BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
a. Pengertian
Preeklamsia ialah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema, dan proteinuria yang timbul karena kehamilan (Prawirohardjo S, 2007). Penyakit ini umumnya terjadi setelah usia kehamilan 20 minggu (Cunningham, 2006).
Hipertensi biasanya timbul terlebih dahulu daripada tanda-tanda lain (Prawirohardjo S, 2007). Hipertensi pada dewasa ditandai oleh tekanan sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg (Fox, 2002). Menurut WHO (2002), hipertensi adalah tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih, atau suatu kenaikan tekanan sistolik sebesar 30 mmHg atau lebih (jika diketahui tingkat yang biasa), atau kenaikan tekanan darah diastolik sebesar 15 mmHg atau lebih (jika diketahui tingkat yang biasa) (Wijayarini, 2002).
Edema ialah penimbunan cairan secara berlebihan dalam jaringan tubuh, dan biasanya dapat diketahui dari kenaikan berat badan serta pembengkakan bagian tubuh (Prawirohardjo, 2007). Kenaikan berat badan mendadak (occult oedema atau edema samar) sebanyak 1 kg atau lebih dalam seminggu (atau 3 kg dalam sebulan) adalah indikasi
commit to user
preeklamsia (kenaikan berat badan normal sekitar ½ kg perminggu). Edema dapat terjadi di bagian : depan kaki (pretibial), tangan dan jari-jari tangan, wajah dan kelopak mata, dinding abdomen, daerah sakrum, dan vulva (Wijayarini, 2002).
Proteinuria berarti konsentrasi protein dalam air kencing yang melebihi 0,3 g/liter dalam air kencing 24 jam, atau pemeriksaan kualitatif menunjukkan +1 atau +2, atau ≥ 1 g/liter dalam air kencing yang dikeluarkan dengan kateter atau midstream(Prawirohardjo, 2007).
b. Etiologi
Ada beberapa teori mencoba menjelaskan perkiraan etiologi dari preeklamsia/eklamsia sehingga kelainan ini sering dikenal sebagai the
disease of theory (Sudhaberata, 2001). Adapun teori-teori tersebut antara
lain :
1) Peran Prostasiklin dan Tromboksan
Pada preeklamsia/eklamsia didapatkan kerusakan pada endotel vaskuler, sehingga terjadi penurunan produksi prostasiklin (PGI 2) yang pada kehamilan normal meningkat. Aktivasi penggumpalan dan fibrinolisis kemudian akan digantikan dengan trombin dan plasmin. Trombin akan mengkonsumsi antitrombin III sehingga terjadi deposit fibrin. Aktivasi trombosit menyebabkan pelepasan tromboksan (TxA2) dan serotonin, sehingga terjadi vasospasme dan kerusakan endotel.
commit to user 2) Peran Faktor Imunologis
Preeklamsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan jarang timbul lagi pada kehamilan berikutnya. Hal ini dapat diterangkan bahwa pada kehamilan pertama pembentukan blocking antibodies
terhadap antigen plasenta tidak sempurna, yang semakin sempurna pada kehamilan berikutnya. Fierlie FM (1992) mendapatkan beberapa data yang mendukung adanya sistem imun pada penderita preeklamsia/ eklamsia:
a) Beberapa wanita dengan preeklamsia/eklamsia mempunyai kompleks imun dalam serum.
b) Beberapa studi juga mendapatkan adanya aktivasi sistem komplemen pada preeklamsia/eklamsia diikuti dengan proteinuria. 3) Peran faktor genetik/familial
Beberapa bukti yang menunjukkan peran faktor genetik pada kejadian preeklamsia/eklamsia antara lain :
a) Preeklamsia hanya terjadi pada manusia.
b) Kecenderungan meningkatnya frekuensi preeklamsia/eklamsia pada anak dan cucu dari ibu hamil dengan riwayat preeklamsia/ eklamsia.
commit to user
c. Faktor Risiko
Secara umum faktor risiko preeklamsia meliputi (Cunningham, 2006 dan Brooks, 2005) :
1) Primigravida
2) Usia kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun
3) Penyakit yang menyertai kehamilan (hipertensi kronik, ginjal, diabetes melitus)
4) Riwayat keluarga (ibu hamil lahir dari ibu yang mengalami preeklamsia)
5) Pendidikan rendah 6) Sosial ekonomi rendah
7) Kunjungan antenatal kurang dari 4 kali
d. Patogenesis
Pada preeklamsia ada dua tahap perubahan yang mendasari patogenesisnya, yaitu tahap pertama adalah hipoksia plasenta yang terjadi karena berkurangnya aliran darah dalam arteri spiralis. Hal ini terjadi karena kegagalan invasi sel trofoblas pada dinding arteri spiralis pada awal kehamilan dan awal trimester kedua kehamilan. Arteri spiralis tidak dapat melebar dengan sempurna dengan akibat penurunan aliran darah dalam ruang intervilus di plasenta, sehingga terjadilah hipoksia plasenta (Roeshadi, 2006).
Hipoksia yang berkelanjutan ini akan membebaskan zat-zat toksik seperti sitokin, dan radikal bebas dalam bentuk lipid peroksidase dalam
commit to user
sirkulasi darah ibu. Hal ini kemudian akan menyebabkan terjadinya stres oksidatif, yaitu keadaan dimana radikal bebas jumlahnya lebih dominan dibandingkan antioksidan (Roeshadi, 2006).
Stres oksidatif pada tahap berikutnya bersama dengan zat toksik yang beredar dapat merangsang terjadinya kerusakan pada sel endothel pembuluh darah yang disebut disfungsi endothel, yang dapat terjadi pada seluruh permukaan endothel pembuluh darah pada organ-organ penderita preeklamsia.
Pada disfungsi endothel terjadi ketidakseimbangan produksi zat-zat yang bertindak sebagai vasodilator, seperti Prostasiklin dan Nitrit Oksida, dibandingkan dengan vasokonstriktor, seperti Endothelium I, Tromboksan, dan Angiotensin II (Roeshadi, 2006). Penurunan Nitrit Oksida (NO) menyebabkan rusaknya fungsi vasodilator endothel. Kunci sistem regulator endothel yang normal adalah Nitric Oxide Syntase
(NOS) yang menghasilkan NO. NO berperan sebagai relaxing factor otot polos, sebagai respon terhadap berbagai macam rangsang. NO akan menginduksi vasodilatasi dan mengatur tahanan vaskuler. Terganggunya fungsi endothel sebagai vasodilator berperan dalam patofisiologi hipertensi yang merupakan salah satu dari gejala preeklamsia.
Peningkatan kadar lipid peroksidase juga akan mengaktifkan sistem koagulasi sehingga terjadi agregasi trombosit dan pembentukan thrombus. Vasospasme merupakan dasar dari proses penyakit ini. Setelah terjadi disfungsi endothel di dalam tubuh penderita preeklamsia, jika
commit to user
prosesnya berlanjut dapat terjadi disfungsi dan kegagalan organ (Roeshadi, 2006).
Dengan demikian disfungsi endothel menonjol pada penderita preeklamsia dan merupakan patogenesis yang berperan penting pada preeklamsia (Mellembakken, 2001).
commit to user
Skema Patogenesis Preeklamsia
(Roeshadi, 2006)
Penyakit vaskuler Faktor imunogenetik ↑ Trigliserida & asam lemak bebas
Invasi trophoblast yang tidak adekuat pada arteria spiralis ibu
↓
Penurunan perfusi plasenta
Sirkulasi faktor-faktor Sitokin (IL-16, TNF-α), dan Peroksidase lemak
Stres oksidatif
Disfungsi endothel Aktivasi keping
darah Darah 1. Volume darah ↓ 2. Hematokrit ↑ 3. Viskositas darah ↑ 4. Trombositopenia 5. Koagulopati Vasokonstriksi sistemik : Hipertensi Perubahan permeabilitas vaskuler 1. Edema perifer 2. Edema paru Ginjal 1. Hiperuricemia 2. Proteinuria 3. Gagal ginjal Hati 1. Tes fungsi abnormal 2. Perdarahan
Sistem saraf pusat-mata 1. Seizures 2. Cortical blindness 3. Pelepasan retina Plasenta 1. Retardasi pertumbuhan fetus 2. Kematian janin
commit to user
e. Perubahan Anatomi dan Fisiologi Patologik
Perubahan pokok yang didapatkan pada preeklamsia adalah spasmus pembuluh darah disertai retensi garam dan air. Bila dianggap bahwa spasmus arteriola juga ditemukan di seluruh tubuh, maka mudah dimengerti bahwa tekanan darah yang meningkat tampaknya merupakan usaha mengatasi kenaikan tekanan perifer, agar oksigenasi jaringan dapat dicukupi (Prawirohardjo, 2007).
Kenaikan berat badan dan edema yang disebabkan penimbunan cairan yang berlebihan dalam ruang interstitial belum diketahui sebabnya. Telah diketahui bahwa pada preeklamsia dijumpai kadar aldosteron yang rendah daripada kehamilan normal. Aldosteron penting untuk mempertahankan volume plasma dan mengatur retensi air dan natrium (Prawirohardjo, 2007).
Perubahan organ pada preeklampsia/eklampsia meliputi (Prawirohardjo, 2007) :
1) Plasenta
Pada preeklamsia terdapat spasmus arteriola spiralis desidua dengan akibat menurunnya aliran darah ke plasenta. Perubahan plasenta normal sebagai akibat tuanya kehamilan, seperti menipisnya sinsitium, menebalnya dinding pembuluh darah dalam villi karena fibrosis, dan konversi mesoderm menjadi jaringan fibrotik, dipercepat prosesnya pada preeklamsia dan hipertensi. Pada preeklamsia yang jelas terjadi ialah atrofi sinsitium. Arteria spiralis mengalami
commit to user
konstriksi dan penyempitan, yang berakibat aterosis akut disertai
necrotizing arteriopathy.
Menurunnya aliran darah ke plasenta mengakibatkan gangguan fungsi plasenta. Pada hipertensi yang agak lama pertumbuhan janin terganggu; pada hipertensi yang lebih pendek bisa terjadi gawat janin sampai kematiannya karena kekurangan oksigenasi.
2) Ginjal
Organ ini besarnya normal atau dapat membengkak. Pada simpai ginjal dan pada pemotongan mungkin ditemukan perdarahan-perdarahan kecil.
Penyelidikan biopsi pada ginjal oleh Altchek dan kawan-kawan (1968) menunjukkan pada preeklamsia terjadi kelainan berupa : a) kelainan glomerulus; b) hiperplasia sel-sel jukstaglomerulus; c) kelainan pada tubulus-tubulus Henle; d) spasmus pembuluh darah ke glomerulus.
Perubahan pada ginjal ini disebabkan oleh aliran darah ke dalam ginjal menurun, sehingga menyebabkan filtrasi glomerulus mengurang. Kelainan pada ginjal yang penting ialah dalam hubungan dengan proteinuria dan mungkin sekali juga dengan retensi garam dan air. Karena terjadi proteinuria, protein serum total dan tekanan osmotik plasma menurun pada preeklamsia.
Mekanisme retensi garam dan air belum diketahui dengan benar, tetapi disangka akibat perubahan dalam perbandingan antara
commit to user
tingkat filtrasi glomerulus dan tingkat penyerapan kembali oleh tubulus. Penurunan filtrasi glomerulus akibat spasmus arteriolus ginjal menyebabkan filtrasi natrium melalui glomerulus menurun, yang menyebabkan retensi garam dan dengan demikian juga retensi air.
Fungsi ginjal pada preeklamsia tampaknya agak menurun bila dilihat dari clearance asam urik. Filtrasi glomerulus dapat turun sampai 50% dari normal, sehingga menyebabkan diuresis turun; pada keadaan lanjut dapat terjadi oliguria atau anuria.
3) Retina
Kelainan yang sering ditemukan adalah spasmus pada arteriola-arteriola, terutama yang dekat pada diskus optikus. Dapat terlihat edema pada diskus optikus dan retina. Ablasio retina juga dapat terjadi, tetapi komplikasi ini prognosisnya baik. Pelepasan retina disebabkan oleh edema intraokuler dan merupakan indikasi untuk pengakhiran kehamilan segera.
Skotoma, diplopia, dan ambliopia merupakan gejala yang menunjukkan akan terjadinya eklamsia. Keadaan ini disebabkan oleh perubahan aliran darah dalam pusat penglihatan di korteks serebri atau dalam retina.
commit to user 4) Paru-paru
Paru-paru menunjukkan adanya edema. Edema paru-paru merupakan sebab utama kematian, dimana komplikasi ini biasanya disebabkan oleh dekompensasio kordis kiri.
5) Otak
Resistensi pembuluh darah dalam otak pada hipertensi dalam kehamilan lebih meninggi lagi pada preeklamsia. Pada penyakit yang belum lanjut hanya ditemukan edema dan anemia pada korteks serebri; pada keadaan lanjut dapat ditemukan perdarahan.
6) Hati
Organ ini besarnya normal, pada permukaan dan pembelahan tampak tempat-tempat perdarahan yang tidak teratur. Pada pemeriksaan mikroskopik dapat ditemukan perdarahan dan nekrosis pada tepi lobulus.
7) Jantung
Pada sebagian besar penderita yang mati karena eklamsia, jantung biasanya mengalami perubahan degeneratif pada miokardium. 8) Metabolisme air dan elektrolit
Hemokonsentrasi yang menyertai preeklamsia dan eklamsia tidak diketahui sebabnya. Terjadi di sini pergeseran cairan dari ruang intravaskuler ke ruang interstisial. Kejadian ini, yang diikuti oleh kenaikan hematokrit, dan sering bertambahnya edema, menyebabkan volume darah mengurang, viskositet darah meningkat, waktu
commit to user
peredaran darah tepi lebih lama. Karena itu, aliran darah ke jaringan di berbagai bagian tubuh mengurang, yang berakibat hipoksia. Dengan perbaikan keadaan, hemokonsentrasi berkurang, sehingga turunnya hematokrit dapat dipakai sebagai ukuran tentang perbaikan keadaan penyakit dan tentang berhasilnya pengobatan.
Jumlah air dan natrium dalam badan lebih banyak pada penderita preeklamsia daripada wanita hamil biasa atau penderita dengan hipertensi menahun. Penderita preeeklamsia tidak dapat mnegeluarkan dengan sempurna air dan garam yang diberikan. Hal ini disebabkan oleh filtrasi glomerulus menurun, sedangkan penyerapan kembali tubulus tidak berubah.
f. Klasifikasi Preeklamsia
Preeklamsia digolongkan ke dalam preeklamsia ringan dan preeklamsia berat dengan gejala dan tanda sebagai berikut:
1) Preeklamsia Ringan (Wijayarini, 2002)
a) Tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg, atau kenaikan ≥ 30 mmHg (jika diketahui tingkat yang biasa).
b) Tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, atau kenaikan ≥ 15 mmHg (jika diketahui tingkat yang biasa).
c) Kenaikan berat badan 1 kg atau lebih dalam seminggu.
d) Proteinuria 0,3 gr atau lebih dengan tingkat kualitas +1 sampai +2 pada urin kateter atau urin aliran pertengahan.
commit to user 2) Preeklamsia Berat (Duff, 2004)
Bila salah satu di antara gejala atau tanda ditemukan pada ibu hamil, sudah dapat digolongkan preeklamsia berat :
a) Tekanan darah ≥ 160/110 mmHg.
b) Oligouria, urin kurang dari 400cc/24 jam. c) Proteinuria lebih dari 3 gr/liter.
d) Keluhan subjektif :
(1) Nyeri epigastrium atau kuadran kanan atas (2) Mual atau muntah
(3) Gangguan penglihatan (4) Nyeri kepala daerah frontal (5) Edema paru dan sianosis (6) Gangguan kesadaran
(7) Hipereksibilitas sistem syaraf pusat, ditandai dengan demam dan peningkatan refleks tendon.
e) Pemeriksaan :
(1) Kadar enzim hati meningkat disertai ikterus (2) Perdarahan pada retina
(3) Trombosit kurang dari 100.000/mm.
Peningkatan gejala dan tanda preeklamsia berat memberikan petunjuk akan terjadi eklamsia.
commit to user
g. Diagnosis
Pada umumnya diagnosis preeklamsia didasarkan atas adanya 2 dari trias tanda utama : hipertensi, edema, dan proteinuria (Prawirohardjo, 2007).
2. Eklamsia a. Pengertian
Eklamsia pada umumnya timbul pada wanita hamil atau dalam masa nifas dengan tanda-tanda preeklamsia berat. Pada wanita yang menderita eklamsia timbul serangan kejang yang diikuti koma (Prawirohardjo, 2007). Berdasarkan waktu terjadinya, eklamsia dapat dibagi menjadi eklamsia gravidarum, eklamsia parturientum, dan eklamsia puerperium (Manuaba, 1998)
b. Gejala dan Tanda
Pada jaringan, adanya hemokonsentrasi akan menurunkan perfusi jaringan sehingga kepekaan otak akan meningkat dan mudah untuk terjadi kejang (Sulistyowati, 2001).
Pada umumnya kejang didahului oleh makin memburuknya preeklamsia dan terjadinya gejala-gejala nyeri kepala di daerah frontal, gangguan penglihatan, mual keras, nyeri di epigastrium, dan hiperrefleksia. Bila keadaan ini tidak dikenal dan tidak segera diobati, akan timbul kejang; terutama pada persalinan, bahaya ini besar (Prawirohardjo, 2007).
commit to user
Konvulsi eklamsia dibagi dalam 4 tingkat, yakni (Prawirohardjo, 2007) :
1) Tingkat awal atau aura
Keadaan ini berlangsung kira-kira 30 detik. Mata penderita terbuka tanpa melihat, kelopak mata bergetar, demikian pula tangannya, dan kepala diputar ke kanan atau ke kiri.
2) Tingkat kejang tonik
Berlangsung kurang lebih 30 detik. Dalam tingkat ini seluruh otot menjadi kaku, wajahnya kelihatan kaku, tangan menggenggam, dan kaki membengkok ke dalam. Pernapasan berhenti, muka mulai menjadi sianotik, lidah dapat tergigit.
3) Tingkat kejang klonik
Berlangsung antara 1-2 menit. Semua otot berkontraksi dan berulang-ulang dalam tempo yang cepat. Mulut membuka dan menutup, dan lidah dapat tergigit lagi. Bola mata menonjol. Dari mulut keluar ludah yang berbusa, muka menunjukkan sianosis. Penderita menjadi tidak sadar. Kejang klonik ini dapat demikian hebatnya, sehingga penderita dapat terjatuh dari tempat tidurnya. Pada akhirnya, kejang terhenti dan penderita menarik napas secara mendengkur.
4) Tingkat koma
Lamanya ketidaksadaran tidak selalu sama. Secara perlahan-lahan penderita menjadi sadar lagi, akan tetapi dapat pula terjadi
commit to user
bahwa sebelum itu timbul serangan baru dan berulang, sehingga penderita tetap dalam koma.
Selama serangan tekanan darah meninggi, nadi cepat, dan suhu meningkat sampai 40 derajat Celcius. Sebagai akibat serangan dapat terjadi komplikasi-komplikasi seperti : 1). Lidah tergigit; perlukaan dan fraktura; 2). Gangguan pernapasan; 3). Solusio plasenta; dan 4). Perdarahan otak (Prawirohardjo, 2007).
3. Hematokrit a. Pengertian
Kadar hematokrit (packed red cell volume) adalah konsentrasi (dinyatakan dalam persen) eritrosit dalam 100 ml (1 dL) darah lengkap (Gandasoebrata, 2004; Sutedjo, 2007). Biasanya kadar ini ditentukan dengan darah vena atau kapiler. Hematokrit ditentukan melalui sentrifugasi darah dalam “tabung hematokrit” sampai sel-sel ini menjadi benar-benar mampat pada bagian bawah tabung. Adalah tidak mungkin untuk memampatkan semua eritrosit; karenanya, sekitar 3 sampai 4 persen plasma tetap terjebak di antara sel, dan hematokrit sebenarnya hanya sekitar 96 persen dari hematokrit yang terukur (Guyton, 1997).
Adapun variasi kadar normal hematokrit sepanjang kehidupan adalah sebagai berikut :
commit to user
Tabel 1 Variasi Kadar Normal Hematokrit
Kategori Kadar Hematokrit (%)
Bayi baru lahir cukup bulan (darah tali pusat) Bayi baru lahir cukup bulan (darah kapiler) Bayi (3 bulan) Anak (10 tahun) Wanita hamil Wanita dewasa Pria dewasa 44-62 53-68 30-38 37-44 26-34 37-47 42-54 (Waterbury, 2001)
Kadar hematokrit adalah parameter hemokonsentrasi serta perubahannya. Kadar hematokrit akan meningkat saat terjadinya peningkatan hemokonsentrasi, baik oleh peningkatan kadar sel darah atau penurunan kadar plasma darah. Sebaliknya kadar hematokrit akan menurun ketika terjadi penurunan hemokonsentrasi atau disebut hemodilusi, karena penurunan kadar seluler darah atau peningkatan kadar plasma darah.
4. Hubungan Preeklamsia/Eklamsia dengan Hematokrit
Hipoksia plasenta yang terjadi pada preeklamsia/eklamsia akan membebaskan zat-zat toksik dan radikal bebas dalam sirkulasi darah ibu. Hal ini kemudian akan menyebabkan terjadinya stres oksidatif, yaitu keadaan dimana radikal bebas jumlahnya lebih dominan dibandingkan antioksidan. Stres oksidatif pada tahap berikutnya bersama zat toksik yang beredar akan merangsang terjadinya kerusakan sel endothel pembuluh darah penderita preeklamsia (Roeshadi, 2006).
commit to user
Pada disfungsi endothel terjadi ketidakseimbangan produksi zat-zat yang bertindak sebagai vasodilator, sehingga terjadi vasospasme (Roeshadi, 2006). Vasospasme yang berkelanjutan akan menyebabkan integritas endothel pembuluh darah rusak, sehingga plasma darah bergeser ke ruang interstitial. Akibatnya, volume plasma akan menurun dan terjadi hemokonsentrasi, yang dapat dinilai dari peningkatan kadar hematokrit. Hemokonsentrasi yang terus meningkat akan menyebabkan perfusi jaringan semakin berkurang pada seluruh organ, yang kemudian akan memperburuk preeklamsia itu sendiri (Prawirohardjo, 2007).