• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

a. Pengertian Metode Oral

Metode oral yang dipelopori Samuel Heinicke di Jerman. Metode ini bertitik tolak dari pandangan bahwa “Anak tuli memiliki potensi untuk berbicara, dan dapat diajar dengan baik” (Sardjono & Samsidar, 1990: 35). Pandangan ini didukung adanya kebutuhan anak tuli (tunarungu berat) untuk:

1) Diakui sebagai anggota masyarakat seperti halnya anak-anak normal 2) Mendapat kesempatan berpribadi (memperoleh pengakuan harga diri) 3) Menyesuaikan diri dalam sosial dan vocational (Sardjono, 2000: 3)

Kata “oral” berasal dari bahasa Inggris yang artinya sama dengan lisan (Wojowasito & Purwadarminta, 1991: 131). Menurut Lani Bunawan (1989:1) “Metode oral aural yaitu metode dimana anak diharapkan agar dapat mengungkapkan diri dengan bicara dan menangkap pesan orang lain lewat membaca ujaran serta memanfaatkan sisa pendengarannya”.

Menurut Corrow (1996:374) “ Oralism is the combined use of

amplification, auditory training speech, lip reading, and written language in the instructional approach “, yaitu kurang lebih menyatakan metode oral adalah

gabungan dari penerapan latihan mendengar, bicara, membaca ujaran dan bahasa tulisan didalam proses pembelajaran.

Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa metode oral merupakan salah satu cara untuk melatih anak tunarungu dapat berkomunikasi secara lisan (verbal) dengan lingkungan orang mendengar. Agar anak tunarungu mampu bicara dituntut adanya partisipasi dari orang-orang di sekelilingnya, yaitu dengan melibatkan anak tunarungu bicara secara lisan dalam setiap kesempatan.

b. Syarat-syarat Penunjang keberhasilan penerapan metode oral

Menurut Lani Bunawan (1989: 23) “Berhasil atau tidaknya penerapan suatu metode bukan semata-mata tergantung dari faktor anak didiknya tetapi dapat

pula dari guru dan atau keadaan lingkungan”. Adapun syarat-syarat yang dapat menunjang keberhasilan penerapan metode oral yaitu:

1) Terselenggaranya kegiatan diagnosa secara menyeluruh untuk mendapatkan gambaran kemampuan serta ketidakmampuan.

2) Terlaksananya pengukuran/ penilaian secara rutin dan berkesinambungan terhadap siswa terutama mengenai keterampilan, membaca, ujaran, bicara, perkembangan kosakata, kemampuan membaca dan sebagainya.

3) Tersedianya guru dan pendidik yang memenuhi persyaratan. Pendidik seperti pengasuh asramapun memerlukan bimbingan agar dapat menangani anak tunarungu dengan benar, terutama yang menyangkut perkembangan bahasa anak.

4) Terselenggaranya pelayanan pendidikan yang terpisah antara berbagai siswa tunarungu sesuai kebutuhannya.

5) Terlaksananya program bimbingan orang tua siswa yang terutama dapat menunjang perkembangan bahasa anak.

6) Tersedianya program bimbingan diri sehingga anak sejak usia balita telah menggunakan alat bantu mendengar, dilatih cara bicara dan ketrampilan baca ujarannya dan pihak keluarga belum sempat mengembangkan suatu sistem isyarat yang hanya dimengerti dalam lingkungan terbatas.

7) Terlaksananya pelayanan pendidikan yang bercirikan hal-hal sebagai berikut: a) Di seluruh SLB-B diterapkan metode pengajaran bahasa yang homogen

berdasarkan percakapan oral sejak program bimbingan dini sampai tingkat lanjutan.

b) Setiap hari siswa diberikan latihan bicara dengan sasaran agar siswa berbicara dengan kecepatan dan irama yang wajar.

c) Terselenggaranya bina persepsi bunyi dan irama secara berkesinambungan.

d) Tersedianya peralatan elektronik yang digunakan secara efektif serta dirawat dan dipelihara secara teratur.

commit to user

c. Jenis-jenis Metode Oral

Metode oral dapat juga dibedakan dalam beberapa kategori:

1) Metode oral dengan menggunakan pendekatan kinestetis, yaitu metode oral dengan mengandalkan membaca ujaran, peniruan melalui penglihatan, serta rangsangan perabaan dan kinestetis tanpa pemanfaatan sisa pendengaran. 2) Metode oral dengan menggunakan pendekatan unisensory atau akupedik, yaitu

metode komunikasi yang memberikan penekanan pada pemberian Alat Bantu Dengar (ABD) yang bermutu tinggi serta latihan mendengar serta menomorduakan bahasa ujaran terutama pada tahap permulaan pendidikan anak.

3) Metode oral dengan menggunakan pendekatan oral grafik (Graphic-oral) yaitu metode komunikasi dengan menggunakan tulisan sebagai sarana guna mengembangkan kemampuan komunikasi oral (Permanarian Somad & Tati hernawati, 1995:47)

d. Kelebihan dan Kekurangan Metode Oral

Walaupun metode oral banyak digunakan orang dan paling disukai oleh orang tua anak tunarungu, tetapi dalam kenyataannya masih ditemui kekurangan-kekurangan disamping memiliki kelebihan.

Menurut Sardjono (2003: 3-4) kelebihan dan kekurangan metode oral pada sistem komunikasi oral adalah sebagai berikut:

1) Kelebihan-kelebihan metode oral

Beberapa kelebihan atau keunggulan metode oral diantaranya sebagai berikut:

a) Dengan latihan berbicara akan memberikan penjelasan yang lebih mudah ke dunia sekitarnya, sehingga memperoleh penyesuaian dan sekaligus menghindarkan anak tuli (tunarungu) dari perasaan terisolir dan tekanan batin.

b) Bicara merupakan media komunikasi yang bersifat universal.

c) Pergaulan anak tuli (tunarungu) tidak terbatas pada dunia anak tuli (tunarungu) yang berisyarat saja.

d) Anak normalpun akan lebih mudah bergaul dengan anak tuli (tunarungu) yang berbicara.

e) Oralisme menitikberatkan pada kebutuhan berpartisipasi dalam kehidupan normal.

2) Kekurangan-kekurangan metode oral

a) Banyak ucapan yang bentuknya dalam bibir hampir sama tetapi memiliki makna yang berbeda, sehingga menyulitkan anak tunarungu untuk mendapatkan makna.

b) Sulit menerima anak tunarungu jika diucapkan pada jarak jauh (tidak terjangkau pandangan)

c) Apabila yang berbicara berkumis tebal, maka akan sulit ditangkap makna ucapannya karena gerak bibir tertutup kumis.

d) Merupakan pemaksaan bagi anak tunarungu jika metode oral digunakan karena bukan dunianya.

“Kelemahan utama disini adalah terletak pada keterbatasan kemampuan anak tunarungu dalam menangkap dan mengeluarkan bahasa lisan, lebih-lebih lagi pada tunarungu wicara yang disertai kelainan atau double handicapped” (Sardjono & Samsidar, 1990: 36).

2. Tinjauan tentang Metode Isyarat a. Pengertian Metode Isyarat

Metode isyarat merupakan suatu metode komunikasi untuk menyampaikan dan menerima pesan, gagasan, pikiran, isi kandungan jiwa mengenai bahasa isyarat (sign language), dan ejaan jari (finger spelling) atau gesti atau panto mimik, atau anggota badan lainnya. Melalui isyarat anak tunarungu akan belajar memahami bahasa lewat membaca isyarat yaitu dengan melihat gerakan –gerakan tangan yang merupakan pengisyaratan dari tiap kata atau kalimat.

Tokoh terbesar di antara pengembang metode manual/isyarat adalah CM de L’EPEE. Menurut CM de L’EPEE yang dikutip Sardjono “bahasa isyarat merupakan bahasa alamiah bagi penyandang tunarungu”.

commit to user

Secara harfiah menurut A. Van Uden yang dikutip Bunawan (1989: 11) “bahasa isyarat artinya bahasa dengan menggunakan tangan walaupun dalam kenyataan, ekspresi muka dan lengan juga digunakan atau berperan”.

“Isyarat (signal) adalah bunyi atau gerakan yang mengandung arti alamiah atau biologis “(Haviland, 1995: 161).

b. Tujuan Bahasa Isyarat Pada Anak Tunarungu

Menurut aliran Manualisme yang dikutip oleh Sardjono (1991: 55) dalam bukunya Orthopedagogik-B menyebutkan bahwa :

“Anak tunarungu-wicara mempunyai dunia kepribadian dan bahasa tersendiri, yaitu bahasa isyarat. Supaya mereka dapat hidup bahagia dan sempurna kalau mereka dididik menurut kodratnya, yaitu memakai metode manual bahasa yang memakai gerakan dan isyarat sebagai alat komunikasi”.

Selanjutnya aliran ini juga berpendapat bahwa tujuan bahasa isyarat bagi anak tunarungu adalah “untuk melahirka pikiran, perasaan, dan kemauannya. Baik untuk melukiskan benda dan bentuk pikiran lainnya.” Jadi menurut aliran manualisme bahasa isyarat merupakan alat komunikasi yang utama bagi anak tunarungu. Oleh karenanya mereka harus dididik dan diajar dengan bahasa isyarat.

c. Jenis Metode Isyarat

Menurut Lani Bunawan (1989: 12-14) terdapat beberapa jenis metode isyarat yang digunakan di dalam dunia pendidikan anak tunarungu. Jenis-jenis metode isyarat sebagai berikut:

1) Bahasa isyarat dapat diartikan sebagai dactilogy atau “bahasa jari” atau juga lebih dikenal dengan sebutan abjad jari (finger spelling). Sistem ini masih pula dibedakan antara lain:

b) gerak/posisi jari yang menggambarkan bunyi bahasa

2) Istilah isyarat juga sering digunakan untuk menunjukkan bahasa tubuh atau

body language. Bahasa tubuh meliputi keseluruhan ekspresi tubuh, seperti

sikap tubuh, ekspresi muka, pantomimic, dan gesti/gerak (gesture) yang dilakukan oleh seseorang secara wajar dan alami. Menurut Hirsch yang dikemukakan Bunawan (1989: 13)” seorang guru anak tunarungu pernah mengadakan suatu inventerisasi mengenai gesti yang dilakukan orang Jerman dan menyimpulkan bahwa jumlahnya mencapai 853 gesti diantaranya telah dikenal dan digunakan anak sejak usia balita”. Gesti ini ternyata tidak sama untuk setiap masyarakat atau kebudayaan. Bahasa tubuh ini tidak bisa digolongkan sebagai suatu bahasa dalam arti sesungguhnya walaupun gerak/isyaratnya berfungsi sebagai media komunikasi.

3) Bahasa isyarat Alami/Asli

Suatu isyarat sebagaimana digunakan anak tunarungu berbeda dari bahasa tubuh, merupakan ungkapan manual (dengan tangan) yang disepakati bersama antara pemakai (konvensional) dikenal secara terbatas dalam kelompok tertentu (esetoris)dan merupakan pengganti kata. Istilah bahasa isyarat juga digunakan untuk menunjukkan tiga maksud, yaitu:

a) Bahasa isyarat yang berkembang secara alami di antara kaum tunarungu dan terbatas pengenalan serta penggunaannya dalam artinya, dikenal dan digunakan dalam lingkungan keluarga tertentu, lingkungan Sekolah Luar Biasa atau daerah tertentu seperti dialek (isyarat lokal), isyarat seperti ini tidak diajarkan secara resmi.

b) Di Negara yang menerapkan metode manual berkembang suatu bahasa isyarat yang terdiri dari kumpulan isyarat yang sudah dikenal dan digunakan serta merupakan bahasa pengantar resmi di SLB B yang menggunakan metode tersebut.

commit to user

4) Bahasa Isyarat Formal

Dalam mengatasi kelemahan bahasa isyarat konseptual, sejak tahun 1970 makin banyak diusahakan pengembangan bahasa isyarat yang memiliki struktur yang sama dengan bahasa lisan masyarakat atau disebut dengan bahasa isyarat formal.

d. Kelebihan dan Kekurangan Metode Isyarat

Menurut Emon Sastrawinata (1976: 32) “ Keuntungan metode isyarat ialah sesuai dengan dunia anak tunarungu yaitu dunia tanpa suara, sesuai dengan kemampuan anak tunarungu menerima dan mengeluarkan pikiran-pikiran melalui lambing visual sesuai dengan bahasa ibunya.”

Menurut Sardjono & Samsidar (1990: 34), kelebihan dan kekurangan metode isyarat antara lain:

1) Keuntungan Metode Isyarat

a) penggunaan isyarat lebih mudah daripada bahasa lisan

b) anak tuli yang organ bicaranya berlainan akan mengalami kesulitan dalam membuat bunyi bicara

c) anak tuli lebih menyukai berkomunikasi dengan anak tuli lain sehingga tidak perlu dapat berbicar lisan

d) tujuan yang diutamakan adalah anak dapat menerima pelajaran sehingga memperoleh kebahagiaan dan bukan membuat anak tuli sebagai tiruan anak normal

2) Kekurangan metode isyarat

a) Kurang efisien, karena banyak isyarat yang harus dipelajari

b) Tidak semua pengertian dapat diisyaratkan, lebih-lebih pengertian yang abstrak

c) Menyiapkan orang-orang normal untuk dapat menangkap isyarat d) Kurang praktis bagi anak yang sedang membawa barang

3. Tinjauan Tentang Anak Tuna Rungu

a. Pengertian Anak Tuna Rungu

Biasanya orang mendengar kata anak tuna rungu asumsinya adalah anak yang tidak dapat bicara dan tidak dapat mendengar. Anggapan ini sebenarnya salah, sebab anak tuna rungu wicara dengan sisa-sisa pendengarannya, mereka masih mampu mendengar walaupun tidak sebaik pendengaran mereka yang tergolomg normal. Oleh karena itu perhatian dan pemberian layanan bimbingan terhadap anak tuna rungu wicara sangat diperlukan untuk mengembangkan sisa potensi yang ada pada mereka baik berupa pendengaran maupun kemampuan bicaranya.

Orang tuli adalah seseorang yang kehilangan kemampuan mendengar sehingga menghambat proses informasi bahasa melalui pendengaran, baik memakai ataupun tidak memakai alat bantu mendengar, yang meliputi keseluruhan kesulitan mendengar. Sedangkan seseorang yang kurang dengar adalah seseorang yang biasanya dengan menggunakan alat bantu mendengar, sisa pendengarannya cukup memungkinkan keberhasilan proses informasi bahasa melalui pendengaran (Permanarian Somad & Tati Hernawati, 1996: 26).

Andreas Dwidjosumarto (dalam Permanarian Somad & Tati Hernawati, 1996: 27) menyatakan bahwa tunarungu dapat diartikan sebagai suatu keadaan kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai perangsang terutama melalui indra pendengaran.

Menurut Sardjono dan Samsidar (1988 : 6) menyatakan bahwa: “Anak tuna rungu wicara adalah mereka yang sejak lahir kurang pendengarannya sehingga memustahilkan mereka dapat belajar bahasa dan bicara dengan cara cara normal atau mereka yang sekalipun lahir dengan pendengaran normal tetapi sebelum dapat berbicara mendapat hambatan tarap berat pada pendengarannya dan atau mereka yang sekalipun sudah mulai dapat berbicara, tetapi saat terjangkitnya gangguan pendengaran sebelum umur kira kira 2 tahun, maka kesan-kesan yang diterima mengenai suara dan bahasa seolah-olah hilang”

commit to user

Sedangkan pengertian anak tuna rungu wicara menurut Departemen Pendidikan dan kebudayaan (1994 : 3) adalah:

“Tuna rungu wicara adalah istilah yang menggambarkan keadaan kemampuan dengar yang kurang atau tidak berfungsi secara normal sehingga tidak mungkin lagi diandalkan untuk belajar bahasa dan wicara tanpa bantuan metode dan peralatan khusus”.

Dari pendapat-pendapat tersebut di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa anak tuna rungu wicara adalah anak yang kehilangan sebagian atau seluruh daya pendengarannya, sehingga mengalami kesulitan dalam melakukan komunikasi dan hal ini dapat mengakibatkan hambatan dalam perkembangannya, maka anak tuna rungu wicara memerlukan bimbingan sosial atau pendidikan khusus.

b. klasifikasi anak tunarungu

Selain beberapa pendapat mengenai anak tunarungu di atas, ada beberapa klasifikasi anak tunarungu yang diklasifikasikan oleh beberapa ahli. Klasifikasi anak tunarungu menurut Samuel A. Kirk (dalam Permanarian Somad & Tati Hernawati, 1996: 29) antara lain sebagai berikut:

1) 0 dB : menunjukkan pendengaran yang optimal

2) 0-26 dB : menunjukkan seseorang masih mempunyai pendengaran yang normal

3) 27-40 dB : mempunyai kesulitan mendengar bunyi-bunyi yang jauh, membutuhkan tempat duduk yang strategis letaknya dan memerlukan terapi bicara (tergolong tunarungu ringan)

4) 41-55 dB : mengerti bahasa percakapan, tidak dapat mengikuti diskusi kelas, membutuhkan alat bantu dengar dan terapi bicara (tergolong tunarungu sedang)

5) 56-70 dB : hanya bisa mendengar suara dari jarak yang dekat, masih mempunyai sisa pendengaran untuk belajar bahasa dan bicara dengan menggunakan alat bantu mendengar serta dengan cara yang khusus (tergolong tunarungu agak berat)

6) 71-90 dB : hanya bisa mendengar bunyi yang sangat dekat, kadang-kadang dianggap tuli, membutuhkan pendidikan luar biasa yang intensif, membutuhkan alat bantu dengar dan latihan bicara secara khusus (tergolong tunarungu berat)

7) 91 dB ke atas : mungkin sadar akan adanya bunyi atau suara dan getaran, banyak bergantung pada penglihatan daripada pendengaran untuk proses menerima informasi, dan yang bersangkutan dianggap tuli (tergolong tunarungu berat sekali) (Permanarian Somad & Tati Hernawati, 1996: 29).

Klasifikasi menurut Streng (dalam Permanarian Somad & Tati Hernawati, 1996: 29-32), antara lain sebagai berikut:

1) kehilangan kemampuan mendengar 20-30 deciBell atau dB (Mild Losses) mempunyai ciri-ciri:

a) sukar mendengar percakapan yang lemah, percakapan melalui pendengaran, tidak mendapat kesukaran mendengar dalam suasana kelas biasa asalkan tempat duduk diperhatikan

b) mereka menuntut sedikit perhatian dari sistem sekolah dan kesadaran dari pihak guru tentang kesulitannya

c) tidak mempunyai kelainan bicara

d) kebutuhan dalam pendidikan perlu latihan membaca ujaran, perlu diperhatikan mengenai perkembangan penguasaan perbendaharaan kata e) jika kehilangan pendengaran melebihi 20 dB da mendekati 30 dB, perlu

alat bantu dengar

2) kehilangan kemampuan mendengar 30-40 deciBell atau dB (Marginal Losses) mempunyai ciri-ciri:

a) mereka mengerti percakapan biasa pada jarak satu meter. Mereka sulit menangkap percakapan dengan pendengaran pada jarak normal dan kadang-kadang mereka mendapat kesulitan dalam menangkap percakapan kelompok

b) percakapan lemah hanya bisa ditangkap 50%, dan bila si pembicara tidak terlihat yang ditangkap akan lebih sedikit atau di bawah 50%

commit to user

c) mereka akan mengalami sedikit kelainan dalam bicara dan perbendaharaan kata terbatas

d) kebutuhan dalam program pendidikan antara lain membaca ujaran, latihan mendengar, penggunaan alat bantu dengar, latihan bicara, latihan artikulasi, dan perhatian dalam perkembangan perbendaharaan kata

e) bila kecerdasannya di atas rata-rata, dapat ditempatkan di kelas biasa asalkan tempat duduk diperhatikan. Bagi yang kecerdasannya kurang memerlukan kelas khusus

3) kehilangan kemampuan mendengar 40-60 deciBell atau dB (Moderat Losses) mempunyai ciri-ciri:

a) mereka mempunyai pendengaran yang cukup untuk mempelajari bahasa dan percakapan, memerlukan alat bantu mendengar

b) mereka mengerti percakapan yang keras pada jarak satu meter

c) mereka sering salah paham, mengalami kesukaran-kesukaran di sekolah umum, mempunyai kelainan bicara

d) perbendaharaan kata terbatas

e) dalam program pendidikan mereka memerlukan alat bantu dengar untuk menguatkan sisa pendengaran dan menambah alat-alat bantu pengajaran yang sifatnya visual, perlu latihan artikulasi dan membaca ujaran serta perlu pertolongan khusus dalam bahasa

f) mereka perlu masuk SLB B

4) kehilangan kemampuan mendengar 60-70 deciBell atau dB (Severe Losses) mempunyai ciri-ciri:

a) mereka mempunyai sisa pendengaran untuk belajar bahasa dan bicara dengan alat bantu mendengar dan dengan alat khusus

b) karena mereka tidak belajar bahasa dan percakapan secara spontan pada usia muda, kadang-kadang mereka disebut tuli secara pendidikan (educationally deaf), yang berarti mereka dididik seperti orang yang sungguh-sungguh tuli

c) mereka diajar dalam suatu kelas khusus untuk anak-anak tunarungu, karena sisa pendengaran mereka tidak cukup untuk belajar bahasa dan

bicara melalui telinga, walaupun masih mempunyai sisa pendengaran yang digunakan dalam pendidikan

d) kadang-kadang mereka dapat dilatih untuk mendengar dengan alat bantu dengar dan selanjutnya dapat digolongkan kelompok kurang dengar

e) mereka masih bisa mendengar suara yang keras dari jarak dekat, misalnya mesin pesawat terbang, klakson mobil, dan lolongan anjing

f) karena masih mempunyai sisa pendengaran, mereka dapat dilatih melalui latihan pendengaran (Auditory tranning)

g) mereka dapat membedakan huruf hidup tetapi tidak dapat membedakan bunyi-bunyi huruf konsonan

h) diperlukan latihan membaca ujaran dan pelajaran yang dapat mengembangkan bahasa dan bicara dari guru khusus, karena itu mereka harus dimasukkan ke SLB B, kecuali bagi anak jenius dapat mengikuti kelas normal

5) kehilangan kemampuan mendengar 57 deciBell atau dB ke atas (Profound

Losses) mempunyai ciri-ciri

a) mereka dapat mendengar suara yang keras dari jarak satu inci (2, 54 cm) atau sama sekali tidak mendengar

b) mereka tidak sadar akan bunyi-bunyi keras, tetapi mungkin ada reaksi kalau dekat dengan telinga, meskipun menggunakan pengeras suara mereka tidak dapat menggunakan pendengarannya untuk menangkap dan memahami bahasa

c) mereka tidak belajar bahasa dan bicara melalui pendengaran, walaupun menggunakan alat bantu dengar

d) mereka memerlukan pengajaran khusus yang intensif di segala bidang, tanpa menggunakan mayoritas indra pendengaran

e) yang perlu mendapat perhatian khusus dalam pendidikan ialah membaca ujaran, latihan mendengar, fungsinya untuk mempertahankan sisa pendengaran yang masih ada, meskipun hanya sedikit

commit to user

f) diperlukan teknik khusus untuk mengembangkan bicara dengan metode visual, taktil, kinestetik, serta semua hal yang dapat membantu terhadap perkembangan bicara dan bahasanya

Selain itu, ketunarunguan diklasifikasikan secara fisiologis, antara lain (Permanarian Somad & Tati Hernawati, 1996: 32):

1) tunarungu hantaran (konduksi) : ketunarunguan disebabkan kerusakan atau tidak berfungsinya alat-alat penghantar getaran suara pada telinga bagian tengah.

2) Tunarungu syaraf (Sensorineural): tunarungu yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya alat-alat pendengaran bagian dalam syaraf pendengaran yang menyalurkan getaran ke pusat pendengaran.

3) Tunarungu campuran: kelainan pendengaran yang disebabkan kerusakan pada penghantar suara dan kerusakan pada syaraf pendengaran.

Klasifikasi tingkat ketunarunguan ini merupakan pedoman untuk melaksanakan pembelajaran bahasa yang disesuaikan dengan tingkat kebutuhan dan kemampuan individu anak tunarungu. Pelayanan pendidikan bagi anak tunarungu tidak dapat disamaratakan. Kondisi anak harus dipahami secara individual, agar apa yang dibutuhkan anak dapat tepat diberikan.

Menurut Totok Bintoro (2008), karakteristik kognisi dan karakteristik bahasa anak tunarungu antara lain:

1) kognisi anak tunarungu

a) kemampuan verbal (verbal IQ) anak tunarungu lebih rendah dibandingkan kemampuan verbal anak mendengar

b) performance IQ anak tunarungu sama dengan anak mendengar

c) daya ingat jangka pendek anak tunarungu lebih rendah daripada anak dengar terutama pada informasi yang bersifat suksesi/berurutan

d) pada informasi serempak antara anak tunarungu dan anak mendengar tidak ada perbedaan

e) daya ingat jangka panjang hampir tidak ada perbedaan, walaupun prestasi akhir biasanya tetap lebih rendah

a) miskin dalam kosakata b) terganggu bicaranya

c) dalam berbicara dipengaruhi emosional/visual order (apa yang dirasakan dan apa yang dilihat)

d) tunarungu cenderung pemata

e) bahasa merupakan hasil interaksi mereka dengan hal-hal yang konkret

c. Karakteristik Pembelajaran Bagi Anak Tunarungu

Anak luar biasa mengalami kelainan dalam pertumbuhan dan perkembangan baik fisik, mental, sosial maupun emosinya bila dibandingkan dengan anak normal yang sebaya. Sehingga dalam memberikan bimbingan bagi anak yang mengalami kelainan harus memperhatikan dasar-dasar bimbingan khusus. Menurut Sardjono dan Samsidar ( 1998 : 22 ) dasar-dasar bimbingan khusus bagi anak luar biasa meliputi :

1) Dasar psikologis

Tiap-tiap anak mempunyai pola-pola perkembangan yang berbeda. Jarak perbedaan pola perkembangan tersebut semakin besar kalau anak didik mengalami gangguan atau kelainan dalam segi psikis maupun fisik. 2) Dasar didaktis

Dalam mengajar anak guru wajib memperhatikan perbedaan pola-pola perkembangan yang bersifat personal.

3) Dasar paedagogik

Dari dasar-dasar pendidikan khusus jelas bahwa anak tunarungu wicara mempunyai kelainan pendengaran dan bicaranya sehingga guru dalam memberikan bimbingan harus memperhatikan keterbatasan masing-masing individu.

Membaca permulaan diberikan di kelas I dan kelas II Sekolah Dasar Sabarti Akhadiah et al ( 1992: 31). Pembelajaran membaca di kelas I dan II merupakan pembelajaran membaca tahap awal. Kemampuan membaca yang diperoleh siswa di kelas I dan II tersebut akan menjadi dasar pembelajaran membaca di kelas berikutnya (Darmiyati Zuchdi dan Budiasih, 2001: 57).

commit to user

Pembelajaran membaca di SD/MI yang dilaksanakan pada jenjang kelas I dan kelas II merupakan pembelajaran membaca tahap awal atau disebut membaca permulaan (Winihasih, 2005)

Pengajaran membaca permulaan lebih ditekankan pada menggambarkan kemampuan dasar membaca (Sabarti Akhadiah M. K, Maidar C. Arsjad, Sakura H. Ridwan, Zulfahnur Z.F., Mukti U. S. 1992: 11). Lebih lanjut dikemukakan bahwa dalam pembelajaran membaca permulaan siswa dituntut untuk dapat “menyuarakan” kalimat-kalimat yang disajikan dalam bentuk tulisan. Dengan kata lain siswa dituntut untuk mampu menerjemahkan bentuk tulisan ke dalam bentuk lisan. Dalam hal ini, tercakup pula aspek kelancaran membaca. Siswa harus dapat membaca wacana dengan lancar, bukan hanya membaca kata-kata ataupun

Dokumen terkait