan dan tata cara memberikan hasil koreksi sama ketentuannya dengan tata
cara interpretasi diatas.
3. Additional of the award (tambahan putusan)
Article 37 dari UNCITRAL Arbitration Rule mengatur tentang additional award. Bunyi dari Article 37 tersebut sebagai berikut:
(1)Within thirty days after the receipt of the award, either party, with notice
to the other party, may request the arbitral tribunal to make an additional award as to claim presented in the arbitral proceeding but omitted from the award.
(2)If the arbitral tribunal considers the request for an additional award to
be justified and considers that the omission can be reflacted without any further hearings and evidence, it shall complete its award within sixty days after the receipt of the request
(3)When an additional award is made, the provisions of article 32,
paragraphs 2 to 7, shall apply
Permohonan penambahan putusan hanya dapat dilakukan jika terdapat
alasan bahwa dalam putusan arbitrase yang dijatuhkan dijumpai adanya claim/
tuntutan para pihak tidak tercantum dalam putusan tersebut, atau tidak
diikutsertakan menjadi bahan pertimbangan dalam mengambil atau menjatuhkan
Menurut ketentuan Article 37 ayat (1) UNCITRAL Arbitration Rule
tenggang waktu untuk dapat mengajukan “penambahan” putusan adalah 30 hari
sejak putusan tersebut diterima oleh para pihak. Jika melewati ketetapan 30 hari
maka permohonan tidak akan diterima. Permohonan pengajuan penambahan
diajukan langsung kepada majelis arbitrase yang mengeluarkan putusan. Yang
berhak untuk menyelesaikan permohonan penambahan adalah majelis arbitrase
atau anggota-anggota arbiter yang menjatuhkan putusan tersebut, kecuali jika
anggota arbiter yang bersangkutan berhalangan tetap maka dapat dibentuk majelis
arbitrase dengan tetap mengikutsertakan anggota arbitrase yang semula memutus
yang tidak berhalangan.
Tata cara pemberian penambahan putusan ini diatur dalam Article 37 ayat
(2) UNCITRAL Arbitration Rule, yaitu:
a. Dapat langsung memberikan perbaikan atau tambahan tanpa memerlukan
proses persidangan. Dengan demikian, dalam hal ini tidak diperlukan lagi
proses pemeriksaan para pihak maupun pembuktian. Proses pemeriksaan
ulangan juga tidak diperlukan jika memang alasan permohonan
penambahan yang diajukan menurut pertimbangan majelis arbitrase proses
pemeriksaan ulangan itu tidak diperlukan
b. Tata cara yang kedua adalah pemberian tambahan harus dilakukan dengan
pemeriksaan atau persidangan ulangan karena menurut pertimbangan
majelis arbitrase hal ini dianggap perlu sehubungan dengan alasan
permohonan tambahan putusan sangat “vital”.
Yang dikatakan “vital” dapat dicontohkan apabila dalam permohonan
termohon (respondent) membayar ganti kerugian sehubungan dengan
wanprestasinya. Permohonan pembayaran ganti rugi ini tidak disinggung
dalam putusan yang dijatuhkan dalam putusan sehingga pihak clainmant
mengajukan permohonan tambahan.
Permohonan ganti kerugian sifatnya perlu pembuktian apakah pihak
respondent memang benar telah wanprestasi atau overmacht, cara atau
proses permohonan tambahan dengan alasan yang demikian perlu
diadakan pemeriksaan ulangan untuk memanggil para pihak.
Jangka waktu pemeriksaan permohonan tambahan putusan tersebut
ditentukan paling lama 60 hari terhitung sejak tanggal majelis arbitrase
menerima permohonan. Jika jangka waktu 60 hari itu terlewati atau
dengan kata lain, pemeriksaan permohonan tambahan tidak bisa selesai
dalam jangka waktu 60 hari, majelis arbitrase bisa dituntut telah
melakukan perbuatan melawan hukum.
Permohonan tambahan putusan tersebut tidak selalu dikabulkan,
tergantung dari penilai majelis arbitrase dalam proses pemeriksaan ulangan. Jika
memang dasar hukum untuk mangabulkan permohonan tambahan cukup, maka
majelis arbitrase akan menuangkannya dalam bentuk restification atau ralat.
Sebaliknya, apabila tidak mempunyai dasar hukum, permohonan tambahan akan
ditolak dengan suatu “penetapan”.
Ralat atau penetapan tersebut harus dibuat/diputuskan secara tertulis
dengan ketentuan sebagai berikut:
2) Ditandatangani oleh para arbiter. Apabila salah seorang anggota tidak
ikut menandatangani, harus dijelaskan alasan-alasannya.
3) Memuat dasar-dasar alasan tentang pengabulan atau penolakan
permohonan penambahan, kecuali para pihak sepakat untuk tidak
memerlukan atau memuat dasar alasan tersebut.
Jika ralat atau penetapan sebagai hasil permohonan penambahan tersebut
sudah dijatuhkan, ralat atau penetapan tersebut merupakan satu kesatuan yang
terpisahkan dengan putusan arbitrase semula (putusan yang dimohonkan
penambahan). Dengan demikian, putusan arbitrase tersebut sudah mengandung
sifat final and binding dan segera dapat dimohonkan eksekusinya.
B. Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional Menurut UU Arbitrase dan APS
Permohonan pembatalan putusan arbitrase diatur dalam Pasal 70 UU
Arbitrase dan APS, dapat diajukan oleh para pihak apabila para pihak menduga
putusan yang dijatuhkan mengandung unsur-unsur:
1. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
2. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang
disembunyikan oleh pihak lawan;
3. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak
dalam pemeriksaan sengketa.
Alasan-alasan pengajuan permohonan pembatalan putusan arbitrase
untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase. Berdasarkan
ketantuan tersebut, Pasal 70 UU Arbitrase dan APS hanya mengatur alasan-alasan
yang dapat digunakan oleh para pihak yang bersengketa untuk mengajukan
permohonan pembatalan putusan arbitrase.103 Walaupun dalam Pasal 70 UU Arbitrase dan APS tidak mengatur mengenai alasan-alasan apa yang dapat
dipergunakan oleh pengadilan untuk mengajukan pembatalan terhadap putusan
arbitrase, tidak berarti bahwa pengadilan tidak dapat melakukan pembatalan
terhadap putusan arbitrase.
Apabila ditelaah ketentuan Pasal 70 UU Arbitrase dan APS, pembatalan
putusan arbiter atau majelis arbiter baru akan terjadi apabila diajukan oleh pihak
yang merasa dirugikan terhadap putusan arbitrase tersebut, jadi bukan batal
dengan sendirinya tetapi harus berdasarkan inisiatif dari pihak yang dirugikan.
Sama halnya dengan syarat perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata
menyangkut syarat subjektif, maka para pihak yang merasa dirugikan mempunyai
hak untuk membatalkan perjanjian tersebut jika perjanjian dianggap mengandung
cacat hukum yakni yerdapat unsur paksaan, kekeliruan dan penipuan.104
Tapi hak para pihak untuk mengajukan pembatalan putusan arbiter atau
majelis arbitrase telah dibatasi oleh undang-undang yakni pemohonan pengajuan
pembatalan tersebut harus diajukan dalam jangka waktu 30 hari terhitung sejak
hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan
Negeri dan harus dibuat secara tertulis kepada Pengadilan wilayah hukum dimana
keputusan tersebut diambil. Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30
hari sejak permohonan pembatalan putusan arbitrase tersebut diterima sudah harus
103
Frans Hendra Winarta, Op.Cit,hlm. 86
104
menetapkan putusan pembatalan putusan arbitrase baik pembatalan seluruh atau
sebagian dari putusan arbitrase tersebut.
Ketentuan mengenai batas waktu pengajuan banding dan memori banding
tidak diatur dalam UU Arbitrase dan APS, maka ketentuan ini harus didasarkan
pada ketentuan hukum acara yang berlaku, yang menyatakan bahwa pengajuan
memori banding wajib disampaikan dalam tenggang waktu 14 hari setelah
permohonan banding dicatat dalam buku daftar register. Sejak permohonan
banding diterima paling lama 3 hari kemudian sudah harus diputus.105
Menurut pendapat Tin Zuraida dalam bukunya “ Prinsip Eksekusi Putusan
Arbitrase Internasional di Indonesia (Teori dan Praktek yang Berkembang)” , ketetentuan Pasal 70 sampai dengan Pasal 72 UU Arbitrase dan APS hanya
terbatas pada putusan arbitrase nasional. Sedangkan pembatalan putusan arbitrase
internasional tidak diatur dalam UU Arbitrase dan APS. Oleh karena itu, substansi
Pasal 70 sampai dengan Pasal 72 UU Arbitrase dan APS tidak dapat dijadikan
landasan hukum untuk menggunakan upaya hukum pembatalan terhadap putusan
arbitrase internasional
Pembatalan putusan arbitrase internasional tidak diatur dalam UU
Arbitrase dan APS. Ini dikarenakan Pasal 70, Pasal 71 dan Pasal 72 UU Arbitrase
dan APS hanya memberi wewenang kepada pengadilan Indonesia untuk
melakukan pembatalan putusan arbitrase yang dibuat di Indonesia. Hal ini dapat
diartikan bahwa ketentuan-ketentuan pembatalan tersebut bukan sebagai dasar
bagi pengadilan Indonesia untuk melakukan pembatalan putusan arbitrase
internasional. Hal ini terlihat dari pengunaan kata putusan arbitrase internasional
dalam Pasal 65 sampai dengan Pasal 69 UU Arbitrase dan APS yang dibedakan
dengan kata putusan arbitrase seperti tercantum dalam Pasal 70 UU Arbitrase dan
APS. Maka, Pengadilan Negeri tidak dapat membatalkan putusan arbitrase
internasional, sedangkan putusan arbitrase yang dibuat dalam negeri hanya dapat
dibatalkan dengan melihat persyaratan dalam Pasal 70 UU Arbitrase dan APS106 Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berpendapat bahwa secara
prinsip hanya Pasal VI jo V (1) (e) Konvensi New York 1958 yang menyatakan
pengadilan yang memiliki wewenang (competent authority) untuk memutus
permohonan pembatalan arbitrase internasional adalah pengadilan di negara mana
putusan tersebut dibuat atau pengadilan berdasarkan hukum mana putusan
tersebut dibuat. Interpretasi competent authority dari Pasal V (1) (e) Konvensi
New York 1958 hanya merujuk pada satu otoritas yang berwenang (one
competent authority). Hanya ada satu pengadilan yang berwenang dalam
membatalkan putusan arbitrase internasional, yaitu pengadilan dimana putusan
arbitrase tersebut dibuat.107
C. Ada Tidaknya Kompetensi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk Membatalkan Putusan Arbitrase Internasional dalam Penyelesaian Sengketa Utang Terkait Perjanjian yang Memiliki Klausul Hukum Indonesia ( Studi Kasus : Putusan No.288 B/Pdt.Sus-Arbt/2014)
1. Kronologis
PT. SUMBER SUBUR MAS adalah sebuah perseroan yang berkedudukan
di Jakarta Timur, Indonesia. Perusahaan ini bergerak dalam bidang pakan ternak.
Pada tanggal 30 Juni 1994, telah memperoleh fasilitas obligasi sebesar US$
Serikat) dan pada tanggal 17 September 1997 dengan total utang pokok sebesar
US$ 12.296.000,00 (dua belas miliar dua ratus sembilan puluh enam juta dolar)
dari TRANSPAC CAPITAL Pte.Ltd yang merupakan sebuah perseroan yang
didirikan menurut hukum negara Republik Singapura dan berkedudukan di
Singapura serta tunduk pada hukum Singapura.
Pada tahun 1988 krisis ekonomi yang melanda Indonesia mengakibatkan
PT. SUMBER SUBUR MAS mengalami kesulitan mengembalikan kewajibannya
pada TRANSPAC CAPITAL Pte.Ltd. Dikarenakan kesulitan dalam
mengembalikan kewajibannya maka pada tanggal 16 Oktober 2000 dibuat
kesepakatan dalam menyelesaikan utang antara para Tergugat (Tergugat I :
TRANSPAC CAPITAL Pte.Ltd ; Tergugat II : TRANSPAC INDUSTRIAL
HOLDING LIMITED) dengan para penggugat (Penggugat I : PT.SUMBER
SUBUR MAS ; Penggugat II : Yusman Tamara selaku Direktur dan Pemegang
Saham PT.SUMBER SUBUR MAS ; Penggugat III : Imelda Irawan selaku
Komisaris dan Pemegang Saham PT.SUMBER SUBUR MAS) sebagaimana
tertuang dalam Akta Perjanjian Penyelesaian Utang Nomor 73 dan Akta
Pengakuan Hutang Nomor 74 yang dibuat dihadapan Darbi, S.H., Notaris di
Jakarta.
Dalam perjanjian tersebut (pada pasal 12 ayat (6) , pasal 13 Akta
Perjanjian Penyelesaian Sengketa Utamg No. 73 dan Pasal 4 Akta Perjanjian
penyelesaian Sengketa Utang No.74), diperjanjikan bahwa apabila timbul
sengketa maka penyelesaiannya dilakukan pada kantor panitera Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat dan dengan menggunakan hukum Indonesia. Maka, apabila terjadi
Negeri Jakarta Pusat. Sesuai dengan kesepakatan tersebut, penggugat juga telah
membayar tanda kesunggugan kepada para tergugat sebesar Rp.2.000.000.000,00
(dua miliar rupiah) dan menyerahkan 2 (dua) bidang tanah berikut bangunan
sebagaimana yang tercantum dalam Sertipikat Hak Milik No.656/Dukuh, seluas
342m2 atas nama Penggugat III (Imelda Irawan) dan Sertipikat Hak Milik No. 756 /Dukuh, seluas 167m2 atas nama Penggugat II (Yusman Tamara). Disamping itu,
para Penggugat juga telah membayar para tergugat melalui kuasanya di Indonesia
sebesar Rp.8.750.000,00 (delapan miliar tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Dikarenakan kelalaian Penggugat dalam membayar kewajibannya kepada
tergugat, maka tergugat membawa perkara ini untuk diselesaikan pada arbitrase
internasional (Singapore International Arbitration Centre) dimana SIAC
memenangkan para tergugat (para termohon banding). Setelah itu, para Tergugat
mendaftarkan putusan ini pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar dapat
dilaksanakan pada Indonesia dan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah
menyatakan bahwa putusan tersebut dapat dilaksanakan di Indonesia. Oleh karena
itu, maka para Penggugat mengajukan gugatan pembatalan putusan arbitrase
internasional pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dikarenakan sebelum telah
dibuatnya perjanjian penyelesaian sengketa utang dimana jika terjadi sengketa
maka penyelesaiannya harus diselesaikan dengan hukum Indonesia.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengeluarkan putusan bahwa tidak
berwenang memeriksa dan mengadili perkara pembatalan putusan arbitrase
internasional yang berarti menyatakan para pihak Penggugat adalah pihak yang
kalah. Lalu, para Penggugat mengajukan gugatan banding atas putusan yang
dengan alasan bahwa karena telah dibuatnya akta perjanjian penyelesaian hutang
tersebut diselesaikan dengan hukum Indonesia dengan forum Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat,maka penyelesaian hutang tersebut harus dilaksanakan menurut
hukum Indonesia di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan menyatakan bahwa
putusan SIAC tersebut bertentangan dengan perjanjian penyelesaian utang yang
telah dibuat sebelumnya dan lembaga SIAC tidak mempunyai yuridiksi untuk
memeriksa dan mengadili permasalahan utang antara para pemohon banding (para
Penggugat) dan para termohon banding (para Tergugat).
2. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim
Pertimbangan Hukum Majelis Hakim dalam Putusan No. 288 B /
Pdt.sus-Arb / 2014 adalah :
a. Bahwa berdasarkan Pasal 72 ayat (4) Undang - Undang Nomor 30 Tahun
1999, terhadap pembatalan Putusan Arbitrase oleh Pengadilan Negeri
dapat diajukan banding kepada Mahkamah Agung yang memutus dalam
tingkat terakhir, sedangkan dalam penjelasannya dinyatakan bahwa yang
dimaksud “banding” adalah hanya terhadap pembatalan Putusan Arbitrase
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 UUArbitrase dan APS. Oleh
karena yang diperiksa dalam perkara ini adalah permohonan pembatalan
putusan arbitrase, maka Mahkamah Agung akan memeriksa perkara ini
dalam tingkat terakhir
b. Bahwa Judex Facti telah tepat dengan menyatakan tidak berwenang secara
absolut untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara a quo, karena
seharusnya yang berwenang adalah Pengadilan dimana tempat
c. Bahwa alasan-alasan banding tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena
pertimbangan Pengadilan Negeri telah tepat dan benar dengan alasan
bahwa Pemohon tidak dapat membuktikan adanya unsur-unsur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 UU Arbitrase dan APS tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang dapat membatalkan
Putusan Badan Arbitrase Nasional/ Internasional.
d. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah Agung
berpendapat bahwa Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
494/Pdt.ARB/2011/PN.JKT.PST, tanggal 10 Januari 2013 telah tepat dan
benar, sehingga beralasan untuk dikuatkan.
e. Bahwa oleh karena Putusan Pengadilan Negeri tersebut dikuatkan, maka
para pemohon banding dihukum untuk membayar biaya perkara
3. Putusan Majelis Hakim
Putusan Majelis Hakim pada perkara Nomor 288 B / Pdt.sus–Arbt / 2014
adalah:
a. Menerima permohonan banding dari Para Pemohon Banding: 1.
PTSUMBER SUBUR MAS, 2. YUSMAN TAMARA, dan 3. IMELDA
IRAWAN tersebut
b. Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
494/Pdt.ARB/2011/PN.JKT.PST, tanggal 10 Januari 2013 yang
menyatakan tidakberwenang mengadili perkara a quo;
c. Menghukum Para Pemohon Banding untuk membayar biaya perkara
ditetapkansebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah)
Putusan Mahkamah Agung yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat Nomor 494/Pdt.ARB/PN.JKT.PST yang menyatakan bahwa
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk mengadili perkara
putusan pembatalan putusan arbitrase internasional sudah tepat karena putusan
arbitrase yang dapat diajukan pembatalan hanya putusan arbitrase nasional dengan
cara mengajukannya pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sementara untuk
putusan arbitrase internasional, hukum Indonesia tidak mengakui kewenangan
pengadilan Indonesia untuk membatalkan putusan arbitrase internasional.
Ketentuan hukum Indonesia yang mengatur tentang arbitrase yaitu UU
Arbitrase dan APS hanya mengatur mengenai pendaftaran, pengakuan dan
pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase internasional di Indonesia (Pasal 65
sampai dengan Pasal 69 UU Arbitrase dan APS). Sementara, ketentuan
mengenai pembatalan putusan arbitrase (Pasal 70 sampai dengan 72 UU Arbitrase
dan APS) hanya berlaku terhadap pembatalan putusan arbitrase nasional, tidak
terhadap putusan arbitrase internasional. Hal ini secara tegas dinyatakan oleh
Mahkamah Agung dalam Buku II Mahkamah Agung (MA), halaman 176 yang
berbunyi sebagai berikut:
“Yang dapat dimohonkan pembatalan adalah putusan arbitrase nasional,
sepanjang memenuhi persyaratan yang diatur dalam UU Arbitrase dan APS,
sesuai ketentuan Pasal 70 sampai dengan 72 UU Arbitrase dan APS”.
Jadi dapat dilihat bahwa yurispurudensi pengadilan Indonesia telah secara
konsisten mengakui bahwa Pengadilan Indonesia (Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat) tidak berwenang membatalkan putusan arbitrase internasional. Beberapa
a. Putusan Mahkamah Agung Nomor 01/Banding/Wasit-Int/2002, tanggal 8
Maret 2004
“Bahwa oleh karena itu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak
berwenang untuk memeriksa dan memutus gugatan pembatalan Putusan
Arbitrase Internasional yang diajukan oleh Penggugat.”
b. Putusan Mahkamah Agung Nomor 64 K/PDT.SUS/2010, tanggal 26 April
2010
“Bahwa judex facti (Pengadilan Negeri) tidak salah dalam menerapkan
hukum ;... Oleh karena itu Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang memeriksa dan memutus gugatan pembatalan Arbitrase
Internasional yang diajukan oleh Pemohon. “
Selain itu, ahli – ahli hukum Indonesia, salah satunya Tin Zuraida, juga
berpendapat bahwa hukum Indonesia tidak mengakui kewenangan pengadilan
Indonesia untuk membatalkan putusan arbitrase yang dijatuhkan di negara lain. Ia
menyatakan:108
“Ketentuan Pasal 70 s/d Pasal 72 UU Arbitrase dan APS tidak dapat dipergunakan sebagai landasan hukum untuk membatalkan keputusan arbitrase internasional. Hal tersebut disebabkan oleh karena putusan arbitrase internasional tersebut dijatuhkan di wilayah Negara lain sehingga berlaku hukum arbitrase negara yang bersangkutan (lex loci arbitri), sehingga tidak dapat dinilai dan dibatalkan berdasarkan hukum Indonesia (UU Arbitrase dan APS).”
Ahli hukum Indonesia lainnya, Dhaniswara K. Harjono, S.H.,
M.H.,M.B.A., menyatakan:109
“Khusus untuk pembatalan putusan arbitrase internasional, pengadilan yang berwenang untuk memutus permohonan tersebut adalah pengadilan di negara mana putusan tersebut dijatuhkan. Dalam hal ini, negara dengan
108 Tin Zuraida,Op.Cit, hlm. 277
109