• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi Stainless Steel

Dengan pesatnya perkembangan teknologi, manfaat nuklir yang dahulunya dipakai sebagai senjata perang maka sekarang nuklir banyak dimanfaatkan untuk mencukupi kebutuhan manusia. Pemanfaatan teknologi nuklir memiliki banyak keunggulan oleh adanya sifat radiasi yang mudah dideteksi sampai kadar yang sangat rendah, berdaya tembus besar dan dapat dikendalikan baik arah, luas berkas maupun energi partikelnya. Baja tahan karat (stainless steel) sangat cocok untuk pembuatan tabung-tabung reaksi untuk reaksi-reaksi nuklir. Contoh penggunaan stainless steel adalah tabung Reaktor SAMOP (Sub Critical Assembly for ܯ݋ଽଽ Prad Action).

2.2. Baja Tahan Karat ( Stainless Steel )

Baja tahan karat (stainless steel) adalah paduan antara besi (Fe) dengan kandungan Cr minimal 12 %. Reaksi oksidasi antara oksigen (O2) dengan chrom (Cr) membentuk protektif layer (lapisan pelindung anti korosi). Untuk memperbaiki sifat-sifat stainless steel sesuai dengan aplikasinya maka unsur-unsur lain juga ditambahkan. Unsur-unsur-unsur lain yang ditambahkan antara lain Ni (nickel), Mo (molibdenum), Co(copper), Ti (titanium) yang berfungsi untuk meningkatkan ketahanan terhadap temperatur serta korosi.

Golongan utama baja tahan karat (stainless steel) adalah austenit, ferrit, martensit, duplex.

5

2.2.1 Austenit Stainless Steel

Komposisi austenit stainless steel antara 18% Cr dan 8% Ni atau biasa disebut sebagai baja tahan karat delapan belas delapan. Baja tahan karat austenit ketahanan karatnya lebih baik, mampu bentuk dan mampu las. Jenis ini sering digunakan pada berbagai industri kimia, untuk bahan konstruksi, perabot dapur, turbin, mesin jet, mobil, komponen berputar, bangunan kapal,reactor atom, dan sebagainya.

2.2.2 Ferritic Stainless Steel

Kadar chrom sekitar 16% sampai 18% dan kadar nickel sekitar 2%. Ketahanan korosi kurang begitu baik dan relatif sulit untuk difabrikasi atau dimachining. Sifat yang menguntungkan dari baja tahan karat ferit adalah tanpa kandungan Ni sulit untuk terjadi retakan korosi tegangan.

2.2.3 Martensit Stainless Steel

Komposisi baja tahan karat martensit adalah 12%-13% Cr dan 0,1%-0,3% C. Kadar Cr antara 12%-13% merupakan batas terendah untuk ketahanan asam. Baja tahan karat martensit mempunyai ketahanan panas yang baik, dengan pengerasan dan penemperan dapat diperoleh sifat-sifat mekanik yang baik. Baja tahan karat jenis ini digunakan untuk alat potong dan perkakas.

2.2.4 Duplex Stainless Steel

Baja tahan karat jenis duplex mempunyai fasa ganda yaitu fasa austenit dan ferit. Umumnya mempunyai komposisi 12% Cr + 5% Ni + 1,5% Mo + 0,03% C. Memiliki sifat kombinasi antara sifat austenite dan

6

ferit yang saling menutupi. Sebagai contoh, tegangan mulur yang rendah dari sifat austenit diperbaiki dengan adanya sifat ferit. Dan keuletan rendah dari sifat ferit diperbaiki oleh sifat austenit. Ketahanan korosi pada umumnya melebihi baja 18-8, terutama baja yang mempunyai kadar Cr tinggi dan mengandung Mo sangat baik dalam ketahanan korosi lubangnya sehingga baja ini dapat dipakai untuk penukar panas yang menggunakan air laut.

2.3 Pengaruh Unsur Paduan Pada Stainless Steel

Dalam aplikasi, stainless steel selain dibutuhkan sebagai logam yang tahan terhadap korosi juga dibutuhkan sifat tambahan guna meningkatkan sifat mekaniknya. Peningkatan sifat mekanik ini tergantung pada sejumlah unsur yang terkandung dalam stainless steel. Unsur-unsur tambahan dalam stainless steel antara lain sebagai berikut :

1. Kromium (Cr) berguna untuk membentuk lapisan pasif untuk melindungi dari korosi.

2. Nikel (Ni) sebagai penstabil austenit, meningkatkan sifat mekanik, meningkatkan ketahanan korosi pada lingkungan asam mineral.

3. Mangan (Mn) membantu fungsi Ni.

4. Molybdenum (Mo) sebagai penstabil lapisan pasif dalam lingkungan yang mengandung banyak ion klorida (Cl - ), seperti lingkungan air laut (NaCl).

5. Karbon (C) meningkatkan kemampuan dikeraskan (hardenability) dari material Stainless Steel.

7

6. Nitrogen (N) membentuk duplex stainlees steel dengan meningkatkan terbentuknya austenit, meningkatkan sifat mekanik Stainless Steel. 2.4 Korosi Pada Logam

2.4.1 Korosi Secara Umum

Stainless steel (SS) secara mendasar bukanlah logam mulia seperti halnya emas (Au) & platina (Pt) yang hampir tidak mengalami korosi karena pengaruh kondisi lingkungan, sementara SS masih mengalami korosi. Daya tahan korosi SS disebabkan karena adanya lapisan yang tidak terlihat (invisible layer) yang terjadi akibat oksidasi SS dengan oksigen yang akhirnya membentuk lapisan pelindung anti korosi (protective layer). Sumber oksigen bisa berasal dari udara maupun air. Material lain yang memiliki sifat sejenis antara lain titanium (Ti) dan juga aluminium (Al). Secara umum protective layer terbentuk dari reaksi kromium + oksigen secara spontan membentuk krom-oksida. Jika lapisan oksida S tergores/terkelupas, maka protective layer akan segera terbentuk secara spontan, tentunya jika kondisi lingkungan cukup mengandung oksigen (Gambar 2.1). Walaupun demikian kondisi lingkungan tetap menjadi penyebab kerusakan protective layer tersebut. Pada keadaan dimana protective layer tidak dapat lagi terbentuk, maka korosi akan terjadi. Banyak media yang dapat menjadi penyebab korosi, seperti halnya udara, cairan/ larutan yang bersifat asam/basa, gas-gas proses (misalnya gas asap hasil buangan ruang bakar atau reaksi kimia lainnya), logam yang berlainan jenis dan saling berhubungan dan sebagainya.

8

Gambar 2.1 Pembentukan spontan lapisan oksida

2.4.2 Jenis-Jenis Korosi Pada Stainless Steel

Meskipun alasan utama penggunaan stainless steel adalah ketahanan korosinya, tetapi pemilihan stainless steel yang tepat harus disesuaikan dengan aplikasi yang tepat pula. Pada umumnya, korosi menyebabkan beberapa masalah seperti :

1. Terbentuknya lubang-lubang kecil/halus pada tangki dan pipa-pipa sehingga menyebabkan kebocoran cairan ataupun gas.

2. Menurunnya kekuatan material disebabkan penyusutan atau pengurangan ketebalan atau volume material sehingga kekuatan juga menurun, akibatnya dapat terjadi retak, bengkok, patah dan sebagainya.

9

3. Penampilan permukaan material menjadi tidak menarik disebabkan kerak karat ataupun lubang-lubang

4. Terbentuknya karat-karat yang mungkin mengkontaminasi zat atau material lainnya, hal ini sangat dihindari khususnya pada proses produksi makanan.

Secara umum korosi pada stainless steel dapat dikategorikan sebagai berikut. :

1. Uniform Corrosion 2. Pitting Corrosion

3. Crevice Corrosion

4. Stress Corrosion Cracking 5. Intergranular Corrosion 6. Galvanic Corrosion

2.4.2.1 Uniform Corrosion

Uniform corrosion terjadi disebabkan rusaknya sebagian atau seluruh protective layer pada SS sehingga SS secara merata akan berkurang/aus terlihat pada (Gambar 2.2). Korosi ini terjadi umumnya disebabkan oleh cairan atau larutan asam kuat maupun alkali panas. Asam hidroklorit dan asam hidrofluor adalah lingkungan yang perlu dihindari SS apalagi dikombinasikan dengan temperatur serta konsentrasi yang cukup tinggi.

10

Gambar 2.2 Korosi uniform yang menyebabkan berkurangnya dimensi permukaan benda secara merata. (Sumber: Surdia, T., Saito, S.)

2.4.2.2 Pitting Corrosion

Korosi berupa lubang-lubang kecil sebesar jarum, dimana dimulai dari korosi lokal (bukan seperti uniform corrosion). Pitting corrosion ini awalnya terlihat kecil dipermukaan SS tetapi semakin membesar pada bagian dalam SS yang tersaji pada (Gambar 2.3). Korosi ini terjadi pada beberapa kondisi pada lingkungan dengan PH rendah, temperatur moderat, serta konsentrasi klorida yang cukup tinggi (misal NaCl atau garam di air laut). Pada konsentrasi klorida yang cukup tinggi, awalnya ion-ion klorida merusak protective layer pada permukaan SS terutama permukaan yang cacat. Timbulnya cacat ini dapat disebabkan oleh kotoran sulfida, retak-retak kecil akibat penggerindaan, pengelasan, penumpukan kerak, penumpukan larutan padat. Proses kimia yang terjadi saat pitting korosi ini dapat dilihat dalam (Gambar 2.4). Umumnya SS berkadar krom (Cr), molybdenum (Mo) dan nitrogen (N) yang tinggi cenderung lebih tahan terhadap pitting corrosion. Pada industri petrokimia korosi ini sangat berbahaya karena menyerang permukaan dan penampakan visualnya sangat kecil, sehingga sulit untuk

11

diatasi dan dicegah terutama pada pipa-pipa bertekanan tinggi. Ketahanan material terhadap pitting korosi jenis ini di formulasikan sbb :

PREN = %Cr + (3,3 x %Mo) + (16 x %N)

Satu hal yang menyebabkan pitting corrosion sangat serius bahwa ketika lubang kecil terbentuk, maka lubang ini akan terus cenderung berkembang (lebih besar dan dalam) meskipun kondisi SS tersebut sangat tertutup atau tidak dapat tersentuh sama sekali. Oleh karena itu dalam mendesain material untuk lingkungan kerja yang besar kemungkinan terjadinya pitting korosi digunakan nilai PREN, sebagai acuan. Contohnya bila dibandingkan antara SS austenitik seperti 304, 316L, dan SS super-austenitik seperti UR 6B. SS 304 memiliki komposisi (dalam %): < 0,015 C, 18.5 Cr, 12 Ni sedangkan untuk SS 316L memiliki komposisi : < 0,030 C, 17.5 Cr, 13,5 Ni, 2,6 Mo. SS super-austenitik UR 6B memiliki komposisi : < 0,020 C, 20 Cr, 25 Ni, 4,3 Mo, dan 0,13 N. Dengan komposisi yang berbeda maka nilai PREN untuk masing-masing SS adalah: 304 = 18, 316L = 26, dan UR B6 = 37. Dengan demikian UR B6 memiliki ketahanan akan pitting korosi paling kuat sedangkan 304 memiliki ketahanan pitting korosi yang terlemah.

12

Gambar 2.3 IIustrasi pitting corrosion pada material SS. (Sumber: Surdia, T., Saito, S.)

Gambar 2.4 Skema proses kimia yang terjadi saat pitting corrosion menyerang dan terus merusak logam SS.(Sumber: Surdia, T., Saito, S.)

2.4.2.3 Crevice Corrosion

Korosi jenis ini sering terjadi di daerah yang kondisi oksidasi terhadap krom (Cr) SS sangat rendah bahkan tidak ada sama sekali (miskin oksigen). Sering pula terjadi akibat desain konstruksi peralatan yang tidak memungkinkan terjadinya oksidasi tersebut misal celah antara gasket/packing, celah yang terbentuk akibat pengelasan yang tidak sempurna, sudut-sudut yang sempit, celah/sudut antara 2 atau lebih lapisan metal, celah

13

antara mur/baut dsb. Peristiwa korosi ini terjadi di daerah yang sangat sempit (celah, sudut, takik dsb) seperti disajikan pada (Gambar 2.5). Crevice Corrosion dapat dipandang sebagai pitting corrosion yang lebih berat/hebat dan terjadi pada temperatur di bawah temperature moderat yang biasa menyebabkan pitting corrosion. Cara untuk menghindari masalah ini, salah satunya dengan membuat desain peralatan lebih 'terbuka' walaupun kenyataannya sangat sulit untuk semua aplikasi.

Gambar 2.5 Ilustrasi crevice corrosion yang menyerang saat 2 material bertemu dan membentuk celah sempit, sehingga terjadi perbedaan kandungan oksigen yang menyebabkan korosi. (Sumber: Surdia, T., Saito, S.)

2.4.2.4 Stress Corrosion Cracking

Dalam kondisi kombinasi antara tegangan (baik tensile, torsion, compressive maupun thermal) dan lingkungan yang korosif maka SS cenderung lebih cepat mengalami korosi. Karat yang mengakibatkan berkurangnya penampang luas efektif permukaan SS menyebabkan tegangan kerja (working Strees) pada SS akan bertambah besar. Korosi ini dapat terjadi pula misalnya pada pin, baut-mur dengan lubangnya/ dudukannya, SS yang

14

memiliki tegangan sisa akibat rolling, bending, welding dan sebagainya. Ilustrasi dari korosi ini dapat dilihat pada (Gambar 2.6). Korosi ini meningkat jika part yang mengalami stress berada di lingkungan dengan kadar klorida tinggi seperti air laut yang temperaturnya cukup tinggi. Sebagai akibatnya aplikasi SS dibatasi untuk menangani cairan panas bertemperatur di atas 50 0C bahkan dengan kadar klorida yang sangat sedikit sekalipun (beberapa ppm). SS yang cocok korosi ini adalah austenitic SS disebabkan kadar Nikel-nya (Ni) relatife tinggi. Grade 316 secara siknifikan tidak lebih tahan dibanding 304. Duplex SS (misal 2205/UR 45N) lebih tahan dibanding 304 atau 316, bahkan sampai temperature aplikasi 150ºC dan super duplex akan lebih tahan lagi terhadap stress corrosion cracking. Pada beberapa kasus, korosi ini dapat dikurangi dengan cara penembakan permukaan logam dengan butir pasir logam, atau juga meng-annealing setelah SS selesai proses permesinan, sehingga dapat mengurangi tegangan pada permukaan logam.

15

Gambar 2.6 Ilustrasi stress-cracking-corrosion akibat adanya tegangan sisa dan lingkungan korosif. (Sumber: Surdia, T., Saito, S.)

2.4.2.5 Intergranular Corrosion

Korosi ini disebabkan ketidaksempurnaan mikrostruktur SS. Ketika austenic SS berada pada temperatur 425-850º C (temperatur sensitasi) atau ketika dipanaskan dan dibiarkan mendingin secara perlahan (seperti halnya sesudah welding atau pendinginan setelah annealing) maka karbon akan menarik krom untuk membentuk partikel kromium karbida (chromium carbide) di daerah batas butir (grain boundary) struktur SS. Formasi kromium karbida yang terkonsentrasi pada batas butir akan menghilangkan/mengurangi sifat perlindungan kromium pada daerah tengah

16

butir. Sehingga daerah ini akan dengan mudah terserang oleh korosi (Gambar 2.7). Umumnya SS dengan kadar karbon kurang dari 2 % relative tahan terhadap korosi ini. Ketidaksempurnaan mikrostruktur ini diperbaiki dengan menambahkan unsur yang memiliki daya tarik terhadap karbon lebih besar untuk membentuk karbida, seperti Titanium (missal pada SS 321) dan Niobium (misal pada SS 347). Cara lain adalah dengan menggunakan SS berkadar karbon rendah yang ditandai indeks 'L' -low carbon steel- (misal 316L atau 304L). SS dengan kadar karbon tinggi akan tahan terhadap korosi jenis ini asalkan digunakan pada temperatur tinggi pula (misal 304H, 316H, 321H, 347H).

Gambar 2.7 Ilustrasi korosi pada butir akibat terjadinya sensitasi krom (Cr).

(Sumber: Surdia, T., Saito, S.)

2.4.2.6 Galvanic Corrosion

Galvanic corrosion terjadi disebabkan sambungan dissimilar material (2 material yang berbeda terhubung secara elektris/ tersambung misal baut dengan mur, paku keling/rivet dengan bodi tangki, hasil welding dengan benda kerja) dan atau terendam dalam larutan elektrolit, sehingga dissimilar

17

material tersebut menjadi semacam sambungan listrik. Mekanisme ini disebakan satu material berfungsi sebagai anoda dan yang lainnya sebagai katoda sehingga terbentuk jembatan elektrokimia tersaji pada (Gambar 2.8). Dengan terjadinya hubungan elektrik tersebut maka logam yang bersifat anoda akan lebih mudah terkorosi. Urutan tersebut ditunjukkan pada seri elektrokimia logam berikut . Logam deret sebelah kiri cenderung menjadi anoda (mudah berkarat) sementara logam sebelah kanan cenderung menjadi katoda. Galvanic corrosion ini tergantung pada :

1. Perbedaan ke-mulia-an dissimilar material

2. Rasio luas permukaan dissimilar material, dan konduktifitas

Gambar 2.8 Ilustrasi terjadinya korosi antara dua logam yang berbeda jenis keaktifannya (logam A dan B). (Sumber: Surdia, T., Saito, S.)

2.5 Pengelasan Berperisai Tungsen (TIG)

Proses ini merupakan suatu metode pengelasan dengan jalan dimana suatu busur api listrik dipertahankan diantara sebuah elektroda tungsen yang bukan mampu habis yang pada hakekatnya berdiri sendiri, dalam suatu atmosfer argon murni, dengan atau tanpa tambahan kecil gas-gas

18

berfaedah lain. Perisai gas mencegah kontaminasi logam las oleh udara. Permukaan paduan alumunium ditutupi oleh lapisan oksida tahan api bertitik lebur tinggi yang harus dihilangkan sebelum suatu las yang memuaskan dapat dibuat. Suatu kawat pengisi dapat juga ditambahkan pada tepi depan genangan cairan untuk membentuk las. Ini merupakan salah satu sifat busur api arus bolak-balik sehingga menghilangkan oksida yang kuat selama proses pengelasan. Proses pengelasan TIG dipakai bila diperlukan las yang rapi, berkualitas tinggi, dan ekonomis untuk ketebalan sampai 6 mm. Untuk ketebalan yang lebih dari 6 mm, biasanya digunakan pengelasan MIG, atau proses pengelasan busur api logam lainnya. Lubang-lubang akar, di dalam sambungan pipa dengan atau tanpa sisipan yang mampu lebur dimasuki dengan menggunakan pengelasan TIG karena penetrasi dapat dikontrol untuk memberikan suatu akhir siraman yang halus.

Gambar 2.9 Alat pengelasan TIG 2.6 Las Busur Listrik

Las busur listrik adalah salah satu cara menyambung logam dengan jalan menggunakan nyala busur listrik yang diarahkan ke permukaan logam yang akan disambung. Pada bagian yang terkena busur listrik tersebut akan

19

mencair, demikian juga elektroda yang menghasilkan busur listrik akan mencair pada ujungnya dan merambat terus sampai habis. Logam cair dari elektroda dan dari sebagian benda yang akan disambung tercampur dan mengisi celah dari kedua logam yang akan disambung, kemudian membeku dan tersambunglah kedua logam tersebut. Mesin las busur listrik dapat mengalirkan arus listrik cukup besar tetapi dengan tegangan yang aman (kurang dari 45 volt). Busur listrik yang terjadi akan menimbulkan energi panas yang cukup tinggi sehingga akan mudah mencairkan logam yang terkena. Besarnya arus listrik dapat diatur sesuai dengan keperluan dengan memperhatikan ukuran dan type elektrodanya. Pada las busur, sambungan terjadi oleh panas yang ditimbulkan oleh busur listrik yang terjadi antara benda kerja dan elektroda. Elektroda atau logam pengisi dipanaskan sampai mencair dan diendapkan pada sambungan sehingga terjadi sambungan las. Mula-mula terjadi kontak antara elektroda dan benda kerja sehingga terjadi aliran arus, kemudian dengan memisahkan penghantar timbullah busur. Energi listrik diubah menjadi energi panas dalam busur dan suhu dapat mencapai 5500 °C. Ada tiga jenis elektroda logam, yaitu elektroda polos, elektroda fluks dan elektroda berlapis tebal. Elektroda polos terbatas penggunaannya, antara lain untuk besi tempa dan baja lunak. Biasanya digunakan polaritas langsung. Mutu pengelasan dapat ditingkatkan dengan memberikan lapisan fluks yang tipis pada kawat las. Fluks membantu melarutkan dan mencegah terbentuknya oksida-oksida yang tidak diinginkan.

20

Tetapi kawat las berlapis merupakan jenis yang paling banyak digunakan dalam berbagai pengelasan komersil

21

Dokumen terkait