• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1 Ikan Komet

Ikan Komet merupakan ikan hias yang saat ini mulai banyak dikembangkan. Varietas ikan Komet dikembangkan di Amerika akhir abad 19. Nama komet berasal dari benda angkasa yaitu komet Helley. Ikan Komet merupakan salah satu strain dari ikan Maskoki. Ikan Komet mempunyai ketahanan tubuh yang lebih baik, kuat dan lebih gesit bila dibandingkan dengan ikan Maskoki. Ikan Komet mudah dipelihara baik di kolam, di bak ataupun di akuarium.

Klasifikasi ikan Komet menurutCole (1995, dalam Kusuma, 2006) adalah sebagai berikut :

filum : Chordata kelas : Osteichtyes sub kelas : Actinopterigii ordo : Ostariophysadei sub ordo : Cyprinoidea

famili : Cyprinoidae sub famili : Cyprninae genus : Carassius

spesies : Carassius auratus

4

Secara umum dapat dikatakan bahwa ikan Komet termasuk ikan yang mampu beradaptasi dengan berbagai variasi kualitas air dan juga suhu. Suhu ideal bagi ikan Komet berada pada kisaran 20-25°C. Fluktuasi perubahan suhu direkomendasikan tidak lebih dari 5°C, terutama dalam proses pergantian air atau proses transportasi. Fluktuasi suhu di atas 5°C akan sangat membahayakan ikan tersebut. Nilai pH yang dianggap ideal untuk menumbuhkembangkan ikan Komet berkisar dari 7,0 hingga 8,0. Mesikpun demikian diketahui bahwa ikan Komet masih dapat mentolerir nilai pH lebih rendah atau lebih tinggi dari kisaran. Kepadatan ikan dalam volume air tertentu akan sangat menentukan tingkat keberhasilan memelihara ikan Komet, kemudahan dalam mengelola air dan menghindarkan terjadinya stres yang dapat memicu terjadinya berbagai masalah ikutan lainnya. Selalu disarankan agar ikan Komet dipelihara dengan kepadatan serendah mungkin, atau dipelihara sesedikit mungkin dalam suatu wadah. Aturan secara umum menyebutkan bahwa kepadatan ikan Komet dapat dihitung berdasarkan proporsi 1 cm panjang ikan untuk setiap liter air tersebut.

2.2 Pembesaran Ikan

Pembesaran ikan merupakan bagian dari usaha budidaya ikan. Pembesaran adalah suatu usaha pemeliharaan ikan yang dimulai dari lepas dederan sampai ikan siap untuk tujuan tertentu yaitu konsumsi atau ukuran untuk pasar. Ikan yang ditebar pada awal usaha pembesaran bervariasi menurut jenis ikan dan metode pembesarannya. Dalam usaha pembesaran harus diperhatikan padat tebar. Padat tebar ini akan menentukan usaha pembesaran. Padat tebar dipengaruhi oleh jenis, umur, ukuran awal ikan dan lingkungan pembesaran yaitu sarana yang akan digunakan. Pada SRAT, dimana air pemeliharan akan digunakan kembali dengan mempertahankan kualitasnya maka perlu menejemen yang lebih baik. Selama pembesaran pakan merupakan hal yang penting. Pakan dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu pakan alami dan pakan buatan. Pakan alami lebih banyak digunakan pada umur kurang satu bulan. Pakan buatan diberikan dengan tujuan utamanya adalah mempercepat pertumbuhan. Pakan buatan meskipun mempunyai kandungan yang lebih lengkap, terkadang akan menjadi masalah

5 Make up water Culture chamber Filter Solid removal Final clarifier Primary settling chamber

Sumber : Robert R. Stickney (1979)

ketika jumlah yang diberikan berlebihan. Pakan yang tersisa akan menjadi sumber racun bagi ikan.

2.3 Sistem Resirkulasi Akuakultur Terkendali (SRAT)

Sistem resirkulasi air adalah suatu metode pemeliharaan ikan dalam wadah terkontrol dengan menggunakan kembali air bekas setelah melalui proses penyaringan secara fisik dan biologi (Jangkaru,1994). Menurut Stickney (1979) secara umum sistem resirkulasi terdiri atas empat komponen utama, yaitu : wadah budidaya (culture chamber), wadah sedimentasi primer (primary settling chamber), filter biologi (biological filter), dan penjernih akhir (final clarifier).

Gambar 2. Konfigurasi umum sistem resirkulasi air

Menurut Yanong (2003, dalam Sofiyuddin, 2006) terdapat lima jenis SRAT yang sering digunakan, yaitu SRAT pembesaran, SRAT pembenihan, SRAT pemeliharaan, SRAT penampungan sementara dan SRAT display. SRAT pembesaran digunakan untuk melakukan pembesaran (pendederan) ikan dengan padat tebar yang tinggi. SRAT ini memerlukan manajemen yang terpadu terutama dalam hal kualitas air dan pemberian nutrisi. SRAT pembenihan digunakan untuk pemijahan ikan. Parameter lingkungan seperti suhu, photoperiodisme, pH, kesadahan dan konduktivitas perlu dikontrol untuk memicu terjadinya pemijahan. Selain itu, ukuran, kebiasaan dan perilaku ikan perlu diperhatikan pada saat memilih ukuran dan tipe tangki. SRAT pemeliharaan digunakan untuk memelihara ikan dalam jangka waktu yang cukup lama, seperti untuk

6

pemeliharaan dan pematangan gonad induk. Dalam SRAT ini ikan yang dipelihara umumnya tidak dalam fase pertumbuhan yang cepat, sehingga pemberian nutrisi tidak efektif seperti dalam SRAT pembesaran. SRAT penampungan sementara umumnya digunakan di tempat penjualan ikan. Pemeliharaan biasnya dilakukan selama 1-21 hari. SRAT perlu didesain untuk mengakomodir perubahan dan fluktuasi jenis dan jumlah ikan. Oleh karena itu, biofilter perlu dirancang agar memiliki fleksibilitas yang tinggi dalam hal bentuk dan kapasitas. SRAT display

digunakan untuk manampilkan keindahan ikan, umumnya digunakan di akuarium ikan hias. Oleh karena itu menejemen kualitas air perlu ditekankan kepada pengontrolan partikulat terlarut dan kejernihan air.

2.4 Filter

Filter merupakan suatu alat yang digunakan untuk menyaring benda-benda tertentu yang tidak dikehendaki dan meloloskan benda lain yang dikehendaki. Dalam SRAT benda-benda yang tidak dikehendaki tersebut diantaranya adalah: amonia, bahan padatan, residu organik, dan bahan kimia lainnya. Secara umum filter ada tiga macam, yaitu filter mekanik, filter biologi dan filter kimia. Filter mekanik adalah suatu alat untuk memisahkan padatan dari air secara fisika (berdasarkan ukuran) dengan cara menangkap atau menyaring, sehingga kandungan bahan–bahan seperti debu, koloid dan kotoran lain menjadi berkurang. Filter mekanik disusun dengan beberapa bahan material tertentu seperti kapas sintetik, ijuk, kerikil dan pasir. Pasir, kapas sintetik, kerikil dan ijuk merupakan penyaring primer. Penggunaan media (kerikil dan pasir) yang terlalu rapat pada filter mekanik akan mengakibatkan penyumbatan aliran air. Filter mekanik dapat memisahkan kotoran berupa partikel–partikel tak terlarut secara efektif, namun tidak efektif untuk memisahkan partikel–partikel yang terlarut, untuk itu perlu digunakannya filter biologi dan filter kimia.

Fungsi utama filter biologi adalah mengurangi atau menghilangkan amonia dari air. Seperti diketahui ikan melepaskan amonia (NH3) dan amonium (NH4) ke dalam air, terutama melalui insangnya. Jumlah yang dikeluarkan tergantung dari banyaknya pakan yang dikonsumsi. Secara umum dapat dikatakan bahwa setiap 1 kg pakan akan menghasilkan 37 gram amonia. Dengan demikian

7

dapat diperkirakan berapa banyak konsentrasi amonia yang akan dikeluarkan ikan setiap hari yang perlu dinetralisir oleh sebuah filter biologi. Amonia juga dihasilkan oleh penghuni akuarium lainnya, termasuk bakteri, jamur dan juga sisa pakan ikan. Proses perombakan amonia menjadi nitrat dengan bantuan bakteri dapat ditunjukan pada persamaan reaksi (1).

Filter kimia merupakan absorben atau bahan kimia penyerap dan pengikat sisa metabolit beracun yang ada pada air. Bahan–bahan yang berfungsi sebagai filter kimia antara lain : arang aktif, ozon, sinar ultra violet dan zeolit. Zeolit dan arang yang mengandung karbon aktif dapat menghilangkan racun, bau tak sedap dan membunuh bibit penyakit. Filter kimia dapat melakukan fungsinya dengan tiga cara, yaitu: serapan, pertukaran ion dan jerapan. Serapan merupakan suatu proses dimana suatu partikel terperangkap ke dalam struktur suatu media dan seolah-olah menjadi bagian dari keseluruhan media tersebut. Proses ini dijumpai terutama dalam media karbon aktif. Karbon aktif memiliki ruang pori sangat banyak dengan ukuran tertentu. Pori-pori ini dapat menangkap partikel-partikel sangat halus (molekul) dan menjebaknya disana. Dengan berjalannya waktu pori-pori ini pada akhirnya akan jenuh dengan partikel-partikel sangat halus sehingga tidak akan berfungsi lagi.

Filter konsentris merupakan filter dengan arah aliran air secara horisontal dari luar menuju ke dalam (memusat).

(A) (B) (C)

Sumber: (A) www.O-fish.com

Gambar 3. Media penyaring (A) Arang aktif, (B) kapas sintetik, (C) batu zeolit

NO2- NO3 -Nitrosomonas sp Nitrobacter sp NH3 O2 O2 (1)

8 2.5 Kualitas Air

Kualitas air, menurut kamus istilah lingkungan (Ismoyo, 1994 dalam Hardjojo, 2005) adalah sebagai keadaan dan sifat-sifat fisik, kimia dan biologis suatu perairan yang dibandingkan dengan persyaratan untuk keperluan tertentu. Dari definisi tersebut dapat diartikan bahwa air yang berkualitas adalah air yang tersedia memenuhi persyaratan yang dibutuhkan, misal untuk perikanan maka air yang tersedia haruslah berkualitas memenuhi persyaratan untuk hidup ikan walaupun air tersebut mungkin tidak cocok untuk air minum. Pada Tabel 1 ditunjukan beberapa kondisi yang dianjurkan untuk perikanan air tawar.

Tabel 1. Kisaran normal kualitas air untuk perikanan air tawar Parameter Konsentrasi yang dianjurkan

TAN < 2 ppm NH3 0,1 ppm CO2 < 20 ppm DO > 4 ppm pH 5,5 - 10 Sumber: Mitchell, 1998

Beberapa parameter kualitas air yang perlu dan sebaiknya diketahui dalam pemeliharaan ikan hias antara lain suhu, nilai pH, oksigen terlarut, padatan total dan nitrogen total.

2.5.1 Suhu

Suhu merupakan parameter fisika dalam menentukan kualitas air. Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : musim, letak lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, penutupan awan dan kedalaman air. Dalam sistem tertutup suhu dapat dikontrol dan dikendalikan sesuai kondisi ideal tempat hidup ikan. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia dan biologi badan air. Suhu juga sangat berperan dalam mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Organisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu yang optimal bagi pertumbuhannya.

Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi, kecepatan metabolisme, dekomposisi mikroba dan respirasi organisme, dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu

9

perairan sebesar 10ΟC menyababkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme sekitar 2-3 kali lipat. Menurut Halsam (1995, dalam Effendi, 2003) peningkatan suhu juga menyebabkan penuruan kelarutan gas dalam air, misalnya O2, CO2, N2 dan CH4 . Namun, peningkatan suhu ini disertai dengan penurunan kadar oksigen terlarut sehingga keberadaan oksigen sering kali tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigen bagi organisme akuatik untuk melakukan proses metabolisme dan respirasi.

Cahaya matahari yang masuk ke perairan akan mengalami penyerapan dan perubahan menjadi energi panas. Proses penyerapan cahaya ini berlangsung secara lebih intensif pada lapisan perairan yang memiliki suhu lebih tinggi (lebih panas) dan densitas lebih kecil daripada lapisan yang di bawah.

2.5.2Padatan Total, Terlarut, dan Tersuspensi

Menurut American Public Healt Association, APHA (1976, dalam Effendi, 2003) padatan total (residu) adalah bahan tersisa setelah air sampel mengalami evaporasi pengeringan pada suhu tertentu. Residu dianggap sebagai kandungan total bahan terlarut dan tersuspensi dalam air. Padatan yang terdapat di perairan diklasifikasikan berdasar ukuran diameter partikel, seperti pada Tabel 2.

Tabel 2. Klasifikasi padatan di perairan berdasarkan ukuran diameter Klasifikasi padatan Ukuran diameter

(μm) Ukuran diameter (mm) Padatan terlarut <10-3 <10-6 Koloid 10-3-1 10-6-10-3 Padatan tersuspensi >1 >10-3 Sumber: Effendi, 2003

Padatan tersuspensi total (total suspended solid atau TSS) adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter >1μm) yang tertahan pada saringan millipore dengan diameter 0.45μm. Padatan tersuspensi pada perairan berasal dari partikel-partilel sedimen dan material organik seperti tanaman, sisa hewan, sisa pakan, feses dan mikro organisme lain. Konsentrasi padatan tersuspensi dalam jumlah yang tinggi dalam perairan dapat mengakibatkan air menjadi keruh. Kondisi ini mempunyai

10

dampak positif dan negatif. Dampak positifnya adalah mengurangi pertumbuhan jenis alga dan makropitha akuatik, hal ini terjadi karena jumlah cahaya yang masuk ke badan air mengalami gangguan yaitu penurunan daya tembus cahaya. Sedangkan dampak negatifnya adalah seiring berkurangnya fitoplakton yang ada pada perairan menyebabkan jumlah pakan untuk zooplankton berkurang sehingga pertumbuhan zooplankton terganggu.

Padatan terlarut total (total disolved solid atau TDS) adalah bahan-bahan terlarut (diameter <10-6 mm) dan koloid (diameter 10-6 mm-10-3 mm) yang berupa bahan-bahan kimia yang belum tersaring pada kertas saring berdiameter 0,45 μm . TDS biasanya disebabkan oleh bahan anorganik yang berupa ion-ion yang biasa ditemukan di perairan. Hubungan antara TDS dan salinitas ditunjukan Tabel 3.

Tabel 3. Hubungan antara nilai TDS dan salinitas air

Nilai TDS (mg/lt) Tingkat Salinitas

0-1000 Air tawar

1001-3000 Agak asin / payau (sligty saline)

3001-10000 Keasinan sedang / payau (moderately saline) 10001-10000 Asin (saline)

>100000 Sangat asin (brine)

Sumber: Mc Neely et al., 1979 dalam Effendi, 2003

Bahan-bahan tersuspensi dan terlarut pada perairan alami tidak bersifat toksik, akan tetapi jika berlebihan, terutama total padatan tersuspensi, dapat meningkatkan nilai kekeruhan. Kekeruhan akan dapat menghambat penetrasi cahaya matahari ke kolom air dan akhirnya berpengaruh terhadap proses fotosintesis di perairan. Kesesuaian perairan untuk kepentingan perikanan berdasarkan nilai padatan tersuspensi ditunjukan dalam Tabel 4.

Tabel 4.Kesesuaian perairan untuk kepentingan perikanan berdasarkan nilai padatan tersuspensi (TSS)

Nilai TSS (mg/liter) Pengaruh terhadap kepentingan perikanan

<25 Tidak berpengaruh

25-80 Sedikit berpengaruh

81-400 Kurang baik bagi kepentingan perikanan >400 Tidak baik bagi kepentingan perikanan

11 2.5.3 Nilai pH

pH merupakan suatu pernyataan dari konsentrasi ion hidrogen (H+) di dalam air. pH sangat penting sebagai parameter kimia untuk menentukan kualitas air. pH mempunyai peran penting dalam mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan dalam air. Tidak semua makhluk hidup bisa bertahan terhadap perubahan nilai pH. Ikan dan makhluk-makhluk akuatik lainnya hidup pada selang pH tertentu, sehingga dengan diketahuinya nilai pH maka akan tahu apakah air tersebut sesuai atau tidak untuk menunjang kehidupannya. Nilai pH dan temperatur mempunyai hubungan dengan total amonia yang tak terionisasi. Amonia tak terisonisasi ini lebih mudah terserap ke dalam tubuh organisme akuatik dibangdingkan dengan amonium. Selain itu menurut Mackereth et al. (1989, dalam Effendi 2003) nilai pH juga berkaitan dengan karbondioksida dan alkalinitas air. Pada pH <5, alkalinitas dapat mencapai nol. Semakin tinggi nilai pH, semakin tinggi pula nilai alkalinitas dan semakin rendah kadar karbondioksida bebasnya.

Sebagian besar biota akuatik yang sensitif terhadap perubahan pH menyukai nilai pH sekitar 7,0-8,5. Pengaruh nilai pH terhadap komunitas biologi perairan ditunjukan pada Tabel 5.

Pada pH < 4, sebagian besar tumbuhan air mati karena tidak dapat bertoleransi terhadap pH rendah. Namun, alga jenis Chlamidomonas acidophila

masih dapat bertahan hidup pada pH yang sangat rendah ( yaitu pH=1) , dan alga

Euglena masih dapat bertahan hidup pada pH 1,6 ( Halsam, 1995 dalam Effendi 2003).

Penurunan maupun peningkatan pH dalam SRAT dapat dilakukan dengan beberapa cara. Untuk menurunkan nilai pH dapat dilukan dengan mengganti sebagian air dengan air yang berkesadahan rendah, air hujan atau air yang direbus, air bebas ion, atau air suling. Sedangkan untuk menaikkan pH dapat dilakukan dengan memberikan aerasi yang intensif, melewatkan air melalui pecahan koral, pecahan kulit kerang atau potongan batu kapur, menambahkan buffer seperti sodium bikarbonat, kalsium karbonat atau dengan menambahkan dekorasi berbahan dasar kapur seperti pasir koral dan melakukan penggantian air secara berkala.

12

Tabel 5. Pengaruh pH terhadap komunitas biologi perairan

Nilai pH Pengaruh umum

6,0 – 6,5 1.keanekaragaman plankton dan bentos sedikit menurun. 2.kelimpahan total, biomassa dan produktivitas tidak mengalami perubahan.

5,5 – 6,0

1.penurunan nilai keanekaragaman plankton dan bentos semakin tampak.

2.kelimpahan total, biomassa dan produktivitas masih belum mengalami perubahan yang berarti.

3.alga hijau mulai tampak pada zona litoral

5,0 – 5,5

1.penurunan keanekaragaman plankton dan komposisi jenis plankton, perifiton dan bentos semakin besar. 2.terjadi penurunan kelimpahan total dan biomassa

zooplankton dan bentos.

3.alga hijau berfilamen semakin banyak. 4.proses nitrifikasi terhambat.

4,5 – 5,0

1.penurunan keanekaragaman plankton dan komposisi jenis plankton, perifiton dan bentos semakin besar. 2.terjadi penurunan kelimpahan total dan biomassa

zooplankton dan bentos.

3.terjadi penurunan kelimpahan total dan biomassa zooplankton dan bentos.

4. proses nitrifikasi terhambat.

Sumber: modifikasi Baker et al.,1990 dalam Novotny dan Olem, 1994 dalam Effendi, 2003

2.5.4 Oksigen Terlarut

Oksigen terlarut (dissolved oxygen, DO) merupakan parameter kimia dalam menentukan kualitas air. Di perairan bebas, oksigen lebih banyak dihasilkan dari proses fotosintesis alga. Kadar oksigen terlarut yang tinggi tidak menimbulkan pengaruh fisiologis bagi munusia. Ikan dan organisme akuatik lain membutuhkan oksigen terlarut dalam jumlah yang cukup. Sumber oksigen terlarut dapat berasal dari difusi oksigen yang terdapat pada atmosfer (sekitar 35%) dan aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton (Novotny dan Olem, 1994 dalam Effendi, 2003). Difusi oksigen dari atmosfer kedalam air dapat terjadi secara langsung pada kondisi air diam (stagnant). Difusi juga dapat terjadi karena agitasi atau pergolakan massa air.

Organisme akan mengalami gangguan atau stres jika kadar oksigen terlarut tidak mencukupi. Kadar oksigen yang cocok untuk pertumbuhan berada pada 5 mg/liter sampai 15 mg/liter. Ikan akan mengalami stress ketika kadar oksigen

13

kurang dari 4 mg/liter. Kadar oksigen terlarut harus sering dipantau, apalagi dalam kondisi-kondisi tertentu seperti cuaca mendung, hujan atau terjadi perubahan warna air oleh ganggang. Pada Tabel 6 ditunjukan hubungan antara kadar oksigen terlarut dan pengaruhnya terhadap kelangsungan hidup ikan

Tabel 6. Kadar oksigen terlarut dan pengaruhnya terhadap kelangsungan hidup ikan

Kadar oksigen terlarut (mg/lt) Pengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan <0,3 Hanya sedikit jenis ikan yang dapat bertahan

pada masa pemaparan singkat

0,3-1,0 Pemaparan lama dapat mengakibatkan kematian ikan

1,0-5,0 Ikan dapat bertahan hidup, tetapi

pertumbuhanya terganggu.

>5,0 Hampir semua organisme akuatik menyukai kondisi ini.

Sumber : modifikasi Swingle, 1969 dalam Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003

Kebutuhan oksigen sangat dipengaruhi oleh suhu dan bervariasi antar-organisme. Kadar oksigen terlarut dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain waktu, aktivitas fotosintesis, respirasi, salinitas, dekomposisi bahan organik seperti feses dan sisa pakan dan temperatur. Peningkatan suhu satu derajat celcius akan meningkatkan konsumsi oksigen 10% (Brown, 1978 dalam Effendi, 2003). Dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan anorganik dapat mengurangi kadar oksigen terlarut hingga mencapai nol. Pengaruh waktu dan temperatur terhadap oksigen terlarut dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Pengaruh waktu dan temperatur terhadap oksigen terlarut Waktu Temperatur (οC) Oksigen terlarut (mg/liter)

02.00 29 9,8 06.00 29 6,3 10.00 29 6,7 14.00 30 9,4 18.00 29 16,3 22.00 29 10,7 Sumber: Charkoff, 1976

14

2.5.5 Konduktivitas Listrik (Electrical Conductivity, EC)

Konduktivitas listrik merupakan parameter fisika air. Konduktivitas adalah gambaran numerik dari kemampuan air untuk meneruskan aliran listrik. Semakin banyak garam-garam terlarut yang terionisasi, semakin tinggi pula nilai konduktivitas listriknya. Reaktivitas, valensi dan konsentrasi ion-ion terlarut sangat berpengaruh tergadap nilai EC. Asam, basa dan garam merupakan penggantar listrik yang baik.

Konduktivitas dinyatakan dengan satuan μmhos/cm atau μsimens/cm. Kedua satuan tersebut setara (Mackereth et al., 1989 dalam Effendi, 2003). Air suling (aquades) memiliki nilai konduktivitas 1 μmhos/cm, sedangkan perairan alami sekitar 20-1500 μmhos/cm (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003). Perairan laut memiliki nilai konduktivitas yang sangat tinggi karena mengandung garam terlarut. Nilai konduktivitas listrik berhubungan erat dengan TDS.

2.5.6 Nitrogen Total

Menurut Davis dan Cornwell (1991 dalam Effendi, 2003) nitrogen total adalah gambaran nitrogen dalam bentuk organik dan amonia pada air limbah. Sedangkan menurut Mackereth et al. (1989 dalam Effendi, 2003) nitrogen total adalah penjumlahan dari nitrogen anorganik yang berupa N-NO3, N-NO2, dan N-NH3 yang bersifat larut, dan nitrogen organik yang berupa partikulat yang tidak larut dalam air. Di perairan, nitrogen dapat berupa nitrogen anorganik dan nitrogen organik. Nitrogen anorganik terdiri atas amonia (NH3), amonium (NH4), nitrit (NO2), nitrat (NO3) dan molekul nitrogen (N2) dalam bentuk gas. Amonia merupakan gas buangan terlarut hasil metabolisme ikan oleh perombakan protein, baik dari kotoran itu sendiri maupun sisa pakan. Sisa pakan biasanya akan membusuk sehingga kadar amonia meningkat. Amonia yang tidak terionisasi (unionized) bersifat toksik terhadap organisme akuatik. Pada kadar yang lebih dari 0,1 ppm organisme akan mengalami ganguan. Toksisitas amonia terhadap organisme akuatik akan meningkat jika terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, pH dan suhu. Ikan tidak dapat bertoleransi terhadap kadar amonia yang terlalu tinggi karena dapat mengganggu proses pengikatan oksigen oleh darah.

15

Nitrit merupakan gas sangat beracun bagi ikan. Nitrit ini merupakan hasil perombakan protein yang merupakan ikutan dari amonia. Reduksi nitrat atau denitrifikasi oleh aktivitas mikroba pada kondisi anaerob dapat menghasilkan nitrit, amonia dan gas-gas lain. Pada denitrifikasi, gas N2 yang dapat terlepas akan dilepaskan dari air ke udara. Nitrit dapat berperan sebagai sumber nitrogen bagi tanaman. Keberadaan nitrit menggambarkan berlangsungnya proses biologis perombakan bahan organik yang memiliki kadar oksigen terlarut sangat rendah. Kadar nitrit yang lebih dari 0,05 mg/lt dapat bersifat toksik bagi organisme perairan ( Moore, 1991 dalam Effendi, 2003).

Nitrat adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan hasil oksidasi nitrit dengan bantuan bakteri Nitrobacter sp. Nitrat nitrogen sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Proses nitrifikasi sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain pada kadar oksigen terlarut kurang dari 2 ppm reaksi akan berjalan lamban, nilai pH yang optimum bagi proses nitrifikasi adalah 8-9 dan pada pH kurang dari 6 reaksi akan berhenti, suhu optimum proses nitrifikasi adalah 20ΟC–25ΟC dan pada suhu kurang atau lebih dari kisaran suhu tersebut kecepatan nitrifikasi berkurang. Kadar nitrat lebih dari 5 mg/liter menggambarkan terjadinya pencemaran oleh feses ikan. Kadar nitrat di perairan yang tidak tercemar biasanya lebih tinggi daripada amonium. Nitrat tidak bersifat toksik terhadap organisme akuatik. Kandungan amonia dan nitrit dapat dikurangi ataupun dihilangkan dengan cara pergantian air, pemberian aerasi, penguapan, maupun reaksi kimia dengan oksigen. Nitrat dan amonium merupakan sumber utama nitrogen di perairan. Namun amonium lebih disukai oleh tumbuhan. Nitrat dapat digunakan untuk mengelompokan tingkat kesuburan perairan. Perairan oligotrofik memiliki kadar nitrat antara 0-1 mg/lt, perairan mesotropik memiliki kadar nitrat yang berkisar antara 1-5 mg/lt dan perairan eutrofik memiliki kadar nitrat yang berkisar antara 5-50 mg/lt (Volenwider, 1969 dalam Wetsel, 1975

Dokumen terkait