• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Metabolisme Protein (Nitrogen)

Protein merupakan zat organik yang terdiri dari karbon, hidrogen, sulfur dan phosphor. Unsur-unsur tersebut terdapat dalam bentuk asam amino yang terikat satu sama lain oleh ikatan peptida (Tillman et al., 1991). Arora (1989) menyatakan bahwa protein mengandung 51-55% karbon, 6,5-7,3% hidrogen, 15,5-18% nitrogen, 21,5-23,5% oksigen, 0,5-2% sulfur dan 1,5% phosphor.

Metabolisme merupakan sejumlah proses yang meliputi proses sintesa (anabolisme) dan perombakan (katabolisme) dalam protoplasma sel organisme hidup, proses ini menyangkut perubahan-perubahan kimia dalam sel hidup, dimana energi disediakan untuk beberapa fungsi penting, dan produk metabolisme diasimilasikan untuk perbaikan dan sintesa jaringan baru atau produksi (Tillman et al., 1991; Pond et al., 1995; McDonald et al., 2002).

Protein (nitrogen maupun non protein nitrogen) yang berasal dari makanan akan dihidrolisa oleh mikroba rumen. Tingkat hidrolisa protein tergantung dari daya larutnya yang berkaitan dengan kadar ammonia (NH3) (Arora, 1989). Degradasi protein dalam rumen dipengaruhi oleh sumber protein, bentuk fisik dan kimia makanan, gerak laju makanan, gerak laju makanan dalam rumen, jumlah konsumsi ransum, konsumsi energi, pertumbuhan mikroba dan ukuran partikel makanan (Huber dan Kung, 1981).

Protein (nitrogen maupun non protein nitrogen) pakan yang didegradasi oleh mikroba rumen sebesar 50-60%, hal ini menunjukkan bahwa protein yang lolos degradasi dan masuk ke usus sebesar 40-50% (Ranjhan, 1980). Mikroorganisme rumen menghasilkan enzim “protease” yang digunakan untuk menghidrolisa protein pakan menjadi peptida dan asam amino, yang selanjutnya dihidrolisa menjadi CO2, amonia (NH3) dan VFA (Ranjhan, 1980). Ammonia merupakan nitrogen yang dibutuhkan mikroba rumen dan bersama dengan kerangka karbon sumber energi akan disintesa menjadi asam amino dan selanjutnya menjadi protein mikroba (Hungate, 1966).

Konsentrasi amonia dalam rumen tergantung pada kelarutan dan jumlah protein pakan. Protein pakan yang didegradasi menjadi asam amino akan mengalami proses deaminasi menjadi asam organik, CO2 dan NH3. NH3 yang dihasilkan dapat

diubah menjadi protein mikroba kemudian akan mengalir ke abomasum, usus halus dan hati. NH3 yang masuk ke dalam hati diubah menjadi urea, urea yang dihasilkan sebagian akan masuk kembali ke dalam rumen melalui saliva ataupun dinding rumen dan sebagian lagi akan diekresikan melalui urin (Ranjhan, 1980; McDonald, 2002, Annison et al., 2002).

Ørskov (1982) menyatakan bahwa produksi amonia dipengaruhi oleh lamanya makanan berada dalam rumen, kelarutan protein ransum, pH rumen dan jumlah protein ransum. Findlay (1998) menyatakan bahwa pH rumen mempengaruhi konsentrasi amonia, pH rumen yang dapat ditoleransi adalah 7,0 dimana pH rumen diatas 7,3 dapat menimbulkan gejala keracunan.

Mikroba rumen tumbuh sejalan dengan konsentrasi amonia dalam rumen sampai konsentrasi 5 mg %, konsentrasi tersebut lebih kurang setara dengan kadar protein kasar ransum sebesar 13 % dari bahan kering (Satter dan Slyter, 1974). Menurut Ranjhan (1980) batas minimum kadar ammonia untuk pertumbuhan mikroba sebesar 2 mg persen.

Preston dan Leng (1987) menyatakan kisaran normal konsentrasi NH3 untuk pertumbuhan mikroba rumen adalah 3,5-14 mM. Findlay (1998) menyatakan bahwa konsentrasi N-NH3 dalam rumen bervariasi berkisar antara 20 – 1000 mg/l.

Abdelsamie et al. (1990) menyatakan bahwa produksi NH3 antara kambing dan domba sama, nilai produksi NH3 yang diperoleh adalah 114 mg/l pada kambing dan 117 mg/l pada domba atau setara dengan 8,14 mM dan 8,35 mM. Dayal et al. (1995) menyatakan bahwa konsentrasi NH3 pada domba lebih besar dibanding kambing. Tomaszewska et al. (1993) menyatakan bahwa konsentrasi NH3 pada kambing lebih besar dibanding domba. Ringkasan proses metabolisme nitrogen pada ruminansia terlihat seperti pada Gambar 1.

Pencernaan Protein

Proses pencernaan pada ruminansia terjadi secara : a) mekanis yang terjadi dalam mulut, b) kimia dengan bantuan enzim saluran pencernaan dan c) mikrobial / fermentatif oleh mikroba rumen (McDonald et al., 2002).

Beberapa keuntungan pencernaan fermentatif sebelum usus adalah : 1) produk fermentasi dapat disajikan ke usus dalam bentuk yang lebih mudah diserap, 2) dapat makan cepat dan menampung makanan dalam jumlah besar, 3) ternak dapat

mencerna serat lebih banyak, dan 4) dapat menggunakan Non Protein Nitrogen (NPN). Selain memiliki keuntungan, proses pencernaan fermentatif sebelum usus dapat pula merugikan karena : 1) banyak energi yang terbuang dalam bentuk CH4

dan sebagai panas fermentasi, 2) protein bernilai hayati tinggi mengalami degradasi menjadi NH3 dan 3) ternak mudah terkena ketosis (Sutardi, 1977).

Gambar 1. Pencernaan dan Metabolisme Nitrogen dalam Rumen (McDonald

et al., 2002).

Besar kebutuhan protein dipengaruhi oleh : 1) kandungan protein dan NPN ransum, 2) besar koefisien cerna dan tingkat kualitas protein mikroba, 3) kemampuan mikroba mendegradasi protein pakan dan 4) tingkat ketahanan degradasi protein pakan (Maynard dan Loosli, 1969).

Pencernaan bahan makanan dipengaruhi oleh jenis dan populasi mikroorganisme rumen, kondisi anatomis dan fisiologis dari hewan, kandungan zat makanan (Maynard dan Loosli, 1969), umur ternak, jumlah makanan yang

Makanan Protein Protein pintas rumen Protein terdegradasi NPN Kelenjar saliva Peptida Asam Amino Amoniak (NH3) HATI NH3 Urea

Pencernaan dalam usus halus

Protein Mikroba

Ginjal

Dikeluarkan melalui Urin

dikonsumsi, pengolahan bahan makanan (Ranjhan, 1980) dan waktu tinggal makanan dalam rumen (Dayal et al., 1995).

Ranjhan (1980) menyatakan bahwa kecernaan protein bahan makanan tergantung pada kandungan protein ransum, bahan makanan yang rendah kandungan proteinnya mempunyai kecernaan protein yang rendah, begitu pula sebaliknya bila kandungan protein ransum tinggi maka kecernaan proteinnya akan tinggi, akan tetapi kecernaan protein dapat tertekan dengan meningkatnya kadar serat kasar ransum.

Mathius et al. (1983) menyatakan koefisien cerna semu zat-zat makanan (termasuk protein) antara kambing dan domba tidak berbeda, meskipun ada kecenderungan koefisien cerna semu pada kambing lebih tinggi dibanding domba. Nilai koefisien cerna semu protein kasar domba dan kambing berturut-turut adalah 66,8% dan 67,9%. Dayal et al. (1995) melaporkan bahwa antara kambing Mahaboobnagari dan domba Deccani yang diberi kelobot jagung (Maize husk) memiliki kecernaan protein tidak berbeda nyata.

Neraca Nitrogen

Intensitas total dari proses anabolisme dan katabolisme nitrogen yang digambarkan melalui persamaan : B = K – (U + T), dimana B = neraca nitrogen, K = konsumsi nitrogen, U = nitrogen urin dan T = nitrogen feses. Banerjee (1982) menyatakan bahwa neraca nitrogen merupakan salah satu metode yang umum digunakan untuk mengevaluasi kualitas protein ransum. Neraca nitrogen merupakan selisih dari konsumsi nitrogen dengan ekskresi nitrogen melalui urin dan feses dan dapat bernilai positif, nol atau negatif (Maynard dan Loosli 1969).

Nilai neraca nitrogen positif berarti terdapat pertambahan protein berupa pertumbuhan jaringan baru atau peletakan protein dalam jaringan. Nilai nol berarti terjadi keseimbangan dalam tubuh, dimana konsumsi nitrogen hanya cukup untuk hidup pokok saja. Nilai negatif pada neraca nitrogen menunjukan adanya kehilangan nitrogen jaringan melalui katabolisme sebagai akibat dari nitrogen yang dikonsumsi tidak mencukupi kebutuhan hidup pokok ternak (Maynard dan Loosli, 1969; Parakkasi, 1983).

Peningkatan protein dalam ransum akan meningkatkan retensi protein (nitrogen) dalam tubuh, protein yang tertinggal dalam tubuh sangat erat hubungannya dengan konsumsi energi dan protein, dimana semakin meningkat konsumsi protein

dan energinya maka semakin meningkat pula protein yang tertinggal (teretensi) dalam tubuh (Sitorus, 1982; Van Soest, 1982).

Zaherunaja (1989) menyatakan bahwa retensi nitrogen akan meningkat dengan adanya penurunan jumlah nitrogen yang keluar melalui urin. Ranjhan (1980) menyatakan bahwa neraca nitrogen dapat pula digunakan untuk menilai mutu protein makanan, karena dengan hanya mengetahui kecernaan protein saja belum dapat mengetahui secara tepat mutu protein ransum yang digunakan.

Konsumsi Protein (Nitrogen)

Konsumsi adalah faktor essensial yang mendasar untuk hidup dan menentukan produksi. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi konsumsi diantaranya adalah bobot badan, jenis kelamin, umur, faktor genetik, makanan yang diberikan, dan lingkungan (Parakkasi, 1999). Cole dan Ronning (1974) menyatakan bahwa tingkat konsumsi protein (nitrogen) sangat dipengaruhi oleh koefisien cerna, kualitas atau kompisisi kimia pakan, fermentasi dalam rumen, pergerakan makanan melalui saluran pencernaan dan status fisiologi ternak.

Sumber protein ternak ruminansia berasal dari protein makanan yang selamat dari degradasi dalam rumen dan protein mikroba yang terbentuk dalam rumen. Penyediaan protein ransum sangat penting untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi. Protein pakan yang dikonsumsi ruminansia tidak seluruhnya didegradasi oleh mikroba rumen, sebagian protein pakan lolos ke dalam usus halus bersama protein mikroba dan protein endogen (Kempton et al., 1977).

Tomaszewska et al. (1993) menyatakan domba dan kambing lokal di Indonesia sering kali kekurangan protein, oleh karena itu kebutuhan protein dalam pakan harus diperhitungkan dengan baik. Akhirany (1998) menyatakan peningkatan kadar protein ransum akan meningkatkan konsumsi ransum. Wiradarya (1991) menyatakan bahwa peningkatan kadar protein ransum mengakibatkan kenaikan tingkat konsumsi protein pada domba dan kambing lokal tetapi tidak mempengaruhi tingkat konsumsi bahan kering dan energi ransum.

Menurut NRC (1981) kambing dengan bobot hidup 10-20 kg memerlukan protein sebesar 22-38 g/e/h, sedangkan menurut NRC (1985) domba dengan bobot hidup 10-20 kg haruslah mengkonsumsi protein kasar sekitar 127-167 g/e/h. Sitorus (1982) menyatakan kebutuhan protein kambing lokal Indonesia lebih rendah

dibanding dengan kebutuhan kambing di daerah subtropis. Menurut Mathius et al. (1996) kebutuhan protein domba lokal di Indonesia lebih tinggi dibanding dengan yang disarankan Kearl (1982). Kearl (1982) menyatakan bahwa kebutuhan protein kasar untuk domba dengan bobot hidup 20 kg adalah 44 g/ekor/hari.

Konsumsi protein kasar domba yang diberi pakan campuran rumput gajah dan daun singkong dengan penambahan tepung jagung dan dedak padi lebih besar dibanding kambing, dengan konsumsi protein kasar untuk domba dan kambing berturut-turut yaitu 11,7 g/kg BB0,75 dan 9,3 g/kg BB0,75 (Mathius et al. 1983).

Pengeluaran Nitrogen Melalui Feses (Nitrogen Feses)

Nitrogen yang keluar melalui feses berasal dari protein pakan yang tidak tercerna, Nitrogen endogenous yang terdiri dari enzim-enzim pencernaan dan cairan lainnya yang diekskresikan ke dalam saluran pencernaan, sel-sel mukosa yang terkikis mengandung protein dan mikroba saluran pencernaan (Church, 1979; Parakkasi, 1983; Pond et al., 1995).

Beberapa faktor yang mempengaruhi pengeluaran nitrogen melalui feses adalah bobot badan ternak, konsumsi bahan kering, kandungan serat kasar, energi dan protein ransum serta proses pencernaan (Koenig et al, 1980), tipe makanan yang dikonsumsi dan tipe saluran pencernaan (Pond et al.,1995). Menurut Van Soest (1982) pengeluaran nitrogen melalui feses tergantung dari hasil pencernaan oleh mikroba dan efisiensi pemeliharaan bakteri. Van Soest (1982) menyatakan pula bahwa nitrogen yang hilang dalam feses ruminansia kira-kira 0.6 % dari konsumsi bahan kering atau ± 4 % dari protein ransum.

Pengeluaran Nitrogen Melalui Urin (Nitrogen Urin)

Nitrogen yang keluar melalui urin antara lain berupa keratin, ammonia, asam amino, urea (Banerjee, 1982) dan allantoin (Church, 1979). Kehilangan nitrogen melalui urin merupakan hasil proses metabolisme jaringan tubuh yang disebut

endogenous urinary nitrogen (Roy, 1970; Banerjee, 1982). Kadar nitrogen dalam urin jumlahnya bervariasi, tergantung pada tingkat konsumsi dan sumber nitrogen, tingkat protein ransum, koefisien cerna protein, tingkat energi ransum dan fase pertumbuhan ternak (Roy, 1970).

Bunting et al. (1987) menyatakan bahwa domba yang mengkonsumsi ransum dengan kandungan protein yang tinggi akan mengekskresikan nitrogen urin lebih tinggi dibanding domba yang mengkonsumsi ransum dengan kadar protein rendah, tetapi nitrogen yang diekskresikan melalui feses tidak dipengaruhi oleh kandungan protein ransum. Nitrogen urin akan meningkat dengan meningkatnya kandungan protein dapat larut pada ransum (Wanapat et al., 1982). Pengeluaran nitrogen melalui urin memiliki kolerasi linier dengan tingkat konsumsi ransum dan pengeluaran nitrogen feses (Smith et al., 1992).

Kambing

Devendra dan Burns (1994) melaporkan bahwa kambing merupakan ternak bertanduk yang termasuk dalam kelas mamalia, ordo Artiodactyla, sub ordo

Ruminansia, famili Bovidae, genus Capra dan spesies Capra Hircus.

Kambing merupakan hewan yang didomestikasi oleh manusia yang berasal dari hewan liar (Capra Hircus Aegragus), dapat hidup di daerah yang sulit dan berbatu, mudah dipelihara, tidak memerlukan lahan yang luas (Blakely dan Bode 1985). Kambing memiliki sifat yang khusus yaitu tidak suka bergerombol dan cenderung memakan hijauan yang menggantung serta mampu memakan jenis tanaman yang lebih banyak dibandingkan domba; kambing merupakan ternak pemakan semak, sangat aktif, selektif, dan dapat menempuh jarak yang lebih jauh untuk mencari makan (Tomaszewska et al., 1993).

Kambing khas Indonesia adalah kambing kacang, akan tetapi pada saat ini jenis kambing yang ada telah lebih bervariasi karena adanya persilangan antara kambing lokal dengan impor. Karakteristik kambing lokal antara lain : 1) lebih tanggap terhadap perubahan energi daripada protein dalam ransum, 2) kebutuhan energi dan protein untuk hidup pokok dengan bobot ± 15 kg adalah 143 kkal energi tercerna dan 3,4 g protein kasar untuk setiap kg bobot hidup metabolik dalam sehari, 3)untuk mencapai penampilan produksi yang maksimal, kambing lokal membutuhkan energi dan protein sebesar 209 kkal energi tercerna dan 9,72 g protein kasar untuk setiap kg bobot hidup metabolik dalam sehari (Setiadi et al., 2001).

Domba

Domba adalah jenis ternak yang cukup selektif terhadap makanan secara lokal dalam memilih jenis rumput yang baik dan jenis legum yang cocok. Domba yang sebagian besar makanannya berupa hijauan, ternyata lebih efisien dalam menggunakan konsentrat yang rendah kualitasnya (Suryaman, 1982).

Domba termasuk sub famili Caprinae, famili Bovidae, genus Ovis dan spesies Ovis Aries (Devendra dan McLeroy, 1982). Mason (1978) melaporkan bahwa jenis domba lokal yang terdapat di Indonesia terutama di daerah Jawa termasuk dalam tiga bangsa domba yaitu : domba lokal ekor tipis (Javanese thin-tailed), domba priangan dan domba lokal ekor gemuk (East Java fat-tailed).

Domba lokal merupakan domba asli Indonesia yang mempunyai daya adaptasi yang baik pada iklim tropis dan dapat beranak 2 kali dalam satu tahun. Domba lokal mempunyai tubuh yang relatif kecil, warna bulu beragam, memiliki ekor kecil dan tidak terlalu panjang, serta memiliki wool atau bulu yang tidak tebal. Domba lokal juga memiliki perdagingan sedikit dan sering disebut juga sebagai domba kampung (Mason, 1978; Dwiyanto, 2003).

METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lapang dan Laboratotium Kimia Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan mulai bulan Maret sampai Juli 2005.

Materi Ternak

Ternak yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 20 ekor yang terdiri atas 10 ekor kambing (5 ekor jantan dan 5 ekor betina) dan 10 ekor domba (5 ekor jantan dan 5 ekor betina), dengan rataan bobot badan pada kambing betina10,7±0,57, kambing jantan 11,8±0,67, domba jantan 15,5±1,66 dan kambing betina 14,5±2,93. Domba dan kambing yang digunakan berumur kurang dari 1 tahun (lepas sapih). Ternak yang digunakan dalam penelitian disajikan pada Gambar 2.

A B

C D

Gambar 2. Ternak Penelitian: A. Kambing Jantan, B. Kambing Betina, C. Domba Jantan, D. Domba Betina.

Kandang dan Peralatan

Kandang yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang metabolis sebanyak 20 buah. Setiap kandang dilengkapi dengan tempat makan, air minum serta tempat penampungan feses dan urin yang diletakan di bawah alas kandang. Peralatan lain yang digunakan adalah timbangan, gelas ukur, tempat penampungan air.

Ransum

Ransum yang digunakan selama penelitian adalah ransum berbentuk pelet dengan rasio hijauan : konsentrat 40 : 60 yang terdiri dari rumput lapang, jagung kuning, bungkil kedelai, dedak padi, minyak kelapa sawit, pollard dan premix. Komposisi dan kandungan nutrisi ransum penelitian disajikan pada Tabel 1 dan 2. Ransum penelitian disajikan pada Gambar 3.

Tabel 1. Komposisi Ransum Penelitian

Bahan Pakan Jumlah

( % ) Jagung kuning 12,5 Bk. Kedele 21 Pollard 7 Dedak padi 13 M.Kelapa Sawit 5,5 R. Lapang 40 Premix 1

Tabel 2. Kandungan Nutrisi Ransum Hasil Analisa (Berdasarkan % BK)1

Kandungan Nutrisi Jumlah

( % ) Bahan Kering 89,42 Bahan Organik 80,69 Protein Kasar 13,81 BET-N 40,00 Lemak Kasar 7,53 Serat Kasar 19,35 NDF 49,59 ADF 25,89 Ca 0,514 P 0,30

Energi bruto (kkal/kg)2 3790 ME (kkal/kg)3 2569,45 1. Hasil analisa Laboratorium Nutrisi Ternak Daging dan Kerja (2005). 2. Hasil analisa Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan (2005). 3. Hasil Perhitungan (NRC, 1985)

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok Pola Faktorial 2 x 2 dengan 5 ulangan, pengelompokkan dilakukan berdasarkan bobot badan. Perlakuan berdasarkan jenis ternak dan jenis kelamin, faktor A adalah jenis ternak dan faktor B adalah jenis kelamin. Analisa data menggunakan Analisis Ragam (ANOVA), apabila terdapat perbedaan yang nyata maka dilanjutkan dengan Uji Duncan (Steel dan Torrie, 1993), dengan model matematik sebagai berikut :

Xijk = µ +αi +βj +( αβ )ij + λk + εijk Keterangan :

Xijk = Nilai pengamatan dari faktor A pada taraf ke-i dan faktor B pada taraf ke-j dan kelompok ke-k

µ = Rataan umum

αi = Pengaruh faktor A pada taraf ke-i

βj = Pengaruh faktor B pada taraf ke-j

(αβ)ij = Pengaruh interaksi dari faktor A pada taraf ke-i dan faktor B pada taraf ke-j kelompok ke-k

εijk = Pengaruh galat dari faktor A pada taraf ke-i dan faktor B pada taraf ke-j dan kelompok ke-k

Peubah yang Diamati

Peubah yang diukur adalah konsumsi protein, produksi NH3 dalam rumen, nitrogen feses, kecernaan protein, nitrogen urin, retensi nitrogen dan efisiensi penggunaan nitrogen.

Prosedur Pembuatan Ransum

Rumput lapang segar dijemur di bawah sinar matahari kemudian dikeringkan dengan menggunakan oven sampai memiliki kadar air yang stabil. Setelah kering, kemudian rumput digiling dengan ukuran saringan 2 mm. Rumput yang sudah digiling dicampur dengan konsentrat dalam “mixer” hingga homogen. Setelah homogen, bahan dimasukan ke dalam mesin pellet dengan ukuran panjang pellet 2,5 cm dengan diameter sebesar 0,5 cm. Pellet yang dihasilkan diangin-anginkan dahulu kemudian dimasukan ke dalam karung.

Cara Pemeliharaan

Ternak dipelihara selama 6 bulan, sebelum diberi pakan perlakuan dilakukan masa adaptasi terhadap ransum yang digunakan selama satu minggu. Setelah masa adaptasi ternak diberi pakan berbentuk pellet dan diberikan sebanyak 3 % dari bobot badan.

Pemberian Pakan dan Air Minum

Pemberian pakan dan air minum dilakukan dua kali sehari yaitu pagi sekitar pukul 06.30; sore sekitar pukul 16.00.

Pengumpulan dan Pengambilan Sampel Urin

Urin yang keluar ditampung dan dimasukan ke dalam wadah, diberi 3 –5 tetes H2SO4 20% untuk mencegah terjadinya penguapan nitrogen. Contoh urin diambil sebanyak 5% dari seluruh urin yang tertampung kemudian disimpan dalam botol dan

dimasukan ke dalam freezer. Untuk analisa kandungan nitrogen, contoh urin ini dikomposit menjadi satu sampel.

Pengumpulan dan Pengambilan Sampel Feses

Feses yang keluar dimasukkan ke dalam wadah, kemudian ditimbang jumlah feses yang keluar, selanjutnya diambil sebanyak 20 % dari total feses/ekor/hari. Feses dikeringkan di bawah sinar matahari kemudian dimasukan ke dalam oven 60°C selama 24 jam. Untuk proses analisa, contoh feses dikomposit dan kemudian diambil sampel untuk dianalisa kandungan nitrogennya.

Metoda Analisa Protein (Nitrogen)

Analisa protein kasar ransum, kadar nitrogen feses dan urin dilakukan dengan mengukur kandungan nitrogen contoh dengan metode micro-Kjeldahl (AOAC, 1980). Kadar Nitrogen dihitung dengan menggunakan persamaan :

(titer blank – titer NHCl) x 14 x 24 x 0.01

% Kadar Nitrogen = x 100 %

Berat sampel (mg)

Metode Analisa NH3 Rumen

Cairan rumen diambil 4 jam setelah makan. Pengambilan dilakukan dengan menggunakan selang karet, kemudian cairan rumen ditampung pada tabung film yang telah diberi HgCl2 jenuh yang bertujuan untuk mematikan mikroba, kemudian dilakukan analisa NH3. Analisa NH3 dilakukan dengan menggunakan metode microdifusi Conway yang dimodifikasi.

Cawan Conway yang akan digunakan terlebih dahulu diolesi dengan vaselin pada kedua bibirnya dan cawan diletakan dalam posisi miring, Bagian cawan Conway disajikan pada Gambar 4. Sebanyak 1 ml supernatan ditempatkan pada salah satu sisi cawan dan pada sisi yang lain tempatkan 1 ml larutan Na2CO3 jenuh. Pada bagian tengah cawan letakan 1 ml asam borat berindikator merah metal dan brom kreosol hijau, kemudian cawan ditutup rapat sehingga kedap udara. Cawan digoyang-goyangkan perlahan-lahan hingga supernatan dan Na2CO3 bercampur dan biarkan selama 24 jam pada suhu kamar. Setelah tutup cawan dibuka, asam borat yang berwarna hijau dititrasi dengan 0.005 N H2SO4 sampai berwarna merah muda kembali. Produksi N-NH3 (mM) dihitung dengan menggunakan persamaan:

(ml titran sampel – ml titran rumen tanpa sampel) x N-H2SO4 x 1000 mM

Gambar 4. Bagian-bagian cawan Conway

Cara Mengukur Peubah

Konsumsi Nitrogen = Konsumsi ransum (g) x % N ransum

Konsumsi Protein = Konsumsi ransum (g) x (% N ransum x 6,25) Nitrogen feses (g) = Feses yang keluar (g) x % N feses

Nitrogen urin (g) = Urin yang keluar (g) x % N urin

Konsumsi protein (g) – protein feses (g)

Kecernaan Protein (%) = x 100% Konsumsi protein (g)

Retensi Nitrogen = Konsumsi Nitrogen – (nitrogen feses + nitrogen urin) % Nitrogen Feses = Jumlah Feses x % BK feses x % Nitrogen

% Nitrogen Urin = Jumlah Urin x % BK urin x % Nitrogen

Na2CO3

Cairan Rumen Asam Borat berindikator

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dokumen terkait