• Tidak ada hasil yang ditemukan

Biologi Tanaman Tomat Taksonomi dan Klasifikasi

Kingdom : Plantae Subkingdom : Tracheobionta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Subkelas : Asteridae Ordo : Solanales Famili : Solanaceae Genus : Solanum L.

Spesies : Solanum lycopersicum L. (Costa & Heuvelink 2005)

Morfologi

Tomat merupakan tanaman yang berumur pendek. Tanaman ini dapat tumbuh dengan tinggi 1 sampai 3 meter atau lebih, tergantung varietasnya. Akar tanaman tomat berbentuk serabut yang menyebar ke segala arah. Kemampuan menembus tanahnya terbatas pada kedalaman 30 sampai 70 cm. Tomat memiliki batang berbentuk silinder dengan diameter batang mencapai 4 cm. Batang tanaman tomat dapat bercabang banyak dan menyebar apabila tidak dilakukan pemangkasan. Daun tanaman tomat berwarna hijau dan memiliki rambut-rambut halus. Tangkai daun tomat berbentuk bulat memanjang sekitar 7 sampai 10 cm dengan ketebalan 0.3 sampai 0.5 cm. Daun tomat berbentuk oval, memiliki gerigi dan memiliki banyak celah-celah yang menyirip agak melengkung kedalam pada bagian tepinya. Daun tomat merupakan majemuk ganjil, yang berjumlah sekitar 5 sampai 7 helai dan antara pasangan-pasangan daun terdapat daun kecil yang disebut foliol (Costa & Heuvelink 2005).

Syarat Tumbuh

Tanaman tomat merupakan tanaman yang dapat dibudidayakan di dataran tinggi maupun dataran rendah. Tomat dapat tumbuh pada ketinggian antara 100 -600 m di atas permukaan laut (dpl) dan pada ketinggian ekstrem 1000 – 2500 m dpl. Tanaman ini baik ditanam pada suhu 17 – 23 oC. Kelembapan relatif yang diperlukan untuk tanaman tomat adalah 80%. Curah hujan yang dibutuhkan tanaman tomat sekitar 750 – 1250 mm/tahun. Tanah yang sesuai untuk budidaya tanaman tomat adalah tanah dengan pH 5.5 – 6.5 dan tidak tergenang atau becek (Costa & Heuvelink 2005).

Tomat memerlukan lama penyinaran 10 – 12 jam per hari. Cahaya digunakan tanaman untuk proses fotosintesis. Kekurangan sinar matahari dapat menyebabkan umur panen menjadi lebih lama, pertumbuhan memanjang (etiolasi), batang lemah dan pucat karena pembentukan zat hijau daun (klorofil) tidak sempurna. Pada lain sisi sinar matahari yang terlalu terik juga kurang baik untuk tanaman tomat karena transpirasi akan meningkat sehingga buah dan bunga akan mudah gugur (Costa & Heuvelink 2005).

5

Biologi Nematoda Puru Akar Meloidogyne incognita Taksonomi dan Klasifikasi

Fillum : Nemata atau Nematoda Klas : Secernantea

Sub klas : Diplogaster Ordo : Tylenchida Sub Ordo : Tylenchina Super Famili : Tylenchoidea Famili : Meloidogynidae Genus : Meloidogyne

Spesies : Meloidogyne incognita

(Carneiro & Cofcewicz 2008). Morfologi

Meloidogyne incognita memiliki tubuh transparan seperti nematoda lain pada umumnya. Juvenil 2 (J2) berbentuk silindris dan memiliki panjang tubuh ± 450 µm. Stilet dan kerangka kepala J2 mengalami sklerotinasi yang tipis. Ekor nematoda ini memiliki bentuk kerucut hialin dimulai dekat ujung ekor (Luc et al.

2005).

Nematoda jantan dewasa memiliki panjang tubuh 887-1268 µm. Bentuk kepala M. incognita jantan tidak berlekuk dan memiliki stilet yang lebih panjang bila dibandingkan dengan nematoda betina. Nematoda jantan memiliki panjang stilet 16-19 µm. Ekor M. incognita terbilang pendek dan membulat, pada bagian posterior terpilin (Eisenback & Hirschmann 1979).

Nematoda betina dewasa berbentuk seperti buah pir dengan leher pendek dan posterior membulat. Rata-rata ukuran panjang tubuh M. incognita betina dewasa adalah 921 µm. Kerangka kepala nematoda betina terbilang lembek dengan lubang ekskresi terletak agak anterior sampai pada lempeng klep bulbus median dan sering terlihat pada basal stilet. Vulva dari M. incognita betina terletak subterminal dekat anus, kutikula berwarna agak keputihan, tipis, dan beranulasi jelas (Eisenback & Hirschmann 1979; Eisenback et al. 1980).

Pola Perineal

Identifikasi morfologi sidik pantat (pola perineal) merupakan cara alternatif untuk mengetahui spesies Meloidogyne. Teknik ini dapat dilakukan pada nematoda betina dewasa. Setiap spesies memiliki pola perineal yang unik dan berbeda dengan spesies lainnya. Ciri khas pada setiap spesies terlihat pada tanda yang mengelilingi vulva dan anus (perineum). M. arenaria memiliki ciri perineal pada lengkung dorsal yang rendah dan ramping di sekitar garis lateral. Bagian lengkung stria memiliki cabang di dekat garis lateral dan bagian stria atas lebih mendatar (Gambar 2A). M. hapla memiliki ciri pada lengkung dorsal yang rendah dengan bagian ujung membentuk sayap ke bagian lateral baik pada salah satu maupun kedua ujungnya, dan daerah ujung ekor terdapat tonjolan-tonjolan seperti duri (Gambar 2B). M. incognita memiliki ciri terdapat lengkung dorsal yang tinggi dan menyempit, sedangkan pada bagian paling luarnya sedikit melebar dan agak mendatar, tidak memiliki garis lateral dan bagian stria terlihat jelas (Gambar 2C). M. javanica dicirikan dengan adanya dua garis lateral yang memisahkan

6

bagian dorsal dan bagian ventral yang sangat jelas (Gambar 1D) (Eisenback et al.

1981).

Gambar 2 Pola perineal spesies Meloidogyne: (a) M. arenaria, (b) M. hapla, (c)

M. incognita, dan (d) M. javanica (Sumber: Eisenback et al. 1981) Siklus Hidup

Siklus hidup M. incognita terdiri atas 3 stadia, yaitu telur, juvenil, dan dewasa. Stadia juvenil terbagi menjadi 4 tahap juvenil, yaitu Juvenil 1 (J1), Juvenil 2 (J2), Juvenil 3 (J3), dan Juvenil 4 (J4). Setiap stadium pada siklus hidup

M. incognita terdapat pada tempat yang berbeda (Gambar 3) (Mitkowski & Abawi 2003).

Gambar 3 Siklus hidup nematoda puru akar (Sumber: Mitkowski & Abawi 2003) Telur M. incognita dihasilkan oleh nematoda betina dewasa dan diletakkan berkelompok pada massa gelatinus supaya telur terlindungi dari kekeringan dan jasad renik (Orion & Kritzman 2001). Telur M. incognita mengandung zigot sel tunggal, kemudian berkembang menjadi J1 di dalam telur. J1 akan menetas menjadi J2 dan mengalami pergantian kulit pertamanya. J2 yang menetas akan keluar dari cangkang telur dan berada di tanah sebagai stadium infektif. J2 akan

d c

b a

7

mencari tanaman inang, dan masuk ke dalam jaringan tanaman inang, lalu menginfeksi tanaman inang. Setelah menemukan tempat infeksi yang cocok, J2 akan mengalami pertumbuhan dan pergantian kulit tiga kali berturut-turut menjadi J3, J4, dan dewasa (Curto et al. 2005; Khan et al. 2006).

Setelah dewasa nematoda jantan akan meninggalkan akar dan nematoda betina hidup menetap pada jaringan akar inang (Khan et al. 2006). Organ reproduksi M. incognita akan terlihat setelah menjadi betina dewasa. Pada saat M. incognita betina menjadi dewasa pola sidik pantat akan terbentuk (Khan 2003). Siklus hidup nematoda dipengaruhi oleh tipe tanah. Beberapa hal yang dapat mempengaruhi perkembangan nematoda adalah tekstur tanah, aerasi, kelembapan, pH, kandungan bahan organik dan anorganik tanah. Nematoda menyukai lingkungan yang lembap dan aerasi yang baik. Pertukaran udara di dalam tanah juga mempengaruhi perkembangan nematoda. Perkembangan nematoda akan baik jika keadaan udara di dalam tanah cukup. Kondisi oksigen yang rendah di dalam tanah dapat menghambat penetasan telur nematoda. Selain berpengaruh terhadap penetasan telur, oksigen juga mempengaruhi pergantian kulit nematoda (Garbeva

et al. 2004; Talavera & Mizukubo 2005; Ros et al. 2008). Mekanisme Patogenesis

J2 yang baru menetas dari telur bergerak aktif di dalam tanah menuju akar tanaman inang. Proses infeksi diawali ketika J2 melakukan penetrasi ke dalam jaringan akar tumbuhan melalui epidermis akar yang terletak di sekitar tudung akar. J2 masuk ke dalam jaringan akar dengan membuat lubang atau luka pada akar menggunakan stilet. Selain penetrasi secara mekanis, M. incognita juga mengeluarkan enzim yang berperan untuk menguraikan dinding sel tanaman yang terdiri dari protein, polisakarida seperti pektin, selulase, dan hemiselulase. Terurainya bahan-bahan penyusun dinding sel menyebabkan dinding sel rusak dan mudah untuk dipenetrasi. J2 bergerak diantara sel-sel menuju sel dekat silinder pusat atau berada di daerah pertumbuhan akar samping (Gheysen & Fenoll 2002; Caillaud et al. 2008; Gheysen & Mitchum 2011).

Infeksi terjadi ketika J2 menginjeksikan senyawa sinyal (elisitor) melalui stilet ke dalam jaringan inang. Senyawa sinyal tersebut menyebabkan perubahan fisiologis pada tanaman inang dan berujung pada membesarnya sel inang (giant cells) (Mitkowski & Abawi 2003). Giant cells yang terbentuk merupakan respon inang atas diinjeksikannya elisitor oleh nematoda. Tanaman inang mendistribusikan banyak nutrisi ke giant cells yang selanjutnya akan dimanfaatkan oleh nematoda sebagai sumber nutrisi (Abad et al. 2003;

Karczmarek et al. 2004; Vovlas et al. 2005). Gejala Penyakit

Gejala umum yang disebabkan oleh infeksi M. incognita adalah menguningnya daun, tanaman menjadi kerdil, pertumbuhan terhambat, layu pada siang hari meskipun air tersedia bagi tanaman. Gejala terjadi akibat kerja saluran pengangkut air dan nutrisi (xylem dan floem) terganggu. Selain gejala di atas permukaan tanah, serangan nematoda juga menyebabkan gejala di bawah permukaan tanah yaitu pada akar tanaman. Tanaman yang terinfeksi oleh M. incognita akan menunjukkan gejala hipertropi dan hiperplasia, sehingga menyebabkan jaringan akar tanaman membengkak. Jaringan akar tanaman yang

8

bengkak tersebut banyak dikenal sebagai puru. Puru terbentuk karena terjadi pembelahan sel dan pembesaran sel secara berlebihan pada jaringan perisikel tanaman (Williamson & Gleason 2003; Karczmarek et al. 2004; Caillaud et al.

2008).

Infeksi M. incognita menyebabkan sistem perakaran tanaman tidak normal, bahkan pada intensitas yang tinggi dapat menyebabkan disfungsi sistem perakaran secara total. Infeksi NPA pada akar juga menyebabkan terhambatnya penyerapan air dan unsur hara ke seluruh bagian tanaman. Akar tanaman yang terinfeksi oleh NPA biasanya memiliki ukuran kecil, hanya memiliki sedikit akar lateral, dan berpuru. Bentuk puru akibat serangan NPA berbeda, tergantung pada spesies NPA yang menginfeksi. Paulson dan Webster (1970) melaporkan bahwa bentuk puru akibat infeksi M. hapla seperti manik-manik dan cenderung lebih kecil dibandingkan dengan puru yang diakibatkan oleh spesies NPA yang lain.

Bakteri Endofit Sejarah Perkembangan Bakteri Endofit

Definisi endofit pertama kali dipopulerkan oleh seorang botanis Jerman bernama Heinrich Friedrich pada tahun 1809. Saat itu endofit lebih dikenal dengan sebutan "entophytae" yang berarti sekelompok atau beberapa kelompok cendawan patogen yang hidup di dalam jaringan tanaman. Pada awal abad ke-19 terdapat kepercayaan bahwa tanaman yang sehat atau tumbuh normal merupakan tanaman yang tidak mengandung mikroorganisme sama sekali di dalam jaringannya. Namun pernyataan tersebut dibantah oleh Galippe yang menyatakan bahwa dalam tanaman yang sehat juga terdapat mikroorganisme. Galippe menjelaskan bahwa mikroorganisme yang berada di dalam jaringan tanaman bisa jadi merupakan mikroorganisme tanah yang bermigrasi ke dalam jaringan tanaman. Mikroorganisme tersebut diketahui memberikan keuntungan bagi tanaman. Sejak saat itu sampai dengan sekarang dunia ilmu pengetahuan mengakui bahwa mikroba endofit seperti bakteri, cendawan, archaea, algae, amoeba, dan jenis lainnya memiliki peran dalam kesehatan tanaman. Pada tahun 1991 Orlandi Petrini mendefinisikan endofit sebagai "semua organisme yang hidup di dalam jaringan tanaman pada sebagian atau seluruh siklus hidupnya tanpa menyebabkan gejala pada tanaman inangnya" (Hardoim et al. 2015).

Interaksi Bakteri Endofit dengan Tanaman

Bakteri endofit merupakan bakteri yang seluruh atau sebagian siklus hidupnya berada dalam jaringan tanaman dan berasosiasi dengan tanaman inang tanpa menimbulkan gejala penyakit pada tanaman inang (Rosenblueth & Martínez-Romero 2006; Ryan et al. 2008). Bakteri endofit memberikan keuntungan pada tanaman inang dengan mekanisme simbiosis mutualisme. Interaksi antara tanaman inang dengan bakteri endofit adalah saling menguntungkan, dimana bakteri endofit mendapatkan tempat hidup dan nutrisi dalam jumlah kecil untuk bertahan hidup dan tanaman mendapatkan manfaat dengan terpacunya pertumbuhan tanaman dan peningkatan ketahanan tanaman dari hama dan patogen. Bakteri endofit diketahui mampu memproduksi antibiotik dan metabolit sekunder yang sangat penting bagi tumbuhan (Nejad & Johnson 2000; Kloepper et al. 2004; Rosenblueth & Martínez-Romero 2006; Ryan et al.

9

2008). Keberadaan bakteri endofit di dalam jaringan tanaman dapat berasal dari lingkungan eksternal dan masuk kedalam jaringan tanaman melalui stomata, lentisel, luka, akar lateral, dan akar yang berkecambah. Selain melalui lubang alami yang terdapat pada tanaman, bakteri endofit juga dapat masuk dari lingkungan ke dalam jaringan tanaman melalui luka lain seperti luka pada tumbuhan yang diakibatkan oleh nematoda (Hallmann et al. 1997; Bressan & Borges 2004; Kaga et al. 2008; Reinhold-Hurek & Hurek 2011).

Bakteri Endofit sebagai Agens Hayati

Bakteri endofit digunakan sebagai agens hayati karena memiliki banyak kelebihan. Bakteri endofit diketahui mampu merangsang pertumbuhan tanaman lebih baik dibandingkan dengan mikroorganisme yang hidup bebas (Ryan et al.

2008). Keterikatan endofit dengan inangnya merupakan keuntungan bagi endofit karena mereka tidak harus bersaing dalam ekosistem yang baru dan kompleks. Pengendalian biologi menggunakan bakteri endofit merupakan alternatif pengendalian yang ramah lingkungan. Keunggulan lain dari bakteri endofit sebagai agens hayati adalah mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman yang dikenal dengan plant growth promotor (PGP). Mekanisme bakteri endofit sebagai PGP adalah meningkatkan ketersediaan nutrisi, menghasilkan hormon pertumbuhan serta dapat menginduksi ketahanan tanaman yang dikenal dengan

induced systemic resistance (ISR) (Benhamou et al. 1996; Kloepper et al. 2004; Compant et al. 2005; Kloepper & Ryu 2006).

Keefektifan bakteri endofit sebagai agens pengendali nematoda telah diketahui. Hasil penelitian menunjukkan penggunaan bakteri endofit yang diisolasi dari mentimun dan kapas dapat mengurangi populasi M. incognita pada mentimun sampai 50% (Hallmann et al. 1998). Bakteri endofit Bacillus pumilus

dan B. mycoides efektif mengurangi jumlah puru dan telur M. incognita sampai 39% pada kopi (Mekete et al. 2009).

Bakteri Endofit sebagai Agens Pemacu Pertumbuhan Tanaman

Penelitian yang dilakukan Harni dan Munif (2012) menunjukkan bakteri endofit yang diisolasi dari tanaman kehutanan mampu memacu pertumbuhan tanaman lada di rumah kaca dan di lapangan. Karakter yang tumbuh lebih baik dibandingkan dengan tanaman yang tidak diberi perlakuan bakteri endofit adalah tinggi tanaman, panjang akar, bobot akar dan bobot tanaman, serta jumlah buah lada. Wibowo (2013) berhasil mengisolasi bakteri endofit dari tanaman Mahoni, Trembesi, Gaharu, dan Meranti yang kemudian diuji pada tomat. Bibit tomat yang diberi perlakuan perendaman akar dengan bakteri endofit menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan yang tidak direndam.

Kemampuan bakteri endofit sebagai PGP dan menginduksi ketahanan melalui mekanisme ISR berimplikasi pada meningkatnya hasil tanaman (Rosenblueth & Martínez-Romero 2006; Ryan et al. 2008). Peningkatan pertumbuhan bibit tomat yang diberi perlakuan dengan konsorsium bakteri endofit diduga karena bakteri endofit mampu menambat nitrogen, meningkatkan aktivitas fotosintesis, dan memproduksi hormon pertumbuhan seperti indole acetic acid

(IAA) (Prakamhang et al. 2009; Phetcharat & Duangpaeng 2012). Penelitian sebelumnya membuktikan bahwa aplikasi bakteri endofit yang diisolasi dari tanaman kaktus (Mammillaria fraileana) mampu meningkatkan pertumbuhan

10

tanaman kaktus. Mekanisme yang terjadi adalah bakteri endofit berperan dalam memobilisasi elemen-elemen hara yang berasal dari batuan sehingga mampu meningkatkan aktivitas fotosintesis dan akumulasi biomassa (Lopez et al. 2012). Konsorsium Bakteri Endofit

Konsorsium bakteri endofit merupakan kumpulan beberapa bakteri yang hidup di dalam jaringan tanaman. Konsorsim terdiri atas dua atau lebih jenis bakteri yang berbeda. Keefektifan konsorsium dibandingkan dengan isolat tunggal bakteri telah dilaporkan pada berbagai bidang. Molina et al. (2009) melaporkan konsorsium bakteri memiliki keefektifan yang tinggi untuk meremidiasi tanah yang terkontaminasi oleh minyak. Pada bidang perkebunan Halimah et al. (2015) melaporkan konsorsium bakteri endofit dapat menekan tingkat infeksi nematoda

Pratylenchus coffeae. Selain menekan tingkat infeksi P. coffeae konsorsium bakteri endofit juga dilaporkan meningkatkan pertumbuhan tanaman kopi. Pertumbuhan tajuk dan panjang akar tanaman kopi yang diberi perlakuan konsorsium bakteri endofit mengalami peningkatan. Munif et al. (2015) juga melaporkan bahwa konsorsium bakteri endofit yang diisolasi dari tanaman kehutanan efektif meningkatkan pertumbuhan tanaman tomat. Tinggi tanaman, berat segar, dan panjang akar tanaman tomat yang diberi perlakuan bakteri endofit mengalami peningkatan sampai dengan 37%.

Formulasi Agens Hayati Jenis dan Fungsi Formulasi

Formulasi adalah tahap akhir dari penjaringan agens hayati. Terdapat tiga jenis formulasi yang umum digunakan di masyarakat, yaitu formulasi tepung, kompos, dan cair. Beberapa perusahaan benih juga melakukan formulasi pada permukaan benih dengan harapan mampu melindungi benih selama penyimpanan, perkecambahan, sampai pertumbuhan (Soesanto 2008).

Formulasi merupakan langkah awal dalam usaha pengendalian hayati yang dapat diusahakan secara komersial. Prinsip dari formulasi adalah mencampurkan organisme dalam bahan pembawa yang dilengkapi dengan bahan tambahan untuk memaksimalkan kemampuan bertahan hidup di penyimpanan, mengoptimalkan aplikasi organisme target dan melindungi organisme pengendali hayati setelah aplikasi. Fungsi dari formulasi adalah stabilisasi organisme selama produksi, distribusi penyimpanan, mengubah aplikasi produk, melindungi agens dari faktor lingkungan yang dapat menurunkan kemampuan bertahan hidupnya serta meningkatkan aktivitas dari agens hayati untuk mengendalikan organisme target. Formulasi ada dua tipe yaitu produk berbentuk padatan (tepung dan butiran) serta berbentuk suspensi (berbahan dasar minyak atau air, dan emulsi) (Copping & Menn 2000; Hynes & Boyetchko 2006; Glare et al. 2012).

Bahan pembawa agens hayati yang pertama kali dikenalkan ke masyarakat berbentuk tepung (talk). Tepung banyak digunakan sebagai bahan pembawa karena mudah ditemui, murah, dan memiliki daya simpan yang lama. Beberapa bakteri seperti dari kelompok Pseudomonas dan Enterobacteriaceae yang telah diatur tekanan osmotiknya di dalam media dengan penambahan sukrosa, 1% metil selulosa, dan talk dapat bertahan sampai 12 bulan dalam formulasi tersebut (Caesar & Burr 1991).

11

Pemilihan bahan pembawa dapat dilakukan dengan melihat tujuan formulasi dan jenis agens bakteri yang akan diformulasi. Bahan pembawa yang sesuai dapat menjaga viabilitas sel bakteri. Tantangan yang dihadapi dalam penyimpanan bakteri berformula adalah perubahan bentuk dan kualitas selama disimpan (Habazar et al. 2015).

Formulasi Tepung

Talk adalah mineral dengan komposisi kimia (Mg3SiO10(OH)2). Mineral ini terbentuk dari hasil hidrasi batuan pembawa magnesium seperti dolomit, periodit, dan gabro. Talk bersifat sangat lunak, halus, licin, penghisap minyak dan lemak, konduktivitas listrik rendah, penghantar panas tinggi, berkekuatan tinggi, memiliki ukuran <20 µm. Bahan ini diketahui memiliki asosiasi dengan kaolinit dan gibsit yang sangat kuat (Dixon 1989).

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui viabilitas sel bakteri pada berbagai macam formulasi talk. Kuenpech dan Akarapisan (2014) melaporkan bahwa talk yang dicampurkan dengan tepung gandum, sodium alginate, gliserin, sukrosa, yeast extract mampu mempertahankan viabilitas sel bakteri Bacilus subtilis isolat B6. Selain mampu mempertahankan viabilitas sel bakteri formulasi tersebut juga diketahui mampu menekan pertumbuhan cendawan Colletrotichum sp. yang berasal dari tanaman anggrek.

Formulasi Kompos

Kompos merupakan hasil perombakan bahan organik oleh mikroba dengan hasil akhir kompos yang memiliki nisbah C/N rendah. Kompos dapat dibuat dengan penambahan mikroba perombak bahan organik kedalam bahan organik. Ciri-ciri kompos yang sudah matang adalah warnanya coklat tua, tidak berbau busuk tetapi berbau tanah atau fermentasi, suhu stabil, pH alkalis, dan C/N rasio <20 (Wei et al. 2000; Peigné & Girardin 2004; Moldes et al. 2007).

Aplikasi kompos pada media tanaman merupakan salah satu cara yang kerap digunakan untuk menambah nutrisi pada tanaman. Penambahan kompos dapat meningkatkan ketersediaan nutrisi di tanah. Pemberian pupuk organik (kompos) dengan takaran 20 ton/Ha mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman sampai minggu ke-16 (Syukur 2006). Saat ini kompos telah banyak mengalami modifikasi, salah satunya adalah dengan penambahan mikroorganisme pada kompos. Aplikasi kompos yang diperkaya dengan bakteri endofit mampu memacu pertumbuhan tanaman dan meningkatkan kesehatan tanaman (Lestari 2006).

Penggunaan kompos sebagai media pembawa bakteri endofit memerlukan beberapa bahan tambahan. Bahan yang ditambahkan tersebut sebaiknya memiliki kandungan karbon dan nitrogen, karena kedua unsur tersebut memiliki pengaruh besar terhadap aktivitas bakteri di dalam formula kompos. Sumber karbon dapat diperoleh dari karbohidrat, lemak, dan asam-asam organik. Sedangkan kebutuhan nitrogen dapat dipenuhi dari protein, amoniak, dan nitrat. Sumber karbon yang digunakan sebaiknya memperhatikan faktor ketersediaan bahan, nilai ekonomis, dan cara mikroorganisme memanfaatkannya (Jinhua et al. 1998; Albareda et al.

2008; Nur 2013; Bashan et al. 2014).

Salah satu sumber karbon yang dapat dimanfaatkan adalah molase karena ketersediaan bahan ini cukup banyak, harganya relatif murah, dan dapat digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya. Molase memiliki kandungan

12

gula sampai dengan 55%. Alasan lain penggunaan molase adalah selain sebagai pemanfaatan hasil samping pertanian, juga untuk meningkatkan nilai tambah hasil pertanian secara keseluruhan (Pratiwi 2010).

Formulasi Cair

Formulasi cair paling banyak ditemui di masyarakat, karena formulasi ini mudah diaplikasikan. Beberapa peneliti melakukan formulasi bakteri dengan menggunakan limbah air kelapa. Air kelapa memiliki nutrisi yang cukup lengkap, yaitu 4% karbohidrat, 0.1% lemak, 0.02% kalsium, 0.01% fosfor, 0.05% besi, protein 9 g/L, vitamin C, vitamin B kompleks, dan garam-garam mineral (Yong et al. 2009).

Limbah tetes tebu atau molase juga dapat digunakan untuk formulasi cair. Molase adalah sisa dari proses pembuatan gula yang telah dipisahkan gulanya melalui proses kristalisasi berulang kali sehingga tidak mungkin lagi menghasilkan gula dengan kristalisasi konvensional. Pada proses pembuatan gula akan dihasilkan 4.5% molase dari total produk gula yang terbuat. Molase dapat digunakan sebagai bahan baku fermentasi yang dapat menghasilkan etanol, asam asetat, asam sitrat, monosodium glutamat (MSG), dan asam laktat (Quan et al.

2005; Dumbrepatil et al. 2008).

Molase berupa cairan kental, berbau, berasa pahit, dan memiliki warna hitam kecokelatan. Komposisi molase terdiri atas gula, sukrosa, protein, air, dan abu. Meskipun molase sebagai produk samping dari pembuatan gula, namun molase masih memiliki 55.37% total gula, 30.62% sukrosa, 3.89% protein, 20.33% air, dan 13.09% abu (Rahmasari 2001).

Kandungan yang terdapat di dalam molase memungkinkan molase dapat digunakan sebagai bahan pencampur formulasi. Molase memiliki struktur kimia yang lebih sederhana bila dibandingkan dengan selulosa dan lignin. Meskipun molase memiliki nisbah C/N yang tinggi, molase tergolong bahan yang mudah untuk didekomposisi. Brady dan Weil (2010) menjelaskan bahwa gula merupakan senyawa organik yang sangat mudah didekomposisi dibandingkan dengan selulosa dan lignin.

13

3 METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Nematologi Tumbuhan dan Rumah Kaca Cikabayan Institut Pertanian Bogor, dari bulan Desember 2014 sampai dengan bulan Agustus 2015.

Perbanyakan Inokulum Meloidogyne incognita Pemurnian Inokulum

Inokulum M. incognita didapatkan dari paket telur Meloidogyne spp. yang ditetaskan dan diperbanyak pada tanaman tomat. Paket telur diperoleh dari akar tanaman tomat di lahan percobaan IPB yang berlokasi di Desa Pasir Sarongge, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur. Satu paket telur diambil kemudian diinokulasikan pada tanaman tomat yang ditanam pada tanah steril. Enam puluh hari setelah inokulasi, dilakukan pemanenan telur pada tanaman tomat. Telur yang

Dokumen terkait