commit to user
HUBUNGAN ANTARA INDEKS MASSA TUBUH (IMT)
DENGAN AKNE VULGARIS
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
AVIONITA RAHMA DEWI PRANITASARI
G0008060
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user iii
PERNYATAAN
Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan
sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu
dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Surakarta, 15 Desember 2011
Avionita Rahma Dewi Pranitasari
commit to user iv
ABSTRAK
Avionita Rahma Dewi Pranitasari, G0008060, 2011. Hubungan antara Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan Akne Vulgaris. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
TujuanPenelitian : Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan akne vulgaris.
Metode Penelitian : Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Penelitian dilakukan pada bulan Mei 2011 di SMAN 1 Prambanan, Kabupaten Sleman, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Subjek penelitian adalah siswa SMAN 1 Prambanan yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang ditetapkan oleh peneliti. Pengambilan sampel dilakukan secara fixed disease sampling dengan jumlah sampel sebanyak 198. Seluruh sampel diperiksa secara klinis untuk menentukan ada tidaknya akne vulgaris dan tingkat keparahan akne vulgaris melalui skor GAGS, dilakukan pengukuran tinggi badan serta berat badan untuk menghitung IMT, kemudian dilakukan pengisian kuesioner untuk memperoleh data tentang identitas diri dan variabel-variabel perancu. Data selanjutnya dianalisis menggunakan uji statistik chi square, dilanjutkan dengan uji
Odd Ratio (OR) dan uji regresi logistik ganda.
Hasil Penelitian : Dari analisis data dengan angka kemaknaan α = 0,05, diperoleh nilai p = 0,043 yang berarti p < 0,05, sehingga ada hubungan antara Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan akne vulgaris. Siswa dengan IMT kategori
overweight/obesitas berisiko untuk menderita akne vulgaris 2,423 kali lebih besar daripada mahasiswa dengan IMT kategori underweight/normal.
Simpulan Penelitian : Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Indeks Massa Tubuh (IMT) berhubungan secara signifikan dengan akne vulgaris. Semakin besar nilai Indeks Massa Tubuh (IMT), semakin besar risiko terkena akne vulgaris.
commit to user v
ABSTRACT
Avionita Rahma Dewi Pranitasari, G0008060, 2011. Correlation between Body Mass Index (BMI) with Acne Vulgaris. Falculty of Medicine, Sebelas Maret University, Surakarta.
Objective : To determine an correlation between Body Mass Index (BMI) with acne vulgaris.
Method : This type of study was an observational analytic study with cross-sectional study approach. The study was conducted in May 2011 in SMAN 1 Prambanan, Sleman Regency, Yogyakarta Special Territory Province. The subjects in this study were students of SMAN 1 Prambanan with inclusion and exclusion criteria which was made by the writer. The sampling technique that was used was fixed disease sampling with sample size of 198. All samples were examined clinically to determine the absence of acne vulgaris and the severity of acne vulgaris through GAGS score, were measured of body weight and height to calculate BMI, then questionnaire form filling out was done. Then the data were analyzed by using chi square analysis, Odd Ratio (OR) analysis, and multiple logistic regression analysis.
Results : The data analysis, with α = 0,05, shows p = 0,045 which means p
< 0,05 so that there is a correlation between Body Mass Index (BMI) with acne vulgaris. Student with category of BMI overweight/obesity had a risk to acne vulgaris 2,423 higher than student with category of BMI underweight/normal.
Conclusion : The research can be concluded that Body mass Index (BMI) was significantly correlated with acne vulgaris, the greater value of IMT, the greater risk of acne vulgaris.
commit to user vi
PRAKATA
Alhamdulillah, puji syukur penulis haturkan kepada Allah swt, dengan segala rahmat dan anugerah-Nya penulis berhasil menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan antara Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan Akne Vulgaris” sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran dari Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulis menyadari terselesaikannya penyusunan skripsi ini tidak lain adalah berkat peran serta banyak pihak yang telah memberi bantuan dan dukungan. Oleh karena itu, penulis menyampaikan rasa terimakasih kepada:
1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.
2. Nugrohoaji Dharmawan, dr., Sp.K.K., M.Kes., selaku Pembimbing Utama
yang telah memberi bimbingan dan nasihat dalam penyusunan skripsi ini.
3. Hardjono, Drs., M.Si., selaku Pembimbing Pendamping yang telah
memberi bimbingan dan arahan selama penyusunan skripsi ini.
4. M. Eko Irawanto, dr., Sp.K.K., selaku Penguji Utama yang telah memberi
kritik dan saran demi kesempurnaan penulisan skripsi ini.
5. Made Setiamika, dr., Sp.THT-KL., selaku Anggota Penguji yang telah memberi kritik dan saran demi kesempurnaan penulisan skripsi ini.
6. Muthmainah, dr., M.Kes., selaku Ketua Tim Skripsi beserta Staf Bagian Skripsi FK UNS Surakarta.
7. Margono., dr., M.Kes., selaku Pembimbing Akademik atas bimbingan dan
pengarahannya.
8. Mawardi, Drs., selaku Kepala Sekolah SMAN 1 Prambanan dan siswa SMAN 1 Prambanan atas bantuannya dalam pelaksanaan penelitian ini. 9. Bapak, Windarto dan Ibu, Sri Sayekti atas doa dan dukungannya selama
ini. Juga teruntuk kakakku, Armadhani Jati Prasetya, yang telah memberi motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini.
10.Sahabat-sahabat seperjuangan selama kuliah dan selama penyusunan skripsi, Yuannisa, Noniek, dan Wiji.
11.Teman-teman kos “Multazam”, Sukma, Asih, Khodijah, Riri, Mbak Lilik,
Mbak Prima, Mbak Oni, Mbak Dilla, Mbak Uti, Sara, Hanif, dan Sasa atas semangat dan kebersamaannya.
12.Teman-teman, saudara seangkatan Pendidikan Dokter 2008, untuk
kerjasama dan bantuannya selama ini.
13.Pihak-pihak lain yang tak bisa penulis sebutkan satu per satu.
Dalam penyusunan skripsi ini, tentu masih banyak terdapat kekurangan sehingga kritik dan saran sangat penulis harapkan sebagai bahan pertimbangan untuk penyusunan yang lebih baik di masa mendatang. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk banyak pihak.
Surakarta, 15 Desember 201
commit to user vii
DAFTAR ISI
PRAKATA ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A.Latar Belakang Masalah ... 1
B.Rumusan Masalah ... 4
C.Tujuan Penelitian ... 4
D.Manfaat Penelitian ... 4
BAB II. LANDASAN TEORI ... 5
A. Tinjauan Pustaka ... 5
B. Kerangka Pemikiran ... 27
C. Hipotesis ... 28
BAB III. METODE PENELITIAN ... 29
A. Jenis Penelitian ... 29
B. Lokasi Penelitian ... 29
C. Subjek Penelitian ... 29
D. Teknik Pengambilan Sampel ... 30
E. Identifikasi Variabel Penelitian ... 31
commit to user viii
G. Instrumen Penelitian ... 36
H. Cara Kerja ... 37
I. Rancangan Penelitian ... 39
J. Teknik Analisis Data ... 40
BAB IV. HASIL PENELITIAN ... 43
A. Karakteristik Sampel ... 43
B. Hubungan antara IMT dengan Akne Vulgaris ... 47
BAB V. PEMBAHASAN ... 61
BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN ... 68
A. Simpulan ... 68
B. Saran ... 68
DAFTAR PUSTAKA ... 69
commit to user ix
DAFTAR TABEL
Tabel 1. The Global Acne Grading System ... 17
Tabel 2. Kategori Ambang Batas IMT untuk Asia ... 19
Tabel 3. Klasifikasi IMT Menurut Umur ... 20
Tabel 4. Bentuk Tabel 2xk Uji Chi-Square ... 40
Tabel 5. Distribusi Sampel Berdasarkan Kejadian Akne Vulgaris ... 44
Tabel 6. Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Keparahan Akne Vulgaris .... 45
Tabel 7. Distribusi Sampel Berdasarkan Umur ... 46
Tabel 8. Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin ... 47
Tabel 9. Hasil Analisis Chi Square 4x2 tentang Hubungan antara IMT ... 49
dengan Akne Vulgaris Tabel 10. Hasil Analisis Chi Square 4x4 tentang Hubungan antara IMT ... 51
dengan Akne Vulgaris Berdasarkan Derajat Keparahan Akne Vulgaris Tabel 11. Hasil Analisis Chi Square 2x2 tentang Hubungan antara IMT ... 53
dengan Akne Vulgaris Tabel 12. Hasil Analisis Odd Ratio tentang Hubungan antara IMT dengan ... 54
Akne Vulgaris Tabel 13. Karakteristik Data Umur ... 55
Tabel 14. Hasi Analisis Bivariat tentang Hubungan antara Umur dengan ... 55
commit to user x Muka dengan Akne Vulgaris
Tabel 16. Hasil Analisis Regresi Logistik Ganda tentang Hubungan antara ... 58
IMT dengan Akne Vulgaris
Tabel 17. Probabilititas Kejadian Akne Vulgaris berdasarkan Bentuk ... 60
commit to user xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Diagram Persentase Sampel Berdasarkan Kejadian Akne ... 44
Vulgaris
Gambar 2. Diagram Persentase Sampel Akne Vulgaris Positif ... 45
Berdasarkan Tingkat Keparahan Akne Vulgaris
Gambar 3. Diagram Persentase Sampel Menurut Kelompok Umur ... 46
Gambar 4. Grafik Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin ... 47
Gambar 5. Grafik antara IMT dengan Persentase Kejadian Akne Vulgaris ... 50
Gambar 6. Grafik antara IMT dengan Persentase Kejadian Akne Vulgaris .... 51
Berdasarkan Derajat Keparahan Akne Vulgaris
Gambar 7. Grafik Persentase Kejadian Akne Vulgaris menurut Umur ... 56
Gambar 8. Grafik antara Frekuensi Cuci Muka dengan Persentase ... 57
commit to user xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Izin Penelitian dari Fakultas Kedokteran
Lampiran 2. Informed Consent
Lampiran 3. Kuesioner Pendahuluan
Lampiran 4. Surat Pernyataan
Lampiran 5. Hasil Penelitian
Lampiran 6. Perhitungan Statistik
Lampiran 7. Foto Sampel
Lampiran 8. Grafik IMT Berdasarkan Umur Menurut CDC
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Akne vulgaris adalah penyakit peradangan menahun folikel pilosebasea
yang umumnya terjadi pada masa remaja dan dapat sembuh sendiri.
Gambaran klinis akne vulgaris sering polimorfi; terdiri atas berbagai kelainan
kulit berupa komedo, papul, pustul, nodul, dan jaringan parut yang terjadi
akibat kelainan aktif tersebut, baik jaringan parut yang hipotrofi maupun
yang hipertrofi (Wasitaatmadja, 2007). Tempat predileksi akne paling sering
adalah wajah (sebesar 99 %) dan di tempat lain seperti leher, bahu, dada, dan
punggung sekitar 1 % (Achyar dan Ashadi, 2001).
Di dunia ini diperkirakan terdapat lebih dari 60 juta orang menderita akne
(Wolfe, 2007). Karena hampir setiap orang pernah menderita penyakit ini,
maka akne vulgaris sering dianggap sebagai kelainan kulit yang timbul secara
fisiologis. Pada masa remaja, akne vulgaris menjadi salah satu problem
(Wasitaatmaja, 2007). Usia remaja (12 - 24 tahun) sering ditemukan
menderita akne sebesar 85 %, usia 25 - 34 tahun sebesar 8 %, dan usia 35 -
44 tahun sebesar 3 % (Leyden, 2003). Dilaporkan sekitar 15 % akne pada
usia pubertas dapat menimbulkan efek psikologis berupa rasa malu dan
rendah diri akibat bekas akne yang menimbulkan jaringan parut. Jaringan
parut terbentuk karena ada peradangan (Goulden, 2003). Akne disebabkan
commit to user
sebum (Wasitaatmadja, 2007). Produksi sebum yang meningkat ini salah
satunya dipengaruhi oleh hormon androgen. Androgen dapat menstimulasi
kelenjar sebasea untuk memproduksi sebum (Diamanti-Kandarakis dan
Bergiele., 2001).
Obesitas berhubungan dengan hiperandrogenisme perifer yang
berhubungan dengan peningkatan produksi sebum (Huppert et al., 2001).
Menurut penelitian di Taiwan, rata-rata IMT pada anak-anak yang tidak akne
(18,2 ± 3,4) secara signifikan lebih rendah daripada subjek akne (19,5 ± 3,7),
tanpa perbedaan jenis kelamin. Prevalensi penderita akne pada anak-anak
berumur 6 - 11 tahun dengan IMT < 18,5 cenderung rendah, terutama lesi
inflamatori. Sedangkan prevalensi penderita akne pada anak-anak berumur 6
- 11 tahun dengan IMT menurut umur ≥ 95 % secara signifikan cenderung
tinggi. IMT dengan kategori obesitas merupakan faktor risiko yang signifikan
terhadap kejadian akne pada anak sekolah (Tsai et al., 2006).
Obesitas secara sederhana didefinisikan sebagai suatu keadaan dari
akumulasi lemak tubuh yang berlebihan (Rippe et al., 2001). Pada tahun
2009, 1,6 miliar orang dewasa di seluruh dunia mengalami berat badan
berlebih (overweight), dan sekurang-kurangnya 400 juta di antaranya
mengalami obesitas. Di Indonesia, menurut data Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2007, prevalensi nasional obesitas umum pada penduduk
berusia ≥ 15 tahun adalah 10,3 % (laki-laki 13,9 %, perempuan 23,8 %).
Sedangkan prevalensi berat badan berlebih anak-anak usia 6 - 14 tahun pada
commit to user
Indonesia, 2009). Peningkatan prevalensi obesitas yang sangat tajam di
seluruh dunia ini telah mencapai tingkatan yang membahayakan. Di beberapa
negara berkembang obesitas justru telah menjadi masalah kesehatan yang
lebih serius (Hadi, 2005).
Metode yang paling berguna dan banyak digunakan untuk mengukur
tingkat obesitas dan overweight adalah Indeks Massa Tubuh (IMT). The
World Health Organization (WHO) pada tahun 1997, The National Institute
of Health (NIH) pada tahun 1998 dan The Expert Committee on Clinical
Guidelines for Overweight in Adolescent Preventive Services telah
merekomendasikan Indeks Massa Tubuh (IMT) sebagai baku pengukuran
obesitas pada anak dan remaja di atas usia 2 tahun. Indeks massa tubuh
(IMT) didapat melalui perhitungan berat badan (kg) dibagi kuadrat tinggi
badan (m2) (Sjarif, 2002).
Mengingat prevalensi akne vulgaris yang tinggi dan kecenderungan
peningkatan overweight maupun obesitas di Indonesia maupun di dunia,
perlu penelitian-penelitian tentang hubungan Indeks Massa Tubuh (IMT)
dengan akne vulgaris. Hal ini tampaknya belum banyak dilakukan.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti hubungan antara
Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan terjadinya akne vulgaris di SMAN 1
commit to user
B. Rumusan Masalah
Adakah hubungan antara Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan akne
vulgaris?
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara Indeks Massa Tubuh
(IMT) dengan akne vulgaris.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk masukan dalam rangka
pengembangan ilmu kedokteran dan penelitian selanjutnya tentang faktor
pencetus akne vulgaris.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk masukan dalam rangka
commit to user
5
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Akne Vulgaris
a. Definisi
Akne vulgaris adalah penyakit peradangan menahun folikel
pilosebasea yang umumnya terjadi pada masa remaja dan dapat
sembuh sendiri. Gambaran klinis akne vulgaris sering polimorfi ;
terdiri atas berbagai kelainan kulit berupa komedo, papul, pustul,
nodul, dan jaringan parut yang terjadi akibat kelainan aktif tersebut,
baik jaringan parut yang hipotrofi maupun yang hipertrofi
(Wasitaatmadja, 2007).
b.Epidemiologi Akne Vulgaris
Akne vulgaris biasanya timbul pada usia remaja saat masa
pubertas. Umumnya insiden terjadi pada sekitar umur 14 - 17 tahun
pada wanita, 16 - 19 tahun pada pria dan pada masa itu lesi yang
predominan adalah komedo dan papul dan jarang terlihat lesi
beradang. Hampir setiap orang pernah menderita penyakit ini, maka
akne vulgaris sering dianggap sebagai kelainan kulit yang timbul
secara fisiologis (Wasitaatmadja, 2007).
Pada remaja putri, akne vulgaris dapat terjadi saat premenarke.
commit to user
kadang-kadang, akne vulgaris dapat menetap sampai dekade umur
30-an atau bahk30-an lebih (Wasitaatmadja, 2007). Usia remaja (12 - 24
tahun) sering ditemukan menderita akne sebesar 85 %, usia 25 - 34
tahun sebesar 8 %, dan usia 35 - 44 tahun sebesar 3 % (Leyden, 2003).
Puncak kejadian akne vulgaris terjadi pada usia 16 - 18 tahun (Cordaen
et al., 2002).
Pada beberapa penelitian sebelumnya tentang prevalensi kejadian
akne vulgaris, didapat data prevalensi akne vulgaris positif pada
penduduk Palembang dengan umur 14 - 21 tahun adalah 68,2 %
(Tjekyan, 2008). Di Inggris, didapatkan data prevalensi kejadian akne
vulgaris positif pada penduduk dengan umur 12 - 18 tahun sebanyak
80 % (Dreno et.al., 2003). Sedangkan penelitian di Teheran, Iran
didapatkan data prevalensi kejadian akne vulgaris positif pada
penduduk dengan umur 12 - 20 tahun adalah 93,2 % (Ghodsi et.al.,
2009).
c. Etiologi dan Patogenesis Akne Vulgaris
Patogenesis akne vulgaris bersifat multifaktorial. Faktor-faktor
yang berperan dalam patogenesis akne vulgaris terdiri atas faktor
internal, yaitu meningkatnya produksi sebum, hiperkeratinisasi
folikuler, hormon androgen, genetik, adanya mediator radang di sekitar
folikel sebasea, dan adanya perubahan biokimia susunan lemak di
commit to user
kosmetik, obat, dan kolonisasi Propionibacterum acnes di folikel
sebasea dapat memacu ataupun memperburuk akne (Wolfe, 2009).
1) Kenaikan Produksi Sebum
Pasien dengan akne memproduksi lebih banyak sebum
dibandingkan yang tanpa akne, walaupun kualitas sebum sama
pada kedua grup tersebut (Zaenglein et al., 2007). Kelenjar sebasea
membutuhkan stimulus dari hormon androgen untuk memproduksi
banyaknya sebum secara signifikan (Nelson dan Thiboutot, 2007).
Produksi sebum yang meningkat menyebabkan peningkatan
unsur komedogenik dan inflamatogenik penyebab terjadinya lesi
akne (Wasitaatmadja, 2007). Komedo terbentuk karena
terlokalisasinya asam linoleat. Asam linoleat melalui plasma dapat
mencairkan sebum sehingga volume sebum meningkat dan
membasahi duktus korneosit. Kerusakan lumen folikel akibat
abnormalitas deskuamasi sel folikel menyebabkan sebum terjebak
di belakang sumbatan yang hiperkeratotik. Hasil akhir dari
hiperkeratinisasi ini berkembang menjadi komedo (Tahir, 2010).
Sebum mengandung beberapa jenis lemak seperti trigliserida
56 %, wax ester 26 %, squalene 15 %, kolesterol ester 2 %, dan
kolesterol 1 % (Cunliffe dan Gollnick, 2001). Salah satu dari
komponen sebum, trigliserida, berperan dalam patogenesis akne.
Trigliserida diubah menjadi asam lemak bebas oleh
commit to user
kolonisasi dari bakteri Propionibacterium acnes, mendorong
inflamasi, dan komedogenik (Zaenglein et al., 2007).
Selain diatur oleh hormon androgen, produksi sebum dan
aktivitas sebaseus juga dipengaruhi oleh retinoid, melanokortin,
peroxisome proliferator-activated receptors (PPAR), dan
fibroblast growth factor receptor (FGFR). Retinoid menghambat
sekresi sebum. Sedangkan melanokortin meningkatkan produksi
sebum. Yang termasuk melanokortin adalah melanocyte
stimulating hormone dan hormon adrenokortikotropik (Nelson dan
Thiboutot, 2007). Reseptor PPAR terdapat pada kelenjar sebasea,
yaitu PPAR-α. Reseptor PPAR berkaitan dengan proses sintesis
lipid. Mekanisme ini diperankan oleh 5 lipoxygenation yang
menghasilkan leukotrien B4 yang berfungsi sebagai prekursor; dan
arachidonic acid yang memacu sebaseus lipogenesis pada sel
sebosit manusia (Zouboulis et al., 2005). Reseptor FGFR
diekspresikan lewat epidermis. Reseptor FGFR2 berperan penting
pada embriogenesis saat pembentukan kulit. Mutasi pada reseptor
FGFR2 ini terbukti berhubungan dengan akne, tetapi bagaimana
mutasi ini menyebabkan akne sampai sekarang belum diketahui
(Zaenglein et al., 2007).
Produksi sebum mulai meningkat saat masuk usia pubertas
commit to user
oleh beberapa obat seperi estrogen, anti androgen dan golongan
obat retinoid (Stoll et al., 2001).
2) Perubahan pola keratinisasi dalam folikel
Pada duktus folikuler normal terdapat keratinosit yang tersusun
atas selapis sel kolumner yang membentuk lumen sebagai tempat
keluarnya sebum. Pada lesi akne terdapat hiperkeratinisasi pada
duktus folikuler sehingga terjadi sumbatan lumen yang akan
memicu terbentuknya mikrokomedo yang berisi sebum.
Hiperkeratinisasi folikuler merupakan faktor untuk terjadinya lesi
akne (Gollnick, 2003).
Terjadinya hiperkeratinisasi folikuler belum diketahui dengan
pasti, kemungkinan disebabkan oleh suatu respon keratinosit yang
berlebihan terhadap hormon androgen, penurunan kadar asam
linoleat dan vitamin A pada duktus folikuler (Leyden, 2003),
peningkatan kolonisasi Propionibacterium acnes pada duktus
folikuler sebasea sehingga terjadi peningkatan kadar asam lemak
bebas dan memicu faktor kemotaksis untuk menghasilkan sitokin
lokal seperti IL-1α dan IL-8 (Gollnick, 2003).
3) Kolonisasi Saluran Pilosebasea dengan Propionibacterium acnes
Mikroba yang berperan pada patogenesis akne vulgaris adalah
Propionibacterium acnes, Staphylococcus epidermidis, dan
Pityrosporum ovale. Bakteri-bakteri tersebut berperan pada proses
commit to user
fraksi lipid sebum (Wasitaatmadja, 2007). Propionibacterium
acnes terdapat pada bagian tubuh yang kaya kelenjar sebasea
seperti wajah, kulit kepala, jumlah sedang terdapat pada daerah
badan dan lengan atas, sedangkan jumlah sedikit terdapat pada
daerah ekstremitas bawah (Gollnick, 2003). Propionibacterium
acnes menghasilkan bahan-bahan aktif seperti lipase, protease,
hialuronidase, fosfatase, dan smoot muscle contracting substances.
Bahan-bahan ini akan meningkatkan lipolisis (Hidayah et al.,
2003).
Propionibacterium acnes hidup dalam suasana pH 5 - 6,5 sama
seperti pH di permukaan kulit dan suhu yang sesuai sekitar 30
-370C (Cunliffe dan Gollnick, 2001). Propionibacterium acnes
melepaskan sitokin inflamasi seperti IL-1α, IL-8, dan TNF-α akibat
fagositosis leukosit terhadap Propionibacterium acnes (Leyden,
2003). Produksi sebum yang meningkat dan adanya sumbatan
duktus menjadikan duktus pilosebasea menjadi anaerob sehingga
merupakan media pertumbuhan Propionibacterium acnes
(Gollnick, 2003).
Mencuci muka dengan sabun pembersih mempunyai efek
mengurangi minyak maupun efek daya antibakteri (American
Osteopathic College of Dermatology, 2011). Penelitian
sebelumnya menyatakan bahwa terdapat perbaikan kondisi akne
commit to user
kelompok yang mencuci muka 1x/hari secara signifikan (Choi
et.al., 2006).
4) Inflamasi
Inflamasi yang terjadi bukan disebabkan oleh bakterinya
sendiri melainkan akibat mediator biologik aktif dalam folikel yang
dihasilkan oleh Propionibacterium acnes (Hidayah et al., 2003).
Propionibacterium acnes akan memacu berbagai sel radang seperti
neutrofil, CD14, leukosit, dan limfosit, hal ini dibuktikan dengan
penurunan kolonisasi Propionibacterium acnes akan menunjukkan
perbaikan lesi akne melalui penurunan sel radang). Metabolisme
neutrofil menghasilkan O2 dan OH dan leukosit menghasilkan
reactive oxygen species (R0S) yang dapat merusak dinding folikel
sebaseus pada lokasi inflamasi yang dikenal dengan auto-oxidative
damage (Gollnick, 2003).
Sitokin dapat meningkatkan terjadinya komedo, hal ini
dibuktikan dengan pemberian IL-1α pada duktus pilosebaseus
dapat memacu terjadinya komedo. Komedo terbentuk oleh
sumbatan duktus folikel sebasea yang mengakibatkan terjadinya
timbunan sebum dan memacu pertumbuhan Propionibacterium
acnes sehingga terbentuk lesi akne. Pemeriksaan secara
elektromikroskopik terdapat penebalan korneocyt lamellae pada
commit to user
5) Faktor hormon
Produksi sebum dipengaruhi oleh hormon androgen dan
perisoma proliferator activated reseptor (PPAR) ligands. Hormon
androgen berperan dalam meningkatkan ukuran kelenjar sebasea
dan memacu proliferasi sel keratinosit di di duktus sebasea dan di
akroinfundubulum (Zouboulis et al., 2005).
Hormon androgen terdiri atas dehidroepiandrosteron sulfat
(DHEA-S) dengan kadar 1300-6800 nmol/L baik pada laki-laki
maupun perempuan; testosteron pada laki-laki dengan kadar 10 -
35 nmol/L dan testosteron pada perempuan dengan kadar < 3,5
nmol/L; dehidrotestosteron pada laki-laki dengan kadar 0,87-2,6
nmol/L dan dehidrotestosteron pada perempuan dengan kadar
0,17-1,0 nmol/L; androstenedion pada laki-laki dengan kadar 3,5 - 5,0
nmol/L dan androstenedion pada perempuan dengan kadar 3,5 - 7,0
nmol/L (Degitz et al., 2007). Yang berperan penting dalam
pembentukan akne adalah testosteron dan dehidrotestosteron yaitu
untuk proliferasi sel keratinosit dan pembentukan lipid (Murata et
al., 2006).
Timbulnya akne pada wanita dipengaruhi siklus menstruasi dan
kehamilan karena adanya perubahan kadar hormon progesteron
menyebabkan kelenjar ovarium aktif selanjutnya akan
meningkatkan hormon androgen sehingga produksi sebum
commit to user 6) Faktor Herediter
Pada 60 % pasien, riwayat akne juga didapatkan pada satu atau
kedua orang tuanya. Penderita akne yang berat umumnya
mempunyai riwayat keluarga yang positif. Diduga faktor genetik
berperan dalam gambaran klinik, penyebaran lesi, dan lamanya
kemungkinan mendapat akne (Rzany dan Kahl, 2006).
Zouboulis et al. melaporkan bahwa akne derajat berat sering
ditemukan pada keluarga kembar homozigot dan heterozigot dengan
presentase 54 %. Genetik berhubungan dengan timbulnya akne, hal
ini dipengaruhi oleh hormon androgen dan abnormal lipid.
Dibuktikan pada akne neonatal ditemukan adanya kelainan familial
hiperandrogenisme dan aktivitas steroid 21-hydroxylase yang tidak
adekuat. Juga kejadian akne disebabkan oleh mutasi gen CYP21
(Zouboulis et al., 2005).
Individu yang secara genetik mengalami defisiensi reseptor
androgen (complete androgen insensitivity) cenderung sedikit
memproduksi sebum dan tidak berkembang menjadi akne (Nelson
dan Thiboutot, 2007). Predominan alel gen sitokrom p45 terlihat
pada pasien dengan akne. Mutasi ini mungkin menyebabkan
percepatan degradasi retinoid natural sehingga terjadi obstruksi
akibat dari disorder pada diferensiasi keratinosit dan
commit to user 7) Diet
Makanan sebagai salah satu faktor penyebab timbulnya akne
masih diperdebatkan (Wasitaatmadja, 2007). Penyelidikan terakhir
membuktikan bahwa diet sedikit atau tidak berpengaruh terhadap
akne. Namun, begitu banyak pasien dengan akne percaya bahwa
diet merupakan salah satu faktor yang dapat memperburuk
penyakitnya (Smith dan Mann, 2007).
8) Psikis
Terjadinya stres psikik dapat memicu kegiatan kelenjar sebasea
sehingga terjadi peningkatan produksi sebum, baik secara langsung
atau melalui rangsangan terhadap kelenjar hipofisis
(Wasitaatmadja, 2007).
9) Kosmetika
Pemakaian kosmetika yang mengandung lanolin, petrolatum,
minyak tumbuh-tumbuhan, dan bahan-bahan kimia murni (butil
stearat, lanuri alkohol, bahan-bahan pewarna merah D dan C dan
asam oleik), secara terus-menerus dalam waktu lama, dapat
menyebabkan akne (Wolfe, 2009).
10) Obat-obatan
Beberapa obat dapat menyebabkan akne. Obat-obatan tersebut
diantaranya anabolik steroid, kortikosteroid, kortikotropin,
fenitoin, litium, isoniazid, vitamin B komplek, halogen, dan
commit to user 11)Iklim
Termasuk faktor sinar ultraviolet, kelembaban udara, temperatur,
mungkin berpengaruh pada aktivitas kelenjar sebasea (Wasitaatmaja,
2007). Didapatkan 60 % perbaikan akne di daerah tropis pada saat
musim panas atau kemarau (Widjaja, 2000).
d. Gejala Klinis dan Diagnosis
Tempat predileksi akne vulgaris adalah yang banyak mengandung
kelenjar pilosebasea, diantaranya wajah, bahu, dada bagian atas, dan
punggung bagian atas. Lokasi kulit lain, misalnya leher, lengan atas,
dan glutea kadang-kadang terkena (Wasitaatmadja, 2007). Tempat
predileksi akne vulgaris yang paling sering terkena adalah wajah (99
%) (Smith dan Mann, 2007).
Akne dapat berkembang menjadi bentuk yang bervariasi,
diantaranya:
1) Papul : lesi inflamasi kecil berupa tonjolan berwarna
merah muda
2) Pustul : papula yang diujungnya terdapat nanah berwarna
putih atau kuping dan dasarnya merah.
3) Nodul : luas, nyeri, lesi solid, tertancap pada kulit.
4) Kista : dalam, nyeri, di dalam lesi terisi nanah yang dapat
menimbulkan skar.
(National Institute of Arthritis and Muskuloskeletal and Skin Disease,
commit to user
Diagnosis akne vulgaris biasanya ditegakkan berdasarkan pada
riwayat pasien dan pemeriksaan fisik. Didapatkannya komedo pada
pasien merupakan petunjuk penting dalam diagnosis akne vulgaris
(Bershad, 2008). Pada penderita seringkali ditemukan berbagai macam
lesi, dengan gejala predominan salah satunya, mulai dari komedo,
papul, pustul, nodul, dan kista (Wasitaatmadja, 2007). Beberapa
diagnosis banding akne vulgaris adalah folikulitis, dermatitis peri-oral,
dan dermatitis seboroik (Roebuck, 2006).
e. Gradasi
Ada banyak sistem gradasi untuk menentukan tingkat keparahan
akne vulgaris. Penilaian tingkat keparahan akne terus menjadi
tantangan para ahli dermatologi. Ada banyak sistem gradasi akne
vulgaris, tetapi sampai sekarang belum ada sistem gradasi akne
vulgaris yang diterima secara universal. Doshi, Zaheer dan Stiller
pada tahun 1997 memperkenalkan global acne grading system
(GAGS). Sistem ini membagi wajah, dada, dan punggung dalam
enam area (dahi, tiap pipi, hidung, dagu, dan dada dan punggung) dan
menetapkan faktor dari tiap area sebagai dasar ukuran (Adityan et al.,
2009).
Berikut adalah cara menilai derajat keparahan akne vulgaris
commit to user
Tabel 1. The Global Acne Grading System
Lokasi Faktor keparahan akne diklasifikasi menurut global score. Skor 1-18= ringan; 19-30= sedang; 31-38= berat dan > 39= sangat berat
2. Indeks Massa Tubuh (IMT)
a. Definisi
The World Health Organization (WHO) pada tahun 1997, The
National Institute of Health (NIH) pada tahun 1998 dan The Expert
Committee on Clinical Guidelines for Overweight in Adolescent
Preventive Services telah merekomendasikan Body Mass Index (BMI)
atau Indeks Massa Tubuh (IMT) sebagai baku pengukuran obesitas
pada anak dan remaja di atas usia 2 tahun. Indeks Massa Tubuh (IMT)
didapat melalui perhitungan berat badan (kg) dibagi kuadrat tinggi
commit to user
tahun mengikuti pertumbuhan, maka konsep penggunaan IMT antara
anak dan dewasa berbeda. Pada anak, interpretasi IMT tergantung
pada umur dan jenis kelamin anak, karena anak lelaki dan perempuan
memiliki komposisi lemak tubuh yang berbeda (Sjarif, 2002). Untuk
anak-anak dan remaja (usia 2 - 20 tahun), hasil perhitungan IMT
diplot pada kurva pertumbuhan dari CDC (Center for Chronic
Disease) untuk melihat posisi IMT pada umur (Division of Nutrition
and Physical Activity, National Center for Chronic Disease
Prevention and Health Promotion, 2007).
Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan cara termudah untuk
memperkirakan obesitas serta berkorelasi tinggi dengan massa lemak
tubuh. Untuk mengukur lemak tubuh secara langsung sangat sulit dan
sebagai pengganti dipakai Indeks Massa Tubuh (IMT) untuk
menentukan berat badan yang berlebih dan obesitas pada seseorang
(Sjarif, 2002). IMT mempunyai keunggulan utama yakni
menggambarkan lemak tubuh yang berlebihan, sederhana dan bisa
digunakan dalam penelitian populasi berskala besar (Rippe et al.,
2001). Pengukurannya hanya membutuhkan 2 hal yakni berat badan
dan tinggi badan, yang keduanya dapat dilakukan secara akurat oleh
seseorang dengan sedikit latihan. Salah satu keterbatasan IMT adalah
tidak bisa membedakan berat yang berasal dari lemak dan berat dari
otot atau tulang. Indeks Massa Tubuh (IMT) juga tidak dapat
commit to user
penelitian menyatakan bahwa standar cut off point untuk
mendefinisikan obesitas berdasarkan IMT mungkin tidak
menggambarkan risiko yang sama untuk konsekuensi kesehatan pada
semua ras atau kelompok etnis (National Institutes of Health, 2004).
Rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut:
Batas ambang IMT ditentukan dengan merujuk ketentuan
Departemen Kesehatan. Menurut WHO (1997), klasifikasi IMT yang
cocok untuk masyarakat Asia dikategorikan sebagai berikut.
Tabel 2. Kategori Ambang Batas IMT untuk Asia No IMT (kg/m2) Klasifikasi 1. < 18,5 Underweight
2. 18,5-22,9 Normal
3. 23-24,9 Overweight
4. 25-29,9 Obese I
5. > 30 Obese II
Sumber: WHO (1997)
Klasifikasi IMT menurut umur untuk anak-anak dan remaja (2-20
commit to user
Tabel 3. Klasifikasi IMT menurut umur No IMT menurut umur (%) Kategori
1. < 5 Underweight
2. ≥ 5 sampai < 85 Normal 3. ≥ 85 sampai < 95 Overweight
4. ≥ 95 Obesitas
Sumber: Sjarif (2002)
b. Definisi kelebihan berat badan atau obesitas
Obesitas secara sederhana didefinisikan sebagai suatu keadaan dari
akumulasi lemak tubuh yang berlebihan (Rippe et al., 2001). Anak dan
remaja (2 - 20 tahun) dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) antara
persentil 85 - 95 sesuai umur dan jenis kelamin disebut overweight,
sedangkan anak dengan IMT > 95 disebut obesitas. Orang dewasa (>
20 tahun) dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) 23 - 24,9 disebut
overweight, sedangkan dewasa dengan IMT ≥ 25 disebut obesitas (Hay
et al., 2003).
Menurut hukum termodinamik, obesitas terjadi karena
ketidakseimbangan antara asupan energi dengan keluaran energi
sehingga terjadi kelebihan energi yang selanjutnya disimpan dalam
bentuk jaringan lemak (Sjarif, 2002). Kelebihan energi tersebut dapat
disebabkan oleh konsumsi makanan yang berlebihan, sedangkan
keluaran energi rendah disebabkan oleh rendahnya metabolisme tubuh,
commit to user
Terjadinya obesitas melibatkan beberapa faktor (Zainun, 2002)
yaitu:
1) Faktor genetik
Obesitas cenderung diturunkan, sehingga diduga memiliki
penyebab genetik. Tetapi anggota keluarga tidak hanya berbagi
gen, tetapi juga makanan dan kebiasaan hidup, yang biasanya
mendorong terjadinya obesitas. Bila kedua orangtuanya obesitas,
sekitar 80 % anak-anak mereka akan menjadi obesitas. Bila salah
satu orang tua obesitas kejadiannya menjadi 40 % dan bila kedua
orang tua tidak obesitas maka prevalensi turun menjadi 14 %.
2) Faktor lingkungan
Gen merupakan faktor yang penting dalam berbagai kasus
obesitas, tetapi lingkungan seseorang juga memegang peranan yang
cukup berarti. Lingkungan ini termasuk perilaku, pola makan, pola
olahraga, serta aktivitasnya.
3) Faktor psikis
Apa yang ada di dalam pikiran seseorang bisa mempengaruhi
kebiasaan makannya. Banyak orang yang memberikan reaksi
terhadap emosinya dengan makanan.
4) Faktor Kesehatan
Beberapa penyakit bisa menyebabkan obesitas, diantaranya:
a) Hipotiroidisme
commit to user c) Sindrom prader-willi
d) Beberapa kelainan saraf yang bisa menyebabkan seseorang
banyak makan.
5) Obat-obatan
Obat-obat tertentu (misalnya steroid dan beberapa anti
depresi) bisa menyebabkan penambahan berat badan.
6) Faktor perkembangan
Penambahan ukuran atau jumlah sel-sel lemak atau keduanya
menyebabkan bertambahnya jumlah lemak yang disimpan dalam
tubuh.
7) Aktivitas fisik
Kurangnya aktivitas fisik kemungkinan merupakan salah satu
penyebab utama dari meningkatnya kejadian obesitas di tengah
masyarakat. Orang-orang yang tidak aktif memerlukan sedikit kalori.
Obesitas mempunyai dampak terhadap tumbuh kembang anak dan
berpotensi mengalami berbagai penyakit kesakitan dan kematian
antara lain penyakit kardiovaskuler, dislipidemia, hipertensi, diabetes
melitus, dan sebagainya (Division of Nutritional and Physical Activity,
National Center for Chronic Disease Prevention and Health
commit to user
3. Hubungan antara IMT (Indeks Massa Tubuh) dengan Akne Vulgaris
Obesitas berhubungan dengan hiperandrogenisme perifer yang
berhubungan dengan peningkatan produksi sebum. Pada sebuah penelitian,
nilai IMT yang tinggi pada obesitas dan overweight ditemukan berhubungan
dengan sindrom polikistik ovarium dan hiperandrogenisme yang
bermanifestasi klinik sebagai akne, hirsutisme, dan menstruasi yang tidak
teratur (Huppert et al., 2004). Pada perempuan remaja yang obesitas, terjadi
resistensi insulin, hiperinsulinemia, hiperandrogenisme, peningkatan
aromatisasi perifer serum androgen ke estrogen, sekresi gonadotropin
terpengaruh, penurunan growth hormone (GH) dan insulin like growth factor
binding proteins (IGFBPs), peningkatan level leptin, dan neuroregulasi dari
hipotalamus-pitutari-aksis gonad terpengaruh (Diamanti-Kandarakis dan
Bergiele, 2001).
Mekanisme overweight dan obesitas bisa menyebabkan
hiperandrogenisme adalah sebagai berikut. Pada penelitian sebelumnya,
diketahui IMT dengan kadar insulin puasa mempunyai hubungan yang
signifikan, dimana makin besar nilai IMT, makin tinggi kadar insulin puasa.
Insulin mempunyai fungsi esensial dalam pengambilan, sintesis, dan
penggunaan dari glukosa. Penambahan lemak perut berhubungan dengan
berkembangnya resistensi insulin. Akumulasi lemak viseral ini membuat
kadar asam lemak bebas naik, dimana lemak intra abdominal bergerak lebih
mudah daripada yang lain karena lebih sensitif oleh stimulasi dari enzim
commit to user
mengalami oksidasi asam lemak yang berlebih untuk menghasilkan energi.
Enzim pada kaskade glikolisis juga dihambat sehingga kapasitas dari jaringan
untuk mengabsorbsi dan memetabolisme glukosa menurun dan sel
mengakumulasi lebih banyak trigliserida. Untuk menanggung aktivitas
glukosa dan enzim yang memetabolisme asam lemak ini, glukosa mempunyai
level membran yang rendah terhadap insulin reseptor sehingga terjadi
resistensi insulin (Vainio dan Bianchini, 2002).
Hormon seks steroid mempunyai fungsi sebagai pertumbuhan, diferensiasi
dan fungsi dari banyak jaringan di tubuh. Hormon ini terdiri dari androgen
(androstenedion, testosteron, DHEA, dan DHEAS), estrogen (estron,
estradiol) dan SHBG. Pada perempuan, hormon seks steroid diproduksi oleh
ovarium (testosteron, androstenodion) dan kelenjar adrenal (DHEA, DHEAS,
androstenedion). Pada pria, hormon seks steroid diproduksi oleh testis dan
kelenjar adrenal. Obesitas membuat efek resistensi insulin relatif,
hiperinsulinemia kronik, kenaikan dari IGF-I bioaktif, dan menghambat
sintesis hepatik dari SHBG (sex hormone binding globulin). SHBG
merupakan globulin yang spesifik dengan hormon seks di sirkulasi. Insulin
dan IGF-I ini menstimulasi sintesis dan sekresi dari hormon seks steroid
(androgen & estrogen) dari gonad dan kelenjar adrenal. Pada kompartemen
jaringan lemak, androgen diubah menjadi estrogen oleh enzim aromatase.
Kenaikan androgen menyebabkan kenaikan pula dari sintesis estrogen di
commit to user
Pada wanita yang obesitas, estrogen tidak hanya berasal dari ovarium tapi
juga dari lemak yang berada di bawah kulit. Hal inilah yang menyebabkan
keluarnya luitenizing hormone (LH) sebelum waktunya. Luitenizing Hormone
yang keluar terlalu cepat akan merangsang keluarnya hormon progesteron dan
androgen. Pada siklus normal, hal ini tidak terlalu masalah, karena hormon
androgen akan diubah menjadi estradiol. Tetapi pada perempuan obesitas,
androgen yang keluar terlalu cepat tidak akan diubah menjadi estradiol
(Diamanti-Kandarakis dan Bergiele, 2001).
Pada wanita yang mengalami obesitas, juga terjadi peningkatan yang
bermakna dari aktivitas 11b-hidroksisteroid dehidrogenase.
11b-hidroksisteroid dehidrogenase merupakan enzim yang memetabolisme
kortisol menjadi kortison. Hal ini mengakibatkan peningkatan kadar clearence
kortisol, menurunkan feedback negatif dari sekresi adrenocorticotropic
hormone (ACTH) dan secara sekunder meningkatkan sekresi androgen
adrenal (Diamanti-Kandarakis dan Bergiele, 2001).
Stimulan utama dari kelenjar sebasea untuk memproduksi sebum adalah
androgen. Terjadinya hiperandrogenisme ini menyebabkan peningkatan
produksi sebum (Pawin et al., 2004). Peningkatan produksi sebum inilah yang
berperan dalam pembentukan akne vulgaris (Wasitaatmadja, 2007). Indeks
Massa Tubuh (IMT) adalah salah satu cara yang paling akurat untuk
menghitung dan mengukur obesitas (Tsai et al., 2006).
Beberapa penelitian tentang akne vulgaris berkaitan dengan Indeks Massa
commit to user
pada anak-anak yang tidak akne (18,2 ± 3,4) secara signifikan lebih rendah
daripada pada subjek akne (19,5 ± 3,7), tanpa perbedaan .jenis kelamin.
Anak-anak berumur 6 - 11 tahun dengan IMT < 18,5 cenderung mempunyai
prevalensi penderita akne yang rendah, terutama lesi inflamatori. Sedangkan,
anak-anak berumur 6 - 11 tahun dengan IMT menurut umur ≥ 95% cenderung
terdapat prevalensi akne vulgaris yang tinggi secara signifikan (Tsai et al.,
2006). Penelitian di Arab Saudi pada wanita berumur 16 - 22 tahun juga
menunjukkan hubungan yang signifikan antara obesitas (IMT > 27) dengan
akne (Braz, 2009). Akan tetapi, penelitian pada wanita dengan umur > 17
tahun di Italia, disimpulkan akne tidak berkorelasi positif dengan IMT. Faktor
lain selain obesitas, seperti gaya hidup, stress akibat pekerjaan, dan status
hormonal, yang lebih sering terjadi pada orang dewasa, diduga lebih dapat
commit to user
B. Kerangka Pemikiran
Disertai
hiperandrogenisme perifer
Kenaikan produksi sebum
Akne Vulgaris
a. Bakteri
b. Herediter
c. Diet
d. Kondisi Psikis
e. Kosmetika
f. Obat-obatan
g. Iklim
h. Usia
: Variabel yang diteliti
--- : Variabel perancu
Peningkatan unsur komedogenik dan inflamatogenik a. Retinoid
b. Melanokortin
c. PPAR
d. FGFR
commit to user
C. Hipotesis
Terdapat hubungan antara Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan akne
vulgaris, yaitu semakin besar nilai IMT semakin besar risiko terkena akne
commit to user
29
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian observasional
analitik dengan pendekatan cross sectional.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di SMAN 1 Prambanan, Sleman, Daerah
Istimewa Yogyakarta.
C. Subjek Penelitian
Populasi target penelitian ini adalah siswa SMA N 1 Prambanan kelas XI
dan XII.
1. Kriteria inklusi :
a. Siswa dengan usia 14 - 20 tahun.
b. Bersedia menjadi subjek penelitian.
2. Kriteria eksklusi :
a. Sedang menstruasi atau 1 minggu menjelang menstruasi (satu
minggu dari tanggal kebiasaan menstruasi saat penelitian
dilakukan).
b. Minum antibiotik atau steroid dalam satu minggu terakhir.
commit to user
d. Sedang dalam pengobatan akne vulgaris.
D. Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah fixed disease sampling. Fixed disease sampling merupakan skema
pencuplikan berdasarkan status penyakit subjek, yaitu berpenyakit atau
tidak berpenyakit yang sedang diteliti, sedang status paparan subjek
bervariasi mengikuti status penyakit subjek (Murti, 2006).
Besar sampel dihitung sesuai dengan rumus sebagai berikut
(Murti, 2010) :
= 195,92
Keterangan :
n = besar sampel
= nilai pada distribusi normal standar yang sama dengan tingkat
kemaknaan (untuk α 0,05 nilainya 1,96)
P = nilai proporsi terhadap populasi yang besarnya 0,85
commit to user
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, jumlah sampel yang
dibutuhkan minimal 195,92 dibulatkan menjadi 196.
E. Identifikasi Variabel
1. Variabel bebas : Indeks Massa Tubuh (IMT)
2. Variabel terikat : Akne vulgaris
3. Variabel perancu
a. Terkendali
1) Usia
2) Obat-obatan steroid dan antibiotik
3) Kosmetik
4) Faktor hormonal (menstruasi)
5) Faktor kebersihan
b. Tidak terkendali
1)Iklim
2)Faktor herediter
3)Kondisi psikis
4)Diet
5)Bakteri penyebab akne vulgaris
F. Definisi Operasional Variabel
commit to user a. Definisi :
Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah indikator status gizi subjek
penelitian untuk mengetahui derajat kegemukan dengan rumus
sebagai berikut :
Alat ukur adalah timbangan berat badan merek “Camry RRC”
dengan ketelitian 0,1 kg dan alat pengukur tinggi badan merek
“Tenso” dengan ketelitian 0,1 cm.
Hasil perhitungan IMT yang didapat dari rumus tersebut diplot
pada kurva pertumbuhan dari CDC (Center for Chronic Disease)
untuk melihat posisi IMT pada umur.
IMT dikelompokkan menjadi 4 kategori, yaitu:
Obesitas : IMT ≥ 95 %
Overweight : IMT ≥ 85 % sampai < 95 %
Normal : IMT ≥ 5 % sampai < 85 %
Underweight : IMT < 5 %
b. Skala : Ordinal
2. Variabel Terikat : Akne vulgaris
a. Definisi :
Akne vulgaris adalah penyakit peradangan menahun folikel
commit to user
sembuh sendiri. Gambaran klinis akne vulgaris sering polimorfi;
terdiri atas berbagai kelainan kulit berupa komedo, papul, pustul,
nodul, dan jaringan parut yang terjadi akibat kelainan aktif
tersebut, baik jaringan parut yang hipotrofik maupun yang
hipertrofik (Wasitaatmadja, 2007). Diagnosis akne vulgaris
ditegakkan dengan melihat ujud kelainan kulit berupa komedo,
papula, pustula, dan nodul di daerah predileksi, terutama di wajah
dan leher. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan fisik.
Diagnosis akne juga dapat dilihat dan dihitung melalui foto wajah
yang dikonsultasikan kepada dokter spesialis kulit dan kelamin.
Siswa dinyatakan menderita akne vulgaris jika terdapat kelainan
kulit berupa komedo, papula, pustula, dan nodul pada wajah atau
leher. Sedangkan bila tidak ditemukan ujud kelainan seperti
disebutkan di atas dinyatakan tanpa akne vulgaris. Kemudian
dinilai tingkat keparahannnya dengan The Global Acne Grading
System (Adityan et al., 2009). Sampel dibagi menjadi dua yaitu
sampel yang akne vulgaris dan tidak akne vulgaris.
b. Skala : Nominal
3. Variabel Perancu Terkendali
a. Umur
1) Definisi
Umur adalah umur kronologis responden dalam tahun yang
commit to user
dengan yang tertera kuesioner sampai saat tanggal diperiksa.
Akne umumnya timbul pada pria maupun wanita. Kejadian akne
pada tiap umur berbeda-beda. Leyden (2003) melaporkan,
bahwa usia remaja (12 - 24 tahun) sering ditemukan menderita
akne sebesar 85 %, usia 25 34 tahun sebesar 8 %, dan usia 35
-44 tahun sebesar 3 %.
2) Alat ukur : kuesioner
3) Skala pengukuran : rasio
b. Obat-obatan steroid atau antibiotik
1) Definisi
Obat-obatan steroid adalah obat-obatan yang digunakan
secra klinis untuk terapi penggantian hormon, untuk menekan
sekresi ACTH dari hipofisis anterior, sebagai agen
antineoplastik, antialergik, dan antiradang, serta untuk menekan
respon imun. Obat-obatan antibiotik adalah obat-obatan yang
mengandung zat kimiawi yang dihasilkan oleh mikroorganisme
untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh
mikroorganisme lain (Dorland, 2002). Beberapa obat dapat
menyebabkan akne. Obat-obatan tersebut diantaranya steroid,
kortikosteroid, dan antibiotik (Zaenglein et al., 2007). Siswa
dinyatakan minum obat-obatan steroid atau antibiotik jika siswa
minum obat-obatan steroid atau antibiotik dalam satu minggu
commit to user
atau antibiotik dalam satu minggu terakhir dinyatakan tidak
minum obat-obatan atau steroid.
2) Alat ukur : kuesioner
3) Skala pengukuran : nominal (dikotomi)
c. Kosmetik
1) Definisi
Kosmetik komedogenik adalah suatu produk topikal yang
dapat menyebabkan akne diantaranya terdapat pada berbagai
krem muka, seperti bedak dasar (foundation) yang
menggunakan minyak atau lemak, pelembab (moisturizer), krem
penahan sinar matahari (sunblock), krim malam (night cream)
(Widjaja, 2000). Siswa dinyatakan memakai kosmetik jika siswa
memakai kosmetik dalam satu minggu terakhir. Sedangkan bila
siswa tidak memakai kosmetik dalam satu minggu terakhir
dinyatakan tidak memakai kosmetik.
2) Alat bantu : kuesioner
3) Skala pengukuran : nominal (dikotomi)
d. Gangguan keseimbangan hormonal
1). Definisi
Gangguan keseimbangan hormonal ditandai dengan
menjelang 1 minggu atau adanya menstruasi dan tidak sedang
menstruasi.
commit to user
3) Skala pengukuran : nominal (dikotomi)
e. Frekuensi cuci muka
1) Definisi
Frekuensi cuci muka adalah frekuensi siswa untuk
mencuci muka dalam 1 hari. Dikatakan tentu jika frekuensi cuci
muka adalah 2x sehari atau lebih dan tidak tentu jika kurang dari
2x sehari.
2) Alat ukur : kuesioner
3) Skala pengukuran : nominal (dikotomi)
G. Instrumen Penelitian
Alat Ukur:
1. Timbangan injak
Merek Camry RRC dengan ketelitian 0,1 kg untuk mengukur berat
badan.
2. Mikrotoise
Merek Tenso RRC dengan ketelitian 0,1 cm untuk mengukur tinggi
badan.
3. Kurva pertumbuhan BMI (Body Mass Index) menurut umur dari CDC
(Center for Chronic Disease).
4. Kuesioner
Adalah daftar pertanyaan yang mengungkap variabel penelitian.
commit to user
5. Kaca pembesar dengan penerangan cukup.
6. Kamera digital merek Sony cybershoot 7,2 Megapixel
H. Cara Kerja
1. Kuesioner dibagikan kepada siswa yang dijadikan subjek penelitian,
untuk memperoleh data tentang identitas diri dan variabel-variabel
perancu.
2. Siswa yang dijadikan subjek penelitian diukur tinggi dan berat
badannya.
Cara pengukuran:
a. Berat badan
1)Skala awal timbangan berada pada skala 0 (nol)
2)Sepatu/sandal dilepaskan
3)Subjek berdiri tegak sikap sempurna
4)Angka pada skala timbangan menunjukkan berat badan subjek.
b. Tinggi badan
1)Paku mikrotoa ditempelkan pada dinding lurus datar setinggi 2
meter. Angka 0 (nol) pada lantai yang rata
2)Sepatu/sandal dilepaskan
3)Subjek berdiri tegak sikap sempurna, kaki lurus, tumit, pantat,
punggung, dan kepala belakang harus menempel pada dinding dan
commit to user
4)Mikrotoa diturunkan sampai rapat pada kepala bagian atas,
siku-siku harus lurus menempel pada dinding
5)Angka pada skala yang tampak pada lubang dalam gulungan
mikrotoa menunjukkan tinggi badan subjek
3. Pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT) didapatkan dengan menghitung
berat badan dalam kilogram dibagi dengan kuadrat tinggi badan dalam
meter (kg/m2). Hasilnya dicatat dan diplot pada kurva pertumbuhan dari
CDC (Center for Chronic Disease) untuk melihat posisi IMT pada
umur (%).
4. Siswa dilakukan pemeriksaan fisik pada wajahnya untuk memeriksa ada
atau tidaknya akne vulgaris. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik, wajah
siswa difoto dengan kamera digital.
5. Pengumpulan data penelitian.
commit to user
I. Rancangan Penelitian
kriteria inklusi dan
eksklusi
Populasi siswa
Fixed Disease Sampling
Underweight Normal Overweight
commit to user
J. Teknik Analisis Data
Analisis data statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah
diawali dengan analisis bivariat uji chi square yang selanjutnya dianalisis
bersama dengan analisis regresi logistik ganda guna mencari Odds Ratio
(OR), Confidence Interval 95 %, dan nilai p.
Pertama, variabel bebas dan perancu akan dianalisis masing-masing
secara bivariat terhadap variabel tergantung dengan menggunakan uji chi
square untuk mengetahui apakah hubungan yang teramati antara kedua
variabel secara statistik bermakna ataukah peran peluang terlalu besar
hingga keterkaitan yang teramati tidak bermakna.
Data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan uji
Chi-Square menggunakan bentuk tabel 2 x k dengan derajat kemaknaan 5 %
(p < 0,05) atau dengan tabel interval kepercayaan 95 %.
Tabel 4. Bentuk Tabel 2xk uji Chi-Square
Variabel Underweight Normal Overweight Obesitas Total Baris
Akne Vulgaris (+) A B C D a+b+c+d
Akne Vulgaris (-) E F G H e+f+g+h
Total kolom a+e b+f c+g d+h N
commit to user b) Nilai X2 hitung =
c) Degree of freedom(df)=(r-1).(c-1) = (2-1).(4-1) = 3
d) nilai X2 tabel untuk α = 0,05 dan df = 3 adalah 7, 815 (terlampir). e) Kesimpulan:
Jika X2 hitung > 7, 815 (p<0,05), Ho ditolak dan Hi diterima Jika X2 hitung < 7, 815 (p>0,05), Ho diterima dan Hi ditolak
Selanjutnya untuk mengetahui seberapa besar hubungan antara
IMT (Indeks Massa Tubuh) dengan akne vulgaris menggunakan metode
ukuran asosiasi dengan Odds Ratio (OR).
Analisis regresi logistik ganda digunakan untuk menganalisis
pengaruh variabel perancu yang tidak direstriksi dalam kriteria sampel.
Teknik ini digunakan bila variabel tergantungnya berskala kategorikal
nominal (Sastroasmoro, 2006). Variabel yang akan dimasukkan dalam
analisis regresi logistik adalah variabel yang pada analisis bivariat
menunjukkan hubungan yang bermakna dan mempunyai nilai p < 0,25
(Dahlan, 2009).
Adapun model analisis regresi logistik berganda dengan persamaan
sebagai berikut (Murti, 2006):
commit to user Keterangan :
p = probabilitas untuk akne vulgaris
1-p = probabilitas untuk tidak akne vulgaris
X1 = Indeks Massa Tubuh (IMT) (0= normal/underweight, 1=
overweight/obesitas)
X2 = frekuensi cuci muka (0= tentu, 1=tidak tentu)
commit to user
43
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian diperoleh dari proses pengumpulan data yang dilakukan
pada siswa SMAN 1 Prambanan Kabupaten Sleman pada bulan Mei 2011. Subjek
penelitian yang memenuhi persyaratan untuk diikutsertakan dalam penelitian ini
adalah 198 orang. Jumlah ini sesuai dengan rancangan penelitian, yaitu minimal
196 orang. Berikut ini adalah hasil penelitian yang disajikan juga dalam bentuk
tabel dan gambar.
A. Karakteristik Sampel
1. Kejadian Akne Vulgaris
Diagnosis akne vulgaris ditegakkan dengan pemeriksaan fisik.
Diagnosis akne vulgaris juga dapat dilihat dan dihitung melalui foto
wajah. Sampel dibagi menjadi 2, yaitu akne vulgaris (+) dan akne
vulgaris (-). Siswa dinyatakan menderita akne vulgaris (+) jika terdapat
kelainan kulit berupa komedo, papula, pustula, dan nodul pada wajah atau
leher. Sedangkan bila tidak ditemukan ujud kelainan seperti disebutkan di
atas dinyatakan akne vulgaris (-). Dari penelitian didapat 198 sampel, 131
sampel (66,2 %) mengalami akne vulgaris dan 67 sampel (33,8 %) tidak
commit to user
Tabel 5. Distribusi Sampel Berdasarkan Kejadian Akne Vulgaris
No Kejadian akne vulgais Jumlah (orang) Persentase (%)
1. Akne vulgaris (+) 131 66,2
2. Akne vulgaris (-) 67 33,8
Total 198 100
Gambar 1. Diagram Persentase Sampel Berdasarkan Kejadian Akne Vulgaris
Menurut Global Acne Grading System (GAGS), berdasarkan tingkat
keparahan akne vulgaris, sampel dengan kejadian akne vulgaris positif
dibagi menjadi 3, yaitu derajat ringan, derajat sedang, dan derajat berat.
Dikatakan derajat ringan bila skor 1 - 18, derajat sedang bila skor 19 - 30,
dan derajat berat bila skor > 31. Dari penelitian, didapatkan data bahwa
dari 131 sampel (66,2 %) dengan kejadian akne vulgaris positif, 76
sampel (38,4 %) mengalami akne vulgaris derajat ringan, 28 sampel (14,1
%) mengalami akne vulgaris derajat sedang, dan 27 sampel (13,6 %)
commit to user
Tabel 6. Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Keparahan Akne Vulgaris
No Derajat keparahan akne vulgaris Jumlah (orang) Persentase (%) 1. Akne vulgaris (+) derajat ringan 76 38,4 2. Akne vulgaris (+) derajat sedang 28 14,1 3. Akne vulgaris (+) derajat berat 27 13,6 Total kejadian akne vulgaris (+) 131 66,2
Gambar 2. Diagram Persentase Sampel Akne Vulgaris Positif Berdasarkan Tingkat Keparahan Akne Vulgaris
2. Distribusi Sampel Berdasarkan Umur
Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui rata-rata umur sampel
adalah 17,424 tahun dengan mayoritas sampel berumur 17 tahun sebanyak
103 orang (52,02 %) dan paling sedikit umur 15 tahun sebanyak 1 orang
commit to user
Tabel 7. Distribusi Sampel Berdasarkan Umur
No. Kelompok Umur Frekuensi Persentase (%) 1.
Gambar 3. Diagram Persentase Sampel Menurut Kelompok Umur
3. Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui dari 198 sampel, 76 sampel
(38,4 %) adalah laki-laki dan 122 sampel (61,6 %) adalah perempuan.
Pada sampel laki-laki, 48 sampel (24,3 %) mengalami kejadian akne
vulgaris positif dan 28 sampel (14,1 %) mengalami kejadian akne vulgaris
negatif. Pada sampel perempuan, 83 sampel (41,9 %) mengalami kejadian
akne vulgaris positif dan 39 sampel (19,7 %) mengalami kejadian akne
commit to user
Tabel 8. Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin
No.
Jenis Kelamin
Akne Vulgaris (+) Akne Vulgaris (-)
Total n (%)
n (%) n (%)
1. Laki-laki 48 (24,3) 28 (14,1) 76 (38,4) 2. Perempuan 83 (41,9) 39 (19,7) 122 (61,6)
Total (n) 131 (66,2) 67 (33,8) 198 (100)
Gambar 4. Grafik Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin
B. Hubungan antara IMT (Indeks Massa Tubuh) dengan Akne Vulgaris
Dalam penelitian ini, variabel bebas yang digunakan adalah IMT
(Indeks Massa Tubuh). IMT dikelompokkan menjadi 4 kategori, yaitu obesitas
(IMT menurut umur ≥ 95 %), overweight (IMT menurut umur ≥ 85 % sampai
< 95 %), normal (IMT menurut umur ≥ 5 % sampai < 85 %), dan underweight
(IMT menurut umur < 5 %). Variabel terikat adalah akne vulgaris. Variabel
perancu yang dianalisis regresi logistik ganda adalah umur dan frekuensi cuci
commit to user
Data yang didapat dari penelitian ini dianalisis secara bivariat dengan
uji chi square untuk mengetahui apakah hubungan yang teramati antara kedua
variabel secara statistik bermakna. Variabel bebas dan variabel perancu
dianalisis masing-masing secara bivariat terhadap variabel terikat dengan
menggunakan uji chi square. Setelah hasil uji chi square didapat, maka dapat
dilihat nilai signifikansinya. Hubungan dikatakan signifikan jika p < 0,05.
Selain itu, jika p < 025, maka variabel tersebut memenuhi syarat analisis
regresi logistik. Selanjutnya untuk mengetahui seberapa besar hubungan
digunakan metode ukuran asosiasi dengan Odds Ratio (OR). Analisis regresi
logistik ganda digunakan untuk menganalisis pengaruh variabel perancu yang
tidak dimasukkan dalam kriteria inklusi maupun eksklusi.
1. Analisis Bivariat
a. Uji Chi Square Tabel 4x2 tentang IMT dengan Akne Vulgaris
Dari penelitian ini, didapatkan hasil kelompok sampel IMT
kategori underweight dengan kejadian akne vulgaris negatif sebanyak
25 orang (43,1 %) dan kejadian akne vulgaris positif sebanyak 33 orang
(56,9 %). Pada kelompok sampel IMT kategori normal, didapatkan
hasil kejadian akne vulgaris negatif sebanyak 34 orang (33,3 %) dan
kejadian akne vulgaris positif sebanyak 68 orang (66,7 %). Pada
kelompok sampel IMT kategori overweight, dengan kejadian akne
vulgaris negatif sebanyak 4 orang (21,1 %) dan kejadian akne vulgaris
positif sebanyak 15 orang (78,9 %). Pada kelompok sampel IMT
commit to user
sebanyak 4 orang (21,1 %) dan kejadian akne vulgaris positif sebanyak
15 orang (78,9 %). Analisis bivariat menggunakan uji chi square tabel
4x2 terhadap hubungan antara IMT (Indeks Massa Tubuh) dengan
kejadian akne vulgaris, menunjukkan hubungan yang tidak signifikan,
yaitu p = 0,171 (tabel 9).
Tabel 9. Hasil Analisis Chi Square 4x2 tentang Hubungan antara IMT dengan Akne Vulgaris
Variabel
Kejadian Akne Vulgaris
Total n (%) p Positif n (%) Negatif n (%)
Underweight 33 (56,9) 25 (43,1) 58 (100) Normal 68 (66,7) 34 (33,3) 102 (100)
Overweight 15 (78,9) 4 (21,1) 19 (100)
commit to user
Gambar 5. Grafik antara IMT dengan Persentase Kejadian Akne Vulgaris
b. Uji Chi Square Tabel 4x4 tentang IMT dengan Akne Vulgaris
Untuk mengetahui apakah IMT (Indeks Massa Tubuh) juga
mempengaruhi tingkat keparahan akne vulgaris, maka analisis bivariat
juga menggunakan uji chi square tabel 4x4. Kejadian akne vulgaris
positif dibagi menjadi 3 derajat berdasarkan tingkat keparahannya, yaitu
derajat ringan, derajat sedang, dan derajat berat. Analisis bivariat
terhadap hubungan antara IMT (Indeks Massa Tubuh) dengan kejadian
akne vulgaris menggunakan uji chi square tabel 4x4, menunjukkan