• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. 1. Beton Berpori (Aerated Concrete)

Beton tergolong suatu komposit dengan matrik yang berfungsi perekat (semen) dan bahan pengisi (filler) yang berupa agregat (batu kecil atau pasir), (Yothin Ungkoon, 2007). Pada beton, proses penguatan ikatan antar agregat melalui proses hidratasi semen. Dalam proses reaksi hidratasi tersebut akan terbentuk calsium silikat hidrat (CS fasa), calcium aluminat hidrat (CA fasa) dan calcium alumina silikat hidrat (CAS). Proses penguatan atau pengerasan pada beton sangat tergantung pada perbandingan (ratio berat) air terhadap semen, normalnya bervariasi dari 0,8 – 1,2 (Tri Mulyono, 2005).

Beton dikualifikasikan menjadi dua golongan yaitu beton normal dan beton ringan. Beton normal tergolong beton yang memiliki densitas sekitar 2240 – 2400 kg/m3 dan kekuatannya tergantung komposisi campuran beton (mix design), (concrete properties d 1223). Beton ringan adalah suatu beton yang memiliki densitas < 1,450 g/cm3 begitu juga kekuatannya bisa disesuaikan pada penggunaan dan pencampuran bahan bakunya (Lightweight concrete or foamed concrete).

Jenis dari beton ringan (Siporex Oy, 2000) ada dua golongan yaitu: (a) beton ringan berpori (aerated concrete) dan (b) beton ringan non aerated. Beton ringan berpori (aerated) adalah beton yang dibuat sehingga strukturnya banyak terdapat

pori-pori. Beton semacam ini diproduksi dengan bahan baku dari campuran semen, dan agregat (pasir), gypsum, CaCO3 dan katalis aluminium. Dengan adanya katalis Al selama terjadi reaksi hidratasi semen akan menimbulkan panas (reaksi eksotermal) sehingga timbul gelembung-gelembus gas H2O dan CO2. Dari reaksi tersebut, akhirnya gelembung tersebut akan menimbulkan jejak pori dalam badan beton yang sudah mengeras. Semakin banyak gas yang dihasilkan akan semakin banyak pori-pori terbentuk dan beton akan semakin ringan.

Pembuatan beton berpori umumnya menggunakan bahan baku dasar yaitu: semen jenis Portland cement (20 - 30 % berat), pasir silika (50 – 60 % berat), dan CaCO3 (10 – 20 %) sebagai sumber CaO. Bahan katalis Al yang digunakan adalah sekitar 0,5 – 1 %, (Siporex Oy, 2000 dan Yothin Ungkoon, 2007). Mekanisme pembentukan pori dalam pembuatan beton berpori dapat terjadi melalui beberapa cara antara lain (Yothin Ungkoon, 2007):

1. Cara injeksi gas (oksigen atau nitrogen atau udara) kedalam pasta adaonan beton.

2. Cara memberikan foam kedalam pasta adaonan beton.

3. Melalui mekanisme reaksi antara CaCO3 dengan SiO2 dengan katalis Al, sehingga terjadi reaksi antara CaO dan SiO2 yang bersifat eksotermal. Akibat reaksi tersebut gelembung-gelembung gas (CO2 dan H2O) terlepas dan menimbulkan jejak pori.

Reaksi antara CaO dan SiO2 membentuk fasa baru Tobermorite diperlihatkan pada Gambar 2. 1 sebagai berikut.

Gambar 2. 1. Mekanisme Reaksi CaO dengan SiO2 (Yothin Ungkoon, 2007). Sifat-sifat fisis dan mekanik beton berpori yang diproduksi melalui proses aging

dengan Autoclave 12 bar (AAC) dan tanpa Autoclave (non AAC), seperti diperlihatkan pada tabel 2. 1.

Tabel 2. 1. Sifat fisis dan mekanik beton berpori melalui proses aging dengan

Autoclave 12 bar (AAC) dan tanpa Autoclave (Non AAC) (Yothin Ungkoon, 2007)

2. 2. Semen

Semen merupakan bahan perekat anorganik yang banyak digunakan dalam bidang bangunan. Banyak sekali tipe-tipe semen dan yang paling banyak digunakan

adalah semen tipe I atau disebut dengan portland cement. Bahan baku portland

semen adalah kapur sebagai sumber CaO, tanah liat sebagai sumber silika (SiO2), aluminium oksida (Al2O3), dan besi oksida. Material ini bereaksi di dalam suatu dapur atau tungku membentuk klinker, kemudian melalui penghalusan dengan ball mill dan dicampurkan bahan gipsum dan terbentuklah semen (Andrew R. Barron, 2008).

Kandungan senyawa-senyawa di dalam semen antara lain: C3S (Tricalcium silicate), C2S (Dicalcium silicate), C3A (Tricalcium aluminate), dan C4AF (Tetracalcium aluminoferrite), dimana C = CaO, S = SiO2, A = Al2O3, dan F = Fe2O3, dan bahan ikutan lainnya antara lain: MgO, TiO2, Mn2O3, K2O, dan Na2O (Diefenderf, 1998,). Semen dapat berfungsi sebagai perekat bila terjadi pengerasan, proses pengerasan pada semen akibat adanya reaksi antara komponen-komponen di dalam semen dengan air yang disebut reaksi hidratasi semen. Komposisi dari semen pada umumnya ditunjukkan pada tabel 2. 2 sebagai berikut.

Tabel 2. 2. Komposisi dari semen (portland cement) (http://training.ce. washington.edu/WSDOT/Modules/03_materials/03-

4_body.htm)

Komponen Formula Simbol % berat

Tricalcium Silicate 3CaO.SiO2 C3S 50

Dicalcium Silicate 2CaO.SiO2 C2S 25

Tricalcium Aluminate 3CaO.Al2O3 C3A 12 Tetracalcium Aluminoferrite 4CaO.Al2O3.Fe2O3 C4AF 8 Gypsum CaSO4.2H2O CSH2 3.5

Lamanya proses pengerasan berlangsung cukup lama dan umumnya berlangsung maksimum selama 28 hari (Haque N. I, 1999). Reaksi-reaksi yang terjadi selama proses pengerasan antara lain:

2C3S+ 6H → C3S2H3+ 3CH 2C2S+ 4H → C3S2H3+ CH C3A+ 3CSH2+ 26H → C6As3H32 2C3A+ C6As3H32+ 4H → 3C4ASH12

C4Af+ 3CSH2+ 21H → C6(A,F)S3H32+ (A,F)H3 C4Af+ C6(A,F)S3H32+ 7H → 3C4(A,F)SH12+ (A,F)H3 dimana:

H = Air ( H2O);

C3S2H3 = Zat kapur silikat hidrat ( C-S-H); CH = Zat kapur Hidroksida (Ca[OH]2) CSH2 = Gipsum (CaSO4 hidrat)

C6As3H32 = 6-calcium aluminat trisulfate-32-hydrate(Ettringite); 3C4ASH12 = Tetracalcium aluminat monosulfate-12-

hydrate(monosulfoaluinate)

3C4ASH12 = Tetracalcium aluminat monosulfate-12-hydrate.

Karakteristik dari semen ditinjau dari sifat fisis dan mekanik diperlihatkan pada tabel 2. 3 berikut ini.

Tabel. 2. 3. Karakteristik dari semen (Aggrawal, 2007)

Parameter Nilai

Spesifik gravitasi 3,15

Waktu pengerasan awal > 30 menit Waktu pengerasan akhir < 600 menit

Kehalusan 10 %

Kuat Tekan umur 3 hari 23 N/mm2

2. 3. Karakterisasi Beton

Untuk pengukuran densitas dan penyerapan air digunakan metoda Archimedes

dan dihitung dengan persamaan sebagai berikut (Birkeland P.W,1984) ms

Densitas = --- x ρ air ………(2.1) mb – ( mg – mk)

dengan:

ms = Massa sampel kering, g

mb = Massa sampel setelah direndam air, g mg = Massa sampel digantung di dalam air, g mk = Massa kawat penggantung, g

air = 1 gr/cm3

Untuk mengetahui besarnya penyerapan air diukur dengan mengacu pada standar ASTM C 20 – 93 dan dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut:

Mj – Mk

Penyerapan air = --- x 100 %...(2.2) Mk

dimana:

Mk = Massa sampel kering, g

Mj = Massa sampel setelah direndam di dalam air, g

Pengukuran kuat tekan (compressive strength) mengacu pada (Satoshi M, Chiaki M, 1997) dan dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

F

Kuat Tekan = --- ...(2.3) A

dimana:

F = Gaya penekan, kgf

A = Luas penampang yang terkena penekanan gaya, cm2

Pengukuran kuat patah (bending strength) mengacu pada ASTM C 133 – 97 dan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:

3 x P x l Kuat Patah = --- ...(2.4) 2 x b x h2 dimana: P = Gaya penekan, kgf l = Panjang span, cm b = Lebar penampang, cm h = Tinggi penampang, cm

Untuk menentukan besarnya penyusutan dilakukan pengukuran dimensi atau panjang awal (Lo) dan panjang setelah mengalami pengeringan 7, 14, 21 dan 28 hari, disebut sebagai Lt. Besarnya penyusutan dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut : (New Land M.D, Painet KA.2008)

Lo - Lt

Penyusutan = --- x 100 % ………...(2.5) Lo

Pengujian konduktivitas panas dari beton ringan digunakan standar ASTM C-177 dengan persamaan sebagai berikut:

K = {(m . c . dT/dt . X)/(A . (T1-T2)} ………(2.6) dengan:

K = Konduktivitas panas, kal/cm oC detik m = Massa pelat alas (kuningan), gram

X = Tebal sampel, cm

A = Luas permukaan kontak, cm2

T1 = Temperatur pelat alat ketel air panas pada steady state, oC T2 = Temperatur pelat alas kuningan pada steady state, oC

Besarnya penyerapan suara atau daya redam suara dari beton ringan berpori perlu diukur, guna mengetahui sejauh mana aplikasi material tersebut dapat diterapkan. Untuk menentukan level intensitas suara atau tingkat kenyaringan suatu material diukur dalam desible (db). Uji penyerapan suara mengacu pada (accoustic sound absoption d 68)yang memenuhi persamaan berikut :

Ia

Koefisien penyerapan suara, α = --- ... (2.7) Ii

dengan:

Ia = intensitas suara yang diserap, db. Ii = intensitas sumber suara yang datang, db.

Pengujian mikrostruktur dari beton ringan berpori dilakukan dengan 2 cara, yaitu: menggunakan X-ray Diffraction (XRD) untuk mengidentifikasi struktur kristal atau fasa yang terbentuk. Sedangkan dengan Scanning Electron Microscope (SEM) untuk melihat bentuk dan ukuran partikel penyusunnya.

X-ray Diffraction (XRD) adalah gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang pendek sekitar 0,5 – 2,5 Amstrong dan mendekati jarak antara atom kristal serta mempunyai energi yang besar. Berkas sinar X yang sejajar dan monokromatik ditembakkan pada permukaan material, maka atom-atom dalam kristal akan menyerap energi dan menghamburkan kembali sinar X kesegala arah.

Setiap atom merupakan sumber untuk difraksi. Syarat terjadinya pemantulan pada sudut θ adalah apabila gelombang A’ sefasa dengan B’ dan juga C’ demikian seterusnya, maka terjadilah penguatan atau interferensi konstruktif. Berkas A’ dan B’ sefasa jika beda lintasan antara AA’ dengan BB’ sama dengan kelipatan bulat panjang gelombang λ (1λ,2λ,....,nλ). Beda lintasan dinyatakan dengan jarak 2y, menurut trigonometri yang selanjutnya dikenal dengan persamaan Bragg (Eddy Marlianto, 2004), y = d sin θ nλ = 2 d sin θ...(2.8) sinar pantul bidang-1 y y d θ θ B A B’ A’ bidang-2 sinar datang

Gambar 2.2 Model Difraksi Bragg

Scanning Electron Microscope (SEM) merupakan mikroskop elekteron yang banyak digunakan untuk analisa permukaan material. SEM juga dapat digunakan untuk menganalisa data kristalografi, sehingga dapat dikembangkan untuk menentukan elemen atau senyawa. Prinsip kerja SEM dapat dilihat pada gambar 2.3, dimana dua sinar elektron digunakan secara simultan. Satu strike specimen digunakan

untuk menguji dan strike yang lain adalah CRT (Cathode Ray Tube) memberi tampilan gambar.

Gambar 2.3. Skema Prinsip Dasar SEM (Cahn, 1993)

SEM menggunakan prinsip scanning, maksudnya berkas elektron di arahkan dari titik ke titik pada objek. Gerakan berkas elektron dari satu titik ke titik yang lain pada suatu daerah objek menyerupai gerakan membaca. Gerakan membaca ini disebut dengan scanning. Komponen utama SEM terdiri dari dua unit, electron column (B) dan display console (A).

Electron column merupakan model electron beam scanning. Sedangkan

display console merupakan elektron skunder yang di dalamnya terdapat CRT. Pancaran elektron energi tinggi dihasilkan oleh electron gun yang kedua tipenya berdasar pada pemanfaatan arus.

BAB III METODOLOGI

3. 1. Bahan baku

Bahan baku yang dipergunakan untuk pembuatan panel beton berpori antara lain: 1. Semen type I (Portland cement)

2. Fly ash dari PLTU Suralaya 3. Pasir Bangka 4. CaCO3 5. Al powder 6. Air 3. 2. Peralatan 1. Timbangan 2. Alat-alat gelas

3. Cetakan beton ( mould steel)

4. Universal Testing Machine (UTM) 5. X-Ray Diffractometer (XRD)

6. Scanning Electron Microscope (SEM) 7. Ayakan screen 8 mm dan 200 mesh

8. Autoclave 9. Sinyal generator

10.Osiloscope 11.Sound level meter

3. 3. Variabel dan Parameter

Varibel penelitian ini antara lain:

1. Variasi komposisi fly ash: 0, 10, 20, 30, 40, 50, dan 60 % (berat).

2. Variasi waktu pengerasan beton (ageing time): 7, 14, 21 dan 28 hari, dilakukan pada kondisi normal atau alami.

3. Variasi waktu pengerasan beton (ageing time) masing-masing selama: 20, 40, dan 60 menit, dengan menggunakan autoclave pada tekanan 1,5 bar.

Parameter pengujian yang dilakukan meliputi: densitas, penyerapan air, penyusutan, kuat tekan, kuat patah, konduktivitas panas, daya redam suara, analisa mikrostruktur dengan Scanning Electron Microscope (SEM) dan X-Ray Diffractometer (XRD).

3. 4. Preparasi Sampel Beton Ringan Berpori

Bahan baku yang digunakan pada pembuatan beton ringan berpori terdiri dari: semen, pasir silika, fly ash, CaCO3, dan katalis Al powder. Preparasi pembuatan sampel beton ringan berpori diperlihatkan pada diagram alir pada gambar 3. 1, sedangkan komposisi campuran bahan baku seperti terlihat pada tabel 3. 1.

Tabel 3. 1. Komposisi Pencampuran Bahan Baku Kode Sampel Semen (% massa) Pasir Silika (% massa) Fly Ash (% massa) CaCO3 (% massa) Katalis Al powder (% massa dari total bahan baku)

A 25 60 0 15 1 B 25 50 10 15 1 C 25 40 20 15 1 D 25 30 30 15 1 E 25 20 40 15 1 F 25 10 50 15 1 G 25 0 60 15 1 Pasir -200 mesh

CaCO3, Fly Ash, Katalis Al Semen Penimbangan Air Pencampuran (air : semen = 0,8) Pencetakan

Pengerasan Ageing Alami dan

dengan Autoclave.

Pengujian

Untuk pembuatan beton berpori, masing-masing bahan baku ditimbang sesuai dengan komposisi seperti tabel 3. 1. Setelah ditimbang, ketiga bahan baku tersebut dicampur dalam suatu wadah plastik, dan diaduk hingga rata menggunakan sendok semen. Tambahkan air, dimana jumlah air yang digunakan sesuai dengan perbandingan berat air : semen = 0,8 (fas = 0,8). Misalkan semen yang digunakan pada beton ringan berpori sebanyak 50 gram, maka air yang diperlukan adalah = 0,8 x 50 gram = 40 gram.

Kemudian adonan diaduk hingga merata dan homogen, Selanjutnya adonan yang dihasilkan dituangkan dalam cetakan yang terbuat dari besi dengan ukuran: 16 x 4 x 4 cm. Bentuk sampel uji lainnya adalah berupa selinder berukuran: diameter 2,5 cm dan tinggi 7 cm. Kemudian adonan dicetak,dan dikeringkan untuk proses pengerasan (ageing).

Ada 2 metoda yang dilakukan pada proses pengerasan (ageing), yaitu: secara alami dan dipercepat. Variasi waktu pada proses pengerasan (ageing) secara alami adalah: 7, 14, 21 dan 28 hari, sedangkan dipercepat menggunakan autoclave bertekanan 1,5 bar adalah: 20, 40, dan 60 menit.

Setelah benda uji mengalami proses ageing, kemudian dilakukan pengujian yang meliputi: densitas, penyerapan air, kuat tekan, kuat patah, penyusutan, konduktivitas panas, daya redam suara, dan analisa mikrostrukturnya dengan menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) dan X-Ray Diffractometer

3. 5. Karakterisasi

Pengujian yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi: densitas, penyerapan air, kuat tekan, kuat patah, penyusutan, konduktifitas panas, daya redam suara, dan analisa mikrostrukturnya dengan menggunakan Scanning Electron Microscope

(SEM) dan X-Ray Diffractometer (XRD).

3. 5. 1. Densitas

Pengukuran densitas (bulk density) dari masing-masing komposisi beton berpori yang telah dibuat, diamati dengan menggunakan prinsip Archimedes dan mengacu pada standar ASTM C 134 – 95. Pada proses awal dilakukan penimbangan massa benda di udara (massa sampel kering) seperti halnya pada penimbangan biasa, sedangkan penimbangan massa benda di dalam air.

Metoda pengukuran densitas.

1. Sampel yang telah mengalami pengerasan (ageing), dikeringkan di dalam

dryingoven dengan suhu 100oC, selama 1 jam.

2. Kemudian timbang massa sampel kering (beton berpori), ms dengan menggunakan neraca digital.

3. Sampel yang telah ditimbang, kemudian direndam di dalam air selama 1 jam, bertujuan untuk mengoptimalkan penetrasi air terhadap sampel uji. Setelah waktu penetrasi terpenuhi, seluruh permukaan sampel dilap dengan kain flanel dan dicatat massa sampel setelah direndam di dalam air, mb.

4. Gantung sampel, pastikan tepat pada posisi tengah dan tidak menyentuh alas beker gelas yang berisi air, dimana massa sampel berikut penggantung di dalam air adalah mg.

5. Selanjutnya sampel dilepas dari tali penggantung, dan catat massa tali penggantung, mk.

Dengan mengetahui besaran-besaran tersebut diatas, maka nilai densitas beton berpori dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan (2. 1).

3. 5. 2. Penyerapan Air (Water absoption)

Untuk mengetahui besarnya penyerapan air dari beton berpori yang telah

dibuat, maka perlu dilakukan pengujian yang mengacu pada standar ASTM C 20 – 93.

Prosedur pengukuran penyerapan air adalah sebagai berikut:

1. Sampel yang telah dikeringkan di dalam drying oven dengan suhu 100oC selama 1 jam, ditimbang massanya dengan menggunakan neraca digital, disebut massa sampel kering.

2. Kemudian sampel direndam di dalam air selama 1 jam sampai massa sampel jenuh dan catat massanya.

Dengan menggunakan persamaan (2. 2) maka nilai penyerapan air dari beton berpori dapat ditentukan.

3. 5. 3. Kuat tekan (Compressive strength)

Untuk mengetahui besarnya kuat tekan dari beton ringan berpori yang telah dibuat, maka perlu dilakukan pengujian yang mengacu pada standar ASTM C 39 – 2005. Alat yang digunakan untuk menguji kuat tekan adalah Universal Testing Mechine (UTM). Model cetakan untuk benda uji dan dimensi benda uji berupa selinder, seperti diperlihatkan pada gambar J5 (lampiran).

Sedangkan pada gambar J6 (lampiran) ditunjukkan foto pengujian kuat tekan dengan menggunakan Universal Testing Mechine (UTM).

Prosedur pengujian kuat tekan adalah sebagai berikut:

1. Sampel berbentuk selinder diukur diameternya, minimal dilakukan tiga kali pengulangan. Dengan mengetahui diameternya maka luas penampang dapat dihitung, A = π(d2/4).

2. Atur tegangan supply sebesar 40 volt, untuk menggerakkan motor penggerak kearah atas maupun bawah. Sebelum pengujian berlangsung, alat ukur (gaya) terlebih dahulu dikalibrasi dengan jarum penunjuk tepat pada angka nol.

3. Kemudian tempatkan sampel tepat berada di tengah pada posisi pemberian gaya (lihat gambar), dan arahkan switch ON/OFF ke arah ON, maka pembebanan secara otomatis akan bergerak dengan kecepatan konstan sebesar 4 mm/menit.

4. Apabila sampel telah pecah, arahkan switch kearah OF maka motor penggerak akan berhenti. Kemudian catat besarnya gaya yang ditampilkan pada panel display, saat beton polimer tersebut rusak.

Dengan menggunakan persamaan (2. 3) maka nilai kuat tekan dari beton berpori dapat ditentukan.

3. 5. 4. Kuat Patah (Flexural Strength)

Untuk mengetahui besarnya kuat patah dari beton berpori yang telah dibuat, maka perlu dilakukan pengujian yang mengacu pada standar ASTM C 348 – 2002. Alat yang digunakan untuk menguji kuat patah adalah Universal Testing Mechine

(UTM). Model cetakan dan dimensi benda uji untuk kuat patahbenda berbentu balok, seperti diperlihatkan pada gambar J7 (lampiran). Sedangkan pengujian kuat patah dengan Universal Testing Mechine (UTM), seperti diperlihatkan pada gambar J8 (lampiran)

Prosedur pengujian kuat patah adalah sebagai berikut:

1. Sampel berbentuk balok diukur lebar dan tingginya, minimal dilakukan tiga kali pengulangan, kemudian atur jarak titik tumpu (span) sebesar 10 cm sebagai dudukan sampel (lihat gambar III. 5).

2. Atur tegangan supply sebesar 40 volt, untuk menggerakkan motor penggerak kearah atas maupun bawah. Sebelum pengujian berlangsung, alat ukur (gaya) terlebih dahulu dikalibrasi dengan jarum penunjuk tepat pada angka nol.

3. Kemudian tempatkan sampel tepat berada di tengah pada posisi pemberian gaya (lihat gambar), dan arahkan switch ON/OFF ke arah ON, maka pembebanan secara otomatis akan bergerak dengan kecepatan konstan sebesar 4 mm/menit.

4. Apabila sampel telah patah, arahkan switch kearah OF maka motor penggerak akan berhenti. Kemudian catat besarnya gaya yang ditampilkan pada panel display, saat beton ringan berpori tersebut patah.

Dengan menggunakan persamaan (2. 4) maka nilai kuat patah dari beton berpori dapat ditentukan.

3. 5. 5. Penyusutan (Shrinkage)

Pengukuran penyusutan (shrinkage) dari beton ringan berpori dilakukan berdasarkan perubahan dimensi, sesuai dengan persamaan 5 (K. Ramamurthyand N. Narayanan, 2000, dan ASTMC-1386-98). Mula-mula ukur panjang sampel yang baru dikeluarkan dari cetakan, disebut panjang awal (Lo). Setelah sampel mengalami proses pengeringan atau pengerasan (ageing) untuk masing-masing waktu pengeringan selama 7, 14, 21 dan 28 hari, kemudian diukur panjangnya, disebut sebagai panjang akhir, Lt.

Dengan menggunakan formula pada persamaan 2. 5, maka nilai penyusutan dapat dicari. Dengan cara yang sama dapat dilakukan untuk beton ringan berpori yang dikeringkan secara cepat menggunakan autoclave bertekanan 1,5 bar, dimana variasi waktunya adalah 20, 40 dan 60 menit.

3. 5. 6. Konduktivitas Termal (Thermal Conductivity)

Untuk menentukan besarnya konduktivitas termal dari beton ringan berpori yang telah dibuat, maka perlu dilakukan pengujian yang mengacu pada standar ASTM C 177 –1997. Metoda yang digunakan untuk menguji konduktivitas termal dari beton ringan berpori adalah metoda Lees, seperti diperlihatkan pada gambar 3. 6. Pengukuran ini bertujuan untuk memahami peristiwa perpindahan panas melalui konduksi, sehingga dengan mengetahui besarnya konduktivitas termal dari suatu bahan maka dapat diperkirakan aplikasi material tersebut selanjutnya.

Prosedur pengujian konduktivitas termal dari beton ringan berpori adalah sebagai berikut:

1. Sampel beton ringan berpori dibuat berbentuk selinder (koin) dengan diameter 10 cm, dan tebal 5 mm, untuk memastikan dimensinya gunakan mikrometer dan jangka sorong dan diukur dimensinya minimal tiga kali pengulangan.

2. Timbang pelat alas kuningan, C dan catat massanya (m), kemudian gantungkan dengan tali penggantung, X pada statip penggantung.

3. Letakkan benda uji, B (beton ringan berpori) di atas pelat alas tersebut, dan olesin permukaan benda uji tersebut dengan bahan pelumas agar kontak panasnya menjadi lebih baik

4. Ketel uap, S diletakkan diatas benda uji dan hubungkan dengan ketel air panas dengan menggunakan selang.

5. Masuk kan termometer T1 pada lubang ketel uap dan termometer T2 pada pelat alas kuningan.

6. Catat kenaikan temperatur T1 dan T2 setiap dua menit sampai kondisi kesetimbangan (stady state) tercapai. Keadaan setimbang dinyatakan apabila kenaikan temperatur ± 0,1 oC selama 10 menit.

7. Apabila T1 dan T2 sudah mencapai setimbang angkat ketel uap dan panaskan pelat alas beserta benda uji dengan alat pemanas, hingga temperatur T2 naik sekitar 10 oC.

8. Setelah temperaturnya tercapai, matikan alat pemanas dan catat penurunan temperatur T2 untuk setiap dua menit, sehingga selisih suhunya mencapai sekitar 20 oC. Kemudian buat kurva kenaikan temperatur sewaktu pemanasan dan penurunan temperatur sewaktu pendinginan masing-masing terhadap waktu.

Dengan menggunakan persamaan (2. 6) maka nilai konduktivitas termal dari beton ringan berpori dapat ditentukan.

3. 5. 7. Daya Redam Suara

Pengukuran daya redam suara (daya serap suara) dari beton ringan berpori perlu dilakukan agar dapat diketahui sejauh mana pemakaian dari material tersebut dapat diterapkan tentunya. Perangkat peralatan yang digunakan untuk mengukur daya redam suara, pada gambar J10 (lampiran). Level intensitas suara atau disebut juga kenyaringan diukur dalam desible (db).

Prosedur pengukuran intensitas suara membutuhkan peralatan: sinyal generator sebagai sumber sinyal sinus yang dapat diatur frekuensinya, speaker aktif sebagai sumber suara, osiloskop untuk mengukur frekuensi sinyal generator, dan

sound level meter untuk mengukur level suara. Hal yang pertama dilakukan adalah mengukur level sumber suara. Sound level meter diletakkan pada posisi tetap atau jarak tertentu terhadap speaker aktif. Atur frekuensi sinyal generator mulai dari frekuensi rendah hingga frekuensi 1600 Hz dan ukur level intensitas (db) dari masing-masing frekuensi tersebut dengan menggunakan sound level meter.

Kemudian lakukan pengukuran level suara didalam kotak berukuran 24 x 24 x 24 cm3 terbuat dari beton ringan berpori, untuk mengukur tingkat intensitas yang ditransmisikan. Tempatkan speaker aktif di dalam kotak tersebut. Dengan cara yang sama seperti mengukur level sumber suara, dan level intensitas (db) dari masing-masing frekuensi tersebut. Artinya besar tingkat intensitas yang terukur merupakan besaran yang ditransmisikan oleh bahan tersebut.

Tingkat intensitas suara yang terserap dapat diukur dari selisih antara tingkat intensitas sumber suara dengan tingkat intensitas suara yang ditransmisikan Dengan mengetahui besarnya intensitas suara yang diserap (Ia) dan intensitas sumber suara yang datang (Ii) maka koefisien absorpsi, α dari beton ringan berpori dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan 2. 7.

3. 5. 8. Analisa Mikrostruktur

Analisa mikrostruktur dari beton ringan berpori dilakukan dengan 2 cara, yaitu: menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) untuk melihat bentuk dan ukuran partikel penyusunnya dan X-ray Diffraction (XRD) untuk mengidentifikasi struktur kristal atau fasa yang terbentuk.

3. 5. 8. 1. Analisa Mikrostruktur dengan Scanning Electron Microscope (SEM)

Bentuk dan ukuran partikel penyusun dari beton ringan berpori dapat diidentifikasikan berdasarkan data yang diperoleh dari alat Scanning Electron Microscope (SEM), seperti diperlihatkan pada gambar J11 (lampiran).

Mekanisme alat ukur SEM dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Sampel diletakkan di dalam cawan, kemudian sampel tersebut dilapisi emas.

2. Sampel disinari dengan pancaran elektron bertenaga kurang lebih 20 kV sehingga sampel memancarkan elektron turunan (secondary electron) dan elektron terpantul (back scattered electron) yang dapat dideteksi dengan

detector scintilator yang diperkuat sehingga timbul gambar pada layar CRT.

3. Pemotretan dilakukan setelah dilakukan pengesetan pada bagian tertentu, dari objek dan perbesaran yang diinginkan sehingga diperoleh foto yang dapat diidentifikasi.

3. 5. 8. 2. Analisa Mikrostruktur dengan Difraksi Sinar –X (XRD)

Struktur kristal atau fasa yang terbentuk dari beton ringan berpori dapat diidentifikasikan berdasarkan data yang diperoleh dari alat X-ray Diffraction (XRD), seperti pada gambar 3. 9.

θ θ 2

Gambar 3. 2 Skema peralatan Difraksi Sinar-X (XRD)

Hasil ang diperoleh adalah berupa pola difraksi yang menyatakan hubungan antara intensitas (I) terhadap sudut difraksi (2θ), kemudian pola ini dicocokkan nilai jarak kisi (d) dengan data dari JCPDS card untuk mengetahui fasa yang terbentuk.

y

Pada gambar 3. 9, peralatan X-ray Diffraction (XRD) terdiri dari:

1. Generator tegangan tinggi (A) yang berfungsi sebagai catu daya pada sumber sinar - X (B)

Dokumen terkait