• Tidak ada hasil yang ditemukan

Instalasi Karantina Hewan

Instalasi Karantina Hewan (IKH) adalah tempat untuk melakukan tindakan karantina (pemeriksaan, pengamatan, pengambilan sampel, dan penyimpanan sementara hewan dalam masa karantina) terhadap hewan sebelum dinyatakan dapat dibebaskan maupun ditolak untuk dimasukkan dan diedarkan. IKH secara fisik terdiri dari lahan, bangunan, peralatan, fasilitas, dan sarana pendukung yang dirancang sedemikian rupa sehingga layak digunakan sebgai tempat melakukan tindakan karantina. Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor 501/Kpts/PD.670.210/L/12/2008 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Instalasi Karantina Hewan Untuk Satwa Primata, Instalasi Karantina Hewan (IKH) memiliki persyaratan sebagai berikut:

a. Lokasi

Pemilihan lokasi IKH dilakukan oleh Dokter Hewan Karantina untuk menjamin aspek biosecurity, biosafety alat angkut dan rute perjalanan dari tempat pengeluaran menuju IKH sehingga proses ini berlangsung aman, tidak menularkan penyakit, dan sesuai kaidah kesejahteraan hewan. Selain itu harus diperhitungkan jarak IKH dengan lalu lintas umum, pemeliharaan hewan sejenis, dan pemukiman penduduk. Lokasi IKH harus dilengkapi dengan pagar keliling yang terbuat dari bahan kuat (tembok, besi galvanis, dan kawat) serta memiliki disain yang dapat mencegah masuk dan keluarnya hama dan penyakit hewan karantina serta orang yang tidak berkepentingan.

b. Sarana Utama

Sarana utama fasilitas karantina terdiri dari ruang karantina (isolasi), ruang tindakan medis, sumber air minum, ruang pakan, ruang perlengkapan, sarana suci hama, tempat bedah bangkai, sarana penampungan limbah, sarana pengolahan limbah, sarana pemusnahan limbah, sumber listrik, sarana MCK untuk petugas karantina, dan ruang istirahat. Seluruh fasilitas terutama area yang akan dilalui hewan dan ruang hewan harus dibuat dari bahan yang mudah dibersihkan, berpermukaan rata, tidak berpori, tahan air, tidak mengandung komponen beracun, kuat, dan tidak mudah rusak.

c. Sarana Penunjang

Sarana penunjang adalah sarana yang dapat menunjang kelancaran pelaksanaan kegiatan di Instalasi Karantina Hewan meliputi jalan khusus menuju instalasi, papan nama, area parkir kendaraan, pos satpam, kantor, sarana MCK dan mushola untuk umum, rumah jaga (mess), peralatan pemberian pakan, peralatan kebersihan kandang. Personil yang diperbolehkan masuk ke IKH harus dibatasi dimana hanya personil berkepentingan dengan seizin dan sepengetahuan Dokter Hewan Karantina yang diperbolehkan masuk dan telah bebas tuberkulosis berdasarkan uji penapisan (rontgen paru yang tidak melebihi 6 bulan).

Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dapat ditemui di berbagai daerah di Indonesia di antaranya di Simeulue, Sumatra, Nias,, Bangka, Belitung, Jawa, Karimunjawa, Bawean, Bali, Kalimantan, Kangean, Karimata, Lombok, Nusa Tenggara, , Sumba, Sumbawa, dan Timor. Populasi Monyet Ekor Panjang secara umum masih dianggap aman sehingga IUCN Redlist mengkategorikannya dalam status Least Concern. Dan oleh CITES didaftar sebagai Apendiks II. Populasi monyet ekor panjang yang sangat tinggi jumlahnya ini menjadikannya hama bagi masyarakat disekitar habitatnya. Di sisi lain monyet ini sangat bermanfaat sebagai komoditas ekpor untuk kepentingan laboratorium yang digunakan sebagai hewan model biomedis. Secara Anatomi dan Fisiologi monyet ini dengan manusia sehingga sangat sesuai di jadikan hewan percobaan. Pemanfaatan Macaca fascicularis khususnya untuk pasar ekspor telah diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 26/Kpts-II/94 tanggal 20 Januari 1994 tentang Pemanfaatan Jenis Kera Ekor Panjang (Macaca Fascicularis), Beruk (Macaca Nemestrina) dan Ikan Arwana (Scleropagus Formosus) untuk Keperluan Ekspor. Yang mana dalam peraturan ini pemanfaatanMacaca fascicularis untuk keperluan ekspor harus berasal dari hasil penangkaran.

Jumlah penyakit yang ditularkan satwa primata ke manusia lebih banyak dibandingkan dengan hewan lainnya karena kesamaan filogenetik antara primata non manusia dengan manusia. Penyebaran zoonosis dari primata ke manusia

dapat disebabkan kontak langsung manusia dengan primata seperti B virus encephalomyelitis, perpindahan primata dari habitat aslinya ke lingkungan pemukiman yang padat manusia seperti Urban yellow fever, dan transmisi agen zoonosis dari primata ke manusia yang kemudian menyebar antar manusia (species jumping) seperti HIV (AIDS). Beberapa penyakit yang dapat menginfeksi primate dan bersifat zoonosis adalah: Cercopitheinae Herpes Virus (CHV-1), Simian Immunodeficiency Virus (SIV), Virus hepatitis B, Tuberculosis (TB) Herpes Simiae (Herpes virus B), HIV AIDS, B virus encephalomyelitis, dan Urban yellow fever (Chomel & Lerche 2004).

Kesejahteraan Hewan (Animal Welfare)

Kesejahteraan Hewan atau animal welfare adalah suatu keadaan fisik dan psikologi hewan sebagai usaha untuk mengatasi lingkungannya. Berdasarkan UU No.18 tahun 2009 animal welfare adalah segala urusan yang berhubungan dengan keadaan fisik dan mental hewan menurut ukuran perilaku alami hewan yang perlu diterapkan dan ditegakkan untuk melindungi hewan dari perlakuan setiap orang yang tidak layak terhadap hewan yang dimanfaatkan manusia. Animal welfare mencakup tiga aspek penting yaitu : Ilmu kesejahteraan hewan, etika dan hukum.

Welfare science mengukur efek reaksi pada hewan dalam situasi dan lingkungan berbeda, dari sudut pandang hewan. Welfare ethics mengenai bagaimana manusia sebaiknya memperlakukan hewan. Welfare law mengenai bagaimana manusia harus memperlakukan hewan.

Animal welfare tentang kepedulian dan perlakuan manusia pada masing- masing satwa, dalam meningkatkan kualitas hidup satwa secara individual. Sasaran animal welfare adalah semua hewan yang berinteraksi dengan manusia dimana intervensi manusia sangat mempengaruhi kelangsungan hidup hewan, bukan yang hidup di alam. Dalam hal ini adalah hewan liar dalam kurungan (lembaga konservasi, entertainment, laboratorium), hewan ternak dan hewan potong (ternak besar/kecil), hewan kerja dan hewan kesayangan.

Menurut Dallas (2006) dan Webster J (2003), kesejahteraan hewan dapat diukur dengan indikator yang dirumuskan sebagai prinsip lima Kebebasan (Five of Freedom), yang dicetuskan oleh Inggris sejak tahun 1992. Kelima faktor dari

lima kebebasan saling berkait dan akan berpengaruh pada semua faktor apabila salah satu tidak terpenuhi atau terganggu. Lima indikator kebebasan tersebut adalah:

1. Bebas dari rasa lapar dan haus 2. Bebas dari rasa tidak nyaman

3. Bebas dari rasa sakit, luka dan penyakit 4. Bebas mengekspresikan perilaku normal 5. Bebas dari rasa stres dan tertekan. .

1. Bebas dari rasa lapar dan haus

Bebas dari rasa lapar dan haus dimaksudkan sebagai kemudahan akses akan air minum dan makanan yang dapat mempertahankan kesehatan dan tenaga. Makanan dan minuman merupakan kebutuhan pertama dalam hidup sehingga ditempatkan pada urutan pertama karena ini sangat mendasar dan tidak dapat ditolelir. Lapar dan haus merupakan kondisi saat hewan terstimulir untuk makan dan minum. Dalam hal ini hewan diwajibkan mendapatkan pakan yang sesuai dengan spesies dan keseimbangan gizinya. Apabila keadaan ini gagal dipenuhi maka akan memicu timbulnya penyakit dan penderitaan.

2. Bebas dari rasa tidak nyaman

Bebas dari rasa tidak nyaman dipenuhi dengan penyediaan lingkungan yang layak dan nyaman. Apabila keadaan ini gagal dipenuhi maka akan menimbulkan penderitaan dan rasa sakit secara mental yang akan berdampak pada kondisi fisik dan psikologi hewan (stres), kondisi stres akan mempengaruhi kondisi kesehatan hewan. Faktor penyebab stres (stressor) akan mengubah kekebalan secara langsung sehingga lebih rentan terhadap infeksi agen penyakit serta mempengaruhi metabolisme hewan sehingga memperburuk penampilan hewan sehingga terlihat kurus (Blecha 2000).

3. Bebas dari rasa sakit, luka dan penyakit

Sehat pada hewan secara individu dapat didefinisikan sebagai kondisi dimana tidak ditemukan adanya simptom penyakit. Penyakit disebabkan oleh kekeliruan manusia dalam pemeliharaan hewan, meliputi kejadian malnutrisi, trauma, dan infeksi selama masa karantina. Kebebasan ini diwujudkan melalui

upaya pencegahan penyakit atau diagnosa dan penanganan yang cepat. Kondisi ini dipenuhi melalui penerapan pemeriksaan medis yang reguler. Apabila kondisi ini terabaikan maka akan memicu timbulnya penyakit dan ancaman transmisi penyakit baik pada hewan lain maupun manusia.

4. Bebas mengekspresikan perilaku normal

Hewan memiliki kebiasaan atau perilaku yang khas. Dalam asa karantina yang diawasi oleh petugas, hewan Macaca fascicularis memiliki kesempatan yang terbatas untuk mengekspresikan perilaku normalnya. Kebebasan dalam mengekspresikan perilaku normal diwujudkan dengan penyediaan ruang yang cukup, fasilitas yang tepat. Apabila keadaan ini tidak terpenuhi maka akan muncul perilaku abnormal dan berakhir dengan gangguan fisik lainnya.

5. Bebas dari rasa stres dan tertekan.

Faktor terakhir adalah bebas dari rasa takut dan tertekan yaitu memberikan kondisi dan perlakuan yang mencegah penderitaan mental. Stres merupakan respon adaptasi dan penyesuaian hewan terhadap tantangan lingkungan. Stres selalu hadir (Philips 2002, Cock et al. 2002, Woffle 2000). Stres umumnya diartikan sebagai antitesis daripada sejahtera. Distress merupakan kondisi lanjutan dari stress yang mengakibatkan perubahan patologis. Lebih lanjut kondisi ini terlihat pada respon perilaku seperti menghindar dari stressor (contoh: menghindar dari temperatur dingin ke tempat yang lebih hangat dan sebaliknya), menunjukkan perilaku displacement (contoh; menunjukkan perilaku display yang tidak relevan terhadap situasi konflik dimana tidak ada fungsi nyata), dan bila tidak ditangani akan muncul perilaku stereotipik yang merupakan gerakan pengulangan dan secara relatif kelangsungan gerakan tidak bervariasi dan tidak punya tujuan jelas. Pengaruh stres terhadap kesejahteraan hewan bergantung pada besar-kecilnya kerugian biologis akibat stres.

Takut rnerupakan emosi primer yang dimiliki hewan yang mengatur respon rnereka terhadap lingkungan fisik dan sosialnya. Rasa takut kini dianggap sehagai stressor yang merusak hewan. Rasa takut yang berkepanjangan tentu akan berimbas buruk bagi kesejahteraan hewan. Oleh karena itu, perilaku pemelihara hewan sangat berperan dalam membangun sikap hewan terhadap petemak (pemelihara hewan). Hewan yang sering diperlakukan buruk, sangat

mungkin untuk menyimpan kesan yang buruk terhadap petugas instalasi. Cheeke (2004) menitikberatkan pada teknik manajemen hewan yang mengurangi atau menghilangkan stress sebagai komponen penting dari kesejahteraan hewan.

Kelima poin di atas merupakan daftar kontrol status kesejahteraan hewan secara umum saja. Penjabaran kesejahteraan hewan ke dalam lima aspek kebebasan tidaklah mutlak terpisah dan berdiri sendiri-sendiri. Aspek yang satu mungkin berpengaruh pada aspek lainnya sehingga sulit untuk dibedakan. Bahkan satu problem dapat merupakan cakupan beberapa poin di atas. Susunan yang berurutan pun tidak mutlak mencerminkan prioritas.

Aplikasi konsep dan implementasi kesrawan dipengaruhi oleh berbagai hal. Dalam penelitian yang berkaitan dengan kesejahteraan hewan, ilmuwan menggunakan parameter sesuai kepentingannya yang didasarkan pada pandangan mereka tentang bagaimana hewan seharusnya dipelihara dan kesejahteraannya diperhatikan. Sangat mungkin berbeda antara peneliti yang satu dengan yang lain. Pandangan-pandangan ini menurut Fraser (2003) dapat dibagi menjadi tiga. Pandangan pertama menyatakan bahwa hewan sebaiknya dipelihara pada kondisi yang memungkinkan berjalannya fungsi biologis (tetap sehat, pertumbuhan, dan reproduksi). Pandangan kedua menekankan pemeliharaan hewan seharusnya dengan cara-cara yang mengurangi penderitaan hewan dan mengutamakan kesenangan hewan. Pada puncaknya pandangan ketiga mengusulkan pemeliharaan dengan cara membiarkan hewan hidup secara alami.

Berdasarkan uraian diatas maka gangguan pada kesejahteraan hewan dapat diamati berdasarkan tiga indikator yaitu: Indikator fisiologi dan psikologi, indikator immun dan produksi serta indikator perilaku. Perubahan yang terjadi pada hewan dapat diamati berdasarkan perubahan pada fisik, mental maupun perilaku. Kondisi kesejahteraan hewan yang buruk yang berkelanjutan akan memicu timbulnya penyakit sebagai bentuk nyata dari gangguan kesejahteraan hewan. Yang mana efek penyakit pada kesejahteraan satwa adalah penderitaan panjang pada hewan.

Secara fisiologi kondisi perubahan kesejahteraan hewan akan mengaktifkan sistem saraf pusat (SSP) dan memberikan respon baik pada sistem saraf otonom maupun sistem endokrin. Akibat dari respon sistem saraf otonom

akan berdampak pada Sistem SAM (Simpatic Adrenal Medulary) dan Sistem PNS (Parasimpatic Nervous System). Respon Sistem SAM mengakibatkan peningkatan cardiac output (tachycardia, cardiac muscle contraction), peningkatan aliran darah ke otot (vasokontriksi perifer, kontraksi limfa), peningkatan air intake (respiratory rate, relaksasi bronkhiol). Sementara respon dari Sistem PNS (Parasimpatic Nervous System) adalah penurunan Cardiac output (branchicardia).

Secara umum akibat dari perubahan kesejahteraan hewan adalah munculnya stress dengan gejala seperti Peningkatan aktifitas adrenocortical, penurunan aktifitas hormonal reproduksi, penurunan performance, peningkatan tekanan darah kronis, meningkatnya kerentanan penyakit, gastric ulcer, penyembuhan luka yang lama dan juga kematian.

Pengabaian kelima faktor kebebasan pada hewan dalam kurungan akan berdampak buruk pada kesejahteraan hewan dan memicu stres. Stres akan mengakibatkan hewan akan rentan terhadap penyakit, terutama zoonosis. Zoonosis sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Parahnya pada hewan liar gejala penyakit akan muncul pada saat kondisi sudah parah sehingga treatment lebih susah dilakukan. Contoh : Balantidiosis, TBC, Hepatitis, Avian Influenza, Salmonellosis. Dampak lebih lanjut dari pengabaian animal welfare mengakibatkan stress yang persisten.

Stress akan mengakibatkan:

1. Rentan terhadap penyakit dan penderitaan panjang pada hewan 2. Menurunkan penampilan hewan

3. Menurunkan kodisi fisiologis hewan 4. Menekan sistem kekebalan tubuh

5. Pengaruh buruk pada kesehatan manusia.

Biosekuriti

Biosekuriti merupakan suatu tindakan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya wabah penyakit melalui pengawasan masuknya agen pathogen. Biosekuriti yang dilakukan harus praktis, dapat dilakukan secara efektif (Morris 2005). Menurut DEPTAN (2006) biosekuriti diartikan sebagai pengawasan penyakit yang termurah yang paling efektif, sementara Cardona (2005)

menambahkan biosekuriti merupakan garis pertahanan pertama terhadap penyakit. Biosekuriti didefinisikan pula sebagai penerapan kontrol kesehatan dan usaha- usaha untuk mencegah masuk dan menyebarnya agen infeksius baru ke dalam suatu kawanan hewan (Pinto & Urcelay 2003). Penerapan biosekuriti penting untuk perlindungan hewan terhadap penyakit serta memenuhi perlindungan nasional terhadap masuknya penyakit eksotik (Boklund et al. 2004). Sumber utama agen infeksius adalah manusia (tangan, rambut, pakaian, sepatu, dan lain- lain), perlengkapan yang sudah terkontaminasi, hewan-hewan domestik maupun liar disekitar lokasi, pakan yang tidak dikemas secara baik, pakan yang terkontaminasi, dan burung-burung yang bermigrasi (Sharma 2010).

Menurut Jeffreys (1997), biosekuriti memiliki 3 komponen mayor yaitu : isolasi, kontrol lalu lintas, dan sanitasi. Isolasi merujuk kepada penempatan hewan di dalam lingkungan yang terkontrol. Kontrol lalu lintas mencakup lalu lintas masuk ke dalam peternakan maupun di dalam peternakan. Sanitasi merujuk kepada desinfeksi material, manusia, dan peralatan yang masuk ke lingkungan peternakan dan kebersihan personel peternakan (Yee et al. 2009).

Tindakan umum yang dilakukan dalam program biosekuriti adalah mengawasi keluar masuknya hewan, mencegah kontak dengan hewan, rutin membersihkan dan mendesinfeksi sepatu, pakaian, dan peralatan yang dipakai ketika menangani hewan, mencatat pengunjung, hewan, peralatan yang masuk dan keluar. Keberhasilan program biosekuriti bergantung pada kerja sama antara personel IKH Primata. Dokter hewan penanggung jawab suatu instalasi dengan stafnyamemerlukan suatu manajemen pemeliharaan yang terintegrasi dan berkesinambungan untuk meminimalisasi masuknya agen infeksius ke suatu instalasi dan mencegah penyebaran agen infeksius yang sudah masuk ke suatu instalasi agar tidak menyebar ke hewan atau wilayah lain di dalam instalasi tersebut. Manajemen pemeliharaan yang baik meliputi pencatatan (recording) hewan setiap hari sehingga kondisi hewan dapat terus dimonitor, pengambilan dan pengiriman sampel secara rutin ke laboratorium yang sudah terakreditasi pada hewan yang baru datang, hewan yang mati, dan hewan-hewan yang ada di instalasi tersebut untuk mendapatkan informasi yang mendalam mengenai status kesehatan hewan yang baru datang, penyebab kematian hewan, dan kondisi

kesehatan terkini hewan-hewan yang berada didalam IKH Primata. Hal-hal penting lain yang harus dilakukan adalah membatasi akses pihak-pihak yang tidak berkepentingan terhadap hewan-hewan yang berada di dalam instalasi, menjaga limbah-limbah hewan seperti urine dan feses agar tidak dapat diakses oleh hewan- hewan, serta melakukan pengendalian agen infeksius secara rutin (Sharma 2010).

Keberhasilan pelaksanaan biosekuriti di IKH selain dipengaruhi kelengkapan fasilitas dan sistem juga tidak terlepas dari tingkat pengetahuan dan kesadaran dari petugas yang ada di IKH tersebut. Fasilitas biosekuriti yang lengkap tanpa diikuti dengan tingkat pengetahuan dan kesadaran petugas mengenai kesejahteraan hewan dan biosekuriti mengakibatkan program yang sudah dicanangkan tidak berlangsung optimum sehingga menjadi ancaman terhadap masuknya organisme yang dapat merugikan petugas, hewan dan lingkungan disekitarnya.

Studi KAP (Knowledge, Attitude, and Practice)

Menurut Lakhan dan Sharma (2010), pengetahuan adalah kemampuan untuk memperoleh, mempertahankan, dan menggunakan informasi, gabungan pemahaman, ketajaman dan keterampilan. Sikap mengacu kepada kecenderungan untuk bereaksi dengan cara tertentu untuk situasi tertentu, untuk melihat dan menjelaskan kembali peristiwa-peristiwa sesuai dengan kecenderungan tertentu atau untuk menyusun argumentasi pribadi ke dalam suatu bentuk yang masuk akal dan saling terkait. Praktik berarti aplikasi peraturan dan pengetahuan yang mengarah ke perbuatan yang nyata berupa tindakan.

Hubungan antara Pengetahuan, Sikap dan Praktik

Pengetahuan dapat didefinisikan sebagai ingatan mengenai sesuatu yang bersifat spesifik atau umum; ingatan mengenai metode atau proses; ingatan mengenai pola, susunan atau keadaan (Ilyas 1997). Sarwono (2002) menjelaskan bahwa sikap dapat terbentuk dari pengalaman melalui proses belajar ataupun pengalamannya. Sikap (attitude) akan sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan manusia. Sikap juga akan sangat menentukan tindakan (practice). Gerungan (1996) menyatakan bahwa pengetahuan mengenai sesuatu akan menjadi perilaku

terhadap sesuatu tersebut apabila pengetahuan itu disertai dengan kesiapan untuk bertindak sesuai dengan pengetahuan terhadap sesuatu hal tersebut. Supriyadi (1993) menyatakan pengetahuan merupakan sekumpulan informasi yang difahami, yang diperoleh melalui proses belajar selama hidup dan dapat digunakan sewaktu-waktu sebagai alat penyesuaian diri sendiri maupun lingkungan.

Seseorang yang mempunyai sikap positif terhadap suatu obyek, kemungkinan besar mempunyai niat untuk bertindak positif juga terhadap obyek tersebut, dan timbulnya sikap positif tersebut didasari oleh adanya pemikiran dan pengetahuan dari obyek tersebut (Azwar 2003). Tindakan sangat dipengaruhi oleh sikap maupun pengetahuannya (knowledge). Seseorang bersikap suka atau tidak suka, baik atau tidak baik, senang atau tidak senang terhadap suatu obyek akan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan serta pengalamannya.

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Instalasi Karantina Hewan (IKH) Primata wilayah Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno Hatta, dan pengolahan data di Bagian Kesmavet Fakultas Kedokteran Hewan IPB Bogor dari bulan Maret sampai Agustus 2012.

Konsep Penelitian

Peubah yang akan digunakan di dalam penelitian ini yaitu karakteristik IKH Primata, pengetahuan dokter hewan IKH Primata dan paramedik/petugas kandang, serta sikap dan tindakan dokter hewan dan paramedik/petugas kandang terhadap biosekuriti. Ketiga peubah ini akan dihubungkan dengan praktik dokter hewan IKH dan paramedik/petugas kandang untuk melihat kondisi kesejahteraan dan biosekuriti.

Gambar 1. Kerangka konsep penelitian

 

Rancangan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan kerangka konsep yang diilustrasikan pada Gambar 1. Pengamatan dilakukan di seluruh IKH Primata BBKP Soekarno Hatta berlokasi di wilayah Jawa Barat dan Banten yang berjumlah lima instalasi.

Praktik Petugas IKH Primata

Keswan dan Biosekuriti Karakteristik Petugas IKH

Primata • Umur • Pendidikan • Lama bekerja • Jenis kelamin • Pelatihan

Pengetahuan Petugas IKH Primata

Sehubungan dengan sedikitnya jumlah IKH yang ada, maka seluruh petugas yang ada di IKH Primata tersebut dilibatkan sebagai responden dalam penelitian ini.

Kriteria dan Penilaian Koesioner

Penilaian tingkat pengetahuan manajer, dibuat sebanyak 23 pertanyaan, dokter hewan IKH sebanyak 19 pertanyaan, dan pekerja kandang/ paramedik sebanyak 25 pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut terdiri dari pertanyaan positif yaitu jawaban benar adalah jika responden memilih jawaban ‘benar’ dan pertanyaan negatif dimana jawaban benar adalah jika responden memilih jawaban ‘salah’. Pertanyaan positif dan negatif tersebut berguna untuk menghilangkan bias dari jawaban responden. Setiap jawaban yang benar dari pertanyaan mengenai pengetahuan biosekuriti di IKH Primata diberikan nilai 2 (dua), jawaban yang salah diberikan nilai 0, sedangkan jawaban tidak tahu diberikan nilai 1 (Palaian et al. 2006). Dengan demikian untuk tingkat pengetahuan, nilai maksimumnya adalah 46 (manajer), 38 (dokter hewan), dan 50 (pekerja kandang/paramedik), serta nilai minimum yang mampu dihasilkan adalah 0. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Indeks skor pengetahuan

Kategori Manajer Dokter Hewan Pekerja Kandang Sangat Baik Baik Cukup Buruk Sangat Buruk 41 - 46 33 - 40 24 - 32 11 - 23 0 - 10 36 - 39 28 - 35 20 - 27 9 - 19 0 - 8 46 - 50 36 - 45 26 - 35 11 - 25 0 - 10

Penilaian praktik petugas IKH terhadap biosekuriti di IKH Primata maka dibuat sebanyak 17 pertanyaan. Pertanyaan tersebut memiliki jawaban ‘sering’, ‘jarang’, dan ‘tidak pernah’. Penilaian diberikan nilai 2 pada jawaban ‘sering’, 1 pada jawaban ‘jarang’, dan nilai 0 pada jawaban ‘tidak pernah’. Dengan demikian untuk praktik kesejahteraan hewan dan biosekuriti IKH Primata nilai maksimumnya adalah 34 dan nilai minimumnya adalah 0. Kategori dengan status sangat buruk memiliki skor 0 – 7, buruk 8 – 17, cukup 18 – 24, baik 25 – 31, dan sangat baik 32 – 34. Hal ini dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3 Indeks skor praktik

Kategori Manajer / Dokter Hewan / Paramedik Sangat Baik Baik Cukup Buruk Sangat Buruk 32 - 34 25 - 31 18 - 24 8 - 17 0 - 7

Penilaian tingkat sikap petugas IKH Primata di buat sebanyak 19 pernyataan mengenai sikap manajer, 22 pertanyan untuk dokter hewan dan untuk petugas kandang IKH Primata. Dengan menggunakan skala Likert yaitu “setuju’, ‘tidak setuju’, dan ‘ragu-ragu’. Setiap jawaban yang benar dari pernyataan mengenai sikap kesejahteraan hewan dan biosekuriti pada IKH primata akan diberikan nilai 2, jawaban netral (ragu-ragu) diberikan nilai 1, dan jawaban salah diberikan nilai 0. Dengan demikian untuk tingkat sikap, nilai maksimumnya adalah 38 (manager), 44 (dokter hewan dan pekerja kandang) serta nilai minimumnya adalah 0 untuk semua jenis responden. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Indeks skor sikap

Kategori Manajer Dokter Hewan / Paramedik Sangat Baik Baik Cukup Buruk Sangat Buruk 36 - 39 28 - 35 20 - 27 9 - 19 0 - 8 41 - 44 32 - 40 23 - 31 10 - 22 0 - 9 Disain Penelitian

Penelitian ini merupakan kajian lapang cross sectional study di mana kajian ini menggunakan kuesioner sebagai perangkat untuk mengukur pengetahuan, sikap, dan praktik dari responden. Penelitian dilakukan dengan metode wawancara terhadap manajer, dokter hewan, dan paramedik / pekerja kandang serta observasi terhadap IKH primata terkait kesejahteraan dan kondisi biosekuriti IKH Primata. Wawancara dilakukan menggunakan kuesioner dan observasi dilakukan menggunakan checklist.

Responden

Terdapat lima IKH primata BBKP Soekarno Hatta yang terdapat di Jawa

Dokumen terkait