• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profil Daerah Aliran Sungai Lokasi dan Geografis

Kota Tebing Tinggi merupakan salah satu dari tujuh kota di Sumatera Utara yang memiliki luas 41.453 km2. Hingga Desember 2012, Kota Tebing Tinggi terdiri dari 5 Kecamatan dan 35 Kelurahan. Kecamatan Padang Hilir merupakan salah satu dari lima kecamatan yang ada di wilayah Kota Tebing Tinggi. Kecamatan Padang Hilir merupakan kecamatan yang terluas dengan luas 11.411 km2 atau 29,76 % dari luas Kota Tebing Tinggi. Sebagian besar (50,86%) lahan di Kota Tebing Tinggi digunakan sebagai lahan pertanian. wilayah Kota Tebing Tinggi. Letak Kecamatan Padang Hulu berada pada arah Selatan menuju kota Pematang Siantar. Keadaan topografi Padang Hulu sedikit bergelombang dibandingkan kecamatan lainnya (BPS,2012).

Berikut ini merupakan tabel luas lahan Kota Tebing Tinggi menurut jenis penggunaannya :

Tabel

Luas Lahan Kota Tebing Tinggi menurut Penggunaan tahun 2011

: 1.

No. Jenis Penggunaan

Luas Lahan Land Area Kind of Use Ha % [ 1 ] [ 2 ] [ 3 ] [ 4 ] 1. Pemukiman 1.389,91 36,16 Residences 2. Sarana Sosekbud 241,78 6, 29 Social, Economy, Culture Facilities

3. Perhubungan [ Jalan Umum & Kereta Api ] - - Transportations

4. Pertanian [ sawah, tegalan/kebun ] 1.954,96 50,86 Agriculture 5. Industri 22,68 0,59 Industries 6. Semak Belukar 133,76 3,48 Underbrush

7. Lain-Lain [ termasuk rawa-rawa ]

100,71 2,62 Others [ including swamps ]

Sumber: BPS, 2012

Lahan dan Penggunaannya

Lahan adalah suatu lingkungan fisik terdiri atas tanah, iklim, relief, hidrologi, vegetasi, dan benda-benda yang ada di atasnya yang selanjutnya semua faktor-faktor tersebut mempengaruhi penggunaan lahan, termasuk di dalamnya

hasil kegiatan manusia, baik di masa lampau maupun sekarang (FAO. 1975, dalam Arsyad, 1989).

Menurut Arsyad (1989), sifat-sifat lahan (land characteristics) merupakan suatu keadaan unsur-unsur yang dapat diukur, dan sifat lahan tersebut akan dapat menentukan dan mempengaruhi prilaku lahan seperti ketersediaan air, peredaran udara, perkembangan akar, kepekaan erosi, ketersediaan unsur hara dan

sebagainya, sehingga perilaku lahan sangat menentukan pertumbuhan vegetasi yang disebut sebagai kualitas lahan.

Perubahan tata guna lahan merupakan penyebab utama banjir di bandingkan dengan yang lainnya. Sebagai contoh, apabila suatu hutan yang berada dalam suatu daerah aliran sungai diubah menjadi pemukiman, maka debit puncak sungai akan meningkat antara 6 sampai 20 kali. Angka 6 dan angka 20 ini tergantung pada jenis hutan dan pemukiman (Kodoatie dan Sjarief, 2010).

Secara kuantitatif perubahan penggunaan lahan dan contoh kenaikan debitnya di tunjukkan dalam tabel berikut:

Tabel 2. Peningkatan Debit Puncak Suatu Sungai Akibat Perubahan Tata Guna Lahan

Land Use Debit (Q) puncak (m3/detik) Kenaikan Minimum Maximum Hutan 10 10 Referensi Rerumputan 23 25 2-2,5 kali Taman 17 50 2 -5 kali Sawah 35 90 2,5 -9 kali Pemukiman 50 200 5- 20 kali Industri/niaga 60 250 6 -25 kali Beton/aspal 63 350 6,3-35 kali

Sumber :Kodoatie dan Sjarief,2010

Suatu kawasan hutan apabila diubah menjadi pemukiman maka yang terjadi adalah bahwa hutan yang sejatinya bisa menahan run off cukup besar di ganti menjadi pemukiman yang memiliki resistensi run off yang kecil. Akibatnya

ada peningkatan aliran permukaan tanah yang menuju sungai dan hal ini berakibat adanya peningkatan debit sungai yang besar (Kodoatie dan Sjarief, 2010)

Daerah Aliran Sungai (DAS)

Keberadaan dan kondisi eksosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) atau sering disebut cekungan sungai merupakan salah satu isu nasional dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini dikarenakan salah satu variabel terjadinya banjir adalah kondisi DAS yang kritis, seperti terjadinya penyimpangan tata guna lahan. Kondisi ini menyebabkan berkurang atau malah hilangnya daerah resapan sebagai penyangga terhadap beban banjir yang terlalu besar sehingga berakibat tingginya curah hujan yang terjadi (Salim dkk, 2006 dalam Sosrodarsono, 1999).

Daerah Aliran Sungai (DAS) ditandai dengan adanya sungai utama yang langsung bermuara ke danau atau laut. Sungai utama adalah kumpulan anak sungai yang airnya berasal dari tangkapan air hujan dari wilayah yang di batasi pembatas topografi menuju ke anak sungai tersebut. Batas wilayah hingga ke pembatas topografi yang mengalirkan air hujan yang ditangkapnya menuju anak sungai itu disebut kawasan Sub DAS. Selanjutnya pada setiap anak sungai yang menjadi pengaliran air dari sebuah Sub DAS akan dikontribusi dari anak – anak sungai yang mendapatkan air hujan dari daerah tangkapan air dan mengalirkannya (bermuara) ke anak sungai. Wilayah tangkapan air hujan dari anak – anak sungai ini disebut dengan Sub - sub DAS, guna memudahkan

pemahaman tentang sub DAS dan Sub - Sub DAS dari sebuah DAS (Rauf dkk, 2011).

Curah hujan yang tinggi dianggap sebagai penyebab utama terjadinya bencana banjir di Indonesia, padahal ada faktor lain yang berperan penting terhadap terjadinya banjir selain curah hujan. Menurut Setiaji (2011) bencana banjir sangat dipengaruhi oleh faktor alam yaitu curah hujan di atas normal dan adanya pasang naik air laut. Di samping itu, aktivitas manusia juga turut berperan penting seperti alih fungsi lahan yang tidak tepat (pemukiman di bantaran sungai dan daerah resapan), pembuangan sampah ke sungai, penggundulan hutan dan sebagainya.

Ruang lingkup kegiatan pengelolaan DAS sebagaimana dinyatakan oleh (Dephut, 2008) meliputi :

1. Penatagunaan lahan (landuse planning) untuk memenuhi berbagai kebutuhan barang dan jasa serta kelestarian lingkungan;

2. Penerapan konservasi sumberdaya air untuk menekan daya rusak air dan untuk memproduksi air (water yield) melalui optimalisasi penggunaan lahan;

3. Pengelolaan lahan dan vegetasi di dalam dan luar kawasan hutan (pemanfaatan, rehabilitasi, restorasi, reklamasi dan konservasi);

4. Pembangunan dan pengelolaan sumberdaya buatan terutama yang terkait dengan konservasi tanah dan air;

5. Pemberdayaan masyarakat dan pengembangan kelembagaan pengelolaan DAS. Kajian penggunaan lahan dengan sumberdaya air secara umum dalam suatu DAS dapat dilihat dalam beberapa aspek berikut ini :

a. Penggunaaan lahan berdampak terhadap curah hujan. Lahan yang penuh ditutupi pepohonan seperti di pedesaan akan meningkatkan curah hujan sekitar 5- 6%.

b. Urbanisasi memberikan akibat terhadap aliran limpasan. Perubahan penutup lahan dari pedesaan ke perkotaan dapat meningkatkan debit banjir hingga 50%.

c. Tutupan kanopi pepohonan yang rapat dapat mengurangi debit banjir periode pendek. (Wibowo dalam Jackson,1989)

Tingkat kekritisan suatu DAS ditunjukkan oleh menurunnya penutupan vegetasi permanen dan meluasnya lahan kritis sehingga menurunkan kemampuan DAS dalam menyimpan air. Sampai tahun 2007 penutupan hutan di Indonesia sekitar 50 persen dari luas daratan dan ada kecenderungan luasan areal yang

tertutup hutan terus menurun dengan rata-rata laju deforestasi tahun 2000-2005 sekitar 1,089 juta ha per tahun, sedangkan lahan-lahan kritis dan

sangat kritis masih tetap luas yaitu sekitar 30,2 juta ha (terdiri dari 23,3 juta ha sangat kritis dan 6,9 juta ha kritis), serta erosi dari daerah pertanian lahan kering

yang padat penduduk tetap tinggi melebihi yang dapat ditoleransi (15 ton/ha/tahun) sehingga fungsi DAS dalam mengatur siklus hidrologi menjadi

menurun (Departemen Kehutanan, 2008). Daerah Aliran Sungai Padang

Kedudukan Kawasan DAS Padang dalam Sistem Perwilayahan

Daerah Aliran Sungai Padang merupakan salah satu dari sembilan DAS di wilayah Provinsi Sumatera Utara yang ditetapkan sebagai DAS Prioritas I melalui Keputusan Menteri Kehutanan No.328/Menhut-II/2009 tentang Penetapan DAS Prioritas dalam rangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2010-2014. Hal tersebut dapat diartikan bahwa DAS Sei Padang tergolong sebagai salah satu DAS yang prioritas pengelolaannya

paling tinggi karena menunjukkan kondisi dan permasalahan biofisik dan sosial

ekonomi DAS yang paling kritis atau tidak sehat (Departemen Kehutanan, 2008).

Secara administrasi Daerah Aliran Sungai Padang berada pada tiga Kabupaten/Kota yaitu Kabupaten Serdang Bedagai seluas 62,197,49 ha (56,20 %), Kabupaten Simalungun seluas 44,570,97 ha (40,27 %) dan Kota Tebing Tinggi seluas 3.903,39 ha (3.53 %). Adapun batas - batas DAS Padang adalah :

Sebelah Utara : Daerah Aliran Sungai Bedagai Sebelah Selatan : Daerah Aliran Sungai Hapal Sebelah Barat : Daerah Aliran Sungai Hapal Sebelah Timur : Daerah Aliran Sungai Bedagai (Biro Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, 2009)

Perubahan kondisi hidrologi Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya yang tidak terkendali, tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali mengarah pada kondisi yang kurang diinginkan, yaitu peningkatan erosi dan sedimentasi, penurunan produktivitas lahan, dan percepatan degradasi lahan. Hasil akhir perubahan ini tidak hanya berdampak nyata secara biofisik berupa peningkatan luas lahan kritis dan penurunan daya dukung lahan, namun juga secara sosial ekonomi menyebabkan masyarakat menjadi semakin kehilangan kemampuan untuk berusaha di lahannya. Oleh karena itu, peningkatan fungsi kawasan budidaya memerlukan perencanaan terpadu agar beberapa tujuan dan sasaran pengelolaan

3) produktivitas dan daya dukung lahan terjaga. Dengan demikian degradasi

lahan dapat terkendali dan kesejahteraan masyarakat dapat terjamin (Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan, 2009).

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Komponen penyusun Daerah Aliran Sungai (DAS) berbeda - beda bergantung pada keadaan daerah. Ekosistem ini terdiri atas empat yaitu desa, sawah, sungai dan hutan. DAS bagian hulu mempunyai arti penting terutama dari segi perlindungan tata air. karena itu, setiap terjadi kegiatan di daerah aliran bagian hilir dalam bentuk fluktuasi debit dan transport sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran air. Ekosistem DAS pada bagian hulu memiliki fungsi perlindungan ini antara lain fungsi tata air yang oleh karenanya pengelolaan DAS pada bagian hulu menjadi fokus perhatian, mengingat bagian hulu dan hilir memiliki keterkaitan biofisik (Rauf et all, 2011).

Fungsi utama sungai ada dua yakni mengalirkan air dan mengangkut sedimen hasil erosi pada DAS dan alurnya. Kedua fungsi ini berlangsung secara bersamaan dan saling mempengaruhi. Air hujan yang jatuh pada sebuah daerah aliran sungai (DAS) akan terbagi menjadi akumulasi – akumulasi yang tertahan sementara sebagai air tanah dan air permukaan, serta aliran permukaan yang sementara sebagai air tanah dan air permukaan. Aliran permukaan akan memasuki alur sebagai debit sungai dan terus dialirkan ke laut. Bersama masuknya run off ke sungai akan terbawa juga material hasil erosi yang terbawa olehnya. Transportasi sedimen ini tidak akan terjadi langsung dari hulu ke laut seketika, tetapi akan terjadi secara berantai di dalam proses pengendapan dan penggerusan yang terjadi di dalam dan di sepanjang alur sungai (Mulyanto, 2007).

Debit Aliran Sungai

Volume debit (Q) adalah total volume aliran (limpasan) yang keluar dari daerah tangkapan air atau DAS/Sub DAS, dalam satuan mm atau m³. Debit puncak atau debit banjir (qp, Qmaks) adalah besarnya volume air maksimum yang mengalir melalui suatu penampang melintang suatu sungai per satuan waktu, dalam satuan m³/detik (Departemen Kehutanan, 2010).

Debit aliran sungai merupakan komponen penting yang berhubungan dengan permasalahan daerah DAS seperti erosi, sedimentasi , banjir dan longsor. Oleh karena itu, pengukuran debit dan sedimen dilakukan dalam rangka monitoring DAS. Debit adalah jumlah air yang mengalir di dalam saluran atau sungai per unit waktu. Metode yang umum di gunakan dalam menetapkan debit adalah metode profil sungai (cross section). Pada metode ini debit merupakan hasil perkalian antara luas penampang vertikal sungai (profil sungai) dengan kecepatan aliran air (Rahayu dkk, 2009).

Arus memiliki energi atau kapasitas angkut yang sebanding dengan kecepatannya. Kapasitas angkut tersebut merupakan representasi dari tekanan (stress) yang terjadi akibat gesekan (friction) antara lapisan badan air yang bergerak dan dengan dasar perairan (Poerbandono dan Djunarsjah, 2008).

Teknik pengukuran debit aliran langsung di lapangan pada dasarnya dilakukan melalui empat kategori (Gordon,et all,1992 dalam Asdak, 2007).

• Pengukuran volume air sungai

• Pengukuran debit cara dengan mengukur kecepatan aliran dan menentukan luas penampang sungai

• Pengukuran debit dengan cara menggunakan bahan kimia • Pengukuran debit dengan membuat bangunan pengukur

(Asdak, 2007). Pengukuran Debit

Mengingat bentuk palung dan alur sungai yang berubah-ubah, maka dalam pemilihan lokasi pengukuran debit harus dipertimbangkan pengaruh pola aliran dalam palung sungai. Untuk itu perlu diperhatikan kriteria pemilihan lokasi pengukuran debit sungai, diantaranya adalah :

· Bentuk penampang sungai stabil

· Pola aliran air sungai dipilih yang stabil (aliran laminar) · Bentuk alur sungai lurus (tidak banyak berbatu)

· Mudah untuk penempatan alat ukur

· Mudah dijangkau oleh petugas/pencatat alat ukur debit (Susilo, 2011 dalam Rahayu, 2009).

Pengukuran biasanya dilakukan dengan membagi kedalaman sungai menjadi beberapa bagian dengan lebar berbeda. Kecepatan aliran sungai pada setiap bagian di ukur sesuai kedalaman. Selanjutnya jika kecepatan aliran telah diketahui, besarnya debit (Q) dapat dihitung dengan persamaan Bernoulli. Pada

Persamaan ini, nilai Q diperoleh dari hasil perkalian antara Kecepatan Aliran (V) satuan m/detik dan Luas Penampang Melintang (A) satuan m2. Secara

matematis dapat di tulis : Q = V X A (Asdak, 2007).

Sedimentasi

Dalam kehidupan sehari-hari banyak sekali ditemui istilah sedimen dan sedimentasi. Dalam kaitannya dengan sedimen dan sedimentasi ini, menurut Rahayu dkk (2009) ada beberapa ahli yang mendefinisikan sedimen dalam beberapa pengertian, salah satunya Petti John (1975) yang mendefinisikan sedimentasi sebagai proses pembentukan sedimen atau batuan sedimen yang diakibatkan oleh pengendapan material pembentuk atau asalnya pada tempat yang disebut dengan lingkungan pengendapan berupa sungai, muara, danau, delta, estuaria, laut dangkal sampai laut dalam.

Indikator terjadinya sedimentasi dapat dilihat dari besarnya kadar lumpur dalam air yang terangkut oleh aliran air sungai, atau banyaknya endapan sedimen pada badan-badan air dan atau waduk. Makin besar kadar sedimen yang terbawa oleh

aliran air berarti makin tidak sehat kondisi dasar sungai. Dasar sungai

kadang-kadang naik (agradasi), tetapi kadang-kadang turun (degradasi) dan naik turunnya dasar sungai disebut alterasi dasar sungai (River Bed Alteration) (Daoed dkk, 2010 dalam Sosrodarsono dan Tominaga, 1985).

Berdasarkan pada jenis sedimen dan ukuran partikel-partikel tanah serta komposisi mineral dari bahan induk yang menyusunnya, dikenal bermacam jenis sedimen seperti pasir, liat, dan lain sebagainya, tergantung dari ukuran partikelnya. Sedimen ditemukan terlarut dalam sungai atau disebut muatan sedimen (suspended sediment) dan merayap di dasar sungai atau dikenal sebagai sedimen merayap (bed load). Menurut ukuran, sedimen dibedakan menjadi liat

0,0039-0,0625 mm, pasir dengan ukuran partikel 0,0625-2,00 mm dan pasir besar dengan ukuran partikel 2,0-64,0 mm (Safarina dalam Asdak, 2007).

Pada sungai – sungai alamiah, umumnya kondisi dinamik material sedimen dasar sungai sudah mencapai kondisi stabil. Jumlah sedimen terendapkan (agradasi) dan erosi terangkut (degradasi) di suatu tempat tertentu di sepanjang

alur sungai relatif tetap untuk kurun waktu morfologis. Pada sungai muda (sungai baru terbentuk) termasuk sungai hasil sudetan, hasil pelurusan atau hasil

normalisasi, kondisi keseimbangan sedimen masih sangat labil, sehingga selalu terjadi ketidakseimbangan antara sedimen yang mengendap dan sedimen yang terangkut (Maryono, 2007).

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi proses sedimentasi adalah: a. Kecepatan Aliran Sungai

Kecepatan aliran maksimal pada tengah alur sungai, bila sungai membelok maka kecepatan maksimal ada pada daerah cut of slope (terjadi erosi). Pengendapan terjadi bila kecepatan sungai menurun atau bahkan hilang.

b. Gradien atau kemiringan lereng sungai

Bila air mengalir dari sungai yang kemiringan lerengnya curam kedataran yang lebih rendah maka keceapatan air berkurang dan tiba-tiba hilang sehingga menyebabkan pengendapan pada dasar sungai.

c. Bentuk alur sungai

Aliran air akan mengerus bagian tepi dan dasar sungai. Semakin besar gesekan yang terjadi maka air akan mengalir lebih lambat. Sungai yang dalam, sempit, dan permukaan dasar tidak kasar, aliran airnya deras. Sedangkan sungai yang lebar,

dangkal, dan permukaan dasarnya tidak kasar, atau sempit dalam tetapi permukaan dasarnya kasar, aliran airnya lambat.

(Umi dan Agus, 2002)

Laju erosi lebih besar pada lereng yang curam dibanding pada lereng yang datar. Semakin curam kemiringannya, semakin efektif kemampuan erosi percikan dalam menggerakkan tanah ke hilir lereng. Kecepatan aliran permukaan juga lebih besar pada lereng yang curam dan gerakan tanah lebih mungkin terjadi pada daerah yang curam. Panjang lereng juga faktor yang penting dalam laju eorosi. Lebih pendek lerengnya, lebih cepat material yang tererosi (Linsley et all,,1990).

Einstein (1964) menyatakan bahwa dua kondisi harus terpenuhi oleh

setiap partikel sedimen yang melalui penampang melintang dari sungai yakni : a. Partikel tersebut merupakan hasil jika transpor sedimen di daerah pengaliran

di hilir potongan melintang itu b. Partikel tersebut terbawa oleh aliran dari tempat erosi terjadi menuju penampang melintang itu. Kedua kondisi tersebut akan mempengaruhi laju transpor sedimen dalam. Untuk tujuan rekayasa ada dua sumber sedimen yang terangkut oleh sebuah sungai : material dasar yang menbentuk dasar sungai dan material halus yang datang dari tebing- tebing sungai

dan daerah pengaliran sungai sebagai bahan terhanyutkan (Kodoatie dan Sugiyanto, 2004).

Pengambilan Sedimen

Cara pengukuran muatan sedimen menggunakan teknik depth integrating, alat ukur sedimen diikatkan pada tongkat penduga. Besarnya sampel air untuk sekali pengukuran diusahakan kurang lebih 2/3 isi botol (Gordon et al.,1992 dalam Asdak, 2007). Di laboratorium, sampel air disaring dengan menggunakan

kertas saring dengan ukuran yang sesuai dengan tingkat akurasi data yang diinginkan. Selanjutnya sampel yang telah disaring dikeringanginkan lalu kemudian di ovenkan. Sedimen kering oven kemudian ditimbang dan dinyatakan dalam bentuk persentase dari berat total gabungan air dan sedimen.

Pada tahap pengolahan data, hasil perhitungan aliran debit dan sedimen di wujudkan dalam bentuk diagram dan peta menurut lokasi. Karena pengambilan sampel sedimen dilakukan bersama -sama dengan pengambilan data debit aliran, maka untuk data debit dan muatan sedimen bulanan atau tahunan dapat dibuatkan kurva hubungan antara keduanya yang lazim di sebut sebagai sediment-discharge rating curve (Asdak, 2007).

Hasil sedimen (sediment yield) adalah besarnya sedimen yang berasal dari erosi yang terjadi di daerah tangkapan air yang diukur pada periode waktu dan tempat tertentu. Hasil sedimen tergantung pada besarnya erosi total di Daerah Aliran Sungai (DAS) dan tergantung pada transport partikel-partikel tanah yang tererosi keluar dari daerah tangkapan air DAS. Produksi sedimen umumnya mengacu pada besarnya laju sedimen yang mengalir melewati satu titik pengamatan tertentu dalam suatu DAS. Besarnya hasil sedimen biasanya bervariasi mengikuti karakteristik fisik DAS. Satuan yang biasa digunakan adalah ton per ha² per tahun. Hasil sedimen biasanya diperoleh dari pengukuran sedimen terlarut dalam sungai atau dengan pengukuran langsung di dalam waduk. Cara lain yang dapat dilakukan untuk memprakirakan besarnya hasil sedimen dari suatu daerah tangkapan air adalah melalui perhitungan Nisbah Pelepasan Sedimen

(sediment delivery ratio) atau cukup dikenal dengan singkatan SDR (Sucipto, 2008 dalam Asdak , 2007).

Untuk mengetahui berapa jumlah sedimen melayang di sungai dapat dilakukan dengan cara mengambil contoh air sungai dengan volume tertentu

kemudian diendapkan dan dikeringkan dalam oven pada suhu 105°C selama 2 x 24 jam sampai keadaan kering oven dan kandungan air di dalamnya tetap

dengan menimbang berat kering sedimennya. Dari berat kering tersebut bisa diukur konsentrasi sedimen dalam contoh air. Selanjutnya, dengan data debit dapat diketahui hasil Debit Sedimen (Qs). Keberadaan sedimen di dalam air dapat diketahui dari kekeruhannya. Semakin keruh air berarti semakin tinggi konsentrasi sedimennya. Oleh karena itu, konsentrasi sedimen dapat didekati dari hasil pengukuran tingkat kekeruhan air (Rahayu dkk, 2009).

Cara memprakirakan besarnya hasil sedimen yakni dengan menghitung besarnya endapan yang ada di dasar sungai (bedload) maupun yang melayang. Pengukuran muatan sedimen melayang dilakukan dengan pengambilan sampel air dengan alat sampler U.S. DH 48. Debit sedimen dapat di hitung dengan cara :

�� = 0,0864 x C xQ

Dimana :

Qs : Debit sedimen (ton/hari), C : Konsentrasi sedimen ( mg/l) Q : Debit sungai (m3/s)

(Wulandari , 2009).

Linsley dkk, (1990) menyatakan bahwa sedimen bergerak di dalam sungai sebagai sedimen tersuspensi dalam air yang mengalir dan sebagai muatan dasar yang bergeser atau menggelinding sepanjang dasar aliran. Pada aliran turbulen, pengendapan partikel akibat gravitasi diimbangi oleh pengangkutan yang

mengarah ke atas dalam pusaran turbulen. Oleh karena konsentrasi bahan tersuspensi terbesar berada dekat dasar sungai, maka pusaran gerakan ke atas mengangkut sedimen lebih banyak daripada pusaran gerakan ke bawah. Sedimen total dapat di hitung dengan suatu cara yang sistematis dengan pengukuran aliran dengan alat pengukur aliran (current meter). Menurut Asdak (2007), prosedur perhitungan yang harus dilakukan untuk menentukan muatan sedimen adalah sebagai berikut :

1. Dibuat persamaan hubungan antara debit (Q) tersebut terhadap kadar muatan suspensi (Cs) yang biasanya dalam bentuk logaritmik dengan persamaan umum:

Cs = aQb

2. Di gambarkan hubungan antara debit(Q) dan muatan sedimen (Cs) serta (Qs) melalui kurva

Cs (mg/l)

Cs= aQb

Analisis data Analisis Regresi

Analisis regresi adalah analisis yang membahas hubungan fungsional dua variabel atau lebih. Analisis korelasi (correlation analisys) adalah analisis yang membahas tentang derajat hubungan dalam analisis regresi tersebut (Sastrosupadi, 2010).

Pada penelitian ini, penulis menempatkan debit sungai sebagai variabel bebas (sumbu y) dan konsentrasi sedimen sebagai variabel tidak bebas (sumbu x)

.Data debit dan sedimen yang telah diukur selama enam bulan itu kemudian dicari persamaan regresinya denganrumus ::

�= �0 +�1�+�

Kemudian setelah didapat persamaan regresi, dicari nilai koefisien korelasinya (r) agar dapat di ketahui seberapa kuat hubungan antar debit terhadap sedimen.

Menurut Asdak (2007), rumus untuk mencari koefisien korelasi yaitu:

�= ⅀�.� −[(xi)(yi)/�]

[(⅀��2)−(⅀��)2/�] [(⅀��²) (⅀�)²/�]

Koefisien R2 dinamakan koefisien determinasi atau koefisien penentu. Dinamakan demikian karena 100 % dari R2 pada variasi yang terjadi dalam variabel tak bebas Y dapat dijelaskan oleh variabel bebas X dengan adanya regresi linier Y atas X

Untuk mendapatkan nilai ү, terlebih dahulu kita harus mencari a dan b saat menentukan persamaan dari garis regresi sampel :

Model umum regresi linier sederhana mengggambarkan respon variabel y oleh variabel bebas x adalah sebagai berikut :

�= �0 +�1�+�

y = Debit

x = Konsentrasi Sedimen �0 dan �1 =Koefisien regresi

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disebut DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan suatu kesatuan dengan sungai dan anak- anak sungainya yang berfungsi menampung , menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (PPRI,2012).

Daerah Aliran Sungai berfungsi sebagai daerah penampung air hujan, daerah resapan, daerah penyimpanan air, penangkap air hujan dan pengaliran air. Wilayahnya meliputi bagian hulu bagian hilir, bagian pesisir dan dapat berupa wilayah lindung, wilayah budidaya, wilayah pemukiman dan lain-lain. Daerah

Dokumen terkait