• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyuluhan Pertanian

Jika melihat dari sejarah, penyuluhan itu berawal dari suatu sistem pertukaran informasi mengenai pertanian (agricultural information exchange) yang dengan tujuan untuk meningkatkan hasil pertanian. Hal ini sudah dilakukan oleh Mesir kuno, Mesopotamia, dan Yunani (Leeuwis 2004).

Dalam bahasa Inggris, istilah penyuluhan menggunakan istilah extention. Penggunaan istilah ini berawal dari university extension atau extension of the university yang merupakan kegiatan staf pengajar dari universitas untuk menyebarkan informasi dan ilmu pengetahuan tentang pertanian kepada masyarakat non-universitas (Leeuwis 2004).

Penggunaan extension akhirnya lebih lazim digunakan terutama untuk penyuluhan pertanian (agricultural extension). Penggunaannya berkembang ke bidang-bidang lain keluarlah istilah Extension Education, Development Communication atau Development Extension (Penyuluhan Pembangunan) (Hafsah 2009).

Kartasapoetra (1991) menyatakan bahwa: “Penyuluhan pertanian adalah suatu usaha atau upaya untuk mengubah perilaku petani dan keluarganya, agar mereka mengetahui dan mempunyai kemauan serta mampu memecahkan masalahnya sendiri dalam usaha atau kegiatan-kegiatan meningkatkan hasil usahanya dan tingkat kehidupannya”.

Di Indonesia istilah “penyuluhan”, berasal dari akar kata “suluh” yang berarti obor (torch). Istilah ini sejalan dengan istilah yang digunakan di Belanda yaitu voorlichting, yang berarti “menerangi jalan di depan agar orang dapat menemukan jalannya sendiri”, sama seperti fungsi obor. Atau dengan kata lain, penyuluhan adalah upaya untuk membantu orang menemukan jalan keluar atas persoalan yang dihadapi (enlightenment) (Leeuwis 2004).

Konsep enlightenment inilah yang mengawali pengertian penyuluhan, dimana digambarkan bahwa ada seseorang yang secara akademik memadai memberikan pencerahan kepada orang-orang awam agar mereka bisa melihat

jalan yang lebih baik untuk diri mereka sendiri. Pengertian seperti ini, jelas-jelas menunjukkan dimensi pendidikan (edukasi) dari penyuluhan, walau masih bersifat paternalistik dimana seorang penyuluh datang sebagai orang yang mengajarkan sesuatu yang baru kepada peserta penyuluhan, sedangkan peserta penyuluhan hanya bersifat pasif mendengarkan dan berusaha memahami (Leeuwis 2004). Van den Ban dan Hawkins (1999) mengatakan bahwa: Penyuluhan merupakan keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sesamanya memberikan pendapat sehingga bisa membuat keputusan yang benar.

Mengenai pengertian penyuluhan penulis setuju dengan pendapat Slamet (2003), sebagai berikut:

“Suatu pendidikan yang bersifat non formal yang bertujuan untuk membantu masyarakat/petani merubah perilakunya dalam hal pengetahuan, keterampilan dan sikap agar mereka dapat memecahkan masalah yang dihadapinya guna mencapai kehidupan yang lebih baik”. Tujuan utama dari penyuluhan pertanian adalah mempengaruhi para petani dan keluarganya agar berubah perilakunya sesuai dengan yang diinginkan, yaitu perbaikan mutu hidup dari para keluarga tani. Penyuluh pertanian yang efektif adalah yang dapat menimbulkan perubahan informasi atau perolehan informasi baru kepada petani, memperbaiki kemampuan atau memberi kemampuan dan kebiasaan baru petani dalam upaya memperoleh sesuatu yang mereka kehendaki.

Undang–undang No.16 Tahun 2006 tentang sistem penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan merumuskan bahwa: “Penyuluhan pertanian adalah proses pembelajaran bagi para pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktifitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian lingkungan hidup”. Mardikanto (2009) menyatakan, penyuluhan sebagai proses pendidikan atau proses belajar diartikan bahwa, kegiatan penyebarluasan informasi dan penjelasan yang diberikan dapat merangsang terjadinya proses perubahan perilaku yang dilakukan melalui proses pendidikan atau kegiatan belajar. Artinya, perubahan perilaku yang terjadi/dilakukan oleh sasaran tersebut berlangsung melalui proses belajar.

Penyuluh Pertanian

Undang–undang Nomor 16 Tahun 2006, penyuluh pertanian, penyuluh perikanan, atau penyuluh kehutanan, baik penyuluh PNS, swasta maupun swadaya yang selanjutnya disebut penyuluh adalah perorangan warga Negara Indonesia yang melakukan kegiatan penyuluhan. Penyuluh pegawai negeri sipil yang selanjutnya disebut penyuluh PNS adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang pada satuan organisasi lingkup pertanian, perikanan, atau kehutanan untuk melakukan kegiatan penyuluhan. Penyelenggaraan penyuluhan dapat dilaksanakan

oleh pelaku utama (petani) dan atau warga masyarakat sebagai mitra pemerintah dan pemerintah daerah, baik secara sendiri-sendiri maupun bekerja sama, yang dilaksanakan secara terintegrasi dengan programa pada tiap-tiap tingkatan administrasi pemerintah (Departemen Pertanian 2012).

Peranan dari penyuluh pertanian sebagai fasilitator, motivator dan sebagai pendukung gerak usaha petani merupakan titik sentral dalam memberikan penyuluhan kepada petani akan pentingnya berusahatani dengan memperhatikan kelestarian dari sumberdaya alam. Kesalahan dalam memberikan penyuluhan kepada petani akan menimbulkan dampak negatif dan merusak lingkungan. Penyuluh sebagai motivator berperan mendorong petani mandiri melakukan perubahan dengan menggunakan ide baru untuk memperbaiki taraf hidupnya. Penyuluh adalah seorang profesional yang bergerak di garis depan yang berinisiatif melakukan perubahan, membantu masyarakat sasaran melaksanakan aktivitas usahataninya, memperkenalkan dan menyebarkan ide–ide baru, mendorong partisipasi dan mendukung kepentingan masyarakat sasaran (Mardikanto 2009).

Penyuluh pertanian lebih luas dan lebih jauh dari sekedar kegiatan penerangan. Penyuluh melibatkan proses komunikasi umpan balik dan ada evaluasi terhadap perubahan perilaku yang dicapai pada diri sasaran (Slamet 2000). Proses penyelenggaraan penyuluhan pertanian dapat berjalan dengan baik dan benar apabila didukung dengan tenaga penyuluh yang profesional, kelembagaan penyuluh yang handal, materi penyuluhan yang terus-menerus mengalir, sistem penyelenggaraan penyuluhan yang benar serta metode penyuluhan yang tepat dan manajemen penyuluhan yang polivalen (Warya 2008).

Penyuluhan pertanian sebagai suatu proses pembelajaran seharusnya menjadi jembatan bagi pelaku utama dan usaha pertanian dari tidak tahu menjadi tahu terhadap suatu inovasi. Rogers dan Shoemaker (1985) mendefinisikan inovasi sebagai gagasan, tindakan atau barang yang dianggap baru oleh seseorang. Dikatakannya ada empat unsur penting dalam proses penyebaran (difusi) suatu inovasi yaitu: (1) inovasi: (2) yang dikomunikasikan melalui saluran tertentu: (3) dalam jangka waktu tertentu: kepada (4) anggota suatu sistem sosial. Di dalam mengkomunikasikan suatu inovasi ke dalam suatu sistem sosial itulah dibutuhkan agen pembaharu. Fungsi utama agen pembaharu adalah menjadi mata rantai penghubung antara dua sistem sosial atau lebih. Penyuluh pertanian sebagai salah satu komponen agen pembaharu merupakan penghubung mata rantai antara petani dengan lembaga lain yang terkait dengan aktivitas usahatani. Agen pembaharu berperan sebagai tangan-tangan lembaga pembaharu, yakni instansi pemerintah atau organisasi yang bertujuan untuk mengadakan perubahan di masyarakat ke arah kemajuan.

Mardikanto (1993) menyatakan bahwa semula peran utama penyuluh adalah menyampaikan inovasi dan mempengaruhi sasaran penyuluhan melalui teknik dan metode tertentu sehingga mereka sadar dan mampu mengadopsi inovasi yang disampaikan. Namun sesuai dengan perubahan kondisi maka peran penyuluh pertanian mengalami pergeseran meliputi: penyampai inovasi, mempengaruhi keputusan sasaran, menjadi jembatan penghubung antara pemerintah dan lembaga penyuluhan dengan petani, serta menggerakkan masyarakat agar mau berubah.

Padmowiharjo (2001) mempertegas bahwa peran penyuluhan hendaknya memberikan penekanan pada aspek pendidikan, bukan pelayanan, dalam program

pembangunan masyarakat. Pendidikan membantu masyarakat bagaimana mengerjakan sesuatu bagi mereka sendiri, sedangkan pelayanan adalah mengerjakan sesuatu untuk masyarakat. Pendidikan menjadikan masyarakat percaya diri, pelayanan menjadikan masyarakat tergantung pada orang lain. Rogers dan Shoemaker (1985) menyatakan ada tujuh peran agen pembaharu dalam memperkenalkan inovasi kepada kliennya:

a. Membangkitkan kebutuhan untuk berubah. Ini berarti agen pembaharu berperan sebagai katalisator bagi kebutuhan kliennya. Dalam memulai proses perubahan agen pembaharu dapat mengemukan alternatif baru dalam mengatasi permasalahan yang ada. Bila perlu dapat juga mendramatisir permasalahan sehingga kliennya merasa yakin bahwa inovasi yang disodorkan memang betul-betul mampu memecahkan masalah mereka.

b. Mengadakan hubungan untuk perubahan. Begitu kebutuhan untuk berubah telah tumbuh maka agen pembaharu harus membuka hubungan secara fisik dan sosial dengan kliennya, sebelum mereka diminta menerima inovasi yang dipromosikan.

c. Mendiagnosa masalah. Agen pembaharu harus mampu menganalisis kebutuhan kliennya untuk menyatakan bahwa cara-cara yang sekarang digunakan kliennya sudah tidak mampu lagi mengatasi masalah yang ada, untuk itu secara psikologis ia harus terjun ke dalam situasi klien agar dapat melihat dunia klien menurut pandangan klien itu sendiri.

d. Mendorong atau menciptakan motivasi untuk berubah pada diri klien. Agen pembaharu harus membangkitkan motivasi untuk mengadakan perubahan serta menimbulkan dorongan untuk menerima, atau setidak-tidaknya menaruh minat, terhadap inovasi yang ditawarkan.

e. Merencanakan tindakan pembaharuan. Agen pembaharuan hendaknya berusaha mempromosikan pelaksanaan yang disarankannya. Klien diharapkan tidak hanya menyetujui atau menaruh minat terhadap inovasi tetapi termasuk merencanakan tindakan dalam pelaksanaan pembaharuan.

f. Memelihara program pembaharuan dan mencegahnya dari kemacetan. Agen pembaharu diharapkan dapat memberikan berbagai informasi penunjang agar klien tetap merasa aman dan terasa segar melaksanakan pembaharuan.

g. Mencapai hubungan terminal. Tujuan akhir dari tugas agen pembaharu adalah berkembangnya perilaku “memperbarui diri sendiri” pada kliennya. Untuk itu agen pembaharu harus berusaha agar kliennya dapat mengembangkan diri sehingga dapat berperan sebagai agen pembaharu, paling tidak untuk dirinya sendiri.

Seorang penyuluh sesungguhnya adalah sebagai agen perubahan (change agent). Menurut Lippit et al. (1958) ada lima peran agen perubahan di dalam proses perubahan pada suatu masyarakat yaitu:

a. Melakukan mediasi dan mendorong hubungan baru di dalam sistem klien. Agen perubahan hendaklah mampu mendorong terciptanya hubungan baru antar bagian yang ada di dalam sistem dan mereorganisasi hubungan lama. Hubungan baru yang lebih kondusif ini diperlukan untuk memungkinkan adanya perubahan di dalam masyarakat.

b. Menunjukkan pengetahuan keahlian dalam prosedur. Agen perubahan harus mampu meyakinkan kliennya bahwa prosedur perubahan yang ia tawarkan betul-betul dapat digunakan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Agen

perubahan dapat melakukan hal ini dengan memperkenalkan pengalamannya sehingga memungkinkan kliennya dapat menggali sendiri pengetahuan dan pengalaman yang ada di lingkungan mereka.

c. Mendorong kekuatan dari dalam. Perubahan di dalam masyarakat sering menimbulkan konflik yang dapat menggagalkan proses perubahan itu. Oleh karenanya harus didorong munculnya kekuatan dari dalam sistem yang ada agar dapat menciptakan suasana yang kondusif untuk perubahan.

d. Menyediakan lingkungan khusus. Ada kalanya klien tidak bisa mengembangkan dirinya dalam lingkungan yang ada, oleh karena itu harus diciptakan lingkungan khusus yang memungkinkan mereka dapat belajar misalnya membentuk kelompok diskusi atau mengunjungi tempat tertentu. e. Memberikan dukungan selama proses perubahan. Proses sering membutuhkan

waktu yang panjang dan kompleks, oleh karena itu agen perubahan harus memberikan dukungan agar kliennya merasa yakin bahwa perubahan yang dilakukan merupakan suatu hal yang dapat terlaksana.

Karakteristik Internal Penyuluh

Sumardjo (1999) membagi faktor internal penyuluh seperti: tingkat kekosmopolitan, pengalaman bekerja sebagai penyuluh, motivasi, persepsi, kesehatan dan karakteristik sosial ekonomi. Padmowiharjo (2000) menyebutkan beberapa faktor kararakteristik individu yang mempengaruhi proses belajar yaitu: umur, jenis kelamin, kesehatan, sikap mental, kematangan mental, kematangan fisik, dan bakat.

Spencer dan Spencer (1993) mengatakan bahwa karakteristik individu yang dapat membentuk kompetensi dan menciptakan kinerja yang baik adalah: (1) motif individu, (2) ciri-ciri fisik, (3) konsep diri, (4) pengetahuan, dan (5) kemampuan teknis. Rogers dan Shoemaker (1985) menegaskan bahwa sifat-sifat penting (karakteristik personal) agen pembaharu yang berperan dalam adopsi inovasi adalah: (1) kredibilitas, yang merujuk pada kompetensi, tingkat kepercayaan, dan kedinamisan agen pembaharu yang dirasakan oleh masyarakat sasaran, (2) kedekatan hubungan dan rasa memiliki antara agen pembaharu masyarakat sasaran, (3) sifat-sifat pribadi yang dimiliki seperti kecerdasan, rasa empati, komitmen, tingkat perhatian pada petani, kemampuan komunikasi, keyakinan dan orientasinya pada pembangunan.

Huda (2010) menyatakan bahwa umur merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi efisiensi belajar, karena akan berpengaruh terhadap minatnya pada macam pekerjaan tertentu sehingga umur seseorang juga akan berpengaruh terhadap motivasinya untuk belajar. Mardikanto (1993) mengatakan bahwa umur akan berpengaruh kepada tingkat kematangan seseorang (baik kematangan fisik maupun emosional) yang sangat menentukan kesiapannya untuk belajar. Selaras dengan hal tersebut Mardikanto (2009) mengemukakan bahwa sesuai dengan bertambahnya umur, seseorang akan menumpuk pengalaman-pengalamannya yang merupakan semberdaya yang sangat berguna bagi kesiapannya untuk belajar lebih lanjut.

Masa kerja berkaitan erat dengan pengalaman kerja. Pengalaman adalah segala sesuatu yang muncul dalam riwayat hidup seseorang. Pengalaman seseorang menentukan perkembangan keterampilan, kemampuan, dan kompetensi. Pengalaman seseorang bertambah seiring dengan bertambahnya usia. Pengalaman seseorang dapat diukur secara kuantitatif berdasarkan jumlah tahun seseorang bekerja dalam bidang yang dijalani (Bandura 1986).

Menurut Padmowiharjo (2004) pengalaman adalah suatu kepemilikian pengetahuan yang dialami seseorang dalam kurun waktu yang tidak ditentukan. Pengaturan pengalaman yang dimiliki seseorang sebagai hasil belajar selama hidupnya dapat digambarkan dalam otak manusia. Seseorang akan berusaha menghubungkan hal yang dipelajari dengan pengalaman yang dimiliki dalam proses belajar. Pengalaman kerja merupakan penentu yang lebih besar terhadap perilaku seseorang. Gagne (1967) mengatakan bahwa, pengalaman adalah akumulasi dari proses belajar yang dialami seseorang, kemudian menjadi pertimbangan-pertimbangan baginya dalam menerima ide-ide baru.

Pengalaman kerja menyediakan tidak hanya pengetahuan tetapi juga kegiatan praktek langsung dalam bidangnya. Padmowiharjo (1994) menambahkan bahwa pengalaman baik yang menyenangkan maupun yang mengecewakan, akan berpengaruh pada proses belajar seseorang. Seseorang yang pernah mengalami keberhasilan dalam proses belajar, maka dia akan memiliki perasaan optimis akan keberhasilan dimasa mendatang. Sebaliknya seseorang yang pernah mengalami pengalaman yang mengecewakan, maka dia telah memiliki perasaan pesimis untuk dapat berhasil. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa, hakekat pendidikan adalah untuk meningkatkan kemampuan manusia agar dapat mempertahankan bahkan memperbaiki mutu keberadaannya agar menjadi semakin baik. Gilley dan Eggland (1989) menjelaskan bahwa, konsep behavioristik dari kinerja manusia dan konsep pendidikan menjadi dasar bagi pengembangan sumberdaya manusia. Orientasi ini menekankan pada pentingnya pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi organisasi.

Slamet (2003) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin tinggi pula pengetahuan, sikap dan keterampilan, efisien bekerja dan semakin banyak tahu cara-cara dan teknik bekerja yang lebih baik dan lebih menguntungkan. Sejalan dengan pendapat tersebut. Bahua (2010) menyatakan bahwa pendidikan formal yang diikuti penyuluh dapat mempengaruhi kinerja penyuluh, karena dengan pendidikan formal seorang penyuluh dapat meningkatkan kinerjanya sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.

Peran media massa seperti surat kabar, majalah, radio, televisi dan internet sangat penting dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat. Media tersebut selain untuk sumber informasi, juga untuk menyampaikan gagasan, pendapat dan perasaan kepada orang lain (Van den Ban dan Hawkins 1999). Dengan media pertukaran interpersonal lebih langsung untuk sinkronisasi diantara pihak-pihak yang berkomunikasi dapat terjadi, yakni media dimana pengirim dan penerima dapat dengan mudah berubah peran (Leeuwis 2004).

Dalam pelaksanaan pembangunan pedesaan sangat diperlukan berbagai sumberdaya, termasuk media massa. Media masa diperlukan karena dapat menimbulkan suasana yang kondusif bagi pembangunan dan dapat memotivasi

masyarakat serta menggerakan warga masyarakat desa untuk berpartisipasi dalam pembangunan (Jahi 2008).

Pengertian kelompok menurut Slamet dan Sumardjo (2010) bahwa sebuah kelompok adalah dua individu atau lebih yang berinteraksi tatap muka (face to face interaction), yang masing-masing menyadari keanggotaannya dalam kelompok, masing-masing menyadari keberadaan orang lain yang juga anggota kelompok, dan masing-masing menyadari saling ketergantungan secara positif dalam mencapai tujuan bersama. Kelompok tani, menurut Mardikanto (1993) diartikan sebagai kumpulan orang-orang tani atau petani, yang terdiri atas petani dewasa (pria/wanita) maupun petani taruna (pemuda/i), yang terikat secara informal dalam suatu wilayah kelompok atas dasar keserasian dan kebutuhan bersama serta berada di lingkungan pengaruh dan pimpinan seorang kontak tani.

Menurut Slamet (2001) bahwa salah salah satu kelemahan penyelenggaraan penyuluhan yang muncul pada periode 1986-1991 jumlah kelompok binaan penyuluh yang semula sekitar 16 kelompok dengan luas wilayah kerja penyuluh meliputi tiga sampai empat desa karena jangkauan geografis dan sosiologisnya makin, maka hanya sekitar 5–8 kelompok saja yang dapat "dibina" secara relatif intensif oleh penyuluh pertanian lapangan (PPL). Artinya tingkat kinerja penyuluh pertanian dikatakan baik apabila penyuluh tersebut mampu membina lima sampai delapan kelompok tani dalam satu wilayah kerja. Berdasarkan pada berbagai pendapat dan teori tentang karakteristik internal tersebut, maka dapat disintesakan/disimpulkan bahwa karakteristik internal penyuluh merupakan sifat-sifat yang dimiliki seorang penyuluh pertanian yang berhubungan dengan aspek kehidupan dan lingkungannya, dengan faktor-faktor karakteristik meliputi: umur, masa kerja, pendidikan formal, pemanfaatan media, dan jumlah kelompok yang dibina.

Karakteristik Eksternal Penyuluh

Sumardjo (1999) mengatakan selain faktor internal, faktor eksternal juga mempengaruhi kesiapan penyuluh dalam mendukung pertanian yang berkelanjutan. Menurutnya, faktor eksternal tersebut meliputi: dukungan kelembagaan penyuluhan, sistem nilai, sarana informasi/inovasi terjangkau, potensi lahan dan dukungan lembaga pelayanan. Banyak pengamat dan penyuluh pertanian berpendapat, bahwa pada periode 1991-1996 terjadi stagnasi atau kemunduran penyelenggaraan penyuluhan pertanian, bahkan sebagian mengatakan sebagai kehancuran penyuluhan pertanian.

Menurut Slamet (2001) bahwa administrasi kepegawaian pada masa ini dikelola secara terpisah oleh masing-masing subsektor, yang menyebabkan perbedaan perlakuan sesama penyuluh dalam karirnya. Sistem manajemen organisasi yang mendukung karyawan seperti adanya administrasi yang baik dan rapi, tunjangan finansial yang mendukung, sistem reward yang jelas, promosi jabatan, sistem penggajian yang adil, serta sistem pendidikan dan pelatihan yang terus berkesinambungan akan menimbulkan profesionalisme yang tinggi bagi seorang karyawan dalam mengoptimalkan kinerjanya (Wibowo 2007).

Slamet (2001) berpendapat bahwa melemahnya kemampuan penyuluh selain disebabkan oleh faktor pengkotakan dalam kelembagaan penyuluhan, juga

disebabkan oleh kurangnya fasilitas penyuluh untuk menjangkau petani. Mardikanto (2009) mengemukakan bahwa upaya-upaya perubahan usahatani yang disampaikan oleh penyuluh kepada petani sangat bergantung pada ketersediaan sarana produksi dan peralatan (baru) dalam bentuk jumlah, mutu dan waktu yang tepat. Jika sarana ini tersedia, maka keberhasilan penyuluh akan tercapai. Van den Ban dan Hawkins (1999) berpendapat bahwa ketidaktersedianya sarana penunjang untuk kegiatan penyuluhan menimbulkan masalah bagi seorang penyuluh yang kehilangan kepercayaan dari petani karena dianggap tidak mampu menyediakan sarana yang mereka butuhkan.

Persoalan keterbatasan fasilitas kerja menurut Hubeis (2008) merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi etos kerja seorang pekerja. Penyuluh sebagai pekerja lapangan memang seharusnya memerlukan bantuan fasilitas kerja yang memadai. Untuk meningkatkan kinerja penyuluh pertanian di lapangan perlu dukungan dan partisipasi aktif dari pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya khususnya dalam pembiayaan, sarana dan prasarana, dengan ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai, maka keberadaan dan peran aktif penyuluh akan semakin terlihat di lapangan.

Lingkungan kerja yang aman, tertib dan terkendali memberi ketentraman bagi penyuluh pada saat bertugas, siang hari atau malam hari. Penyuluh pertanian umumnya tidak mengenal waktu kerja, dan siap membantu kelompok binaan kapan saja diperlukan, karena hal tersebut sangat berkaitan dengan minat mereka. Artinya semakin tinggi minat penyuluh dalam bertugas dan diikuti dengan lingkungan kerja yang aman dan tentram, maka produktivitas kerjanya juga semakin tinggi (Hubeis 2008).

Unsur lingkungan yang mempengaruhi kinerja penyuluh adalah bagaimana suasana kerja yang mempengaruhi diri seorang penyuluh pertanian dalam melakukan pekerjaannya. Lingkungan organisasi (organisasi penyuluhan pertanian) dan wilayah tempat penyuluh pertanian bekerja adalah dua aspek yang mempengaruhi kinerja seorang penyuluh pertanian (Wibowo 2007). Lingkungan kerja yang memiliki gaya kepemimpinan yang partisipatif dan demokratis juga sangat mempengaruhi kinerja staf/karyawan. Van den Ban dan Hawkins (1999) mengemukakan bahwa tingkat kinerja seorang penyuluh akan sangat bergantung pada karakteristik pimpinan suatu organisasi penyuluhan. Gaya kepemimpinan yang partisipatif akan mampu mendorong kinerja staf/penyuluh demi tercapainya sasaran organisasi. Gaya kepemimpinan menurut Margono Slamet (2010), adalah kepemimpinan yang tidak statis, tetapi fleksibel yang mengalir seperti air yang mengikuti situasi permukaan. Gaya kepemimpinan yang diharapkan penyuluh selama 30 tahun terakhir mempunyai kecenderungan yang kuat berkembangnya gaya kepemimpinan yang lebih demokratis (Van den Ban dan Hawkins 1999).

Wilayah kerja penyuluhan pertanian, pada umumnya tidak cukup memiliki pelayanan sosial yang memadai. Karena itu, seringkali sulit untuk mengangkat penyuluh-penyuluh yang andal yang mau ditugaskan di wilayah yang sulit untuk jangka waktu yang lama. Konsekuensinya adalah kita akan berhadapan dengan sejumlah besar penyuluh dengan kualifikasi rendah, atau menggunakan sedikit penyuluh yang andal (Mardikanto 1993). Tjiptropranoto (2003) menjelaskan, bahwa kegiatan penyuluhan pertanian perlu memperhitungkan perbedaan lingkungan sumberdaya alam dan iklim pada lokasi petani tersebut berada. Kondisi lokasi tugas yang berbeda berpengaruh pada efektivitas dan efisiensi

kegiatan penyuluhan. Penyuluh yang bertugas di wilayah dataran rendah dan sedang akan lebih mudah dan cepat melakukan pembinaan pada petani, dibandingkan dengan yang bertugas di wilayah dataran tinggi, dengan demikian keterjangkauan daerah tempat bekerja akan berpengaruh pada kinerja penyuluh pertanian.

Partisipasi sebagaimana dikemukakan oleh Bank Dunia (Leeuwis 2004) adalah suatu proses dimana pemangku kepentingan mempengaruhi dan berbagai kontrol terhadap inisiatif pembangunan dan keputusan serta sumberdaya yang mempengaruhi. Pengertian ini mengandung makna mempengaruhi dan berbagi tentang inisiatif, keputusan dan sumberdaya. Sumardjo (2010) mengemukakan bahwa partisipasi rakyat dalam pembangunan bukanlah berarti pengerahan tenaga rakyat secara sukarela, tetapi justru yang lebih penting adalah tergeraknya kesadaran rakyat untuk mau memanfaatkan kesempatan-kesempatan memperbaiki kualitas kehidupan diri, keluarga dan masyarakatnya. Kinerja seorang penyuluh dikatakan baik apabila keberadaan dan kegiatan atau program yang disampaikannya selalu mendapat dukungan dan partisipasi aktif seluruh

Dokumen terkait