• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

a. Definisi

Akne vulgaris adalah penyakit peradangan menahun folikel pilosebasea yang umumnya terjadi pada masa remaja dan dapat sembuh sendiri. Gambaran klinis akne vulgaris sering polimorfi ; terdiri atas berbagai kelainan kulit berupa komedo, papul, pustul, nodul, dan jaringan parut yang terjadi akibat kelainan aktif tersebut, baik jaringan parut yang hipotrofi maupun yang hipertrofi (Wasitaatmadja, 2007).

b.Epidemiologi Akne Vulgaris

Akne vulgaris biasanya timbul pada usia remaja saat masa pubertas. Umumnya insiden terjadi pada sekitar umur 14 - 17 tahun pada wanita, 16 - 19 tahun pada pria dan pada masa itu lesi yang predominan adalah komedo dan papul dan jarang terlihat lesi beradang. Hampir setiap orang pernah menderita penyakit ini, maka akne vulgaris sering dianggap sebagai kelainan kulit yang timbul secara fisiologis (Wasitaatmadja, 2007).

Pada remaja putri, akne vulgaris dapat terjadi saat premenarke. Setelah masa remaja kelainan ini berangsur berkurang. Namun,

commit to user

kadang-kadang, akne vulgaris dapat menetap sampai dekade umur 30-an atau bahk30-an lebih (Wasitaatmadja, 2007). Usia remaja (12 - 24 tahun) sering ditemukan menderita akne sebesar 85 %, usia 25 - 34 tahun sebesar 8 %, dan usia 35 - 44 tahun sebesar 3 % (Leyden, 2003). Puncak kejadian akne vulgaris terjadi pada usia 16 - 18 tahun (Cordaen

et al., 2002).

Pada beberapa penelitian sebelumnya tentang prevalensi kejadian akne vulgaris, didapat data prevalensi akne vulgaris positif pada penduduk Palembang dengan umur 14 - 21 tahun adalah 68,2 % (Tjekyan, 2008). Di Inggris, didapatkan data prevalensi kejadian akne vulgaris positif pada penduduk dengan umur 12 - 18 tahun sebanyak 80 % (Dreno et.al., 2003). Sedangkan penelitian di Teheran, Iran

didapatkan data prevalensi kejadian akne vulgaris positif pada penduduk dengan umur 12 - 20 tahun adalah 93,2 % (Ghodsi et.al.,

2009).

c. Etiologi dan Patogenesis Akne Vulgaris

Patogenesis akne vulgaris bersifat multifaktorial. Faktor-faktor yang berperan dalam patogenesis akne vulgaris terdiri atas faktor internal, yaitu meningkatnya produksi sebum, hiperkeratinisasi folikuler, hormon androgen, genetik, adanya mediator radang di sekitar folikel sebasea, dan adanya perubahan biokimia susunan lemak di permukaan kulit (Wasitaatmadja, 2007). Faktor eksternal seperti

commit to user

kosmetik, obat, dan kolonisasi Propionibacterum acnes di folikel

sebasea dapat memacu ataupun memperburuk akne (Wolfe, 2009).

1) Kenaikan Produksi Sebum

Pasien dengan akne memproduksi lebih banyak sebum dibandingkan yang tanpa akne, walaupun kualitas sebum sama pada kedua grup tersebut (Zaenglein et al., 2007). Kelenjar sebasea

membutuhkan stimulus dari hormon androgen untuk memproduksi banyaknya sebum secara signifikan (Nelson dan Thiboutot, 2007).

Produksi sebum yang meningkat menyebabkan peningkatan unsur komedogenik dan inflamatogenik penyebab terjadinya lesi

akne (Wasitaatmadja, 2007). Komedo terbentuk karena

terlokalisasinya asam linoleat. Asam linoleat melalui plasma dapat mencairkan sebum sehingga volume sebum meningkat dan membasahi duktus korneosit. Kerusakan lumen folikel akibat abnormalitas deskuamasi sel folikel menyebabkan sebum terjebak di belakang sumbatan yang hiperkeratotik. Hasil akhir dari hiperkeratinisasi ini berkembang menjadi komedo (Tahir, 2010).

Sebum mengandung beberapa jenis lemak seperti trigliserida 56 %, wax ester 26 %, squalene 15 %, kolesterol ester 2 %, dan

kolesterol 1 % (Cunliffe dan Gollnick, 2001). Salah satu dari komponen sebum, trigliserida, berperan dalam patogenesis akne.

Trigliserida diubah menjadi asam lemak bebas oleh

commit to user

kolonisasi dari bakteri Propionibacterium acnes, mendorong

inflamasi, dan komedogenik (Zaenglein et al., 2007).

Selain diatur oleh hormon androgen, produksi sebum dan aktivitas sebaseus juga dipengaruhi oleh retinoid, melanokortin,

peroxisome proliferator-activated receptors (PPAR), dan

fibroblast growth factor receptor (FGFR). Retinoid menghambat

sekresi sebum. Sedangkan melanokortin meningkatkan produksi

sebum. Yang termasuk melanokortin adalah melanocyte

stimulating hormone dan hormon adrenokortikotropik (Nelson dan

Thiboutot, 2007). Reseptor PPAR terdapat pada kelenjar sebasea, yaitu PPAR-α. Reseptor PPAR berkaitan dengan proses sintesis lipid. Mekanisme ini diperankan oleh 5 lipoxygenation yang

menghasilkan leukotrien B4 yang berfungsi sebagai prekursor; dan

arachidonic acid yang memacu sebaseus lipogenesis pada sel

sebosit manusia (Zouboulis et al., 2005). Reseptor FGFR

diekspresikan lewat epidermis. Reseptor FGFR2 berperan penting pada embriogenesis saat pembentukan kulit. Mutasi pada reseptor FGFR2 ini terbukti berhubungan dengan akne, tetapi bagaimana mutasi ini menyebabkan akne sampai sekarang belum diketahui (Zaenglein et al., 2007).

Produksi sebum mulai meningkat saat masuk usia pubertas (Nelson dan Thiboutot, 2007). Produksi sebum dapat dihambat

commit to user

oleh beberapa obat seperi estrogen, anti androgen dan golongan obat retinoid (Stoll et al., 2001).

2) Perubahan pola keratinisasi dalam folikel

Pada duktus folikuler normal terdapat keratinosit yang tersusun atas selapis sel kolumner yang membentuk lumen sebagai tempat keluarnya sebum. Pada lesi akne terdapat hiperkeratinisasi pada duktus folikuler sehingga terjadi sumbatan lumen yang akan

memicu terbentuknya mikrokomedo yang berisi sebum.

Hiperkeratinisasi folikuler merupakan faktor untuk terjadinya lesi akne (Gollnick, 2003).

Terjadinya hiperkeratinisasi folikuler belum diketahui dengan pasti, kemungkinan disebabkan oleh suatu respon keratinosit yang berlebihan terhadap hormon androgen, penurunan kadar asam linoleat dan vitamin A pada duktus folikuler (Leyden, 2003), peningkatan kolonisasi Propionibacterium acnes pada duktus

folikuler sebasea sehingga terjadi peningkatan kadar asam lemak bebas dan memicu faktor kemotaksis untuk menghasilkan sitokin lokal seperti IL-1α dan IL-8 (Gollnick, 2003).

3) Kolonisasi Saluran Pilosebasea dengan Propionibacterium acnes

Mikroba yang berperan pada patogenesis akne vulgaris adalah

Propionibacterium acnes, Staphylococcus epidermidis, dan

Pityrosporum ovale. Bakteri-bakteri tersebut berperan pada proses

commit to user

fraksi lipid sebum (Wasitaatmadja, 2007). Propionibacterium

acnes terdapat pada bagian tubuh yang kaya kelenjar sebasea

seperti wajah, kulit kepala, jumlah sedang terdapat pada daerah badan dan lengan atas, sedangkan jumlah sedikit terdapat pada daerah ekstremitas bawah (Gollnick, 2003). Propionibacterium

acnes menghasilkan bahan-bahan aktif seperti lipase, protease,

hialuronidase, fosfatase, dan smoot muscle contracting substances.

Bahan-bahan ini akan meningkatkan lipolisis (Hidayah et al.,

2003).

Propionibacterium acnes hidup dalam suasana pH 5 - 6,5 sama

seperti pH di permukaan kulit dan suhu yang sesuai sekitar 30 -370C (Cunliffe dan Gollnick, 2001). Propionibacterium acnes

melepaskan sitokin inflamasi seperti IL-1α, IL-8, dan TNF-α akibat fagositosis leukosit terhadap Propionibacterium acnes (Leyden,

2003). Produksi sebum yang meningkat dan adanya sumbatan duktus menjadikan duktus pilosebasea menjadi anaerob sehingga

merupakan media pertumbuhan Propionibacterium acnes

(Gollnick, 2003).

Mencuci muka dengan sabun pembersih mempunyai efek mengurangi minyak maupun efek daya antibakteri (American

Osteopathic College of Dermatology, 2011). Penelitian

sebelumnya menyatakan bahwa terdapat perbaikan kondisi akne pada kelompok yang mencuci muka 2x/hari dibandingkan

commit to user

kelompok yang mencuci muka 1x/hari secara signifikan (Choi

et.al., 2006).

4) Inflamasi

Inflamasi yang terjadi bukan disebabkan oleh bakterinya sendiri melainkan akibat mediator biologik aktif dalam folikel yang dihasilkan oleh Propionibacterium acnes (Hidayah et al., 2003).

Propionibacterium acnes akan memacu berbagai sel radang seperti

neutrofil, CD14, leukosit, dan limfosit, hal ini dibuktikan dengan penurunan kolonisasi Propionibacterium acnes akan menunjukkan

perbaikan lesi akne melalui penurunan sel radang). Metabolisme neutrofil menghasilkan O2 dan OH dan leukosit menghasilkan

reactive oxygen species (R0S) yang dapat merusak dinding folikel

sebaseus pada lokasi inflamasi yang dikenal dengan auto-oxidative

damage (Gollnick, 2003).

Sitokin dapat meningkatkan terjadinya komedo, hal ini dibuktikan dengan pemberian IL-1α pada duktus pilosebaseus dapat memacu terjadinya komedo. Komedo terbentuk oleh sumbatan duktus folikel sebasea yang mengakibatkan terjadinya

timbunan sebum dan memacu pertumbuhan Propionibacterium

acnes sehingga terbentuk lesi akne. Pemeriksaan secara

elektromikroskopik terdapat penebalan korneocyt lamellae pada

commit to user

5) Faktor hormon

Produksi sebum dipengaruhi oleh hormon androgen dan

perisoma proliferator activated reseptor (PPAR) ligands. Hormon

androgen berperan dalam meningkatkan ukuran kelenjar sebasea dan memacu proliferasi sel keratinosit di di duktus sebasea dan di akroinfundubulum (Zouboulis et al., 2005).

Hormon androgen terdiri atas dehidroepiandrosteron sulfat (DHEA-S) dengan kadar 1300-6800 nmol/L baik pada laki-laki maupun perempuan; testosteron pada laki-laki dengan kadar 10 - 35 nmol/L dan testosteron pada perempuan dengan kadar < 3,5 nmol/L; dehidrotestosteron pada laki-laki dengan kadar 0,87-2,6 nmol/L dan dehidrotestosteron pada perempuan dengan kadar 0,17-1,0 nmol/L; androstenedion pada laki-laki dengan kadar 3,5 - 5,0 nmol/L dan androstenedion pada perempuan dengan kadar 3,5 - 7,0 nmol/L (Degitz et al., 2007). Yang berperan penting dalam

pembentukan akne adalah testosteron dan dehidrotestosteron yaitu untuk proliferasi sel keratinosit dan pembentukan lipid (Murata et

al., 2006).

Timbulnya akne pada wanita dipengaruhi siklus menstruasi dan kehamilan karena adanya perubahan kadar hormon progesteron

menyebabkan kelenjar ovarium aktif selanjutnya akan

meningkatkan hormon androgen sehingga produksi sebum meningkat (Cunliffe dan Gollnick, 2001).

commit to user 6) Faktor Herediter

Pada 60 % pasien, riwayat akne juga didapatkan pada satu atau kedua orang tuanya. Penderita akne yang berat umumnya mempunyai riwayat keluarga yang positif. Diduga faktor genetik berperan dalam gambaran klinik, penyebaran lesi, dan lamanya kemungkinan mendapat akne (Rzany dan Kahl, 2006).

Zouboulis et al. melaporkan bahwa akne derajat berat sering

ditemukan pada keluarga kembar homozigot dan heterozigot dengan presentase 54 %. Genetik berhubungan dengan timbulnya akne, hal ini dipengaruhi oleh hormon androgen dan abnormal lipid. Dibuktikan pada akne neonatal ditemukan adanya kelainan familial hiperandrogenisme dan aktivitas steroid 21-hydroxylase yang tidak

adekuat. Juga kejadian akne disebabkan oleh mutasi gen CYP21 (Zouboulis et al., 2005).

Individu yang secara genetik mengalami defisiensi reseptor androgen (complete androgen insensitivity) cenderung sedikit

memproduksi sebum dan tidak berkembang menjadi akne (Nelson dan Thiboutot, 2007). Predominan alel gen sitokrom p45 terlihat pada pasien dengan akne. Mutasi ini mungkin menyebabkan percepatan degradasi retinoid natural sehingga terjadi obstruksi

akibat dari disorder pada diferensiasi keratinosit dan

commit to user 7) Diet

Makanan sebagai salah satu faktor penyebab timbulnya akne masih diperdebatkan (Wasitaatmadja, 2007). Penyelidikan terakhir membuktikan bahwa diet sedikit atau tidak berpengaruh terhadap akne. Namun, begitu banyak pasien dengan akne percaya bahwa diet merupakan salah satu faktor yang dapat memperburuk penyakitnya (Smith dan Mann, 2007).

8) Psikis

Terjadinya stres psikik dapat memicu kegiatan kelenjar sebasea sehingga terjadi peningkatan produksi sebum, baik secara langsung

atau melalui rangsangan terhadap kelenjar hipofisis

(Wasitaatmadja, 2007).

9) Kosmetika

Pemakaian kosmetika yang mengandung lanolin, petrolatum, minyak tumbuh-tumbuhan, dan bahan-bahan kimia murni (butil stearat, lanuri alkohol, bahan-bahan pewarna merah D dan C dan asam oleik), secara terus-menerus dalam waktu lama, dapat menyebabkan akne (Wolfe, 2009).

10) Obat-obatan

Beberapa obat dapat menyebabkan akne. Obat-obatan tersebut diantaranya anabolik steroid, kortikosteroid, kortikotropin, fenitoin, litium, isoniazid, vitamin B komplek, halogen, dan pengobatan kemoterapi (Zaenglein et al., 2007).

commit to user 11)Iklim

Termasuk faktor sinar ultraviolet, kelembaban udara, temperatur, mungkin berpengaruh pada aktivitas kelenjar sebasea (Wasitaatmaja, 2007). Didapatkan 60 % perbaikan akne di daerah tropis pada saat musim panas atau kemarau (Widjaja, 2000).

d. Gejala Klinis dan Diagnosis

Tempat predileksi akne vulgaris adalah yang banyak mengandung kelenjar pilosebasea, diantaranya wajah, bahu, dada bagian atas, dan punggung bagian atas. Lokasi kulit lain, misalnya leher, lengan atas, dan glutea kadang-kadang terkena (Wasitaatmadja, 2007). Tempat predileksi akne vulgaris yang paling sering terkena adalah wajah (99 %) (Smith dan Mann, 2007).

Akne dapat berkembang menjadi bentuk yang bervariasi, diantaranya:

1) Papul : lesi inflamasi kecil berupa tonjolan berwarna merah muda

2) Pustul : papula yang diujungnya terdapat nanah berwarna putih atau kuping dan dasarnya merah.

3) Nodul : luas, nyeri, lesi solid, tertancap pada kulit.

4) Kista : dalam, nyeri, di dalam lesi terisi nanah yang dapat menimbulkan skar.

(National Institute of Arthritis and Muskuloskeletal and Skin Disease,

commit to user

Diagnosis akne vulgaris biasanya ditegakkan berdasarkan pada riwayat pasien dan pemeriksaan fisik. Didapatkannya komedo pada pasien merupakan petunjuk penting dalam diagnosis akne vulgaris (Bershad, 2008). Pada penderita seringkali ditemukan berbagai macam lesi, dengan gejala predominan salah satunya, mulai dari komedo, papul, pustul, nodul, dan kista (Wasitaatmadja, 2007). Beberapa diagnosis banding akne vulgaris adalah folikulitis, dermatitis peri-oral, dan dermatitis seboroik (Roebuck, 2006).

e. Gradasi

Ada banyak sistem gradasi untuk menentukan tingkat keparahan akne vulgaris. Penilaian tingkat keparahan akne terus menjadi tantangan para ahli dermatologi. Ada banyak sistem gradasi akne vulgaris, tetapi sampai sekarang belum ada sistem gradasi akne vulgaris yang diterima secara universal. Doshi, Zaheer dan Stiller

pada tahun 1997 memperkenalkan global acne grading system

(GAGS). Sistem ini membagi wajah, dada, dan punggung dalam enam area (dahi, tiap pipi, hidung, dagu, dan dada dan punggung) dan menetapkan faktor dari tiap area sebagai dasar ukuran (Adityan et al.,

2009).

Berikut adalah cara menilai derajat keparahan akne vulgaris

commit to user

Tabel 1. The Global Acne Grading System

Lokasi Faktor Dahi Pipi kanan Pipi kiri Hidung Dagu

Dada dan punggung

2 2 2 1 1 3 Sumber: Adityan et al. (2009)

Catatan: Tiap lesi diberi nilai tergantung dari keparahannya. Tidak ada lesi=0, komedo= 1, papul= 2, pustul= 3 dan nodul= 4. Skor pada tiap area (local score) dihitung menggunakan formula: Local score = Faktor x grade (0-4). Global score adalah jumlah dari local score, dan keparahan akne diklasifikasi menurut global score. Skor 1-18= ringan; 19-30= sedang; 31-38= berat dan > 39= sangat berat

2. Indeks Massa Tubuh (IMT) a. Definisi

The World Health Organization (WHO) pada tahun 1997, The

National Institute of Health (NIH) pada tahun 1998 dan The Expert

Committee on Clinical Guidelines for Overweight in Adolescent

Preventive Services telah merekomendasikan Body Mass Index (BMI)

atau Indeks Massa Tubuh (IMT) sebagai baku pengukuran obesitas pada anak dan remaja di atas usia 2 tahun. Indeks Massa Tubuh (IMT) didapat melalui perhitungan berat badan (kg) dibagi kuadrat tinggi badan (m2). Oleh karena komposisi lemak tubuh anak berubah tiap

commit to user

tahun mengikuti pertumbuhan, maka konsep penggunaan IMT antara anak dan dewasa berbeda. Pada anak, interpretasi IMT tergantung pada umur dan jenis kelamin anak, karena anak lelaki dan perempuan memiliki komposisi lemak tubuh yang berbeda (Sjarif, 2002). Untuk anak-anak dan remaja (usia 2 - 20 tahun), hasil perhitungan IMT diplot pada kurva pertumbuhan dari CDC (Center for Chronic

Disease) untuk melihat posisi IMT pada umur (Division of Nutrition

and Physical Activity, National Center for Chronic Disease

Prevention and Health Promotion, 2007).

Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan cara termudah untuk memperkirakan obesitas serta berkorelasi tinggi dengan massa lemak tubuh. Untuk mengukur lemak tubuh secara langsung sangat sulit dan sebagai pengganti dipakai Indeks Massa Tubuh (IMT) untuk menentukan berat badan yang berlebih dan obesitas pada seseorang

(Sjarif, 2002). IMT mempunyai keunggulan utama yakni

menggambarkan lemak tubuh yang berlebihan, sederhana dan bisa digunakan dalam penelitian populasi berskala besar (Rippe et al.,

2001). Pengukurannya hanya membutuhkan 2 hal yakni berat badan dan tinggi badan, yang keduanya dapat dilakukan secara akurat oleh seseorang dengan sedikit latihan. Salah satu keterbatasan IMT adalah tidak bisa membedakan berat yang berasal dari lemak dan berat dari otot atau tulang. Indeks Massa Tubuh (IMT) juga tidak dapat mengidentifikasi distribusi dari lemak tubuh. Sehingga beberapa

commit to user

penelitian menyatakan bahwa standar cut off point untuk

mendefinisikan obesitas berdasarkan IMT mungkin tidak

menggambarkan risiko yang sama untuk konsekuensi kesehatan pada semua ras atau kelompok etnis (National Institutes of Health, 2004).

Rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut:

Batas ambang IMT ditentukan dengan merujuk ketentuan Departemen Kesehatan. Menurut WHO (1997), klasifikasi IMT yang cocok untuk masyarakat Asia dikategorikan sebagai berikut.

Tabel 2. Kategori Ambang Batas IMT untuk Asia No IMT (kg/m2) Klasifikasi 1. < 18,5 Underweight 2. 18,5-22,9 Normal 3. 23-24,9 Overweight 4. 25-29,9 Obese I 5. > 30 Obese II Sumber: WHO (1997)

Klasifikasi IMT menurut umur untuk anak-anak dan remaja (2-20 tahun):

commit to user

Tabel 3. Klasifikasi IMT menurut umur No IMT menurut umur (%) Kategori

1. < 5 Underweight

2. ≥ 5 sampai < 85 Normal 3. ≥ 85 sampai < 95 Overweight

4. ≥ 95 Obesitas

Sumber: Sjarif (2002)

b. Definisi kelebihan berat badan atau obesitas

Obesitas secara sederhana didefinisikan sebagai suatu keadaan dari akumulasi lemak tubuh yang berlebihan (Rippe et al., 2001). Anak dan

remaja (2 - 20 tahun) dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) antara persentil 85 - 95 sesuai umur dan jenis kelamin disebut overweight,

sedangkan anak dengan IMT > 95 disebut obesitas. Orang dewasa (> 20 tahun) dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) 23 - 24,9 disebut

overweight, sedangkan dewasa dengan IMT ≥ 25 disebut obesitas (Hay

et al., 2003).

Menurut hukum termodinamik, obesitas terjadi karena

ketidakseimbangan antara asupan energi dengan keluaran energi sehingga terjadi kelebihan energi yang selanjutnya disimpan dalam bentuk jaringan lemak (Sjarif, 2002). Kelebihan energi tersebut dapat disebabkan oleh konsumsi makanan yang berlebihan, sedangkan keluaran energi rendah disebabkan oleh rendahnya metabolisme tubuh, aktivitas fisik dan efek termogenesis makanan (Zainun, 2002).

commit to user

Terjadinya obesitas melibatkan beberapa faktor (Zainun, 2002) yaitu:

1) Faktor genetik

Obesitas cenderung diturunkan, sehingga diduga memiliki penyebab genetik. Tetapi anggota keluarga tidak hanya berbagi gen, tetapi juga makanan dan kebiasaan hidup, yang biasanya mendorong terjadinya obesitas. Bila kedua orangtuanya obesitas, sekitar 80 % anak-anak mereka akan menjadi obesitas. Bila salah satu orang tua obesitas kejadiannya menjadi 40 % dan bila kedua orang tua tidak obesitas maka prevalensi turun menjadi 14 %. 2) Faktor lingkungan

Gen merupakan faktor yang penting dalam berbagai kasus obesitas, tetapi lingkungan seseorang juga memegang peranan yang cukup berarti. Lingkungan ini termasuk perilaku, pola makan, pola olahraga, serta aktivitasnya.

3) Faktor psikis

Apa yang ada di dalam pikiran seseorang bisa mempengaruhi kebiasaan makannya. Banyak orang yang memberikan reaksi terhadap emosinya dengan makanan.

4) Faktor Kesehatan

Beberapa penyakit bisa menyebabkan obesitas, diantaranya:

a) Hipotiroidisme

commit to user c) Sindrom prader-willi

d) Beberapa kelainan saraf yang bisa menyebabkan seseorang banyak makan.

5) Obat-obatan

Obat-obat tertentu (misalnya steroid dan beberapa anti depresi) bisa menyebabkan penambahan berat badan.

6) Faktor perkembangan

Penambahan ukuran atau jumlah sel-sel lemak atau keduanya menyebabkan bertambahnya jumlah lemak yang disimpan dalam tubuh.

7) Aktivitas fisik

Kurangnya aktivitas fisik kemungkinan merupakan salah satu penyebab utama dari meningkatnya kejadian obesitas di tengah masyarakat. Orang-orang yang tidak aktif memerlukan sedikit kalori. Obesitas mempunyai dampak terhadap tumbuh kembang anak dan berpotensi mengalami berbagai penyakit kesakitan dan kematian antara lain penyakit kardiovaskuler, dislipidemia, hipertensi, diabetes melitus, dan sebagainya (Division of Nutritional and Physical Activity,

National Center for Chronic Disease Prevention and Health

commit to user

3. Hubungan antara IMT (Indeks Massa Tubuh) dengan Akne Vulgaris

Obesitas berhubungan dengan hiperandrogenisme perifer yang

berhubungan dengan peningkatan produksi sebum. Pada sebuah penelitian, nilai IMT yang tinggi pada obesitas dan overweight ditemukan berhubungan

dengan sindrom polikistik ovarium dan hiperandrogenisme yang

bermanifestasi klinik sebagai akne, hirsutisme, dan menstruasi yang tidak teratur (Huppert et al., 2004). Pada perempuan remaja yang obesitas, terjadi

resistensi insulin, hiperinsulinemia, hiperandrogenisme, peningkatan

aromatisasi perifer serum androgen ke estrogen, sekresi gonadotropin terpengaruh, penurunan growth hormone (GH) dan insulin like growth factor

binding proteins (IGFBPs), peningkatan level leptin, dan neuroregulasi dari

hipotalamus-pitutari-aksis gonad terpengaruh (Diamanti-Kandarakis dan Bergiele, 2001).

Mekanisme overweight dan obesitas bisa menyebabkan

hiperandrogenisme adalah sebagai berikut. Pada penelitian sebelumnya, diketahui IMT dengan kadar insulin puasa mempunyai hubungan yang signifikan, dimana makin besar nilai IMT, makin tinggi kadar insulin puasa. Insulin mempunyai fungsi esensial dalam pengambilan, sintesis, dan penggunaan dari glukosa. Penambahan lemak perut berhubungan dengan berkembangnya resistensi insulin. Akumulasi lemak viseral ini membuat kadar asam lemak bebas naik, dimana lemak intra abdominal bergerak lebih mudah daripada yang lain karena lebih sensitif oleh stimulasi dari enzim lipolitik. Pergerakan asam lemak bebas ini menyebabkan hati dan otot rangka

commit to user

mengalami oksidasi asam lemak yang berlebih untuk menghasilkan energi. Enzim pada kaskade glikolisis juga dihambat sehingga kapasitas dari jaringan untuk mengabsorbsi dan memetabolisme glukosa menurun dan sel mengakumulasi lebih banyak trigliserida. Untuk menanggung aktivitas glukosa dan enzim yang memetabolisme asam lemak ini, glukosa mempunyai level membran yang rendah terhadap insulin reseptor sehingga terjadi resistensi insulin (Vainio dan Bianchini, 2002).

Hormon seks steroid mempunyai fungsi sebagai pertumbuhan, diferensiasi dan fungsi dari banyak jaringan di tubuh. Hormon ini terdiri dari androgen (androstenedion, testosteron, DHEA, dan DHEAS), estrogen (estron, estradiol) dan SHBG. Pada perempuan, hormon seks steroid diproduksi oleh ovarium (testosteron, androstenodion) dan kelenjar adrenal (DHEA, DHEAS, androstenedion). Pada pria, hormon seks steroid diproduksi oleh testis dan kelenjar adrenal. Obesitas membuat efek resistensi insulin relatif, hiperinsulinemia kronik, kenaikan dari IGF-I bioaktif, dan menghambat

sintesis hepatik dari SHBG (sex hormone binding globulin). SHBG

merupakan globulin yang spesifik dengan hormon seks di sirkulasi. Insulin dan IGF-I ini menstimulasi sintesis dan sekresi dari hormon seks steroid (androgen & estrogen) dari gonad dan kelenjar adrenal. Pada kompartemen jaringan lemak, androgen diubah menjadi estrogen oleh enzim aromatase. Kenaikan androgen menyebabkan kenaikan pula dari sintesis estrogen di jaringan lemak (Vainio dan Bianchini, 2002).

commit to user

Pada wanita yang obesitas, estrogen tidak hanya berasal dari ovarium tapi juga dari lemak yang berada di bawah kulit. Hal inilah yang menyebabkan keluarnya luitenizing hormone (LH) sebelum waktunya. Luitenizing Hormone

yang keluar terlalu cepat akan merangsang keluarnya hormon progesteron dan androgen. Pada siklus normal, hal ini tidak terlalu masalah, karena hormon androgen akan diubah menjadi estradiol. Tetapi pada perempuan obesitas, androgen yang keluar terlalu cepat tidak akan diubah menjadi estradiol (Diamanti-Kandarakis dan Bergiele, 2001).

Pada wanita yang mengalami obesitas, juga terjadi peningkatan yang

bermakna dari aktivitas 11b-hidroksisteroid dehidrogenase.

11b-hidroksisteroid dehidrogenase merupakan enzim yang memetabolisme

kortisol menjadi kortison. Hal ini mengakibatkan peningkatan kadar clearence

kortisol, menurunkan feedback negatif dari sekresi adrenocorticotropic

hormone (ACTH) dan secara sekunder meningkatkan sekresi androgen

adrenal (Diamanti-Kandarakis dan Bergiele, 2001).

Stimulan utama dari kelenjar sebasea untuk memproduksi sebum adalah androgen. Terjadinya hiperandrogenisme ini menyebabkan peningkatan produksi sebum (Pawin et al., 2004). Peningkatan produksi sebum inilah yang

Dokumen terkait