• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1. Tebu (Saccharum afficinarum)

Tebu merupakan tanaman perkebunan semusim, yang mempunyai sifat tersendiri, sebab di dalam batangnya terdapat zat gula. Tebu termasuk keluarga rumput-rumputan (famili graminae). Akar tebu adalah akar serabut dan tanaman ini termasuk dalam kelas monocotyledone. Tanaman tebu mempunyai batang yang tinggi kurus, tidak bercabang dan tumbuh tegak. Tanaman yang tumbuh baik tinggi batangnya dapat mencapai 3-5 meter atau lebih. Pada batangnya terdapat lapisan lilin yang berwarna putih keabua-abuan. Batangnya beruas-ruas dengan panjang ruas 10- 30 cm. Daun berpangkal pada buku batang dengan kedudukan yang berseling. Tebu dapat hidup dengan baik pada ketinggian tempat 5-500 meter diatas permukaan laut (mdpl), pada daerah beriklim panas dan lembab dengan kelembaban >70 persen, hujan yang merata setelah tanaman berumur 8 bulan dan suhu udara berkisar antara 28-340C (Sudiatso 1982).

Pada saat ini, luas areal tanaman tebu Indonesia mencapai 344 ribu hektar dengan kotribusi utama adalah Jawa Timur (43,29 persen), Lampung (25,71 persen), Jawa Tengah (10,07 persen) dan Jawa Barat (5,87 persen). Pada lima tahun terakhir areal tebu Indonesia secara stagnasi pada kisaran sekitar 340 ribu hektar (Tabel 2.1). Jika dilihat pada sepuluh tahun terakhir, luas areal tebu Indonesia secara umum mengalami penurunan sekitar 2 persen per tahun dengan luas area dengan luas area tertinggi dicapai pada tahun 1996 dengan luasan 446 ha, walaupun pada tahun 2004 mulai menunjukkan peningkatan. (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2005).

Perkembangan produksi pada sepuluh tahun terakhir juga mengalami penurunan dengan laju penurunan sekitar 1,8 persen per tahun. Namun demikian semenjak tahun 2004, produksi gula mulai menunjukkan peningkatan. Pada tahun 1994, produksi gula nasional mencapai 2.435 juta ton, sedangkan pada tahun 2004 hanya 2.051 juta ton. Pada dekade terakhir, produksi terendah terjadi pada tahun 1998 dengan volume produksi 1.494 juta ton. Berbagai kebijakan pemerintah seperti

kebijakan tataniaga impor dan program akselerasi peningkatan produktivitas berdampak positif guna meningkatkan kembali produksi gula nasional.

Disamping penurunan areal, penurunan produktivitas merupakan faktor utama yang menyebabkan terjadinya penurunan produksi. Jika pada tahun 1990an produktivitas tebu/ha rata-rata mencapai 76,9 ton/ha, maka pada tahun 2000an hanya mencapai sekitar 62,7 ton/ha. Rendemen sebagai salah satu indikator produktivitas juga mengalami penurunan dengan laju sekitar -1,3 persen per tahun pada dekade terakhir. Pada tahun 1998, rendemen mencapai titik terendah (5,49 persen). Selanjutnya, rendemen mulai meningkat dan pada tahun 2004 rendemen mencapai 7,67 persen.

2.2. Industri Berbasis Tebu

Tebu merupakan salah satu jenis tanaman yang hanya dapat ditanam di daerah yang memiliki iklim tropis. Dari seluruh perkebunan tebu yang ada di Indonesia, 50 persen di antaranya adalah perkebunan rakyat, 30 persen perkebunan swasta, dan hanya 20 persen perkebunan negara (http://www.chem-is-try.org). Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Dengan luas areal sekitar 350 ribu ha pada periode 2000-2005, industri gula berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu petani dengan jumlah tenaga kerja yang terlibat mencapai sekitar 1,3 juta orang. Tabel 2.1 berikut memperlihatkan beberapa indikator kinerja industri gula nasional (http://www.litbang.deptan.go.id).

Gula juga merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat dan sumber kalori yang relatif murah. Karena merupakan kebutuhan pokok, maka dinamika harga gula akan mempunyai pengaruh langsung terhadap laju inflasi. Walaupun pada dua tahun terakhir kinerja industri gula nasional menunjukkan peningkatan, pada dekade terakhir secara umum kinerjanya mengalami penurunan, baik dari sisi areal, produksi maupun tingkat efisiensi. Sejalan dengan revitalisasi sektor pertanian, industri gula nasional atau industri gula berbasis tebu secara umum harus melakukan revitalisasi. Untuk mewujudkan hal tersebut, peningkatan investasi merupakan suatu syarat keharusan. Investasi di industri gula berbasis tebu cukup prospektif. Dari sisi pasar, permintaan gula dari dalam negeri masih terbuka sekitar 1,4 juta ton per tahun.

Tabel 2.1. Perkembangan kinerja industri gula nasional

Tahun Luas Areal (ha) Produksi (ton hablur) Rendemen (persen) Konsumsi (ton hablur) Impor (ton hablur) 1994 428.726 2.448.831 8,02 2.851.770 402.937 1995 420.630 2.059.471 6,97 2.888.843 792.372 1996 403.266 2.094.195 7,32 2.926.398 832.203 1997 385.669 2.189.974 7,83 2.964.441 774.468 1998 378.293 1.491.553 5,49 3.002.979 1.511.426 1999 340.800 1.488.599 6,96 3.042.018 1.533.419 2000 340.660 1.690.667 7,04 3.087.618 1.396.951 2001 344.441 1.725.467 6,85 3.133.932 1.408.465 2002 350.723 1.755.343 6,88 3.180.941 1.425.507 2003 335.752 1.631.919 7,21 3.228.655 1.596.736 2004 344.793 2.051.644 7,67 3.281.928 1.230.284 2005 367.875 2.219.778 7,84 3.324.662 1.104.884 2006 377.930 2.441.758 7,48 3.372.790 931.032 (Sumber : http://www.litbang.deptan.go.id)

Pemerintah dengan berbagai kebijakan promotif dan protektifnya telah menciptakan iklim investasi yang kondusif untuk pengembangan industri gula berbasis tebu. Pasar internasional yang dalam tiga tahun terakhir mengalami defisit sebagai akibat tekanan yang dihadapi oleh produsen utama gula dunia juga mengindikasikan investasi pada bidang ini cukup prospektif. Di gula, beberapa produk derivat tebu (PDT) seperti etanol, ragi roti, inactive yeast, wafer pucuk tebu, papan partikel, papan serat, pulp, kertas, Ca-sitrat dan listrik mempunyai peluang pasar yang cukup terbuka, baik di pasar domestik maupun internasional. Guna mewujudkan sasaran pembangunan industri gula berbasis tebu, maka diperlukan investasi baik pada usahatani, pabrik gula dan produk derivatnya, serta investasi pemerintah (http://www.litbang.deptan.go.id).

Solomon dan Singh dalam Prihandana (2005) menyatakan bahwa ada 64 bagian yang dapat dimanfaatkan dari batang tebu. Namun, hampir tidak ada pabrik gula di Indonesia yang memanfaatkan seluruh hasil tebu tersebut secara optimal. Di Indonesia hanya 13 bagian tebu yang bisa diolah di pabrik gula. Tetes tebu yang diperoleh dari tahap pemisahan kristal gula dan masih mengandung gula 50-60 persen, asam amino, serta mineral, baru bisa dibuat sebagai etanol dan bumbu masak MSG. Pucuk daun tebu juga sebatas dimanfaatkan sebagai makanan ternak. Blotong yang merupakan hasil sampingan proses penjernihan ternyata baru dibuat sebagai

pupuk. Padahal, bahan organik ini bisa dipakai untuk campuran bahan baku semen dan mansory cement. Blotong juga dapat digunakan sebagai bahan baku cat.

Pengembangan diversifikasi mulai dari produk hulu, hilir hingga produk samping akan menghasilkan pendapatan dari tiap-tiap produk tersebut. Jika pendapatan itu sudah terkumpul di pabrik gula, yang terjadi adalah transfer cost dan

transfer price, yang pada akhirnya hal tersebut dapat menurunkan biaya produksi.

Upaya inovasi transfer pricing merupakan langkah peralihan paradigma, dari pabrik gula menjadi industri berbasis tebu (Prihandana 2005).

2.3. Diversifikasi Industri Tebu

Tebu merupakan sumberdaya biologis yang bernilai tinggi dan bahan baku utama bagi industri gula di Indonesia, industri ini menempati posisi penting dalam perekonomian Indonesia. Sejak jaman penjajahan, sumbangan devisa dari industri gula relatif lebih tinggi dibandingkan industri lainnya. Pada akhir tahun 1960-an, indutri gula mengalami penurunan produktivitas dari tahun ke tahun karena inefisiensi dalam melakukan pengolahan tebu menjadi gula. Kemudian pada tahun 1967, Indonesia yang sebelumnya dikenal sebagai negara pengekspor gula berubah menjadi negara pengimpor gula (Mubyarto 1968).

Selama ini tanaman tebu lebih difokuskan untuk diproses menjadi produk Gula Tebu dengan skala besar dibuat pabrik-pabrik gula sebagai tempat produksi gula tebu. Kemudian disadari bahwa tanaman tebu memiliki banyak manfaat untuk memenuhi kebutuhan banyak hal dari mulai bahan makanan hingga pakan ternak. Dengan memanfaatkan tanaman tebu untuk diolah selain menjadi gula maka produktivitas perusahaan dalam pengolahan tebu akan meningkat, secara tidak langsung hal ini akan meningkatkan produktivitas perusahaan secara umum dan akan meningkatkan keuntungan perusahaan.

Proses produksi gula di pabrik menghasilkan ampas tebu sebesar 90 persen dari setiap tebu yang diproses, gula yang termanfaatkan hanya 5 persen, sisanya berupa tetes tebu (molase) dan air. Selama ini pemanfaatan ampas tebu (sugar cane bagasse) yang dihasilkan masih terbatas untuk makanan ternak, bahan baku pembuatan pupuk,

pulp, particle board dan untuk bahan bakar boiler di pabrik gula. Di samping

adanya pengembangan proses teknologi sehingga terjadi diversifikasi pemanfaatan limbah pertanian yang ada (http://www.chem-is-try.org).

Batang tanaman tebu merupakan sumber gula. Namun demikian rendeman/ persentase gula yang dihasilkan hanya berkisar 10-15 persen. Sisa pengolahan batang tebu adalah:

o Tetes tebu (molase) yang diperoleh dari tahap pemisahan kristal gula dan

masih mengandung gula 50-60 persen, asam amino dan mineral. Tetes tebu adalah bahan baku bumbu masak MSG, gula cair dan arak.

o Pucuk daun tebu yang diperoleh pada tahap penebangan digunakan untuk

pakan ternak dalam bentuk silase, pelet dan wafer.

o Ampas tebu yang merupakan hasil samping dari proses ekstraksi cairan

tebu. Dimanfaatkan sebagai bahan bakar pabrik, bahan industri kertas,

particle board dan media untuk budidaya jamur atau dikomposkan untuk

pupuk.

o Blotong yang merupakan hasil samping proses penjernihan. Bahan organik

ini dipakai sebagai pupuk tanaman tebu.

Sisa pengolahan tebu ini dapat digunakan untuk berbagai macam keperluan, hal ini dapat dilihat lebih lengkap pada pohon industri pada Gambar 2.1.

Berdasarkan data perindustrian dan pengamatan yang dilakukan tahun 2000, nilai Produk Derivat Tebu (PDT) yang dikembangkan industri gula hanya sekitar 3,4 persen saja dari total nilai PDT di Indonesia. Walaupun saat ini sudah ada perkembangan di Industri gula namun penambahan yang terjadi belum signifikan. Pengembangan PDT yang sinergik telah terbukti mampu memberikan dukungan finansial yang cukup berarti. Profit yang diperoleh dari PDT bisa mencapai 65 persen dari total profit perusahaan (Rao 1997). Ini berarti nilai perolehan produk dari tebu bisa lebih dari 2 kali dari nilai perolehan dari produk gula saja.

2.4. Metode Bayes

Metode Bayes merupakan salah satu teknik yang dapat dipergunakan untuk melakukan analisis dalam pengambilan keputusan terbaik dari sejumlah alternatif dengan tujuan menghasilkan perolehan yang optimal. Untuk menghasilkan keputusan yang optimal perlu dipertimbangkan berbagai kriteria. Pembuatan keputusan dengan metode Bayes dilakukan melalui upaya pengkuantifikasian kemungkinan terjadinya suatu kejadian dan dinyatakan dengan suatu bilangan antara 0 dan 1. Namun sering kali hal ini dianggap sebagai probabilitas pribadi atau subyektif dimana bobot Bayes didasarkan pada tingkat kepercayaan, keyakinan, pengalaman serta latar belakang pengambil keputusan (Marimin 2004).

Persamaan Bayes yang digunakan untuk menghitung nilai setiap alternatif sering disederhanakan menjadi:

m

Total Nilai i = ∑ Nilai ij (Kritj) j = 1

dimana:

Total Nilai i = total nilai akhir dari alternatif ke-i Nilai ij = nilai dari alternatif ke-i pada kriteria ke-j Krit j = tingkat kepentingan (bobot) kriteria ke-j i = 1,2,3,…n; n = jumlah alternatif

j = 1,2,3,…m; m = jumlah kriteria

Nilai peluang didapatkan dari suatu informasi awal yang dapat bersifat subyektif maupun obyektif. Nilai peluang ini dapat diperbaiki dengan adanya

informasi tambahan yang didapat dari sejumlah percobaan. Informasi awal tentang nilai peluang ini disebut distribusi prior, sedangkan nilai peluang yang sedang diperbaiki dengan informasi tambahan disebut peluang posterior (Marimin 2004).

2.4.1. Kriteria Bayes

Pengambilan keputusan merupakan suatu pemilihan aksi a dari sekelompok aksi yang mungkin (A). Pemilihan aksi harus dengan mengetahui akibat dari aksi terpilih, yang biasanya merupakan fungsi dari status situasi (state of nature). Suatu status situasi θ menggambarkan situasi atau keadaan nyata yang sebenarnya dimana aksi akan diaplikasikan.

Nilai kinerja dari setiap aksi a dan status situasi θ digambarkan dengan menggunakan pay off matrix, yang berbentuk seperti Tabel 2.2.

Tabel 2.2. Pay off matrix

θ a θ1 θ2 . . . θn a1 x x . . . a2 x x . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . am . . . . .

θ adalah status situasi yang dapat berupa kondisi, kriteria seleksi atau persyaratan pemilihan, a dapat berupa aksi, strategi atau pilihan, sedangkan x adalah nilai penampakan dari setiap aksi dan status situasi. Apabila satuan (unit) dari setiap x sama, maka dengan matriks ini dapat langsung dilakukan perhitungan untuk pemilihan aksi. Tetapi apabila satuan dari x tidak sama, matriks ini harus diubah dulu ke dalam bentuk CPI (Comparative Performance Index), caranya adalah dengan menentukan nilai minimum pada setiap lajur (setiap status situasi), dan menetapkan nilai minimum tersebut sama dengan seratus. Kemudian nilai lain dalam lajur yang sama dibandingkan dengan nilai minimum tersebut. Akibat dari aksi yang dipilih dapat diukur dengan mengasumsikan adanya suatu fungsi kerugian (loss function)

dengan simbol l(a,θ) yang merefleksikan kerugian yang diderita apabila memilih aksi a pada status situasi θ, serta didefinisikan untuk setiap kombinasi a dan θ.

Pengambilan keputusan yang dilakukan tanpa adanya percobaan dibantu dengan penggunaan nilai peluang prior dengan suatu prosedur yang disebut kriteria Bayes. Pada prosedur ini si pembuat keputusan akan memilih aksi yang meminimumkan dugaan kerugian (expected loss) yang dievaluasi menurut nilai peluang prior. Perhitungan dugaan kerugian l(a) untuk diskrit adalah:

semua k

l (a) = E [l,(a, θ)] = ∑ l (a,k)Pθ (k)

Perhitungan dengan kerugian untuk θ yang kontinyu adalah:

l (a) = E [l,(a,(a θ)] = ∫l (a,y) Pθ (y)dy

2.4.2. Prosedur Bayes

Data yang didapatkan dari hasil percobaan dapat digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Distribusi peluang posterior dari θ adalah suatu distribusi peluang bersyarat dari θ dengan diberikan X = x. Keputusan dicari dengan menghitung terlebih dahulu distribusi peluang posterior dari θ untuk setiap X = x, setelah itu dipilih aksi yang meminimumkan dugaan kerugian ln(a) yang serupa dengan pernyataan resiko, termasuk biaya percobaan. Untuk θ yang diskrit perhitungan dugaan kerugian adalah:

k

ln(a) = E [(l(a,0)] = ∑l(a,k) hθ⎮X=x (k)

hθ⎮X=x (k) adalah distribusi peluang posterior diskrit.

Untuk θ yang kontinyu, distribusi peluang posterior dinyatakan dalam hθ⎮X=x (y), dengan perhitungan dugaan kerugian adalah:

2.5. Sistem Fuzzy

2.5.1.Perkembangan Sistem Fuzzy

Gugus fuzzy pertama kali diperkenalkan oleh Prof. L. A. Zadeh dari Barkeley pada tahun 1965. Pada 10 tahun pertama, kemunculan gugus fuzzy tidak terlalu diperhatikan, namun baru-baru ini telah terjadi perkembangan yang cukup pesat dalam hal jumlah peneliti dan paper-paper mengenai gugus fuzzy dan aplikasinya, sehingga dibentuk organisasi International Fuzzy Systems Association (IFSA) (Marimin 2005).

Sangatlah perlu bagi komputer untuk mengerti bahasa manusia, namun kendalanya, terdapat banyak ke-ambiguity-an dalam bahasa sehari-hari yang tidak dapat diselesaikan dengan pemrosesan logika biasa, sehingga diperlukan perangkat logika yang mampu mengekspresikan ke-ambiguity-an. Sebagai contoh, jika kita mengatakan seseorang berbadan tinggi, kita tidak dapat mendefinisikan secara pasti, berapa cm-kah tinggi badan seseorang agar dia dapat dikatakan berbadan tinggi. Gugus fuzzy merupakan perangkat yang tepat untuk mengekspresikan ke-ambiguity- an. Gugus fuzzy merupakan media komunikasi yang berbicara mengenai logika alami dan kompleksitas di antara manusia dan pengetahuan sosial (Marimin 2005).

Teori gugus fuzzy pertama kali hanya dipandang sebagai teknik yang secara matematis mengekspresikan ambiguity dalam bahasa. Namun saat ini, teori gugus

fuzzy dikembangkan sebagai pengukuran beragam fenomena ambiguity secara

matematis yang mencakup konsep peluang.

Sistem fuzzy merupakan penduga numerik yang terstruktur dan dinamik. Sistem ini mempunyai kemampuan untuk mengembangkan sistem intelijen dalam lingkungan yang tidak pasti, dan tidak tepat. Sistem ini menduga suatu fungsi dengan logika fuzzy. Logika fuzzy merupakan bagian dari logika boolean, yang digunakan untuk menangani konsep derajat kebenaran, yaitu nilai kebenaran antara benar dan salah. Logika fuzzy sering menggunakan informasi linguistik dan verbal. Dalam logika fuzzy terdapat beberapa proses, yaitu penentuan gugus fuzzy, penerapan aturan

if-then, serta proses inferensi fuzzy. Alur penyelesaian masalah dengan menggunakan metode fuzzy disajikan pada Gambar 2.2

Gambar 2.2. Alur penyelesaian masalah dengan Metode Fuzzy

2.5.2. Struktur Dasar

Gugus fuzzy merupakan pengembangan dari gugus biasa. Representasi abstrak dari anak gugus fuzzy dari sebuah gugus universal X tampak seperti pada Gambar 2.3.

X

A. B. A

Gambar 2.3. Anak Gugus Fuzzy

Bingkai persegi panjang merepresentasikan gugus universal X, dan lingkaran yang terputus-putus menggambarkan batas ambigous dari elemen yang terdapat di dalam atau di luar X, sedangkan A adalah gugus fuzzy dalam X. Teori gugus fuzzy

mendefinisikan derajat di mana elemen x dari gugus universal X berada (tercakup) di dalam gugus fuzzy A. Fungsi yang memberikan derajat terhadap sebuah elemen mengenai keberadaannya dalam sebuah gugus disebut fungsi keanggotaan. Dalam

kasus ini, anggota dari gugus X adalah elemen x. Sebagai contoh, derajat keanggotaan dari elemen x dalam area A diekspresikan oleh:

μA (x1)= 1, μA (x2) = 0.8

μA (x3)= 0.3, μA (x4) = 0

μ adalah fungsi keanggotaan (membership function) yang memberikan derajat keanggotaan yang berada pada suatu selang tertentu, yaitu selang [0,1]. Tulisan

subscript di sebelah μ, yaitu A, menunjukkan bahwa μA adalah fungsi keanggotaan dari A.

2.5.3. Fungsi Keanggotaan

1. Single Point

Jika bersifat convex dan normal, maka sebuah bilangan fuzzy dalam [0,1]

didefinisikan sebagai

[ ]

0,1 ⊂ A

[ ]

0,1 ε x ∀ : μA

( )

x ε

[ ]

0,1

Gambar 2.4 menunjukkan sebuah bilangan fuzzy pada [0,1]. Dengan menggunakan α-cuts, ∀ α ε

[ ]

0,1 dituliskan sebagai berikut:

[

1 , 2

]

[ ]

0,1 = α α α a a A

[ ]

0,1 , , 1 2 2 1 ε α α α α a a a a

Gambar 2.4. Bilangan fuzzy pada [0,1]

α μ 0.5 0.5 0.0 1.0 1.0 x α-CUT, α 2 a α 1 a

2. Interval of Confidence

Gambar 2.5. menunjukkan a εR. Bilangan a ini dapat dikarakteristikkan dengan menggunakan fungsi keanggotaan sebagai berikut:

μa(x) = 1, x = a = 0, x ≠a x a 1 .5 Gambar 2.5. Bilangan a

Sebuah bilangan AεR pada selang kepercayaan [a1,a3] seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.6, dapat didefinisikan sebagai berikut:

μA (x) = 0, x < a1 = 1, a1 ≤x a3 = 0, x > a3 0 μA (x) .5 1 x a1 a3

Gambar 2.6. Sebuah bilangan A pada sebuah selang kepercayaan

A tidak dapat lebih kecil dari a1 dan tidak dapat lebih besar dari a3. Representasi simbolik dari sebuah selang kepercayaan dituliskan dengan: A = [a1, a1].

3. Triangular Fuzzy Number (TFN) .5 0 μA (x) 1 x a1 a2 a3

Gambar 2.7. Triangular Fuzzy Number (TFN) A = (a1, a2, a3)

Fungsi keanggotaan untuk TFN pada Gambar 2.7 adalah sebagai berikut:

( )

x 0, x a1 A = < μ 1 2 1 2 1 , a x a a a a x ≤ ≤ − − = 2 3 2 3 3 , a x a a a x a − − = =0, x>a3 4. Gaussian

Sinopsis: y = GAUSSMF(x, PARAMS)

GAUSSMF(x, PARAMS) mengembalikan sebuah matriks di mana fungsi keanggotaan Gaussian dihitung di x. PARAMS adalah 2-element vector yang menentukan bentuk dan posisi dari fungsi keanggotaan. Rumus untuk fungsi keanggotaan Gaussian ini adalah:

(

)

2 2 2

)

,

;

(

σ

σ c x

e

c

x

f

− −

=

2.5.4. Pemrosesan Bilangan Fuzzy

Bilangan fuzzy dapat diproses secara matematik fuzzy sesuai dengan metode representasinya.

a. Representasi dalam selang ∀a1, a3, b1, b3 εR+ A = [a1, a3], B = [b1, b3] 1. Penjumlahan [a1, a3] (+) [b1, b3] = [a1 + b1, a3 + b3] 2. Pengurangan [a1, a3] (-) [b1, b3] = [a1 - b3, a3 – b1] 3. Perkalian [a1, a3] (.) [b1, b3] = [a1 . b1, a3 . b3] 4. Invers

[

]

⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ = − 1 3 1 3 1 1 , 1 , a a a a 5. Pembagian

[

]

( )

[

]

⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ = ÷ 1 3 3 1 3 1 3 1, , , b a b a b b a a 6. Minimum

[

a1,a3

]

( )

[

b1,b3

] [

= a1∧b1,a3∧b3

]

]

7. Maksimum

[

a1,a3

]

( )

[

b1,b3

] [

= a1∨b1,a3∨b3 b. Representasi TFN 1. Penjumlahan A (+) B = (a1, a2, a3) (+) (b1, b2, b3) = (a1 + b1 , a2 + b2, a3 + b3) 2. Pengurangan A (-) B = (a1, a2, a3) (-) (b1, b2, b3) = (a1 – b3 , a2 - b2, a3 – b1)

Untuk perkalian dan pembagian, triplets tidak dapat diproses secara langsung. Tetapi perhitungan dapat diperkirakan dengan menggunakan selang kepercayaan pada setiap level α∈

[ ]

0,1. Dengan menentukan selang

kepercayaan pada level α, TFN, katakanlah A dan B, dapat didefinisikan sebagai berikut:

(

)

(

)

[

a2 a1 a1, a3 a2 a3

]

Aα = − α+ − − α+ ;

(

)

(

)

[

b2 b1 b1, b3 b2 b3

]

Bα = − α+ − − α+ ;

Jika terdapat dua buah selang D dan E yang didefinisikan dalam R+ sebagai [d1,d2] dan [e1,e2] secara berturut-turut dan terdapat konstanta positif c, maka beberapa operasi perhitungan didefinisikan sebagai berikut:

3. Perkalian

[

d1,d2

] [

× e1,e2

] [

= de1,de2

]

4. Pembagian

[

,

] [

,

]

, ; 1, 2 0 1 2 2 1 2 1 2 1 ⎥ ≠ ⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ = ÷ e e e d e d e e d d 5. Perkalian Skalar

[

d1,d2

] [

c d1,c d2 c× = × ×

]

6. Pangkat

[

]

c

[

c c

]

d d d d1, 2 = 1 , 2 , dimana c = pangkat 2.5.5. Defuzzifikasi

Defuzzifikasi merupakan suatu proses pengubahan output fuzzy ke output yang bernilai tunggal (crisp). Terdapat banyak metode defuzzifikasi, namun yang biasa digunakan adalah metode CENTROID dan MAXIMUM. Di dalam metode CENTROID, nilai tunggal dari variabel output dihitung dengan menemukan nilai variabel dari center of gravity suatu fungsi keanggotaan untuk nilai fuzzy, sedangkan di dalam metode MAXIMUM, satu dari nilai-nilai variabel yang merupakan nilai kepercayaan maksimum gugus fuzzy dipilih sebagai nilai tunggal untuk variabel output.

2.6. Analisis Finansial dan Teori Fuzzy

2.6.1. Analisa Finansial Konvensional (Non Fuzzy)

Menurut Majlender (2002), analisa finansial konvesional atau non fuzzy

variabel maka nilai dari perubahan tersebut dapat diangggap sebagai nilai yang pasti atau real. Pada pendekatan investasi konvensional ini, keputusan pelaksanaan aktivitas atau proyek investasi dinyatakan dalam nilai ya atau tidak. Hal ini berarti keputusan investasi dilaksanakan sekarang atau tidak sama sekali.

2.6.2. Analisa Finansial Fuzzy

Teori fuzzy adalah metode untuk menyajikan ketidakpastian, dimana ketidakpastian tersebut merupakan faktor yang sering muncul di dalam analisis teknik. Analisa finansial fuzzy menggunakan bilangan fuzzy yang dapat menghitung tingkat sensitivitas perubahan dari sebuah variabel karena menggunakan rentang nilai yang menjadikan nilai sensitivitas lebih sensitif dan hal ini tidak dijumpai dalam analisa finansial bukan fuzzy (konvensional). Buckley (1987) merupakan salah satu pionir pengguna dari pendekatan ini. Pendekatan ini telah disajikan pula oleh beberapa penulis, diantaranya adalah Chiu dan Park (1994) dan Karaman, Da Ruan dan Tolga (2002).

2.6.2.1. Cash Flow

Ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam kegiatan investasi yaitu:

¾ Adanya unsur ketidakpastian berusaha

¾ Keterbatasan dana yang dimiliki

¾ Pendapatan dan biaya masa mendatang harus dikonversikan ke dalam nilai sekarang sebelum dibandingkan

Pendapatan dan biaya masa mendatang karena mengandung unsur ketidakpastian, maka nilai masa mendatang harus dikonversikan ke dalam nilai sekarang (present value). Besarnya nilai uang setahun mendatang yang dikonversikan ke nilai uang sekarang dinyatakan dalam:

PV = F / (1 + r)

Untuk dua, tiga dan tahun-tahun seterusnya, faktor konversi nilai uang/penyebut dipangkatkan dengan waktunya.

PV =

(

)

t r F + 1 = F (1 r)t 1 + = F.DF ... (1) ... (2)

Dengan:

PV = nilai sekarang dari uang masa mendatang (tahun ke-t) F = nilai uang masa mendatang (waktu ke-t)

r = tingkat diskonto (persen)

t r) 1 ( 1 + = DF = faktor diskonto

2.6.2.2. Fuzzy Net Present Value (NPV)

Penentuan kelayakan investasi dengan menggunakan metode fuzzy akan dapat mengilustrasikan nilai yang dijumpai dilapangan sehingga dapat dijadikan alat untuk analisis kelayakan yang lebih tepat. Penggunaan medote fuzzy pada penghitungan

cash flow dimulai oleh Ward (1985) yang menggambarkan fuzzy dengan fungsi

keanggotaan trapezium untuk menyelesaikan permasalahan terkini. Sedangkan Buckley (1987) menggunakan fungsi keanggotaan Triangular Fuzzy Number (TFN) untuk menghitung fuzzy net present value dan fuzzy net future value dengan tingkat suku bunga fuzzy pada periode n tahun. Buckley menghitung persamaan fuzzy untuk melanjutkan pembayaran bunga, tingkat efektif bunga secara baik. Penghitungan

fuzzy pada periode waktu tertentu menghasilkan ketidaklinieran yang membuat

perhitungan semakin kompleks.

Berdasarkan pertimbangan analisis NPV, peluang investasi dapat dievaluasi apakah dilaksanakan atau harus melepaskan. Nilai pasti (kepastian) dari proyek tersebut dapat diperhitungkan berdasarkan perkiraan dan membuat keputusan apakah bermanfaat jika dilaksanakan atau tidak. Data yang dibutuhkan adalah cash flow

yang diharapkan untuk tiap tahun dari proyek Vi, biaya investasi X, dan dari tingkat pengembalian (rate of return) yang disyaratkan dalam investasi ke n, yang juga disebut beta proyek. Cash flow tahunan yang diharapkan memberikan keuntungan tahunan, yang secara aktual perbedaan antara penerimaan operasional dan biaya operasional pada tahun tertentu dari proyek, dan kuantitas yang diagregatkan berdasarkan pada parameter beta yang discounting dari investasi dengan rumus sebagai berikut :

Dimana L menyatakan lama aktivitas investasi. Parameter discounting r secara implisit terdiri derajat kegunaan resiko dari investor atau pengambil keputusan. Membuat r lebih tinggi berarti bahwa investasi lebih beresiko, sebab cash flow di masa depan lebih tinggi diperlukan untuk mencapai penerimaan agregat yang sama. Biaya investasi X adalah biaya satu kali waktu, yang harus dibayar pada awal proyek untuk dapat masuk ke dalamnya. Nilai dari investasi adalah:

... (4)

dan aturan keputusan adalah jelas, misalnya jika NPV > 0 maka investasi dapat

Dokumen terkait