• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemenyan

Menurut Jayusman (1999), kemenyan merupakan jenis pohon yang berukuran besar, tingginya dapat mencapai 40 m dengan diameter batang mencapai 100 cm. Batang berbentuk lurus dengan percabangan relatif sedikit dan kulit berwarna merah anggur. Kemenyan berdaun tunggal dan tersusun secara spiral, daun berbentuk oval bulat, bulat memanjang (ellips) dengan dasar daun bulat dan ujung runcing. Panjang daun dapat mencapai 4-15 cm dengan lebar daun 5-7,5 cm, tangkai daun 5-13 cm, helai daun mempunyai nervi 7-13 pasang. Helai daun halus, permukaan bawah agak mengkilap berwarna putih sampai

abu-abu. Bunga kemenyan berkelamin dua dan bunganya bertangkai panjang antara 6-11 cm, daun mahkota bunga 9-12 helai dengan ukuran 2-3,5 mm. Bunga majemuk, berbentuk tandan pada ujung atau ketiak daun. Buah kemenyan berbentuk bulat gepeng dan lonjong berukuran 2,5-3 cm. Biji kemenyan berukuran 15-19 mm, bijinya berwarna coklat keputihan.

Tata nama tanaman kemenyan menurut Jayusman (1999) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta Sub divisio : Angiospermae Class : Dicotyledoneae Familia : Styracaceae Genus : Styrax

Tanaman kemenyan (S. benzoin Dryand) termasuk jenis tanaman setengah toleran. Anakan kemenyan memerlukan naungan sinar matahari dan setelah dewasa, pohon kemenyan memerlukan sinar matahari penuh. Selain itu, untuk pertumbuhan optimal kemenyan memerlukan curah hujan yang cukup tinggi, dan intensitas merata sepanjang tahun (Sasmuko 2003).

Kemenyan merupakan pohon yang menghasilkan getah yang dikenal sebagai benzoin. Benzoin digunakan oleh masyarakat lokal untuk upacara ritual, campuran rokok dan juga merupakan komoditas ekspor untuk kebutuhan industri seperti industri parfum dan kosmetik (Elimasni, 2006). Getah kemenyan juga mengandung asam sinamat, asam benzoat, esternya (seperti koniferilbenzoat, koniferilsinamat, sinamilsinamat) dan triterpenoid (Wiryowidagdo, 2007).

Potensi kemenyan yang cukup besar tersebar di beberapa daerah penghasil dan telah sekian lama dikenal masyarakat secara luas. Pemanfaatan kemenyan oleh masyarakat di beberapa daerah telah menjadi sumber pendapatan mereka terutama petani kemenyan yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Selain itu, perdagangan kemenyan yang berlangsung sejak permulaan abad ke-17 telah membangkitkan pergerakan perekonomian masyarakat. Dampak dari perdagangan kemenyan tersebut telah nyata dirasakan oleh para petani dan pedagang lokal meskipun kontribusinya bagi pemerintah daerah belum signifikan (Sasmuko, 1998).

Asap Cair

Menurut Wibowo (2002) dalam Sutin (2008), asap cair pada dasarnya merupakan asam cuka (vinegar) kayu yang diperoleh dari distilasi kering terhadap

kayu. Kayu mengandung selulosa, hemiselulosa dan lignin yang pada saat dibakar akan menghasilkan asap cair dengan banyak senyawa di dalamnya. Selain kayu, asap cair juga dapat dihasilkan dari bahan lain seperti tempurung kelapa, sabut kelapa, merang padi, bambu dan sampah organik.

Asap cair (liquid smoke) merupakan campuran larutan dari dispersi asap kayu dalam air yang dibuat dengan mengkondensasikan asap hasil pirolisis. Asap cair hasil pirolisis ini tergantung pada bahan dasar dan suhu pirolisis. Pirolisis merupakan proses dekomposisi bahan yang mengandung karbon, baik yang berasal dari tumbuhan, hewan maupun barang tambang menghasilkan arang (karbon) dan asap yang dapat dikondensasi menjadi destilat. Umumnya proses

pirolisis dapat berlangsung pada suhu di atas 300°C dalam waktu 4-7 jam (Paris et al., 2005 dalam Gani, 2007).

Menurut Sunarsih dan Yordanesa (2012), semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu pirolisis, maka semakin banyak asap cair yang terbentuk, semakin banyak tar yang diperoleh, semakin kompleks komposisi kimia dalam asap cair, namun semakin sedikit residu arang yang terbentuk. Kadar air dalam limbah basah berpengaruh terhadap volume asap cair yang terbentuk, kerapatan asap cair dan berat residu arang, namun tidak terlalu berpengaruh pada komposisi kimia asap cair.

Menurut Guillen et al. (2000) dalam Budijanto (2008), Asap cair mengandung berbagai komponen kimia seperti fenol, aldehid, keton, asam organik, alkohol dan ester. Namun, salah satu komponen kimia lain yang dapat terbentuk pada pembuatan asap cair tempurung kelapa adalah Polycyclic Aromatic

senyawa PAH yang diketahui bersifat karsinogenik dan biasa ditemukan pada produk pengasapan.

Kualitas asap cair sangat ditentukan oleh komposisi komponen kimia yang dikandungnya, sebab komponen tersebut dijadikan mutu cita rasa dan aroma sebagai ciri khas yang dimiliki oleh asap. Komponen kimia penting yang dihasilkan dalam proses pengasapan tergantung dari jenis bahan baku pengasap yang terdiri dari balok, tatal, serutan, dan serbuk serta bahan yang dibakar seperti hemiselulosa, selulosa, dan lignin serta intensitas pirolisis berhubungan langsung

dengan suhu yang terdiri atas transfer panas dan keberadaan oksigen (Wijaya et al., 2008).

Menurut Buckingham (2010) dalam Siregar (2011), jenis asap cair dibedakan atas penggunaannya. Ada 3 jenis asap cair yaitu sebagai berikut:

1. Asap cair grade 1

Grade 1 adalah asap cair yang diproses dengan destilasi berulang-ulang sehingga menghilangkan kadar karbon dalam asap yang telah terkondensasi. Hasilnya lebih jernih dan berwarna kuning. Fungsinya sebagai pengawet makanan siap saji seperti bakso dan mie.

2. Asap cair grade 2

Grade 2 adalah asap cair yang diproses dengan destilasi berulang-ulang sehingga menghilangkan kadar karbon jenuh dalam asap yang telah terkondensasi. Hasilnya berwarna merah dan masih berbau asap. Fungsinya sebagai pengawet makanan mentah seperti ikan atau daging.

3. Asap cair grade 3

Grade 3 adalah asap cair yang diproses dengan sedikit destilasi. Hasilnya berwarna hitam. Fungsinya sebagai pengawet kayu, karet, dan penghilang bau.

Karet

Menurut Wibowo (2008) dalam Yuleli (2009), tanaman karet berasal dari negara Brazil lalu menyebar ke Nepal, India, Pakistan, Banglades, Sri Langka, Myanmar, Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam dan Cina Selatan. Setelah percobaan berkali-kali dilakukan oleh Henry Wickham, tanaman karet berhasil dikembangkan di Asia Tenggara. Tanaman karet di Indonesia, Malaysia dan Singapura mulai dibudidayakan sejak tahun 1876. Tanaman karet di Indonesia pertama kali ditanam di Kebun Raya Bogor.

Karet merupakan komoditi ekspor yang mampu memberikan kontribusi di dalam upaya peningkatan devisa Indonesia. Ekspor Karet Indonesia selama 20 tahun terakhir terus menunjukkan adanya peningkatan dari 1,0 juta ton pada tahun 1985 menjadi 1,3 juta ton pada tahun 1995 dan 1,9 juta ton pada tahun

2004. Pendapatan devisa dari komoditi ini pada tahun 2004 mencapai US$ 2,25 milyar, yang merupakan 5% dari pendapatan devisa non-migas (Anwar, 2006).

Sejumlah lokasi di Indonesia memiliki keadaan lahan yang cocok untuk pertanaman karet khususnya di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Luas areal perkebunan karet tahun 2005 mencapai lebih dari 3,2 juta hektar (Anwar, 2006), dan tahun 2013 sudah mencapai 3,445 juta hektar yang tersebar di seluruh

wilayah Indonesia (Bakrieglobal, 2014). Dari luasan tersebut, 85% diantaranya merupakan perkebunan karet rakyat, dan hanya 7% yang merupakan perkebunan besar negara serta 8% perkebunan besar swasta. Produksi karet secara nasional pada tahun 2005 mencapai sekitar 2,2 juta ton (Anwar, 2006) dan pada tahun 2013 mencapai sekitar 3 juta ton (Bakrieglobal, 2014). Sementara itu luas areal perkebunan karet di Sumatera Utara mencapai 419.097 hektar dengan produksi 387.366 ton pada tahun 2012 (Badan Koordinasi Penanaman Modal, 2014).

Tanaman karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar. Tinggi pohon dewasa mencapai 15-25 m. Batang tanaman biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi. Beberapa pohon karet ada kecondongan arah tumbuh agak miring. Batang tanaman ini mengandung getah yang dikenal dengan naman lateks (Setiawan dan Andoko, 2005).

Daun karet berwarna hijau. Apabila akan rontok berubah warna menjadi kuning atau merah. Daun mulai rontok apabila memasuki musim kemarau. Daun karet terdiri atas tangkai daun utama dan tangkai anak daun. Panjang tangkai daun

utama sekitar 3-20 cm. Panjang tangkai anak daun sekitar 3-10 cm. (Marsono dan Sigit, 2005).

Daun karet berselang-seling, tangkai daunnya panjang dan terdiri dari 3 anak daun yang licin berkilat. Helaian anak daun bertangkai pendek dan berbentuk lonjong-oblong atau oblong-obovate, pangkal sempit dan tegang, ujung runcing, sisi atas daun hijau tua dan sisi bawah agak cerah, panjangnya 5-35 cm dan lebar 2,5-12,5 cm (Sianturi, 2001).

Bunga karet terdiri atas bunga jantan dan betina yang terdapat dalam malai payung yang jarang. Pada ujungnya terdapat lima taju yang sempit. Panjang tenda

bunga 4-8 mm. Bunga betina berambut, ukurannya sedikit lebih besar dari bunga jantan dan mengandung bakal buah yang beruang tiga. Kepala putik yang akan dibuahi dalam posisi duduk juga berjumlah tiga buah. Bunga jantan mempunyai sepuluh benang sari yang tersusun menjadi suatu tiang. Kepala sari terbagi dalam 2 karangan dan tersusun lebih tinggi dari yang lain (Marsono dan Sigit, 2005).

Komposisi kayu karet adalah selulosa 48,6%, lignin 30,6%, pentosan 17,8%, abu 1,3% dan silika 0,5%. Kayu karet termasuk kelas awet V dengan klasifikasi sangat tidak awet dengan umur pakai kurang dari 1,5 tahun. Kayu karet banyak digunakan untuk perabot rumah tangga, selain itu digunakan untuk kayu bentukan, misal panel dinding, bingkai gambar, lantai parket, palet, peti jenazah, tangga, kerangka pintu dan jendela (Mandang dan Pandit, 1997).

Keawetan Kayu

Menurut Martawidjaja (1996), yang dimaksud dengan keawetan kayu adalah daya tahan suatu jenis kayu terhadap berbagai faktor perusak kayu, tetapi umumnya yang dimaksud adalah daya tahan terhadap faktor perusak biologis yang disebabkan oleh makhluk hidup perusak kayu seperti jamur, serangga dan binatang laut.

Pengawetan kayu merupakan suatu usaha untuk menambah daya tahan kayu terhadap faktor perusak dengan tujuan agar umur pemakaian kayu semakin bertambah menjadi beberapa kali lipat dan secara ekonomis menguntungkan. Oleh karena itu, untuk meningkatkan ketahanan kayu tidak awet tindakan pengawetan kayu sangat diperlukan (Supriana dan Martawijaya, 1996).

Perbedaan daya serap kayu terhadap larutan bahan pengawet disebabkan oleh perbedaan ukuran pori-pori kayu, kadar selulosa dan lignin dalam kayu, dan berat jenis kayu yang berhubungan langsung dengan proporsi volume rongga kosong di dalam kayu. Semakin kecil nilai kerapatan kayu maka volume rongga dinding sel akan semakin besar, sehingga larutan bahan pengawet akan semakin mudah masuk ke dalam kayu (Haygreen dan Bowyer, 1996).

Rayap

Rayap termasuk ke dalam ordo Isoptera, mempunyai 7 (tujuh) famili Termitidae yang merupakan kelompok rayap tinggi. Rayap merupakan serangga pemakan kayu (xylophagus) atau bahan-bahan yang mengandung selulosa (Nandika, 2003). Rayap juga hidup berkoloni dan mempunyai sistem kasta dalam kehidupannya. Kasta dalam rayap terdiri dari 3 kasta yaitu :

1. Kasta prajurit, mempunyai ciri-ciri kepala yang besar dan penebalan yang nyata dengan peranan dalam koloni sebagai pelindung koloni terhadap gangguan dari luar. Kasta ini mempunyai mandible yang sangat besar yang digunakan sebagai senjata dalam mempertahankan koloni.

2. Kasta pekerja, mempunyai warna tubuh yang pucat dengan sedikit kutikula dan menyerupai nimfa. Kasta pekerja tidak kurang dari 80-90 % populasi dalam koloni. Peranan kasta ini adalah bekerja sebagai pencari makan, memberikan makan ratu rayap, membuat sarang dan memindahkan makanan saat sarang terancam serta melindungi dan memelihara ratu.

3. Kasta reproduktif, merupakan individu-individu seksual yang terdiri dari betina yang bertugas bertelur dan jantan yang bertugas membuahi betina. Ukuran tubuh ratu mencapai 5-9 cm atau lebih.

Selain mempunyai kasta dalam koloninya, rayap juga mempunyai

sifat-sifat yang sangat berbeda dibanding dengan serangga lainnya. Menurut Nandika (2003), sifat rayap terdiri atas :

1. Cryptobiotik, sifat rayap yang tidak tahan terhadap cahaya.

2. Thropalaxis, perilaku rayap yang saling menjilati dan tukar menukar

makanan antar sesama individu.

3. Kanibalistik, perilaku rayap untuk memakan individu lain yang sakit atau lemas.

4. Necrophagy, perilaku rayap yang memakan bangkai individu lainnya.

Menurut Prasetyo dan Yusuf (2004) dalam Mayangsari (2008), kerusakan bangunan dan komponen kayu akibat serangan rayap telah menyebabkan kerugian yang tidak sedikit. Di Indonesia, kerugian akibat serangan rayap bisa mencapai 224-236 milyar rupiah per tahunnya. Pada tahun 1996 kerugian ekonomis akibat serangan rayap pada bangunan perumahan di Indonesia mencapai 1,67 triliun rupiah, belum termasuk kerugian pada gedung perkantoran, fasilitas industri dan fasilitas sosial lainnya (Rakhmawati, 1996).

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia memiliki kekayaan hutan sebagai bahan baku utama bagi kayu. Kayu dalam kehidupan sehari-hari merupakan bahan yang sangat sering digunakan untuk bahan konstruksi ringan sampai berat, rangka pintu, rangka jendela, lantai, papan dinding, tiang, dan furnitur/meubel kayu.

Meubel kayu adalah salah satu produk kayu olahan yang memiliki nilai ekonomis yang menguntungkan. Pertumbuhan penanaman modal industri ini di dunia sangat cepat dan menarik bagi banyak negara khususnya negara berkembang seperti Indonesia. Pemasaran produk industri furnitur dari kayu saat ini sangat mendunia seperti layaknya teknologi pembuatannya yang juga mendunia (Anggraini, 2002).

Meskipun pertumbuhan industri kayu sangat cepat, hal ini tidak diimbangi dengan suplai kayu dari alam. Ketersediaan kayu akhir-akhir ini makin terbatas terutama kayu kelas awet I dan II yang digunakan untuk bahan bangunan dan pertukangan. Persediaan kayu awet di masa yang akan datang dikhawatirkan tidak dapat terpenuhi sehingga masyarakat beralih menggunakan kayu kelas awet III dan IV yang mempunyai tingkat keawetan alami yang rendah.

Salah satu jenis kayu yang potensial untuk dimanfaatkan adalah kayu karet (Hevea brasiliensis). Kayu karet saat ini merupakan sumber utama dari meubel kayu. Menurut Anggraini (2002), 70% mebel kayu yang diimpor oleh Uni Eropa berasal dari kayu karet. Hal ini disebabkan kayu karet memiliki tekstur dan warna yang lebih muda, dapat diproses dan di-finishing akhir seperti layaknya jenis-jenis

kayu keras sehingga tampilannya seperti kayu mahoni, oak, dan kenari. Jenis kayu karet juga disukai karena dianggap mendukung program Uni Eropa dalam melestarikan hutan dan menjaga kelestarian lingkungan.

Dilihat dari sifat fisik dan mekanis, kayu karet tergolong kayu kelas kuat II-III, yang setara dengan kayu ramin, akasia, mahoni, pinus, meranti, durian, ketapang, dan keruing. Kelas awet kayu karet tergolong kelas awet V yaitu setara dengan kayu ramin, namun kayu karet lebih rentan terhadap serangga penggerek, rayap, dan jamur biru (blue stain) (Mandang dan Pandit, 1997). Untuk itu kayu karet perlu diberi pengawet untuk meningkatkan ketahanannya terhadap jamur dan serangga terutama rayap.

Pengawet kayu yang banyak dijual saat ini adalah pengawet yang mengandung bahan-bahan kimia sintetis. Bahan-bahan kimia sintetis ini cukup berbahaya bagi kesehatan sehingga manusia perlu beralih kepada pengawet dari bahan alami yang bersifat ramah lingkungan. Salah satu alternatif pengawet yang bersifat ramah lingkungan dalam mengendalikan hama rayap adalah asap cair.

Asap cair merupakan hasil kondensasi dari pirolisis kayu yang mengandung sejumlah besar senyawa yang terbentuk akibat pirolisis konstituen kayu seperti selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Asap cair diproduksi dengan cara pembakaran tidak sempurna yang melibatkan dekomposisi konstituen polimer menjadi senyawa organik dengan berat molekul rendah karena pengaruh panas yang meliputi reaksi oksidasi, polimerisasi, dan kondensasi.

Asap cair bisa dibuat dari berbagai bahan yang mengandung selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Bahan yang biasanya digunakan sebagai bahan baku asap cair adalah tempurung kelapa dan cangkang kelapa sawit karena

mengandung senyawa fenol dan asam asetat yang berperan sebagai antimikrobial sehingga cocok untuk dijadikan bahan pengawet. Namun masih ada bahan alternatif lain yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku yaitu kulit kemenyan.

Kemenyan (Styrax benzoin Dryand.) adalah jenis pohon yang tumbuh di lereng-lereng bukit dan pada tanah berpasir pada ketinggian 60-2.100 mdpl. Kemenyan ditanam dalam skala besar di daerah Tapanuli dan Palembang. Kabupaten Humbang Hasundutan merupakan salah satu penghasil getah kemenyan di Provinsi Sumatera Utara (Jayusman, 1999).

Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan penelitian dengan judul Asap Cair dari Limbah Kulit Kemenyan (Styrax spp) Sebagai Pengawet Alternatif untuk Kayu Karet (Hevea brasiliensis).Pada penelitian ini kulit kemenyan diolah menjadi asap cair melalui proses pirolisis. Asap cair yang diperoleh digunakan sebagai pengawet pada kayu karet. Selanjutnya akan dilakukan uji keawetan kayu karet dengan cara pengumpanan pada rayap tanah melalui uji kubur (grave yard test).

Tujuan Penelitian

1. Menentukan kualitas dan karakteristik asap cair dari kulit kemenyan. 2. Mengevaluasi komposisi senyawa kimia asap cair dari kulit kemenyan.

3. Mengevaluasi ketahanan kayu karet dengan pengawet asap cair terhadap serangan rayap tanah .

Manfaat Penelitian

Manfaat dari kajian ini adalah menghasilkan produk asap cair yang dapat digunakan untuk mengawetkan kayu sekaligus dapat menghilangkan bau tidak sedap dari kayu dan memberi aroma baru yang khas. Manfaat lainnya adalah menambah peluang usaha bagi industri-industri pengolah kayu, terutama industri skala kecil dan menengah.

Hipotesis

Semakin tinggi konsentrasi bahan pengawet asap cair yang digunakan maka tingkat keawetan kayu karet terhadap serangan rayap tanah semakin meningkat.

ABSTRACT

RIZKI RAHMATULLAH HASIBUAN.

Liquid Smoke from the Waste of Frankincense’s bark As Alternative Preservatives for Wood Rubber,

supervised by TITO SUCIPTO and RIDWANTI BATUBARA

Liquid smoke of frankincense’s bark is one alternative preservatives from natural ingredients and contains compounds that can be used as food preservative and wood preservatives. The purpose of this study was to determined the quality, characteristics, and chemical composition of liquid smoke of frankincense’s bark and evaluate the resistance of rubber wood preserved with liquid smoke against subterranean termites.

Frankincense’s bark was obtained from Matiti Village, Dolok Sanggul City, District Humbang Hasundutan and rubber wood was obtained from Limau Mungkur Village, Tanjung Morawa City, District Deli Serdang. This study used a completely randomized design with 4 treatments and 6 replications and was conducted in December 2013 until May 2014. Chemical compounds that were identified from liquid smoke include acetic acid, mequinol, phenol, cinnamic acid, and furfural. Parameter that was observed was a decrease in dry weight of rubber wood. The results showed that the use of liquid smoke of frankincense’s bark reducing the resistance of rubber wood against subterranean termites.

Keywords: liquid smoke, waste of frankincense’s bark, alternative preservatives, subterranean termites.

ABSTRAK

RIZKI RAHMATULLAH HASIBUAN. Asap Cair dari Limbah Kulit

Kemenyan Sebagai Pengawet Alternatif untuk Kayu Karet, dibimbing oleh TITO SUCIPTO dan RIDWANTI BATUBARA

Asap cair kulit kemenyan merupakan salah satu pengawet alternatif dari bahan alami dan mengandung senyawa yang dapat digunakan sebagai pengawet makanan dan pengawet kayu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kualitas, karakteristik, dan komposisi senyawa kimia asap cair dari kulit kemenyan serta mengevaluasi ketahanan kayu karet yang diberi pengawet asap cair terhadap serangan rayap tanah.

Kulit kemenyan diperoleh dari Desa Matiti, Kecamatan Dolok Sanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan dan kayu karet diperoleh dari Desa Limau Mungkur, Kecamatan Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang. Penelitian inimenggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan dan 6 ulangan dan dilaksanakan bulan Desember 2013 sampai dengan bulan Mei 2014. Senyawa kimia yang berhasil diidentifikasi dari asap cair diantaranya adalah asam asetat, mequinol, fenol, asam sinamat, dan furfural. Parameter yang diamati adalah penurunan berat kering kayu karet. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan asap cair kulit kemenyan semakin menurunkan ketahanan kayu karet terhadap serangan rayap tanah.

ASAP CAIR DARI LIMBAH KULIT KEMENYAN

Dokumen terkait