• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik dan Klasifikasi Bakteri Metanotrof

Bakteri metanotrof adalah bakteri Gram negatif, bersifat aerob dan menggunakan metan sebagai sumber karbon dan energi (Auman 2001). Karakteristik penting dari metanotrof ini ialah memiliki enzim metan mono- oksigenase yang dapat mengkatalisis metan menjadi metanol. Jenis metanotrof yang telah dilaporkan ialah metanotrof obligat dan fakultatif. Metanotrof obligat hanya tumbuh dengan menggunakan metan (CH4) dan metanol

(CH3OH), sedangkan metanotrof fakultatif dapat tumbuh dengan

menggunakan senyawa multikarbon seperti etanol dan propanol (Lynch et al.

1982). Whittenburyet al.(1970) menggolongkan bakteri pengoksidasi CH4 ke

dalam lima genus berdasarkan perbedaan morfologi, tipe bentuk fase istirahat, struktur membran intrasitoplasma, dan beberapa karakteristik fisiologi. Kelima genus tersebut ialah Methylomonas, Methylobacter, Methylococcus,

Methylosistis,danMethylosinus.

Berdasarkan perbedaan jalur biosintesis dan morfologinya, bakteri metanotrof dibagi 3 tipe (Tabel 1). Tipe I mensintesis formaldehida dengan menggunakan jalur Ribulosa Monofosfat (RuMP), contohnya dari genus

Methylomonas dan Methylobacter. Tipe II mensintesis formaldehida melalui jalur serin, contohnya dari genus Methylosinus dan Methylocystis. Tipe X metanotrof mensintesis formaldehida menggunakan jalur RuMP dan dihasilkan juga enzim ribulosa-bifosfat karboksilase meskipun hanya dalam konsentrasi yang sedikit. Perbedaan lain dari ketiga jenis metanotrof tersebut dilihat dari kemampuan hidup pada suhu tinggi. Metanotrof tipe X mampu hidup pada suhu tinggi (lebih dari 45 0C) daripada tipe I dan II (Hanson & Hanson 1996).

Metanotrof sebagai Bakteri Pengoksidasi Metan

Proses oksidasi metan diawali dari katalisasi metan menjadi metanol dengan menggunakan bantuan enzim metan monooksigenase (MMO). Enzim MMO bekerja dengan mekanisme memutus ikatan O-O. Satu atom

oksigennya akan berikatan dengan metan membentuk metanol, sedangkan atom oksigen yang lain akan direduksi menjadi H2O. Terdapat dua jenis enzim

metan monooksigenase yaitu enzim metan monooksigenase terlarut (sMMO) dan enzim metan monooksigenase terikat membran (pMMO).

Tabel 1 Karakteristik metanotrof tipe I, tipe II, dan tipe X (Hanson & Hanson 1996)

Karakteristik Tipe I Tipe II Tipe X

Morfologi sel batang pendek, tunggal batang, roset kokus, sering sepasang Pertumbuhan pada 450C Tidak tidak ya Kandungan G-C (% mol) 49-60 62-67 59-65

Fiksasi nitrogen Tidak ya ya

Lintasan RuMP Ya tidak ya

Lintasan serin Tidak ya kadang-

kadang Bentuk fase istirahat :

eksospora Tidak beberapa

galur tidak sista beberapa galur beberapa galur beberapa galur Subdivisi Proteobakteri

Hampir semua metanotrof memiliki pMMO kecuali Methylocella, sedangkan sMMO tidak ada di semua metanotrof tetapi dimiliki oleh sebagian metanotrof tipe II dan metanotrof tipe X (Mancinelli 1995). Proses oksidasi metan lebih dominan dikatalisis oleh enzim pMMO (Lieberman & Rosenzweig 2004). Untuk mengekspresikan aktivitas enzim pMMO dibutuhkan ion Cu (tembaga) dalam media tumbuhnya. Konsentrasi Cu yang dibutuhkan lebih dari 0,85 sampai 1 mol/ bobot kering sel. Enzim pMMO telah ditemukan pada semua bakteri metanotrof (Zahn & Dispirito 1996) dari sekitar 130 bakteri yang telah diisolasi (Bowman et al. 1993; Hanson & Hanson 1996).

Metanol akan dioksidasi oleh enzim metanol dehidrogenase menjadi formaldehida. Enzim formaldehida dehidrogenase mengoksidasi formaldehida menjadi format, dan kemudian dioksidasi lagi oleh format dehidrogenase menjadi CO2(Gambar 1).

Asimilasi formaldehida juga dapat digunakan untuk sintesis senyawa multikarbon. Jalur ini terdapat dua jenis yaitu jalur serin dan jalur RuMP (ribulosa monofosfat). Jalur serin digunakan oleh metanotrof tipe II. Senyawa asetil ko-A disintesis dari satu molekul formaldehida dan satu molekul CO2.

Jalur serin membutuhkan kekuatan reduksi dan energi dalam bentuk dua Gambar 1 Proses oksidasi metan oleh bakteri metanotrof (Hanson & Hanson 1996). .1996) Format dehidroge nase Formaldeh id dehidroge nase Metanol dehidroge nase S M M O p M M O

molekul NADH dan ATP untuk setiap pembentukan satu molekul asetil ko-A. Asetil ko-A digunakan untuk membentuk materi sel yang baru.

Jalur asimilasi formaldehida yang lain ialah RuMP. Jalur ini digunakan oleh bakteri metanotrof tipe I. Jalur ini lebih efisien dari jalur serin karena semua karbon yang diperoleh dari formaldehida digunakan untuk materi sel. Oksidasi formaldehida pada jalur ini tidak membutuhkan kekuatan reduksi sehingga seluruhnya digunakan sebagai bahan untuk membuat materi sel. Jalur RuMP membutuhkan satu molekul ATP untuk setiap pembentukan satu molekul gliseraldehida-3- fosfat. Dengan demikian bakteri metanotrof tipe I memiliki jumlah sel yang lebih besar dibandingkan metanotrof tipe II. Hal ini sesuai dengan rendahnya energi yang diperlukan pada jalur ini (Madiganet al. 2006).

Emisi Metan (CH4) dari Lahan Sawah

Menurut Hanson dan Hanson (1996), CH4 menjadi salah satu penyebab

pemanasan global karena kemampuannya dalam menyerap radiasi infra merah 30 kali lebih besar dibandingkan dengan karbondioksida. Gas CH4mempunyai

kapasitas pemanasan global 21 lebih besar daripada CO2 dan 206 kali lebih

besar dari N2O. Menurut Ciceron dan Oremland (1998), pembentukan CH4

terjadi melalui dua cara yaitu degradasi bahan organik secara anaerob (biogenik) dan pembebasan langsung melalui produksi dan pembakaran bahan bakar minyak atau kebocoran gas alam (nonbiogenik). Gas CH4 dihasilkan

dari proses dekomposisi bahan organik oleh bakteri metanogen pada lahan yang tergenang. Bakteri metanogen memiliki pH yang sensitif. Bakteri metanogen ini hidup pada pH 6-8 dengan pH optimumnya sekitar 7, dan suhu optimumnya dalam menghasilkan CH4ialah 25 oC (Conrad 1996). Metanogen

dapat memanfaatkan H2, CO2, asam format, asam asetat sebagai sumber

karbon dan energinya. Metanogenesis terjadi pada kondisi anaerob, tersedianya bahan organik dari akar, dan pH tanah mendekati netral (Neue & Roger 1994).

Tanaman padi juga memegang peranan penting dalam melepaskan metan (CH4) ke atmosfer dari lahan sawah. Ruang udara pada pembuluh aerenkim

utama terjadinya pertukaran gas dari dalam tanah ke udara. Perbedaan gradien konsentrasi air di sekitar akar dengan ruang antar sel pada akar menyebabkan CH4 terlarut terdifusi. Pada dinding korteks, metan terlarut berubah menjadi

gas dan disalurkan ke batang melalui pembuluh aerenkim (IRRI 1998). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Emisi Metan

Perombakan bahan organik secara anaerobik dikendalikan oleh karakteristik fisik, kimia dan mikrobiologi lingkungan tanaman padi, yang berpengaruh terhadap aktivitas bakteri penghasil metan. Faktor-faktor yang mempengaruhi emisi metan dari lahan sawah sebagai berikut:

1. Potensial redoks (Eh) tanah

Potensial redoks (Eh) tanah merupakan faktor penting dalam produksi metan. Potensial redoks (Eh) menunjukkan status reaksi oksidasi dan reduksi oksidan-oksidan tanah sebagai penyedia oksigen dalam tanah. Aktivitas bakteri metanogen dan metanotrof sangat tergantung dengan ketersediaan oksigen dalam kondisi tanah jenuh air. Produksi CH4terjadi pada kisaran nilai

Eh -150 mV (Hou et al. 2000) dan bergerak sampai di bawah -300 mV (Minamikawa et al. 2006) karena bakteri metanogen sebagai penghasil CH4

bekerja optimal pada nilai Eh kurang dari -150 mV (Setyanto 2004). 2. pH tanah

Sifat reaksi tanah yang dinyatakan dengan pH didasarkan pada jumlah ion H+atau OH

-

dalam larutan tanah. Sebagian besar bakteri metanogen bersifat neutrofilik, yaitu hidup pada kisaran pH antara 6 sampai 8 (Setyanto 2004). Pembentukan CH4maksimum terjadi pada pH 6,9 hingga 7,1 (Wang 1993).

3. Suhu tanah

Suhu tanah berkaitan erat dengan aktivitas mikrob di dalam tanah. Sebagian besar bakteri metanogen bersifat mesofilik yang beraktivitas optimal pada suhu 25 oC (Conrad 1996). Perubahan suhu akan mempengaruhi produksi CH4pada tanah sawah. Pada kondisi tersedia substrat, peningkatan suhu dari

17-30oC menyebabkan peningkatan produksi CH42,5 sampai 3,5 kali lipat.

4. Varietas padi

Tanaman padi bertindak sebagai media bagi pelepasan CH4yang dihasilkan

akar padi. Selanjutnya CH4 akan dilepaskan melalui pori-pori mikro pada

pelepah daun bagian bawah. Varietas padi mempunyai bentuk, kerapatan dan jumlah pembuluh aerenkima yang berbeda. Perbedaan ini akan mempengaruhi kemampuan tanaman padi mengemisikan CH4(Setyanto 2004).

Biomasa akar dan tanaman juga berpengaruh terhadap emisi CH4terutama

pada stadium awal. Pada fase awal pertumbuhan tanaman padi banyak eksudat akar yang dilepas ke rizosfir sebagai hasil samping metabolisme karbon oleh tanaman (Setyanto 2004). Semakin banyak eksudat akar, emisi CH4 makin

tinggi. Jumlah biomasa akar juga mempengaruhi emisi CH4, makin banyak

biomasa akar yang terbentuk maka emisi CH4 makin tinggi pula. Jumlah

anakan juga merupakan faktor penentu besarnya pelepasan CH4. Semakin

banyak anakan maka kerapatan dan jumlah pembuluh aerinkima meningkat (Wihardjaka 2001).

5. Bahan organik tanah

Bahan organik tanah memberikan sumbangan terhadap kesuburan pertumbuhan tanaman baik secara fisik, kimia dan biologi. Bahan organik merupakan penyedia unsur-unsur N, P, dan S untuk tanaman. Ketersediaan substrat organik mempengaruhi aktivitas mikroorganisme dalam tanah karena bertindak sebagai sumber energi dan secara fisik berperan dalam memperbaiki struktur tanah. Sumber bahan organik yang ditambahkan sangat menentukan pembentukan CH4 di lahan sawah. Penelitian Wihardjaka (2001) dengan

menggunakan beberapa jenis bahan organik pada tanah sawah memberikan hasil bahwa emisi CH4 terbesar didapat dari penambahan pupuk kandang,

diikuti berturut-turut jerami segar, kompos, dan tanpa bahan organik. Berkaitan dengan bahan organik tanah potensial redoks (Eh) tanah akan rendah jika tersedia karbon organik tanah dalam jumlah yang cukup dan memungkinkan terbentuknya CH4(Houet al.2000).

BAHAN DAN METODE Bahan Penelitian

Isolat yang digunakan dalam penelitian ini ialah koleksi bakteri metanotrof Laboratorium Mikrobiologi Departemen Biologi FMIPA IPB, yang diisolasi dari sawah di Bogor dan Sukabumi Jawa Barat, yang diberi kode nama BGM 1, 3, 9 dan SKM 14 (Hapsary 2008). Media selektif yang digunakan ialah

nitrate mineral salts (NMS) dengan komposisi media sebagai berikut: MgSO4 .

7H2O 1,0 g, KNO3atau (NaNO3): 1,0 g, Na2HP04.12H2O 0,717 g, KH2P04

0,272 g, CaCl2 . 6H2O 0,2 g, NH4Cl 4,0 mg, trace element solution (bentuk

larutan) 0,5 ml.

Komposisi trace element solution per 1 liter aquades ialah: Na2EDTA 0,5

g, FeSO4. 7H2O 0,2 g, H3BO3 0,03 g, CoCl2. 6H2O 0,02 g, ZnSO4. 7H2O

0,01 g, MnCl2 .4H2O 3,0 mg, Na2MoO4 .2H2O 3,0 mg, NiCl2. 6H2O 2,0 mg,

CaCl2.2H2O 1,0 mg.

Peremajaan Isolat

Isolat bakteri ditumbuhkan pada medium agar NMS (Hanson & Hanson 1996) dengan teknik gores kuadran dan diinkubasi selama 7 hari pada suhu kamar (28-30 oC). Koloni-koloni yang terpisah kemudian digores kuadran kembali sampai diperoleh koloni murni. Isolat murni yang diperoleh disimpan pada medium agar-agar miring yang diberi 1% metanol sebagai biakan stok. Penentuan Konsentrasi Optimum Sumber Karbon

Sumber karbon yang digunakan ialah metanol dan molase. Masing-masing isolat ditumbuhkan pada media NMS dengan ditambahkan : 1) metanol dengan konsentrasi 2%, 5%, 10% dan 15%, 2) molase dengan selang konsentrasi 1%, 2%, 3%, 4%, dan 5%. Kemudian diinkubasi selama 13 hari pada suhu ruang. Pertumbuhan bakteri pada penambahan metanol diukur dengan optical density (OD) menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 620 nm, mulai dari 1, 3, 5, 7, 9, 11 dan 13 hari masa inkubasi. Sedangkan pada perlakuan dengan menggunakan molase, dilakukan metode cawan sebar untuk mengukur pertumbuhan bakteri.

Penentuan Konsentrasi Optimum Sumber Nitrogen

Bakteri ditumbuhkan pada media NMS dengan penambahan sumber nitrogen (NaNO3) dengan beberapa konsentrasi (0,5 g/L ; 1 g/L; 1,5 g/L; 2

g/L). Kemudian diinkubasi selama 10 hari pada suhu ruang. Pertumbuhan bakteri diukur dengan optical density (OD) menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm, mulai dari 0, 2, 4, 6, 8, dan 10 hari masa inkubasi. Selanjutnya dilakukan pengukuran oksidasi metan.

Pengukuran Laju Spesifik Pertumbuhan Bakteri

Laju pertumbuhan spesifik bakteri (µ) diukur dari fase logaritmik bakteri terhadap waktu inkubasinya. Kemudian dibuat grafik antara ln OD sel bakteri sebagai sumbu y, dan waktu inkubasi sebagai sumbu x. Kemiringan (slope) yang dihasilkan dari persamaan regresi garis tersebut merupakan laju pertumbuhan spesifik bakteri.

Pengukuran Akumulasi Amonium

Sebanyak 1 ml sampel kultur diencerkan dengan 4 ml aquabides dalam botol serum bertutup karet dengan ditambah 0,2 ml fenol-alkohol 10 % kemudian dikocok dengan alat vorteks sampai homogen. Na-nitroprusid 0,5 % sebanyak 0,2 ml ditambahkan, kemudian dikocok dengan vorteks. Sebanyak 0,5 ml campuran dari Na-sitrat dan Na hipoklorit ditambahkan dengan perbandingan 1:4. Setelah itu campuran didiamkan selama satu jam hingga campuran berubah warna menjadi biru. Selanjutnya pengukuran kadar amoniumnya dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 640 nm dan sebagai blanko ialah aquabides.

Uji Aktivitas Oksidasi Metan

Setelah dilakukan pengukuran amonium terakumulasi, dilakukan pengukuran kemampuan oksidasi metan dari isolat tersebut. Pengukuran oksidasi metan dilakukan menggunakan alat kromatografi gas (Kumaraswary

et al. 2001). Sebanyak tiga lup isolat diambil dari media padat produksi yang terbaik, kemudian dimasukkan ke dalam tabung mikro yang berisi garam fisiologis steril 1,5 ml dan dikocok dengan mesin vorteks hingga homogen. Setelah itu disentrifugasi pada 4000 g selama 10 menit. Supernatan dibuang kemudian ditambahkan garam fisiologis 1500 µl, dikocok dengan mesin

vorteks, dan diinokulasikan ke dalam 50 ml medium NMS cair bebas bebas N dan metanol dalam botol serum steril yang ditutup dengan sumbat karet. Komposisi udara saturasi 50% gas metan dibuat dengan mengeluarkan gas 37,5 ml dari media, dan dimasukkan gas metan sebanyak 37,5 ml. Inkubasi dilakukan selama 12 hari pada kondisi gelap. Pada akhir inkubasi dilakukan pengukuran OD sel dan oksidasi metan.

Kombinasi Sumber Karbon dan Nitrogen Terbaik

Setelah diperoleh konsentrasi optimum pada perlakuan sumber karbon dan nitrogen, dilakukan perlakuan kombinasi antara kedua perlakuan yang terbaik. Pertumbuhan bakteri dan akumulasi amonium diukur setiap 2 hari sekali selama 13 hari inkubasi. Pada akhir inkubasi dilakukan pengukuran aktivitas oksidasi CH4.

Uji Oksidasi Metan Menggunakan Tanah Sawah

Sampel air sawah dan lumpurnya diambil dari tiga titik dan ditempatkan ke dalam erlenmeyer 1000 ml. Kemudian diinkubasi dalam inkubasi bergoyang selama 24 jam. Setelah itu dibagi ke dalam botol-botol serum berukuran 125 ml sebanyak 50 ml, lalu sebanyak 25 ml media yang berisi kultur isolat dicampurkan. Botol ditutup rapat dan diinkubasi dalam inkubasi bergoyang. Setiap 4 hari sekali diambil sampel gasnya untuk dilakukan pengukuran konsentrasi gas metan selama 12 hari inkubasi.

HASIL

Pertumbuhan Bakteri Metanotrof pada Media Produksi

Pengukuran suspensi sel bakteri metanotrof (OD) menunjukkan pertumbuhan yang berbeda-beda setiap isolatnya. Penambahan metanol sebagai sumber karbon menunjukkan isolat bakteri metanotrof mampu tumbuh dengan menggunakan sumber karbon berupa metanol, meskipun pada konsentrasi metanol 10% dan 15% menunjukkan pertumbuhan yang kecil (Gambar 2).

Pertumbuhan keempat isolat bakteri metanotrof pada media NMS menunjukkan pertumbuhan sel yang terbaik pada konsentrasi metanol 2% jika dibandingkan dengan konsentrasi metanol yang lain. Isolat BGM 1, BGM 3, BGM 9 memiliki kerapatan sel yang tertinggi pada konsentrasi metanol 2%. SKM 14 memiliki kerapatan sel paling tinggi pada konsentrasi metanol 5% (Gambar 2). Isolat BGM 1, BGM 3, BGM 9, dan SKM 14 menunjukkan kerapatan sel yang tinggi selama 14 hari inkubasi (Gambar 2). BGM 9 memiliki pertumbuhan tertinggi diantara isolat yang lain pada konsentrasi metanol 2%.

Perlakuan penambahan konsentrasi nitrat menunjukkan pertumbuhan bakteri metanotrof yang cukup bervariasi. Isolat BGM 1, BGM 3, dan SKM

Gambar 2 Pertumbuhan sel kultur selama 14 hari pada media NMS cair dengan empat perlakuan konsentrasi metanol.

Gambar 1 Pertumbuhan sel kultur selama 14 hari pada media NMS cair dengan 4 perlakuan konsentrasi metanol (%).

Gambar 1 Pertumbuhan sel kultur selama 14 hari pada media NMS cair dengan 4 perlakuan konsentrasi metanol (%).

Gambar 1 Pertumbuhan sel kultur selama 14 hari pada media NMS cair dengan 4 perlakuan konsentrasi metanol (%).

0.00 0.02 0.04 0.06 0.08 0.10 0.12 0.14 0.16 0.18 2 5 10 15 O D s e l (6 2 0 n m )

Konsentra si meta nol (%)

BGM 1 BGM 3 BGM 9 SKM 14

14 memiliki nilai OD sel yang tinggi pada perlakuan 1,5 g/L nitrat sebesar 0,38, 0,14, dan 0,15. Sedangkan BGM 9 pada perlakuan 0,5 g/L nitrat memiliki kerapatan sel yang tinggi sebesar 0,13 (Gambar 3).

Laju Pertumbuhan Spesifik Isolat Bakteri Metanotrof

Laju pertumbuhan pada perlakuan konsentrasi metanol dan nitrat yang berbeda menghasilkan laju yang fluktuatif. Isolat BGM 1 menunjukkan laju yang relatif meningkat seiring peningkatan konsentrasi substrat, tetapi turun pada konsentrasi substrat 15% (Tabel 2). Berbeda dengan isolat-isolat yang lain menunjukkan pola yang fluktuatif. Demikian pula dengan perlakuan konsentrasi nitrat, laju pertumbuhan isolat BGM 1 meningkat kemudian turun pada konsentrasi 1,5 g/L, kemudian naik kembali pada konsentrasi 2 g/L (Tabel 3). Isolat BGM 3, BGM 9, dan SKM 14 menunjukkan pola yang fluktuatif pada perlakuan konsentrasi nitrat berbeda (Tabel 3).

Gambar 3 Pertumbuhan sel kultur selama 14 hari pada media NMS cair dengan empat perlakuan konsentrasi nitrat.

Gambar 1 Pertumbuhan sel kultur selama 14 hari pada media NMS cair dengan 4 perlakuan konsentrasi metanol (%).

Gambar 1 Pertumbuhan sel kultur selama 14 hari pada media NMS cair dengan 4 perlakuan konsentrasi metanol (%).

Gambar 1 Pertumbuhan sel kultur selama 14 hari pada media NMS cair dengan 4 perlakuan konsentrasi metanol (%).

0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 0.5 1 1.5 2 O D s e l (6 2 0 n m ) Konsentra si nitra t (g/L) BGM 1 BGM 3 BGM 9 SKM 14

Tabel 2 Laju pertumbuhan spesifik isolat metanotrof pada media NMS dengan konsentrasi substrat metanol berbeda pada suhu ruang (± 280C)

BGM 1 BGM 3 BGM 9 SKM 14

2 0,12 0,31 0,376 0,23

5 0,23 0,26 0,212 0,83

10 0,75 0,75 0,313 0,09

15 0,14 0,36 0,447 0,51

Pertumbuhan Bakteri Metanotrof Hasil Produksi pada Media dengan Sumber Karbon Metan

Kerapatan sel inokulan isolat bakteri metanotrof yang berasal dari kultur metanol cenderung bervariasi selama diinkubasi dengan metan sebagai sumber karbon. Isolat BGM 1 memiliki kerapatan sel tertinggi pada inokulan C dan D yang berasal dari kultur metanol 10% dan 15%. Isolat BGM 3, BGM 9, dan SKM 14 memiliki kerapatan sel yang tinggi pada inokulan B (dari kultur metanol 5%) , inokulan C (dari kultur metanol 15%), dan inokulan A (dari kultur metanol 2%) (Gambar 4). Pertumbuhan keempat isolat bakteri metanotrof cenderung stabil pada inokulan A, yang berasal dari kultur metanol 2% (Gambar 4).

Tabel 3 Laju pertumbuhan spesifik isolat metanotrof pada media NMS dengan metanol 1% pada konsentrasi nitrat berbeda pada suhu ruang (± 280C)

BGM 1 BGM 3 BGM 9 SKM 14

0,5 0,25 1,05 0,08 0,86

1,0 0,29 0,24 1,39 0,58

1.5 0,17 0,69 0,06 1,18

2,0 0,41 0,53 1,01 0,33

Konsentrasi Nitrat (g/L) Laju pertumbuhan spesifik µ (per hari)

Gambar 4 Pertumbuhan isolat bakteri metanotrof yang berasal dari inokulan kultur konsentrasi metanol berbeda selama 12 hari inkubasi dengan sumber karbon metan. A: inokulan yang diproduksi dengan metanol 2%, B: inokulan yang diproduksi dengan metanol 5%, C: inokulan yang diproduksi dengan metanol 10%, D: inokulan yang diproduksi dengan metanol 15%. 0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 A B C D O D se l (6 2 0 n m ) Inokulan BGM 1 BGM 3 BGM 9 SKM 14

Perlakuan inokulan yang berasal dari kultur penambahan nitrat pada konsentrasi berbeda menunjukkan kerapatan sel yang cenderung tinggi pada inokulan B (dari kultur nitrat 1g/L) selama 14 hari inkubasi dengan sumber karbon berupa metan (Gambar 5). Keempat isolat tersebut masing-masing memiliki kerapatan sel 0,03 dan 0,03 untuk BGM 1 dan BGM 3, sedangkan BGM 9 dan SKM 14 adalah 0,02 dan 0,03 pada inokulan B. Sedangkan pada perlakuan inokulan yang lain juga memiliki pertumbuhan yang baik tetapi tidak sebaik jika dibandingkan dengan perlakuan inokulan B.

Aktivitas Oksidasi Metan Isolat Bakteri Metanotrof Hasil Produksi dengan Media Terpilih

Pengaruh modifikasi metanol dan nitrat memiliki aktivitas oksidasi metan yang berbeda-beda tiap perlakuannya. Penambahan konsentrasi metanol menunjukkan peningkatan aktivitas oksidasi metan seiring dengan peningkatan konsentrasi metanol (Gambar 6). Konsentrasi metanol 10% dan 15% cenderung memiliki aktivitas oksidasi metan yang hampir sama, tetapi pada isolat BGM 9 menunjukkan aktivitas yang tinggi pada konsentrasi metanol 10% yaitu sebesar 0,02 mol/ml kultur/hari (Gambar 6).

Hasil uji aktivitas oksidasi metan pada isolat yang diberikan perlakuan konsentrasi nitrat menunjukkan kemampuan isolat dalam mengkonsumsi metan cukup tinggi. Perlakuan dengan nitrat 1 g/L dan 1,5 g/L memiliki Gambar 5 Pertumbuhan isolat bakteri metanotrof yang berasal dari inokulan

kultur konsentrasi nitrat berbeda selama 12 hari inkubasi dengan sumber karbon metan. A: inokulan yang diproduksi dengan nitrat 0,5 g/L, B: inokulan yang diproduksi dengan nitrat 1 g/L, C: inokulan yang diproduksi dengan nitrat 1,5 g/L, D: inokulan yang diproduksi dengan nitrat 2 g/L. 0.00 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 A B C D O D se l (6 2 0 n m ) Inokulan BGM 1 BGM 3 BGM 9 SKM 14

aktivitas yang baik dalam mengoksidasi metan jika dibandingkan dengan isolat lainnya. Isolat BGM 1 dan SKM 14 mengoksidasi metan paling tinggi pada perlakuan nitrat 1,5 g/L dan 1 g/L, yaitu sebesar 0,02 mol/ml kultur/hari dan 0,01 mol/ml kultur/hari (Gambar 7). Berdasarkan hasil uji pertumbuhan dan aktivitas oksidasi metan pada perlakuan konsentrasi metanol dan nitrat yang berbeda maka dipilih konsentrasi metanol 2% dan nitrat 1 g/L untuk diuji lebih lanjut, karena melihat pertumbuhannya dan keefisienan bahan yang digunakan.

Gambar 7 Aktivitas oksidasi metan pada konsentrasi nitrat yang berbeda. A: inokulan yang diproduksi dengan nitrat 0,5 g/L, B: inokulan yang diproduksi dengan nitrat 1 g/L, C: inokulan yang diproduksi dengan nitrat 1,5 g/L, D: inokulan yang diproduksi dengan nitrat 2 g/L.

0.00 0.01 0.01 0.02 0.02 0.03 A B C D L a j u o k s id a s i m e t a n (m o l /m l k u l tu r /h a r i) Inokula n BGM 1 BGM 3 BGM 9 SKM 14

Gambar 6 Aktivitas oksidasi metan pada konsentrasi metanol yang berbeda. A: inokulan yang diproduksi dengan metanol 2%, B: inokulan yang diproduksi dengan metanol 5%, C: inokulan yang diproduksi dengan metanol 10%, D: inokulan yang diproduksi dengan metanol 15%.

0.00 0.01 0.01 0.02 0.02 A B C D L a j u o k s id a s i m e t a n (m o l /m l k u l tu r /h a r i) Inokulan BGM 1 BGM 3 BGM 9 SKM 14

Aktivitas Oksidasi Metan Sumber Karbon dan Nitrogen Terpilih

Kombinasi antara sumber karbon berupa metanol 2% dan sumber nitrogen berupa nitrat 1 g/L menghasilkan pertumbuhan sel isolat metanotrof yang memiliki densitas kerapatan sel yang berbeda tiap isolatnya (Gambar 8). Pertumbuhan sel isolat BGM 1, BGM 9, dan SKM 14 pada hari kesembilan inkubasi menunjukkan pertumbuhan sel maksimum, dengan nilai OD berturut- turut 0,13; 0,05; dan 0,03. Sedangkan pada isolat BGM 3 masih menunjukkan pertumbuhan yang terus meningkat hingga akhir inkubasi dengan OD sebesar 0,10 (Gambar 8).

Akumulasi amonium mulai terjadi peningkatan pada hari ke-3 inkubasi kemudian menurun pada hari ke-5 inkubasi (Gambar 9). Pada hari ke-3 inkubasi, BGM 1 memiliki akumulasi amonium sebesar 6,50 µM, BGM 3 sebesar 0,67 µM, dan BGM 9 sebesar 18,0 µM, sedangkan pada SKM 14 belum menunjukkan akumulasi amonium (Gambar 9).

Gambar 9 Akumulasi amonium isolat bakteri metanotrof selama 13 hari inkubasi pada media NMS cair dengan penambahan metanol 2% dan nitrat 1g/L.

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 1 3 5 7 9 11 13 [A m o n iu m (µ M )

Inkuba si (ha ri)

BGM 1 BGM 3 BGM 9 SKM 14

Gambar 8 Pertumbuhan sel isolat bakteri metanotrof selama 13 hari inkubasi pada media NMS cair dengan penambahan metanol 2% dan nitrat 1 g/L.

0.00 0.02 0.04 0.06 0.08 0.10 0.12 0.14 1 3 5 7 9 11 13 O D S e l ( 6 2 0 n m )

Inkuba si (ha ri)

BGM 1 BGM 3 BGM 9 SKM 14

Pada hari ke-9 inkubasi, isolat BGM 3 dan SKM 14 mulai terjadi kenaikan akumulasi amonium sebesar 22,33 µM dan 5,33 µM. Sedangkan pada isolat BGM 1 dan BGM 9, kenaikan akumulasi amonium terjadi pada inkubasi hari ke-11 yaitu sebesar 28,17 µM dan 47,67 µM (Gambar 9).

Aktivitas oksidasi metan pada isolat bakteri metanotrof menunjukkan kemampuan isolat dalam mengkonsumsi metan lebih tinggi jika dibandingkan dengan tanpa perlakuan kombinasi. Isolat BGM 3 memiliki aktivitas oksidasi metan tertinggi yaitu sebesar 0,04 mol/ml kultur/hari, sedangkan BGM 1 memiliki aktivitas terendah yaitu sebesar 0,01 mol/ml kultur/hari. BGM 9 dan

Dokumen terkait