• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Pengetahuan a. Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu yang terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan yang siap pakai membantu seseorang untuk berpikir cepat dan tepat (Notoadmojo, 2003). Berdasarkan kamus besar Bahasa Indonesia (2005) pengetahuan (knowledge) didefinisikan sebagai kepandaian atau segala sesuatu yang diketahui. Pengetahuan juga bisa didefinisikan sebagai informasi atau maklumat yang diketahui atau disadari oleh seseorang (Depdiknas, 2005)

b. Cara Memperoleh Pengetahuan

Berbagai macam cara yang telah digunakan sepanjang sejarah manusia untuk memperoleh pengetahuan maka dapat dikelompokkan menjadi dua yakni cara tradisional (non ilmiah) melalui cara coba salah (trial and error), kekuasaan atau otoritas, pengalaman pribadi, serta

commit to user

jalan pikiran dan dengan cara modern (cara ilmiah) (Notoadmojo, 2005).

Cara tradisional yang pertama yakni cara coba-salah dipakai orang sebelum mengenal kebudayaan bahkan mungkin peradaban. Cara coba-salah ini digunakan dalam pemecahan masalah dan apabila tidak berhasil kemungkinan pemecahan yang lain, begitu seterusnya. Cara tradisional lain yakni kekuasaan atau otoritas adalah pengetahuan yang diperoleh berdasarkan kehidupan sehari-hari dan tradisi-tradisi yang dilakukan orang tanpa adanya penalaran apakah yang dilakukan itu baik atau tidak. Kebiasaan-kebiasaan ini selalu diwariskan turun-temurun ke generasi berikutnya. Pengetahuan berdasarkan pengalaman pribadi diperoleh setelah terjadi pada seseorang dan diulangi lagi keadaan tersebut untuk memecahkan masalah seperti yang lalu (Notoadmojo, 2005). Sumber pengetahuan dapat didefinisikan dari beberapa aspek, di antaranya kepercayaan berdasarkan tradisi, kesaksian orang lain, panca indera, rasionalisme dan intuisi (Suhartono, 2005). Kepercayaan berdasarkan tradisi, merupakan pengetahuan yang bersumber dari kepercayaan yang menunjukkan bahwa pengetahuan itu diperoleh melalui cara mewarisi apa saja yang ada di dalam suatu kehidupan masyarakat, adat istiadat, nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan dan kehidupan dalam beragama atau dengan kata lain pengetahuan itu diperoleh berdasarkan pemahaman atas situasi baru dengan berpegang pada kepercayaan yang telah dibenarkan. Kesaksian orang lain,

commit to user

termasuk pengetahuan yang masih tetap ada dalam susunan kehidupan yang terdahulu pada orang-orang tertentu yang dapat dipercaya, karena sudah dianggap memiliki pengetahuan yang benar, lalu menjadi panutan yang handal bagi orang lain pada umumnya dalam hal-hal bagaimana memandang, bersikap dan cara hidup serta bagaimana bertingkah laku (Suhartono, 2005).

Panca indera bagi manusia merupakan alat vital dalam kehidupan sehari-hari, dapat dikatakan bahwa hampir seluruh persoalan hidup sehari-hari bisa diatasi dengan menggunakan alat panca indera. Rasionalisme merupakan sumber satu-satunya dari pengetahuan manusia berdasarkan akal budi. Rasio memberikan pengetahuan melalui observasi. Sedangkan intuisi merupakan pengetahuan yang berasal dari dalam dirinya sendiri (Suhartono, 2005).

Cara ilmiah dilakukan dengan melalui proses deduksi dan induksi yang dilakukan secara sistematis dan memenuhi 6 kriteria yaitu, berdasarkan fakta, bebas dari prasangka, menggunakan prinsip-prinsip analisis, menggunakan hipotesis, menggunakan ukuran obyektif, serta menggunakan teknik kuantitatif (Gulo, 2002).

c. Tingkat Pengetahuan

Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan yaitu:

1) Tahu (know) diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya atau mengingat kembali (recall) sesuatu

commit to user

yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Tahu merupakan tingkatan pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja yang bisa digunakan antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan menyatakan dan sebagainya.

2) Memahami (comprehension) merupakan suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang sudah paham suatu materi atau objek harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang telah dipelajari.

3) Aplikasi (application) diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya (real). Misalnya penggunaan rumus, hukum-hukum, metode, prinsip dan sebagainya.

4) Analisis (analysis), yaitu kemampuan untuk menjabarkan materi atau objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Biasanya menggunakan kata kerja membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya.

5) Sintesis (syntesis), menunjuk kepada kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain, sintesis adalah

commit to user

kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Contoh sintesis adalah, dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.

6) Evaluasi (evaluation) berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu objek atau materi. Penilaian tersebut didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri ataupun yang telah ada. Misalnya, dapat membandingkan antara anak yang cukup gizi dengan anak yang kekurangan gizi.

d. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Secara umum, pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya:

1) Pendidikan

Pendidikan adalah sebuah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok dan juga usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, yang bertujuan untuk mencerdaskan manusia. Melalui pendidikan seseorang akan memperoleh pengetahuan. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal seseorang maka semakin berkualitas hidupnya di mana seseorang akan dapat berpikir logis dan memahami informasi yang diperolehnya.

commit to user

2) Media

Media adalah sarana yang dapat dipergunakan oleh seseorang dalam memperoleh pengetahuan, misalnya televisi, radio, koran, dan majalah.

3) Paparan Informasi

Informasi adalah data yang diperoleh dari observasi terhadap lingkungan sekitar yang diteruskan melalui komunikasi dalam kehidupan sehari-hari (Meliono, 2007).

4) Pengalaman

Pengetahuan yang didapat dari pengalaman langsung (first hand

knowlegde) adalah pembentuk sikap yang sangat kuat (Gregory,

2004).

e. Pengetahuan tentang Kanker Serviks

Pengetahuan tentang kanker serviks merupakan pencapaian individu terhadap salah satu dari 6 tingkat pengetahuan di atas tentang pengertian, penyebab, tanda dan gejala, faktor risiko, serta upaya pencegahan kanker serviks. Pengetahuan terhadap penyakit kanker serviks dapat diperoleh individu melalui cara masing-masing, dan umumnya berkorelasi dengan tingkat pendidikan, paparan informasi mengenai kanker serviks baik berupa penyuluhan, iklan, maupun ada tidaknya keluarga yang menderita kanker serviks. Pengukuran pengetahuan tersebut dapat dilakukan dengan teknik wawancara atau menanyakan isu dasar seputar kanker serviks kepada subjek yang

commit to user

dikehendaki. Kedalaman pengetahuan yang ingin diketahui atau diukur dapat disesuaikan dengan 6 tingkatan pengetahuan (Notoatmodjo, 2003).

Beberapa penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan tentang kanker serviks yang memiliki persentase paling besar adalah tingkat pengetahuan cukup. Tingkat pengetahuan tentang kanker serviks di Kelurahan Campaka, Bandung dengan kategori baik sebanyak 14,7%, sedang 56,9%, dan kurang sebanyak 14,7% (Huda, 2011). Di Kelurahan Joho, Kabupaten Sukoharjo, terdapat 23,9% sampel dengan tingkat pengetahuan baik, 50,3% dengan tingkat pengetahuan cukup dan 25,8% dengan tingkat pengetahuan kurang (Dewi, 2010).

2. Pasangan Usia Subur

Pasangan Usia Subur (PUS) adalah pasangan yang wanitanya berusia 15-49 tahun dimana kelompok ini merupakan pasangan yang aktif melakukan hubungan seksual (Suratun, 2008).

3. Kanker Serviks

a. Pengertian

Kanker serviks adalah kanker yang tumbuh dan berkembang pada serviks atau mulut rahim, khususnya berasal dari lapisan epitel atau lapisan terluar permukaan serviks. (Samadi, 2011)

commit to user

b. Penyebab

Penyebab utama kanker serviks adalah infeksi Human Papilloma

Virus (HPV). Pada lebih dari 90% kanker serviks ditemukan DNA virus

HPV (Edianto, 2006)

HPV adalah anggota famili paporidae, yaitu sekelompok virus heterogen yang memiliki untaian ganda DNA tertutup. Gen virus ini mengkode 6 protein pembaca kerangka pembuka awal (early open reading fame protein) yaitu E1, E2, E3, E4, E5, E6 dan E7 yang berfungsi sebagai protein pengatur. Selain itu, gen virus ini juga mengkode 2 protein pembaca kerangka pembuka lambat (late open reading frame protein) L1 dan L2 yang menyusun kapsid virus (Garcia, 2009).

Menurut risiko dalam menimbulkan kanker serviks, HPV diklasifikasikan sebagai berikut (Samadi, 2011):

1) Risiko rendah: tipe 6, 11, 42, 43, 44, disebut tipe non-onkogenik. Jika terinfeksi, hanya menimbulkan lesi jinak, misalnya kutil dan jengger ayam.

2) Risiko tinggi: tipe 16, 18, 31, 33, 35, 39,45, 51, 52, 56, 58, 59, 68, disebut tipe onkogenik. Jika terinfeksi dan tidak diketahui ataupun tidak diobati, bisa menjadi kanker. HPV risiko tinggi ditemukan pada hampir semua kasus kanker serviks (99%).

Sel kanker serviks pada awalnya berasal dari sel epitel serviks yang mengalami mutasi genetik sehingga mengubah perilakunya. Sel yang bermutasi ini melakukan pembelahan sel yang tidak terkendali, immortal,

commit to user

dan menginvasi jaringan stroma di bawahnya. Keadaan yang menyebabkan mutasi genetik yang tidak dapat diperbaiki akan menyebabkan terjadinya pertumbuhan kanker ini. Komponen DNA (Deoxyribonucleic acid) virus HPV telah terdeteksi dalam lebih dari 90 % Lesi Intraepitel Squamosa (LIS) dan kanker serviks invasif dibandingkan dengan presentase yang lebih rendah didapat pada kontrol. Baik penelitian yang menggunakan hewan coba maupun menggunakan bukti biologi molekuler, keduanya menyatakan bahwa virus HPV berpotensi menginduksi transformasi maligna dari lesi (Garcia, 2009).

Infeksi HPV terjadi dalam presentase yang besar pada wanita yang aktif secara seksual. Kebanyakan dari infeksi virus ini sembuh sempurna dalam beberapa bulan hingga tahun dan hanya sebagian kecil saja yang berkembang menjadi suatu kanker. Ini berarti bahwa diperlukan faktor-faktor penting lainnya yang harus ada untuk mencetuskan suatu proses karsinogenik (Garcia, 2009). Terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi terjadinya proses keganasan serviks uteri akibat infeksi HPV. Termasuk dalam hal ini adalah durasi dan tipe HPV yang menginfeksi, kondisi imunitas pejamu (host), dan faktor-faktor lingkungan. Sebagai tambahan, berbagai variasi ginekologik seperti usia menarke, usia pertama kali melakukan koitus, dan jumlah pasangan seksual, secara signifikan meningkatkan risiko kejadian kanker serviks (Garcia, 2009).

commit to user

c. Patogenesis

Virus HPV genitalis risiko tinggi dimulai saat virus masuk ke dalam tubuh melalui epitel skuamosa yang mengalami luka mikro saat koitus atau melalui epitel skuamosa yang immature di daerah zona transisional (T zone) (Garcia, 2009). Menurut Mardjikoen (2005), T zone atau Squamous

Collumnar Junction (SCJ) adalah daerah peralihan epitel skuamosa yang

terdapat di ektoserviks (porsio) menjadi epitel kolumnar yang terdapat di endoserviks.

Pada awalnya virus menempel di permukaan sel, kemudian virus melakukan penetrasi melalui membran plasma sel. Virus memasukkan DNA-nya ke dalam sel dan melakukan uncoating atau pelepasan kapsid. DNA virus yang telah memasuki sel kemudian melakukan penyisipan

(insertion) pada protoonkogen DNA manusia (Garcia, 2009). Protoonkogen

yang telah mengalami mutasi tersebut selanjutnya disebut sebagai onkogen (Garcia, 2009).

Pada sel normal, protoonkogen mengkode pembuatan peptida yang merangsang pertumbuhan dan diferensiasi sel, tetapi tidak menimbulkan kanker. Sebaliknya, protoonkogen yang telah mengalami transformasi menjadi onkogen mengkode pembuatan peptida yang dapat menimbulkan kanker (Sukardja, 2000). Onkogen tersebut menyebabkan terjadinya mutasi pada gen penekan tumor (tumor cupressor gene) TP53 (sehingga terjadi degradasi protein p53 melalui pengikatan dengan E6) dan RB (melalui pengikatan dan penginktivasian protein Rb oleh E7) sehingga sel mengalami

commit to user

resistensi terhadap apoptosis, menyebabkan pertumbuhan sel yang tak terkontrol setelah terjadinya kerusakan DNA. Akhirnya, hal inilah yang menyebabkan terjadinya malignasi (Garcia, 2009).

d. Patologi

Sebagian besar kanker serviks terjadi pada epitel skuamosa bertingkat yang menunjukkan perubahan prakanker. Displasia diketahui dengan adanya kelainan sitologik pada hapusan serviks dan dipastikan melalui biopsi serviks. Perubahan sitologik meliputi peningkatan ukuran inti, peningkatan rasio inti sitoplasma, hiperkromatisme, penyebaran kromatin abnormal dan kelainan membran inti (Chandrasoma, 2005).

Displasia serviks adalah pertumbuhan sel abnormal yang mencakup berbagai lesi epitel yang secara baik sitologi maupun histologi berbeda dibandingkan epitel normal, tidak mengenai epitel basalis, dan belum menunjukkan kriteria karateristik keganasan. Karateristik keganasan tersebut adalah peningkatan selularitas, abnormalitas nukleus, dan peningkatan rasio nukleus/sitoplasma. Keadaan ini harus dibedakan dengan metaplasia normal yang secara alami terjadi pada serviks normal. Metaplasia pada serviks normal terjadi akibat saling desak kedua jenis epitel yang melapisi serviks. Dengan masuknya mutagen, porsio yang mengalami metaplasia fisiologik dapat berubah menjadi patologik (displastik-diskariotik) (Mardjikoen, 2005).

Secara histopatologi, sebagian besar (90%) kanker berasal dari sel skuamosa, sedangkan sisanya (10%) berasal dari sel kelenjar serviks.

commit to user

Kebanyakan kanker sel skuamosa melibatkan ostium uteri eksternum

sehingga dapat terlihat pada pemeriksaan dengan menggunakan spekulum. Lesi dapat berupa eksofitik maupun endofitik. Kanker sel skuamosa invasif berbeda-beda berdasarkan derajat diferensiasi selularnya, tetapi umumnya terlihat sebagai jaringan berkeratin (Pitkin, 2003).

Tumor pada penyakit ini dapat tumbuh secara eksofitik, endofitik, maupun ulseratif. Pertumbuhan eksofitik terjadi bila tumor tumbuh mulai dari Squamous Collumnar Junction (SCJ) ke arah lumen vagina sebagai masa poliferatif yang mengalami infeksi sekunder dan nekrosis. Dikatakan sebagai pertumbuhan endofitik bila pertumbuhan dimulai dari SCJ kemudian tumor tumbuh ke dalam stroma serviks dan cenderung merusak struktur jaringan serviks dengan melibatkan awal forniks vagina untuk menjadi ulkus yang luas disebut sebagai pertumbuhan ulseratif (Mardjikoen, 2005).

Angka harapan hidup 5 tahun jika kanker ini diketahui dan diobati pada stadium I adalah 85%, pada stadium II sebesar 60%, pada stadium III hanya 33%, dan pada stadium IV menjadi 7%. Sedangkan jika penyakit ditemukan saat masih lesi pra kanker, penderita bisa diobati secara sempurna (Price dan Wilson, 2005).

Gambaran patologis perkembangan kanker serviks adalah sebagai berikut:

1) Didahului oleh lesi prekanker yang disebut displasia (Cervical

commit to user

morfologi berupa gambaran sel-sel imatur, inti sel yang atipik, perubahan rasio inti/ sitoplasma dan kehilangan polaritas yang normal. Displasia bukan merupakan suatu bentuk kanker tetapi akan mengganas menjadi kanker bila tidak diatasi (Hacker, 2005). Displasia dikelompokkan lagi menjadi 3 berdasarkan perkembangan luas perubahan morfologi yang terjadi pada epitel leher rahim. yaitu:

a) Displasia ringan (CIN I) : sel-sel yang mengalami perubahan morfologi hanya sebatas 1/3 bagian atas dari lapisan epithelium serviks;

b) Displasia sedang (CIN II) : ditandai dengan perubahan morfologi sel yang telah mencapai 2/3 bagian dari lapisan atas epithelium serviks; c) Displasia berat (CIN III) : ditandai dengan lebih banyaknya variasi

dari sel dan ukuran inti, orientasi yang tidak teratur, dan hiperkromasi yang telah melebihi 2/3 lapisan atas epithelium serviks, namun belum menginvasi jaringan stroma di bawahnya.

2) Perkembangan terakhir adalah bila perubahan displasia berlanjut hingga menginvasi jaringan stroma di bawahnya, maka perubahan ini disebut karsinoma in situ atau kanker (Aziz, 2002).

e. Faktor Risiko

Faktor risiko kanker serviks adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan inisiasi transformasi atipik serviks dan perkembangan dari displasia. Transformasi atipik merupakan daerah atipik (abnormal) yang terletak di antara perbatasan sel-sel squamouscolumnar serviks yang asli dengan sel-sel

commit to user

yang baru terbentuk akibat metaplasia sel columnar menjadi sel squamous (Azis, 2002).

Penyakit keganasan khusus wanita ini merupakan penyakit menular seksual yang berasosiasi dengan infeksi kronik Human Papiloma Virus

(HPV) tipe onkogenik. Oleh sebab itu, faktor risiko kanker serviks cenderung sama dengan faktor risiko penyakit menular seksual lainnya (Randall, 2005).

Beberapa faktor-faktor yang menyebabkan perempuan terpapar HPV (sebagai penyebab dari kanker leher rahim) adalah sebagai berikut:

1) Hubungan seks pada usia muda

Faktor ini merupakan salah satu faktor risiko terpenting karena penelitian para pakar menunjukkan bahwa semakin muda wanita melakukan hubungan seksual maka semakin besar risiko terkena kanker leher rahim. Wanita yang melakukan hubungan seks pertama sekali pada usia kurang dari 17 tahun mempunyai risiko 3 kali lebih besar daripada wanita yang berhubungan seksual pertama sekali pada usia lebih dari 20 tahun (Sukaca, 2009).

2) Multipartner seksual

Risiko terkena kanker serviks meningkat 10 kali lipat pada wanita yang mempunyai teman seksual 6 orang atau lebih. Bukan hanya ini saja, bila seorang suami juga berganti-ganti pasangan seksual dengan wanita lain misalnya Wanita Tuna Susila (WTS), maka suaminya dapat membawa virus HPV kepada istrinya (Sukaca, 2009).

commit to user

3) Jumlah paritas

Paritas merupakan keadaan di mana seorang wanita pernah melahirkan bayi yang dapat hidup (viable). Paritas yang berisiko adalah dengan memiliki jumlah anak lebih dari 2 orang atau jarak persalinan terlampau dekat. Hal ini dikarenakan persalinan yang demikian dapat menyebabkan timbulnya perubahan sel-sel abnormal pada mulut rahim. Jika jumlah anak yang dilahirkan melalui jalan normal banyak, maka dapat menyebabkan terjadinya perubahan sel abnormal dari epitel pada mulut rahim, dan dapat berkembang menjadi keganasan (Sukaca, 2009). 4) Pemakaian alat kontrasepsi

Penggunaan kontrasepsi oral dalam jangka waktu lama (5 tahun atau lebih) meningkatkan risiko kanker leher rahim hingga 2 kali lipat (Sukaca, 2009). Dalam hal ini, yang dimaksud adalah kontrasepsi yang hanya mengandung progestin (Smith et al, 2003).

5) Riwayat merokok

Risiko kanker serviks tipe skuamosa oleh tipe HPV tipe 16 atau HPV tipe 18 meningkat pada perokok berat (Kapeu, 2009). Tembakau mengandung bahan-bahan karsinogenik baik yang dihisap sebagai rokok maupun yang dikunyah. Asap rokok menghasilkan polycylic

aromatic hydrocarbons heterocylic amine yang sangat karsinogenik dan

mutagenik, sedangkan bila dikunyah akan menghasilkan nitrosamine. Bahan dari tembakau yang dihisap terdapat pada getah serviks wanita perokok dan dapat menjadi kokarsinogen infeksi HPV. Selain itu,

commit to user

bahan-bahan pada tembakau tersebut juga dapat menyebabkan kerusakan DNA epitel serviks (Rasjidi, 2007). Fey (2004) menyatakan bahwa wanita yang merokok lebih dari 10 batang per hari memiliki risiko tinggi memperoleh lesi prakanker tingkat tinggi.

f. Tanda dan Gejala

Tidak ada tanda atau gejala spesifik untuk kanker serviks. Karsinoma servikal prainvasif tidak memiliki gejala, namun karsinoma invasif dini dapat menyebabkan sekret vagina atau perdarahan vagina. Walaupun perdarahan adalah gejala yang signifikan, perdarahan tidak selalu muncul pada saat-saat awal, sehingga kanker dapat sudah dalam keadaan lanjut pada saat didiagnosis. Jenis perdarahan vagina yang paling sering adalah pascakoitus atau bercak antara menstruasi (Price dan Wilson, 2005).

Selain perdarahan abnormal, keputihan juga merupakan gejala yang sering ditemukan. Getah yang keluar dari vagina ini makin lama akan berbau busuk akibat infeksi dan nekrosis jaringan. Warnanya pun menjadi kekuningan. Dalam hal demikian, pertumbuhan tumor menjadi ulseratif (Mardjikoen, 2005).

Perdarahan spontan saat defekasi dapat pula ditemukan. Hal ini terjadi akibat tergesernya tumor eksofitik dari serviks oleh skibala. Adanya perdarahan abnormal pervaginam saat defekasi perlu dicurigai kemungkinan adanya kanker serviks tingkat lanjut (Mardjikoen, 2005). Gejala-gejala hematuria atau perdarahan per rektal timbul bila tumor sudah menginvasi vesika urinaria atau rektum. Jika terjadi perdarahan kronik, maka penderita

commit to user

akan mengalami anemia, kehilangan berat badan, lelah dan gejala konstitusional lainnya (Randall, 2005).

Pasien kanker serviks dapat mengeluhkan nyeri yang berat. Nyeri dapat dirasakan saat penderita melakukan hubungan seksual. Nyeri di pelvis atau di hipogastrium dapat disebabkan oleh tumor yang nekrotik atau radang panggul. Bila muncul nyeri di daerah lumbosakral maka dapat dicurigai terjadinya hidronefrosis atau penyebaran ke kelenjar getah bening yang meluas ke arah lumbosakral. Nyeri di epigastrium timbul bila penyebaran mengenai kelenjar getah bening yang lebih tinggi (Randall, 2005).

Pada pemeriksaan fisik dapat terlihat lesi pada daerah serviks. Beberapa lesi dapat tersembunyi di kanal bagian endoserviks, namun dapat diketahui melalui pemeriksaan bimanual. Semakin lebar diameter lesi maka semakin sempit jarak antara tumor dengan dinding pelvis (Randall, 2005). g. Stadium Kanker Serviks

Setelah diagnosis kanker serviks ditegakkan, pemeriksaan histopatologi jaringan biopsi dapat dilakukan untuk penentuan stadium. Stadium kanker serviks juga dapat ditentukan melalui pemeriksaan klinis dan sebaiknya dilakukan di bawah pengaruh anastesi umum. Penentuan stadium kanker serviks menurut FIGO (Federation of Gynecology and

Obsetrics) masih berdasarkan pemeriksaan klinis praoperatif ditambah

commit to user

Tabel 2. 1. Stadium Kanker Serviks Menurut FIGO 2000 (Edianto,

2006)

Stadium Keterangan

Stadium 0 Karsinoma in situ, karsinoma intraepithelial Stadium I Karsinoma masih terbatas di serviks

(penyebaran ke korpus uteri diabaikan)

Stadium Ia Invasi kanker ke stroma hanya dapat dikenali secara mikroskopik, lesi yang dapat dilihat secara langsung walau dengan invasi yang sangat superfisial dikelompokkan sebagai stadium Ib. Kedalaman invasi stroma tidak lebih dari 5 mm dan lebarnya tidak lebih dari 7 mm

Stadium Ia1 Invasi ke stroma dengan kedalaman tidak lebih dari 3 mm dan lebar tidak lebih dari 7 mm Stadium Ia2 Invasi ke stroma dengan kedalaman lebih dari 3

mm tapi kurang dari 5 mm dan lebar tidak lebih dari 7 mm

Stadium Ib Lesi terbatas di serviks atau secara mikroskopis lebih dari Ia

Stadium Ib1 Besar lesi secara klinis tidak lebih dari 4 cm Stadium Ib2 Besar lesi secara klinis lebih dari 4 cm

commit to user

melibatkan parametrium

Stadium IIb Infiltrasi ke parametrium, tetapi belum mencapai dinding panggul

Stadium III Telah melibatkan 1/3 bawah vagina atau adanya perluasan sampai dinding panggul. Kasus dengan hidronefrosis atau gangguan fungsi ginjal dimasukkan dalam stadium ini, kecuali kelainan ginjal dapat dibuktikan oleh sebab lain.

Stadium IIIa Keterlibatan 1/3 bawah vagina dan infiltrasi parametrium belum mencapai dinding panggul Stadium IIIb Perluasan sampai dinding panggul atau adanya

hidronefrosis atau gangguan fungsi ginjal Stadium IV Perluasan ke luar organ reproduksi

Stadium IVa Keterlibatan mukosa kandung kemih atau mukosa rektum

Stadium IVb Metastase jauh atau telah keluar dari rongga panggul

h. Deteksi Dini Kanker Leher Rahim

Deteksi dini kanker serviks merupakan upaya pencegahan sekunder

Dokumen terkait