• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan atau manajemen merupakan perpaduan antara ilmu dan seni. Sebagai ilmu maka pengelolaan dapat dipelajari, dipahami, diteliti, dimodifikasi dan dibuktikan kebenarannya dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sebagai seni pengelolaan merupakan suatu tingkat keahlian yang diperoleh dari pengalaman dalam menerapkan suatu teknologi di berbagai bidang ilmu. Berkaitan dengan perkebunan kelapa sawit, pengelolaan merupakan upaya pemanfaatan semua komponen perkebunan kelapa sawit seperti sumberdaya alam, sumberdaya manusia, teknologi dan modal secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan yaitu perkebunan kelapa sawit berkelanjutan (Lubis, 1994). Sesuai dengan perkembangan teknologi dan kondisi di lapangan, pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan seyogyanya mengacu kepada faktor-faktor kunci yaitu aspek sumberdaya lahan, aspek sumberdaya manusia, aspek modal, aspek sarana produksi, aspek teknologi dan aspek legalitas (Pahan, 2006).

2.1. Ekologi dan Agronomi Kelapa Sawit

Kelapa sawit (Elaeis guineensis) termasuk golongan Famili Palmae penghasil minyak nabati. Pada dekade terakhir ini, budidaya kelapa sawit berkembang dengan sangat pesat terutama pada tanah mineral kering masam di luar Pulau Jawa. Hal ini berkaitan dengan ketersediaan lahan untuk pengembangan komoditas perkebunan, kemampuan adaptasi yang relatif luas (toleran terhadap sifat tanah kurus dan bereaksi masam), kemudahan yang diberikan oleh pemerintah, sarana produksi yang tersedia, serta prospek pemasaran hasil pengolahan pasca panen yang sangat cerah (Lubis, 1994). Sampai tahun 2007, luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia 6,78 juta hektar dengan produksi minyak sawit 17,37 juta ton/tahun. Kondisi ini mampu mendorong ekspor untuk menambah devisa sehingga menempatkan Indonesia sebagai negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia (Sekjen Deptan, 2008). Lahan yang tersedia untuk pengembangan perkebunan terhampar di luar Jawa berupa lahan kering masam dengan total luasan sekitar 48,5 juta hektar. Dari luasan ini, sekitar 16,2 juta hektar (33,4%) didominasi oleh jenis tanah Oxisol dan Ultisol dengan tingkat kesuburan marginal dengan karakteristik kesuburan, bahan organik, kapasitas tukar kation, dan kejenuhan basa rendah.

15

Reaksi tanah masam dengan nilai pH 4,0-5,0 menyebabkan tanaman sangat berpeluang keracunan aluminium dan besi yang konsentrasinya tinggi. Di samping itu, rentan terhadap erosi yang berkaitan dengan kerusakan agregat, daya pegang air rendah serta padat (Adiningsih, 1992). Namun demikian, kelapa sawit masih bisa tumbuh dan berproduksi pada lahan kering masam tersebut, asalkan pengelolaannya menerapkan teknologi yang tepat, baik aspek produksi maupun pengolahan pasca panen, sehingga dampak negatif terhadap lingkungan dan kondisi sosial masyarakat di sekitar perkebunan bisa diminimalkan.

Berkaitan dengan sumberdaya lahan, pengembangan perkebunan kelapa sawit di luar Pulau Jawa sebagian besar pada tanah Ultisol dan Oxisol tersebut. Karakteristik lahan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi kelapa sawit adalah: (1) topografi, (2) drainase, dan karakteristik spesifik tanah yang meliputi: jerapan fosfor, jerapan kalium, tekstur, dan kedalaman efektif. Kendala yang diakibatkan oleh sifat-sifat fisik tanah lebih dominan mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman dibandingkan dengan sifat-sifat kimia karena kendala fisika tanah relatif sukar untuk diatasi. Sementara itu, kendala kesuburan tanah masih bisa diatasi misalnya dengan pengelolaan pupuk untuk mengendalikan kekurangan unsur hara. Dalam kondisi alaminya, tanah Ultisol dan Oxisol memiliki produktivitas rendah dimana rata-rata tingkat produksi kelapa sawit pada tanah ini <18 ton/ha/tahun (Harahap et al., 2005).

Selain tanah sebagai tempat tumbuhnya kelapa sawit, faktor iklim juga sangat menentukan pertumbuhan dan produksi kelapa sawit. Kelapa sawit peka terhadap suhu rata-rata harian dan curah hujan dimana suhu udara optimum untuk kelapa sawit sekitar 28o-30o C, ketinggian tempat 100-400 meter di atas permukaan laut serta curah hujan 1500- 3000 mm/tahun (Fairhust, 2002). Harahap et al. (2005) melaporkan bahwa komponen faktor iklim yang berpengaruh terhadap produksi kelapa sawit adalah: (1) radiasi surya, (2) suhu udara, (3) curah hujan, dan (4) kelembaban udara. Lama penyinaran 5,5-6 jam/hari sudah cukup baik bagi kelapa sawit untuk berproduksi sehingga untuk daerah tropis seperti Indonesia, radiasi matahari bisa diabaikan. Suhu udara rata-rata 28oC merupakan suhu yang optimal dan di bawah 22oC sudah menghambat pertumbuhan dan produksi kelapa sawit. Hal ini disebabkan oleh pengaruh suhu rendah dapat meningkatkan keguguran bunga. Kelembaban

16

udara sangat berkaitan dengan membuka dan menutupnya stomata daun sebagai proses masuknya CO2 untuk bahan dasar karbohidrat. Untuk kelapa sawit, kelembaban udara optimal adalah 75-80%.

Curah hujan merupakan komponen iklim yang paling dominan pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan produksi kelapa sawit dimana curah hujan optimal yang dibutuhkan adalah 1700-3000 mm/tahun (Harahap et al., 2005). Kelapa sawit yang mengalami cekaman air tanah (kekeringan) menunjukkan penurunan produksi yang tajam karena meningkatnya jumlah tandan bunga jantan yang diproduksi selama periode cekaman air tanah tersebut. Fase-fase perkembangan organ generatif kelapa sawit yang peka terhadap cekaman air tanah adalah (1) inisiasi pembentukan bunga yang terjadi 44 bulan sebelum matang fisiologis, (2) pembentukan perhiasan bunga yang terjadi 36 bulan sebelum matang fisiologis, (3) diferensiasi seks bunga yang terjadi 17 bulan sebelum matang fisiologis, (4) peka aborsi bunga yang terjadi 12 bulan sebelum matang fisiologis, dan (5) antesis yang terjadi 6 bulan sebelum matang fisiologis.

Sementara dari segi agronomi, kelapa sawit tidak memerlukan perawatan yang intensif sehingga tidak memerlukan curahan tenaga kerja yang intensif (non intensive labor commodity). Beberapa kegiatan perawatannya antara lain: pemupukan, pembersihan pelepah tua, dan penyiangan/penyemprotan gulma. Dari semua kegiatan tersebut, pemupukan merupakan kunci keberhasilan karena rendahnya kemampuan tanah mineral kering masam menyediakan hara serta tingginya serapan hara kelapa sawit dari dalam tanah sehingga perlu diimbangi dengan penambahan hara dari luar sistem tanah-tanaman. Hal ini tercermin dari tingginya kadar unsur hara pada tandan buah segar yang dianalisis secara kimia. Hasil analisis kimia yang dilakukan oleh Fairhust (2002) menunjukkan bahwa dalam 25 ton tandan buah segar (TBS), mengandung sebanyak 74 kg N, 11 kg P, 93 kg K, 19 kg Ca, 20 kg Mg, 0,04 kg Mn, 0,06 kg Fe, 0,05 kg B, 0,12 kg Cu dan 0,12 kg Zn. Untuk mencapai hasil tersebut diperlukan masukan unsur hara berupa pupuk Dalam kaitan ini, Moody et al. (2002) melaporkan bahwa untuk menghasilkan TBS sebanyak 27,0 ton diperlukan masukan unsur hara dari luar sistem tanah-tanaman berupa pupuk sebesar 190 kg N, 26 kg P, 257 kg K, 43 kg Ca, 40 kg Mg, dan 60 kg S.

Sebagaimana halnya tanaman lain, untuk kondisi agro-ekologi tropika basah seperti di Indonesia, produksi kelapa sawit mengalami fluktuasi yang

17

cukup tajam tergantung dari: (1) kondisi iklim, (2) sifat-sifat tanah, dan (3) dinamika unsur hara. Lebih jauh dilaporkan bahwa kondisi iklim yang berpengaruh terhadap produksi adalah curah hujan, suhu udara, dan kelembaban udara. Sifat-sifat tanah yang berpengaruh adalah sifat fisika tanah yaitu kapasitas lapang, titik layu permanen, dan evaporasi. Dinamika unsur hara dipengaruhi oleh dosis, jenis, waktu dan cara pemupukan. Selain itu, interaksi semua faktor-faktor tersebut ditentukan oleh kondisi awal di lapangan yaitu kadar air tanah dan nitrogen nitrat (Handoko dan Koesmaryono, 2005).

Walaupun belum ada laporan kegagalan panen akibat serangan hama/penyakit, pengendalian hama penyakit kelapa sawit sudah semestinya mendapat perhatian serius karena sudah diidentifikasi adanya ancaman penurunan produksi akibat serangan hama penyakit. Jenis hama/penyakit utama yang menyerang kelapa sawit adalah ulat api, kumbang penggerek pucuk, rayap tanah dan penyakit busuk pangkal batang. Selain itu, dikemukakan juga adanya serangan hama ulat kantong, penyakit bercak daun serta penyakit fisiologis. Kehati-hatian terhadap masuknya spesies asing yang kehadirannya dan penyebarannya dapat menimbulkan kerugian ekonomis atau kerusakan lingkungan (IAS= Invasive Alien Species) selayaknya dilakukan dengan penangkalan yang intensif. Hal ini dikarenakan oleh luasnya dampak yang ditimbulkan jika sampai terjangkit oleh IAS tersebut (Ryaldi dan Lumbantobing, 2005).

Selain pengelolaan, produktivitas kelapa sawit juga dipengaruhi oleh umur dimana secara umum produksi kelapa sawit di Indonesia mulai menurun pada kisaran umur 16-20 tahun dan diperlukan tindakan peremajaan (replanting) pada kisaran umur 25-30 tahun. Hal-hal yang perlu dikaji dalam kaitannya dengan peremajaan kelapa sawit rakyat antara lain: (1) pola peremajaan, (2) pembinaan petani, (3) dana peremajaan, dan (4) kesenjangan pendapatan petani saat peremajaan dilakukan. Dalam aplikasi pola peremajaan, komponen yang memegang peranan penting untuk keberlangsungan peremajaan adalah (a) kepastian hukum mengenai investor dimana perusahaan inti pada siklus pertama diutamakan untuk menjadi investor pada siklus kedua, (b) kemitraan yang saling menguntungkan antara petani plasma dengan pihak perusahaan, koperasi dan investor dan (c) peremajaan dilakukan secara bertahap, minimal dalam 4 tahap (25%) untuk mengantisipasi kekurangan tandan buah segar (TBS) bagi pabrik kelapa sawit (Pahan, 2005).

18

Pendanaan merupakan kunci utama untuk bisa berlangsungnya peremajaan, tetapi di lain pihak masalah ini belum dipikirkan pada saat pengembangan dengan pola PIR-Trans. Usaha yang dirintis oleh Asuransi Jiwasraya melalui program Iuran Dana Peremajaan Tanaman Perkebunan (IDAPERTABUN) mampu menyediakan dana sekitar Rp. 8.000.000/ha, masih jauh dari keperluan sekitar Rp. 25.000.000/ha. Melihat kondisi ini alternatif pendanaan yang memungkinkan adalah memanfaatkan dana perbankan. Yang menjadi critical point adalah pola bentuk kemitraan dan aturan main antara pihak yang terlibat (perbankan, perusahaan inti, koperasi desa dan petani plasma). Pola alternatif skim kredit perbankan yang sesuai dengan kondisi di beberapa lokasi perkebunan berbeda-beda dan masih perlu pengkajian. Keterampilan petani rata-rata masih belum memadai dalam pengelolaan perkebunan sehingga produktivitas kelapa sawit juga masih rendah. Hal ini mengindikasikan akan perlunya pembinaan pada saat peremajaan antara lain dengan pemberdayaan koperasi desa sebagai wadah untuk mengakumulasi modal yang dialokasikan selama peremajaan, penyuluhan teknis pengelolaan kebun kelapa sawit dan persiapan diri petani dalam mengantisipasi kesenjangan pendapatan selama peremajaan dengan melakukan penanaman sela (pangan) di antara barisan kelapa sawit atau menekuni kegiatan non-farm.

2.2. Aspek Kelembagaan Kelapa Sawit

Kelembagaan merupakan salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam melakukan analisis yang berkaitan dengan pembangunan pertanian, termasuk pembangunan perkebunan kelapa sawit. Hal ini dimulai dengan diluncurkannya suatu model yang disebut Induced Innovation Model yang memaparkan adanya keterkaitan antara empat faktor yaitu: (1) resource endowments, (2) cultural endowments, (3) technology, dan (4) institutions. Dari pemaparan ini diperoleh hipotesis bahwa kelembagaan yang mengatur penggunaan teknologi dalam proses produksi dapat diubah untuk memungkinkan masyarakat maupun anggota masyarakat memanfaatkan peluang produksi dan peluang pasar sebaik-baiknya. Dalam kasus ini dicontohkan perubahan kelembagaan dalam pembangunan pertanian adalah perubahan penguasaan lahan komunal menjadi lahan individual serta modernisasi hubungan-hubungan yang ada dalam sistem penguasaan lahan (Taryoto, 1995).

19

Dengan semakin majunya sistem pertanian yang diterapkan oleh masyarakat maka permasalahan yang dihadapi juga semakin komplek yang menuntut adanya penyelesaian yang dapat diterima oleh semua pihak. Dalam hal ini, analisis kelembagaan bisa membantu untuk menjawab permasalahan yang ada karena analisis kelembagaan bertujuan untuk memperoleh deskripsi mengenai suatu fenomena sosial ekonomi pertanian yang berkaitan dengan hubungan antara 2 atau lebih pelaku interaksi sosial ekonomi, mencakup dinamika aturan-aturan yang berlaku yang disepakati bersama oleh para pelaku tersebut. Secara lebih detil, Pakpahan (1989) menyebutkan adanya lima pokok bahasan dalam analisis kelembagaan yaitu: (1) pembagian kerja dan spesialisasi jenis pekerjaan, (2) sistem pemilikan, (3) tipe-tipe ekonomi dan perubahan struktural yang menyertainya, (4) struktur perusahaan dari badan-badan usaha yang ada, dan (5) hubungan kerja industrial.

Berkaitan dengan kelembagaan, otonomi daerah yang tertuang dalam UU No 22 Tahun 1999, UU No 32 Tahun 2004 sangat mewarnai peranan lembaga-lembaga ekonomi baik dari tingkat pusat maupun daerah. Dalam perkembangan kelapa sawit terdapat empat faktor kunci sebagai penentu keberhasilan yaitu:

1. Kemauan politik Pemerintah (Pusat dan Daerah), 2. Koordinasi dan sinkronisasi antar instansi Pemerintah, 3. Keprofesionalan para pelaku di lapangan,

4. Komitmen dari bank untuk pendanaan pengembangan kelapa sawit.

Dari faktor-faktor tersebut maka untuk masa mendatang sistem perkebunan kelapa sawit diusulkan agar memperhatikan hal-hal: (1) pendidikan bagi petani untuk meningkatkan kapasitas kerja, (2) dukungan ke empat faktor kunci tersebut, (3) memanfaatkan otonomi daerah untuk kepentingan petani (Kartasasmita, 2005).

Hasibuan (2005) mengusulkan paradigma pengembangan kelapa sawit di masa mendatang sebagai Paradigma Pembangunan Kemandirian Lokal dengan ciri-ciri: (1) pembangunan yang berorientasi terhadap pemenuhan kebutuhan nyata masyarakat setempat (community oriented), (2) pembangunan yang didasarkan pada keadaan sumberdaya masyarakat setempat (community based), (3) pengelolaan pembangunan oleh masyarakat setempat (community

managed), dan (4) pendekatan pembangunan manusia: pemberdayaan

20

(sustainable). Lebih lanjut, konsep ini dituangkan kedalam pola PIR Plus Peranan Koperasi dimana fungsi dari setiap pihak jelas yaitu:

Fungsi pihak Perusahaan Inti:

a. pengurusan pinjaman (kredit investasi),

b. membangun dan mengelola kebun (estate management), c. penalangan dana (bridging financing), dan

d. membeli TBS (membangun PKS) Fungsi Koperasi:

a. wadah tunggal petani peserta,

b. membuat perjanjian kredit dengan Bank,

c. pengurus koperasi bertindak sebagai Dewan Pengawas, dan d. membuat kontrak manajemen dengan perusahaan inti. Fungsi petani peserta:

a. sebagai pemilik mendapat pembagian laba (SHU), dan b. sebagai karyawan mendapat gaji tetap

Berkaitan dengan pemanfaatan otonomi daerah untuk kepentingan rakyat, Pemerintah Daerah Propinsi Riau sudah memperoleh keberhasilan dalam pengembangan kelapa sawit rakyat dengan menyediakan lahan dan modal dengan insentif bunga rendah. Dari sekitar 9,1 juta hektar luas daratan Propinsi Riau, sekitar 3,1 juta hektar dicadangkan untuk perkebunan yang didominasi oleh kelapa sawit. Modal kerja dikucurkan melalui Program Bantuan Pinjaman Modal Ekonomi Kerakyatan (PEK) untuk membantu petani sebanyak 3960 kepala keluarga (Husien dan Hanafi, 2005).

Iswati (2004) mengusulkan agar peranan Kelompok Tani (POKTAN) dan Koperasi Unit Desa (KUD) lebih diintensifkan lagi dalam mendukung pengembangan perkebunan kelapa sawit. Dalam usulannya, peranan lembaga tersebut adalah:

1. Peranan langsung dengan aspek pengelolaan usahatani meliputi pengadaan dan penyaluran sarana produksi, pengumpulan hasil, pengangkutan hasil dan pemasaran.

2. Peranan yang tidak berkaitan langsung dengan pengelolaan produksi meliputi pengadaan barang konsumsi dan usaha simpan pinjam.

Sementara itu, Lubis et al. (1990) melaporkan bahwa peranan dan tanggungjawab petani plasma dan perangkat perusahaan inti, pemerintah desa

21

serta perbankan sangat menentukan dalam pencapaian masyarakat pekebun yang berwiraswasta, sejahtera dan selaras dengan lingkungannya.

2.3. Dampak Lingkungan Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit

Seperti dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan, dampak positif dari pengembangan kelapa sawit juga diikuti oleh dampak negatif terhadap lingkungan akibat dihasilkannya limbah cair, limbah padat dan gas dari kegiatan kebun dan pabrik pengolahan kelapa sawit. Untuk itu, tindakan pencegahan dan penanggulangan dampak negatif dari kegiatan perkebunan dan pabrik pengolahan kelapa sawit harus dilakukan dan sekaligus meningkatkan dampak positif. Tindakan tersebut tidak cukup dengan mengandalkan peraturan perundang-undangan saja tetapi perlu juga didukung oleh pengaturan diri sendiri secara sukarela dan pendekatan instrumen-instrumen ekonomi. Mekanisme pengaturan seperti ini dikenal dengan mixed policy tools (Alamsyah, 2000).

Dilihat dari perkembangan pengelolaan dampak perkebunan terhadap lingkungan, pada awalnya strategi pengelolaan lingkungan ditempuh dengan berdasarkan pendekatan kapasitas daya dukung (carrying capacity). Dalam pendekatan ini tidak ada usaha dari pihak pekebun untuk mencegah pengaruh dampak terutama dampak negatif dari limbah yang dihasilkannya melainkan hanya tergantung pada kemampuan lingkungan menetralisir pencemaran yang terjadi. Ketidak seimbangan antara besarnya volume limbah yang dihasilkan kebun terutama limbah cair pabrik kelapa sawit (PKS) dengan kemampuan alam menetralisir pencemaran limbah menyebabkan pencemaran lingkungan meningkat dengan tajam. Oleh karena itu, strategi pengelolaan lingkungan berubah menuju ke pendekatan mengolah limbah yang terbentuk (end - of – pipe treatment). Pendekatan ini berfokus pada pengolahan dan pembuangan limbah untuk mencegah pencemaran dan kerusakan lingkungan.

Masih banyaknya kelemahan dalam aplikasi dari pendekatan end – of – pipe treatment menyebabkan pencemaran dan kerusakan lingkungan terus berlanjut karena beberapa kendala yaitu (Alamsyah, 2000):

1. Reaksi penghasil limbah bersifat reaktif yaitu baru bertindak setelah pencemaran terjadi, bukan pencegahan.

2. Tidak efektif dalam memecahkan masalah pencemaran lingkungan karena dalam pengolahan limbah hanyalah mengubah bentuk limbah dan kemudian memindahkannya dari satu media ke media lainnya.

22

3. Biaya investasi dan operasi pengolahan dan pembuangan limbah biasanya mahal, yang mengakibatkan meningkatnya biaya proses produksi dan harga produk.

4. Memberi peluang untuk pengembangan teknologi pengolahan limbah sehingga tidak terfikirkan untuk untuk mengurangi volume limbah yang dihasilkan oleh sumber limbah.

5. Peraturan perundang-undangan yang menetapkan persyaratan limbah yang boleh dibuang setelah dilakukan pengolahan pada umumnya cenderung untuk dilanggar bila pengawasan dan penegakan hukum lingkungan tidak efektif dijalankan.

Di beberapa sentra pengembangan kelapa sawit seperti di Propinsi Riau dilaporkan telah terjadi dampak negatif akibat pengelolaan perkebunan sawit yang kurang tepat berupa penurunan kualitas lingkungan terutama sumberdaya lahan, air dan udara. Selain itu, terjadi konflik sosial dengan masyarakat di sekitar perkebunan berupa penguasaan lahan, hilangnya kearifan lokal dan budaya setempat (Setyarso dan Wulandari, 2002). Sementara itu, Winter (2002) menyatakan bahwa pengelolaan perkebunan dan pengolahan pasca panen kelapa sawit menimbulkan beberapa dampak negatif terhadap lingkungan antara lain:

1. Polusi udara pada saat pembakaran hasil tebangan tanaman pada pembukaan hutan untuk penanaman baru.

2. Polusi udara pada pembakaran hasil pangkasan tanaman pada penyiangan tanaman dewasa.

3. Perubahan land scape pada saat pembersihan lahan sebelum penanaman dilakukan (kapasitas pegang air tanah, iklim mikro).

4. Perubahan land scape pada saat pembuatan dan pengelolaan jalan kebun (daya pegang air tanah, perkolasi air).

5. Penurunan keragaman genetik sebagai akibat dari penggantian spesies alami yang keragamannya tinggi dengan spesies vegetasi kelapa sawit yang monokultur (keragaman genetik).

6. Polusi tanah dan air tanah dengan penggunaan pestisida dan pupuk.

7. Polusi udara selama ekstraksi dan purifikasi minyak di pabrik penggilingan melalui polusi uap dan gas (polusi asap pada saat pembakaran TBS kosong).

23

9. Perlakuan limbah cair yang kurang baik berakibat pencemaran air sungai. Jenis dan intensitas dampak lingkungan fisik-kimia dan biologi tanah, sosial dan ekonomi akibat perubahan vegetasi alami dari lahan yang dikonversi menjadi kebun kelapa sawit tergantung pada kondisi vegetasi alami lahan yang dikonversi. Kasus pengembangan kelapa sawit di Propinsi Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Barat dan Lampung dengan mengkonversi lahan yang kurang produktif dengan vegetasi hutan semak belukar, kebun durian yang sudah tua, hutan bambu dan kebun jengkol memperlihatkan perubahan lingkungan flora-fauna (biologi) tidak nyata. Demikian juga dengan perubahan kondisi udara seperti pencemaran udara dengan bau yang tidak sedap dan kualitas air yang relatif stabil. Perubahan fisik yang cukup nyata adalah menurunnya produktivitas lahan akibat terjadinya erosi terutama pada lahan dengan kondisi topografi berlereng. Perubahan lingkungan sosial yang menonjol adalah konflik kepemilikan lahan karena adanya perubahan luasan dan status kepemilikan lahan. Dampak ekonomi yang terjadi adalah meningkatnya nilai atau harga lahan, terbukanya kesempatan kerja bagi petani yang berujung pada peningkatan pendapatan petani dan keluarganya (IPB, 2000).

Dari aspek produksi, pihak pengelola, baik perusahaan perkebunan besar PBN maupun PBS, sudah menyadari bahwa pemupukan merupakan kunci keberhasilan dalam peningkatan produktivitas sawit. Untuk itu, secara umum mereka memupuk sebanyak 2 kali/tahun dengan menggunakan pupuk tunggal terutama Urea, SP-36 dan KCl. Biaya untuk pengadaan pupuk ini menempati proporsi terbesar yaitu sekitar 50-60% dari biaya total pemeliharaan sawit. Namun demikian, aplikasi pemupukan dengan cara menyebar di permukaan tanah berakibat rendahnya efisiensi pemupukan dan tingginya kehilangan pupuk ke lingkungan melalui erosi, aliran permukaan dan penguapan.

Masuknya pupuk ke lingkungan secara tidak terkendali dapat mencemari badan air permukaan dan air bawah tanah, tanah dan udara. Berkaitan dengan ini, Adiwiganda (2002) melaporkan bahwa pemupukan nitrogen berupa Urea, yang disebar rata pada permukaan tanah sangat beresiko terhadap kehilangan nitrogen terutama pada musim hujan. Pada kondisi ini, kehilangan nitrogen bisa sampai 70% dalam waktu seminggu. Peneliti lainnya (Uexkhull dan Fairhust, 1991) menyatakan bahwa kehilangan pupuk fosfat dan kalium sangat menonjol pada lahan yang tidak dikonservasi karena unsur ini terikat pada partikel liat

24

tanah dan bahan organik yang terbawa oleh erosi dan aliran permukaan. Kehilangan unsur ini bisa menurunkan hasil antara 25-30%.

Pencemaran air akibat tingginya kehilangan pupuk melalui erosi dan aliran permukaan adalah resiko lain yang berpotensi timbul pada pemupukan dengan sistem disebar di permukaan tanah. Polusi air didefinisikan sebagai terkontaminasinya air oleh bahan-bahan yang resisten dan menimbulkan perubahan kualitas air ke arah yang membahayakan kehidupan mahluk hidup (Supardi, 2003). Berdasarkan sifatnya, polutan digolongkan menjadi:

1. Polutan kualitatif: terdiri dari unsur-unsur yang secara alamiah sudah terdapat di alam tetapi jumlahnya meningkat sedemikian banyak sehingga menimbulkan polusi.

2. Polutan kuantitatif: terdiri dari unsur-unsur yang terjadi akibat berlangsungnya persenyawaan yang dibuat secara sintetis seperti pestisida, pupuk anorganik, detergen dan lain-lain.

Dalam kaitannya dengan pengelolaan kebun kelapa sawit, penggunaan pupuk anorganik seperti Urea sebagai sumber nitrogen, SP-36 sebagai sumber fosfor, dan KCl sebagai sumber kalium berpotensi untuk mencemari air. Lebih-lebih pemupukan dengan cara disebar di permukaan tanah yang selama ini dilakukan oleh perusahaan perkebunan dan petani berakibat tingginya kontribusi bahan pencemar dari pupuk-pupuk tersebut ke dalam air permukaan dan air tanah dangkal. Dilihat dari sumber pencemar, mekanisme pencemaran oleh pupuk termasuk kategori non point source pollutants. Pupuk yang masuk ke dalam air akan menghasilkan polutan anorganik yang terlarut dalam air seperti senyawa nitrat dan fosfat menyebabkan terjadinya booming pertumbuhan Algae dan tanaman akuatik lainnya yang menurunkan oksigen terlarut dan berujung

Dokumen terkait