Potensi dan Pemanfaatan Tanaman Sagu
Tanaman sagu (Metroxylon) merupakan tanaman tahunan yang tumbuh dengan baik pada daerah hutan hujan tropis, dataran rendah dengan kelembaban yang tinggi dan di rawa-rawa. Habitat utama tanaman sagu berada pada 17o lintang selatan dan 15 – 16o lintang utara yaitu dari Thailand, semenanjung Malaysia dan Indonesia sampai Micronesia, Fiji serta Samoa (McClatchey et al.
2006). Di Indonesia, tanaman sagu hampir menyebar di seluruh wilayah, namun potensi terbesarnya berada di wilayah Timur seperti seperti Maluku, Sulawesi dan Papua (Falch 1997; McClatchey et al. 2006) dan beberapa wilayah di bagian barat seperti Riau. Menurut Flach (1997), estimasi lahan sagu di Indonesia mencapai 1.4 juta hektar dari 2.5 juta hektar lahan sagu dunia dan 1.2 juta hektar berada di Papua. Estimasi tanaman sagu dunia disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Estimasi lahan sagu dunia
Negara Penghasil Sagu Hutan Sagu Liar (ha) Kebun Sagu (ha)
Papua Nugini 1 000 000 20 000 Indonesia 1 250 000 148 000 Papua 1 200 000 14 000 Maluku 50 000 10 000 Sulawesi 30 000 Kalimantan 20 000 Sumatera 30 000 Riau 10 000 Mentawai 10 000 Malaysia 45 000 Thailand 3 000 Philipina 3 000 Lain-lain 5 000 Dunia 2 250 000 224 000 Sumber: Flach (1997)
Menurut Ditjen Bina Produksi Pertanian (2003), luas areal tanaman sagu di Papua mencapai 600 000 hektar. Area tersebut lebih luas bila dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Selanjutnya menurut Ditjen Bina Produksi
Pertanian (2003), Papua merupakan penghasil sagu yang paling tinggi di Indonesia dimana produksinya mencapai 5 400 000 ton. Luas areal tanaman sagu dan produksinya disajikan pada Tabel 2. Selain mampu menghasilkan sagu dengan jumlah produksi yang paling banyak, sagu asal Papua memiliki produktivitas yang relatif tinggi bila dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Apabila dibuat rasio, produksi sagu Papua mencapai 9.0 ton/ha. Sementara itu, produksi sagu dari daerah lain hanya mencapai kurang dari 5 ton/ha kecuali Kalimantan Selatan yang produksinya mencapai 9.2 ton/ha. Namun demikian, luas area sagu di Kalimantan Selatan yang hanya mencapai 564 ha hanya mampu memberikan kontribusi sebesar 0.09% pada produksi sagu Indonesia.
Tabel 2 Luas areal tanaman sagu dan produksi sagu di Indonesia
Sumber: Ditjen Bina Produksi Pertanian (2003)
Selain mempunyai areal paling luas, beberapa studi menunjukkan bahwa sagu Papua memiliki keragaman genetik yang paling tinggi. Menurut Widjono et al. (2000), terdapat 60 jenis sagu yang tumbuh di daerah Jayapura, Manokwari, Merauke, dan Sorong. Miyazaki (2004) mengelompokkan 21 jenis sagu asal Papua menjadi dua tipe yaitu sagu berduri (Metroxylon rumphii Mart) dan sagu tidak berduri (Metroxylon sagu Rottb). Berbagai jenis sagu tersebut mempunyai morfologi, produktivitas dan karakteristik tepung berbeda yang dapat digunakan sebagai seleksi dan identifikasi sagu yang potensial untuk bahan baku produk pangan.
Provinsi Area (Ha) Produksi (ton)
Riau 51250 192752 Jambi 29 12 Jawa Barat 292 1203 Kalimantan Barat 1576 7659 Kalimantan Selatan 564 5212 Sulawesi Utara 23400 113485 Sulawesi Tengah 7985 689 Sulawesi Tenggara 13706 38246 Sulawesi Selatan 7917 37479 Maluku 94989 78862 Papua 600000 5400000
Menurut Tenda et al. (2005), terdapat lima jenis sagu Papua yang mempunyai produktivitas tepung paling tinggi yaitu empat jenis sagu dari spesies
Metroxylon sagu Rottb (Osokule Hongleu (9.8 ton/ha/thn), hapholo hongsai (8.4 ton/ha/thn), hapholo hongleu (8 ton/ha/thn) dan yepha hongleu (7.90 ton/ha/thn)) serta sagu para dari spesies Metroxylon rumphii Mart dengan produktivitas tepung mencapai 8.3 ton/ha/thn.
Limbongan (2007) mengungkapkan bahwa sagu yepha merupakan sagu yang umum dimanfaatkan oleh masyarakat lokal. Sagu jenis ini mampu tumbuh hingga 25 meter sehingga masyarakat menyebutnya dengan yepha (yang berarti tumbuh ke langit). Sagu yepha mempunyai morfologi tertentu untuk membedakannya dengan spesies Metroxylon sagu Rottb lainnnya. Sagu yepha mempunyai ciri kanopi berbentuk V dan berbatang lurus serta berdaun lurus dengan ukuran medium. Sagu yepha yang ditemukan di Papua terdiri atas dua jenis yaitu yepha hongsay yang mempunyai tepung berwana pink dan yepha hongleu yang mempunyai tepung berwarna putih (Limbongan 2007).
Selain tergantung pada spesies, produktivitas M. sagu juga tergantung pada tempat tumbuh, kondisi lingkungan dan waktu pemanenen. Setiap pohon sagu yang tumbuh di beberapa daerah di Papua dapat menghasilkan pati basah berkisar antara 85-1000 kg pati basah per batang (Kertopermono et al. 1983; Maturbongs 1984; PPUS UNIPA 2004; Maturbongs dan Rumbino 1996; Maturbongs et al.
2001).
Untuk memperoleh produktivitas (per unit waktu dan unit area) pati yang optimum, sebaiknya pemanenan sagu yang ditanam secara semi kultivasi dilakukan pada saat inisiasi pembentukan bunga. Masyarakat tradisional biasanya menandai waktu pemanenan pada saat batang sagu sudah tidak mengkilap (influorescence) (Flach, 1997). Selain itu, daun tanaman sagu yang siap dipanen biasanya terlihat mengering dan berwarna coklat. Tanaman sagu disajikan pada Gambar 1.
Masyarakat Papua menggunakan pati sagu sebagai bahan baku pangan pokok dan kudapan. Untuk tujuan pangan pokok, masyarakat Papua mengolah pati sagu menjadi bubur dan papeda basah atau mengolahnya menjadi produk berbentuk kering seperti papeda kering dan sagu lempeng (Flach, 1997;
Limbongan, 2007). Sebagian masyarakat pendatang di Papua telah mengembangkan berbagai kue kering dari pati sagu yang dapat dijadikan pangan kudapan (Limbongan, 2007). Pengolahan pati sagu menjadi berbagai produk pangan tersebut dimungkinkan oleh karakteristik tertentu yang dimiliki pati sagu.
Gambar 1 Tanaman M. sagu dan M. sagu pada fase influorescence yang siap dipanen
Ekstraksi Pati Sagu
Pati pada tanaman sagu terdapat di bagian empulur sagu yang dilindungi oleh kulit kayu yang cukup keras. Untuk mengeluarkan pati dari batang dibutuhkan proses ekstraksi yang dapat dilakukan secara tadisional maupun modern. Ekstraksi secara tradisional dilakukan melalui tahapan penebangan batang sagu, pemotongan batang secara melintang dengan ukuran tertentu, pemisahan empulur sagu dari bagian batang sagu yang keras dengan penohokan, penghancuran empulur sagu dengan pemarutan atau penggilingan bersama air, pemisahan pati sagu dan komponen lain dari bubur pati sagu dengan cara pengendapan, pemisahan endapan pati dan bagian lain yang larut air, serta pengeringan endapan (pati sagu) dengan menggunakan sinar matahari (Flach, 1997; Istalaksana dan Maturbongs, 2007).
Ekstraksi sagu yepha hungleu di Kecamatan Sentani, Jayapura dilakukan di hutan sagu di sekitar danau Sentani, Jayapura. Sanitasi air maupun peralatan yang digunakan untuk ekstraksi sagu di Sentani sangat jauh dari persyaratan untuk industri pangan sehingga peluang adanya kontaminasi mikroba selama proses ekstraksi berlangsung sangat tinggi. Air yang digunakan sebagai pengekstrak sagu merupakan air dari sungai yang bermuara ke danau Sentani. Sementara, peralatan yang digunakan sangat sederhana dan sebagian besar diperoleh dari sekitar hutan sagu seperti pelepah sagu untuk proses pemerasan parutan sagu dan penampung sementara yang berupa bak dari alas plastik.
Proses ekstraksi sagu di sekitar danau Sentani dilakukan melalui beberapa tahapan antara lain: penebangan, pengupasan batang sagu, pemotongan batang sagu, pemarutan, pencampuran dengan air, penyaringan, pengendapan pati, dan pemisahan endapan pati. Masyarakat Sentani memilih pohon sagu yang layak panen (tebang) berdasarkan perubahan morfologi batang maupun pohon sagu. Sagu yang mempunyai batang tidak mengkilap lagi dan sebagian besar daunnya mengering mempunyai rendemen pati yang tinggi sehingga layak untuk ditebang.
Penebangan batang sagu di sekitar danau Sentani, Jayapura sudah dilakukan secara semiotomatis dengan menggunakan gergaji mesin. Batang sagu dikupas untuk memisahkan empulur dari kulit batang sagu yang keras. Empulur sagu dipotong melintang dengan panjang sekitar 60 cm untuk memudahkan pengangkutan (Gambar 2).
Potongan empulur dibelah secara memanjang untuk memudahkan proses pemarutan. Pemarutan empulur sagu dilakukan dengan cara mengumpankan empulur pada pemarut mesin (Gambar 3). Hasil parutan empulur sagu merupakan bagian sagu yang siap untuk diekstrak patinya. Proses penghancuran empulur sagu yang dilakukan masyarakat di Sentani sudah sedikit lebih maju mengingat proses penghancuran yang biasa dilakukan oleh masyarakat di beberapa daerah lain di Papua adalah adalah dengan penohokan.
Gambar 3 Pemarutan empulur sagu
Ekstraksi pati sagu dilakukan dengan cara meletakkan parutan empulur sagu diatas pelepah sagu dan ditambah dengan sejumlah air. Parutan sagu diperas bersama dengan air secara berulang sehingga air yang keluar sudah relatif jernih yang berarti ekstraksi pati sudah dapat dikatakan optimal (Gambar 4a). Cairan yang keluar saat pemerasan dilewatkan pada kain saring sehingga akan terpisah
dari ampasnya. Ekstrak sagu yang berupa cairan diendapkan di dalam bak penampung dan dibiarkan mengendap kurang-lebih selama 1 jam (Gambar 4b). Bak tersebut digunakan secara terus menerus tanpa adanya proses pembersihan sebelum ataupun setelah pemakaian berlangsung. Di sekitar bak pengendapan terlihat sisa-sisa endapan pati sagu yang sangat mungkin berasal dari pengendapan sebelumnya karena dari sisa-sisa endapan tersebut tercium bau asam. Selama pengendapan berlangsung, pati yang mempunyai berat jenis lebih besar dari air akan mengendap di bagian bawah bak pengendapan. Sementara itu, air beserta komponen yang terlarut didalamnya akan berada di atas bak penampung. Bahan kantung plastik yang digunakan sebagai bak penampung akan memudahkan pemisahan cairan yang berada di atas lapisan pati sagu. Cairan yang berada bagain atas bak pengendapan dikeluarkan melalui saluran pengeluaran yang berada di sisi-sisi bak pengendapan. Cairan ini berwarna keruh kemerahan yang menandakan bahwa sagu Papua yang diekstrak kemungkinan mengandung pigmen alami. Endapan patai sagu yang berada di bagian dasar bak pengendapan ditampung ke dalam karung dan siap dipasarkan oleh petani sagu (Gambar 5). Sementara itu, ampas sagu yang tertinggal di atas pelepah sagu dikumpulkan oleh masyarakat sekitar tempat pemarutan sagu. Ampas tersebut selanjutnya digunakan sebagai pakan ternak babi atau media budidaya sayuran.
Gambar 4 Pemerasan parutan sagu (a) dan penampungan ekstrak pati sagu (b)
Gambar 5 Pengemasan pati sagu basah
Pati sagu basah yang diperoleh dari petani di keringkan oleh pengrajin pati sagu kering untuk mendapatkan sagu kering yang dapat disimpan dan lebih mudah digunakan. Pengolahan pati sagu kering di Sentani dilakukan melalui serangkaian proses seperti perendaman, pencucian, penjemuran, pengayakan dan pengemasan.
Perendaman pati sagu dilakukan dengan tujuan untuk melarutkan kotoran yang masih terdapat pada sagu basah yang dibeli dari petani (Gambar 6a). Selain itu perendaman juga dapat mengurangi intensitas warna sagu dari yang tadinya kecoklatan menjadi lebih putih. Perendaman ini berlangsung selama 1 malam sehingga mengundang aktivitas bakteri pembentuk asam. Pemisahan kotoran dan air perendam sagu dilakukan dengan cara menuangkan air perendam yang terdapat di bagian atas bak penampung (6b).
Sagu yang telah bersih dijemur di bawah sinar matahari dengan cara dihamparkan pada rak-rak penjemuran (7a). Sagu yang telah kering diayak, kemudian dikemas dan dipasarkan di daerah Sentani dan sekitarnya (7b).
Sagu kering asal Sentani berbau asam yang menandakan adanya kandungan asam organik pada sagu. Keberadaan asam ini kemungkinan karena fermentasi yang terjadi selama proses produksi pati mengingat peralatan yang digunakan
untuk ekstraksi masih sangat sederhana dan kurang saniter. Kemungkinan mikroba pembentuk asam (terutama bakteri asam laktat) akan mudah mengkontaminasi ekstrak pati selama proses berlangsung. Ekstrak pati yang diperoleh tidak langsung dikeringkan melainkan dijual dalam kondisi basah. Hal ini juga akan menyebabkan terjadinya fermentasi pembentukan asam selama penyimpanan sebelum pengeringan. Selain itu, pengeringan yang dilakukan oleh industri rumah tangga di Sentani Papua juga memungkinkan terjadinya fermentasi karena pati sagu basah yang diperoleh dari petani direndam selama satu malam sebelum dikeringkan.
Gambar 6 Perendaman pati sagu (a) dan pencucian pati sagu (b)
Gambar 7 Pengeringan pati sagu (a) dan pati sagu dalam kemasan (b)
(a) (b)
Karakteristik Pati Sagu Alami
Komposisi Kimia
Pati sagu yang ada di Indonesia umumnya merupakan pati sagu yang diperoleh melalui ekstraksi secara tradisional. Proses ekstraksi yang dilakukan secara tradisioanl hanya memisahkan pati berdasarkan kemampuannya untuk tersuspensi di dalam air kemudian mengendapkan pati yang tersuspensi. Komponen lain seperti protein, lemak kemungkinan, mineral (abu) dan serat masih akan terbawa walaupun dalam jumlah yang sedikit.
Keberadaan komponen selain pati pada pati sagu menjadi bagian dari penentu mutu pati sagu. Proses ekstraksi patu sagu yang dilakukan dengan baik akan menghasilkan pati dengan tingkat kemurnian yang tinggi yaitu dengan kandungan abu, lemak, protein dan serat kasar yang serendah mungkin. Sementara itu, proses pengeringan yang dilakukan dengan baik akan menghasilkan pati kering dengan kandungan air yang rendah sehingga aman untuk penyimpanan. Persyaratan kandungan air, abu, serat kasar dan protein pati sagu disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Persyaratan kandungan air, abu, serat kasar dan protein pati sagu
Komponen Satuan Persyaratan
Air % (b/b) Maks 13*
Abu % (b/b) Maks 0.5*
Serat kasar % (b/b) Maks 0.1*
Protein % Maks 0.3**
*Sumber: SNI 01-3729-1995.
**Sumber: Widaningrum et al. (2005).
Komposisi pati sagu asal Indonesia disajikan pada Tabel 4. Adanya variasi metode dan peralatan yang digunakan dalam ekstraksi pati sagu di setiap daerah di Indonesia menyebabkan adanya perbedaan tingkat kemurnian pati sagu yang diperoleh.
Pengeringan yang dilakukan dengan sinar matahari pada produksi sagu secara tradisional menyebabkan sulitnya menentukan waktu pengeringan optimum karena seringkali intensitas cahaya matahari sangat tergantung pada musim. Waktu pengeringan pati sagu sagu dengan sinar matahari seringkali ditentukan
berdasarkan pengalaman dan pengamatan pati sagu secara visual sehingga kadar air tepung yang diperoleh tidak konsisten dan sulit memenuhi standar SNI. Kandungan air pada pati sagu asal Indonesia > 13% (Tabel 4).
Karbohidrat merupakan komponen terbesar dalam pati sagu (Tabel 4). Proses ekstraksi yang dilakukan pada produksi pati sagu memungkinkan karbohidrat yang terekstrak adalah dalam bentuk pati. Karbohidrat lain seperti gula dan serat kemungkinan akan terbawa dalam jumlah yang sangat sedikit. Kandungan serat kasar pada pati asal Sukabumi dan Maluku hanya mencapai kurang dari 1% (Tabel 4).
Seperti halnya pati dari sumber lainnya, molekul pati sagu disusun oleh dua kelompok makromolekul, yaitu amilosa dan amilopektin. Baik amilosa maupun amilopektin disusun oleh monomer α-D-glukosa yang berikatan satu sama lain melalui ikatan glikosidik (Whistler and Daniel 1985). Perbedaan antara kedua makromolekul tersebut terletak pada pembentukan percabangan pada struktur liniernya, ukuran derajat polimerisasi, ukuran molekul dan pengaturan posisi pada granula pati.
Tabel 4 Komposisi kimia sagu asal Indonesia Asal sagu
Maluku* Papua** Komponen
Sukabumi*
Tuni Molat Ihur Hapholo hungleu Hapholo hongsay Yepha hungleu Yepha hongsay Air (% bb) 14.01 16.90 17.03 17.03 Abu (% bb) 0.18 0.27 0.22 0.26 Lemak (% bb) 0.09 0.06 0.03 0.12 0.11 0.07 0.08 0.12 Protein (% bb) 0.37 0.30 0.48 0.25 0.06 0.12 0.19 0.25 Karbohidrat (% bb) 85.29 82.55 82.37 82.27 81.19 86.12 80.01 83.31 Serat kasar (% bb) 0.62 0.87 0.63 0.70 Amilosa (% bb) 34.15 33.82 34.96 30.90 28.63 29.52 27.55 27.34 Amilopektin (% bb) 52.79 52.83 56.54 55.43
*Sumber: Purwani et al. (2006). **Sumber: Tenda et al. (2005).
Amilosa disusun oleh molekul glukosa yang dihubungkan satu sama lain dengan ikatan α-1,4-glikosidik sehingga membentuk polimer yang linear dengan sedikit cabang yang dibentuk oleh ikatan α-1,6-glikosidik (<1%, Ball et al. 1996)
atau satu dari 300 – 1000 residu glukan (Roder et al. 2005). Berat molekul amilosa berkisar antara 105 -106 Da dengan derajat polimerisasi yang mencapai kisaran 500 – 6000 (Colonnna and Buléon 1992). Gugus OH pada molekul amilosa dapat berinteraksi satu sama lain membentuk struktur heliks melalui interaksi hidrogen (Whistler and Daniel 1985).
Amilopektin mempunyai ukuran molekul yang sangat besar dengan berat molekul yang mencapai 107 - 109 Da (Colonna and Buléon, 1992) dan derajat polimerisasi antara 3 x 105–3x106 (Zobel 1988). Glukosa penyusun molekul amilopektin dihubungkan satu satu sama lain dengan ikatan α-1,4-glikosidik pada rantai linier dan ikatan α-1,6-glikosidik pada percabangannya. Jarak yang dibentuk antara cabang yang satu dengan cabang yang lain pada struktur amilopektin sekitar 20 residu (Roder et al. 2005).
Proporsi amilosa dan amilopektin dari berbagai sumber pati berbeda-beda demikian juga dengan berat molekulnya. Umumnya pati memiliki proporsi amilopektin yang lebih besar jika dibandingkan dengan amilosa. Menurut Ahmad
et al. (1999), kandungan amilosa sagu berkisar antara 24 – 31% dengan berat molekul 1.41 x 106 – 2.23 x 106 Da. Sementara itu, kandungan amilopektin pati sagu berkisar antara 69 – 76% dengan berat molekul 6.70 x 106 – 9.23 x 106 Da (Ahmad et al. 1999). Pati sagu asal Indonesia mempunyai kandungan amilosa yang relatif lebih tinggi yaitu mencapai 27 – 35% (Tabel 3).
Kenyataan bahwa tanaman sagu yang tumbuh di Indonesia berasal dari jenis yang sangat beragam serta tempat tumbuhnya yang tersebar di berbagai daerah menyebabkan pati sagu yang dihasilkannya juga mempunyai proporsi amilosa dan amilopektin yang beragam pula. Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 3 terlihat bahwa pati sagu asal Sukabumi dan Maluku memiliki kandungan amilosa yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pati sagu asal Papua. Sementara itu, terdapat variasi proporsi amilosa/amilopektin antar sagu asal Pupua maupun antar sagu asal Maluku.
Kandungan pati serta proporsi amilosa dan amilopektin pati sagu menjadi penting apabila pati sagu tersebut akan digunakan sebagai bahan baku ataupun bahan pembantu produk pangan seperti bihun. Kandungan amilosa tinggi (>25g/100g) berperan penting dalam pembentukan jaringan gel dan struktur bihun
yang diproduksi dari beras (Juliano & Sakurai, 1985). Pembentukan gel yang baik dapat mengurangi tingkat kelengketan produk yang dihasilkan. Pati sagu asal Indonesia mengandung amilosa dengan kisaran yang lebih tinggi yaitu mencapai 27 - 35% (Tabel 3). Oleh karena itu pati sagu asal Indonesia berpotensi untuk dijadikan bahan baku bihun.
Karakteristik Fisik
a. Karakteristik Gelatinisasi
Komposisi kimia pati sagu akan sangat berpengaruh pada karakteristik fisik pati sagu yang pada akhirnya sangat berpengaruh pada sifat fungsionalnya ketika diaplikasikan untuk produk pangan. Salah satu karakteristik fisik pati yang penting dievaluasi adalah karakteristik gelatinisasi pati. Ketika pati dipanaskan bersama air, pati akan mengalami peningkatan kelarutan yang diikuti dengan peningkatan viskositas yang kemudian akan membentuk pasta. Fenomena ini disebut dengan gelatinisasi pati. Apabila pemanasan dilanjutkan dalam jangka waktu tertentu kemudian dilakukan pendinginan maka perubahan viskositas pati akan membentuk profil yang berbeda-beda tergantung kepada jenis pati.
Berdarkan profil yang terbentuk, tipe gelatinisasi pati dapat digolongkan menjadi 4 yaitu A, B, C dan D (Schoch and Maywad 1968 dikutip oleh Collado et al. 2001). Tipe A memiliki ciri kemampuan pengembangan yang tinggi yang ditunjukkan dengan tingginya viskositas puncak, namun akan mengalami penurunan viskositas yang tajam selama pemanasan. Tipe B memiliki kemampuan pengembangan sedang yang ditunjukkan dengan lebih rendahnya viskositas puncak dan viskositas mengalami penurunan yang tidak terlalu tajam selama pemanasan. Tipe C memiliki kemampuan pengembangan terbatas yang ditunjukkan dengan tidak adanya viskositas puncak dan viskositas tidak mengalami penurunan bahkan dapat meningkat selama pemanasan. Tipe D cenderung tidak memiliki kemampuan untuk mengambang sehingga tidak dapat membentuk pasta apabila dipanaskan.
Profil gelatinisasi pati sagu dapat ditentukan dengan menggunakan instrumen brabender amilograph maupun Rapid Visco Analizer. Ke dua instrumen tersebut mempunyai prinsip yang serupa yaitu mengukur perubahan viskositas
suspensi pati ketika pengalami pemanasan dan pendinginan dengan pola tertentu. Profil gelatinisasi pati sagu dari berbagai sumber disajikan pada Tabel 5.
Secara umum pati sagu memiliki kemampuan pengembangan yang besar. Menurut standar SIRIM MS 470:1992 seperti yang dikutip oleh Wattanachant et al. (20022), viskositas pasta pati sagu (suspensi 6% db) minimal mencapai 600 BU. Pati sagu asal Malaysia mempunyai Viskositas Puncak 635 BU (suspensi 6% db). Sementara itu, pati sagu asal Indonesia mempunyai viskositas puncak 890 – 1230 Bu (suspensi 10% db) seperti yang terdapat pada Tabel 5. Baik pasta pati asal Malaysia maupun asal Indonesia mengalami penurunan yang tajam selama pemanasan yang dapat dilihat dari viskositas breakdown yang besar. Oleh karena itu, pati sagu digolongkan sebagai pati dengan profil gelatinisasi tipe A. Profil gelatinisasi pati sagu menyerupai profil gelatinisasi pati umbi-umbian (tapioka, kentang, ubi jalar, dan garut) dan waxy cereal (waxy corn dan waxy barley) (Collado et al. 2001; Wattanachant et al. 20022; Singh et al. 2005).
Tabel 5 Profil gelatinisasi pati sagu
Asal sagu Indonesia** Parameter gelatinisasi
Malaysia*
Tuni Molat Ihur Pancasan
Suhu pasta (oC) 66.0a 72 71.25 66 71.25
Suhu puncak (oC) 81.0a 85.5 87 84.75 81
Viskositas Puncak (BU) 635.0a*** 990**** 890**** 1230**** 1100****
Viskositas Pasta panas (BU)
332.5a 350 350 520 650
Viskositas Breakdown
(BU)
302.5a 640 540 710 450
Viskositas Pasta Dingin (BU)
480.0a 710 690 950 1280
Setback (BU) 177.5a 360 340 500 690
Tipe A A A A A
*Sumber: Wattanachant et al. (20021) **Sumber: Purwani et al. (2006) ***Konsentrasi suspensi pati 6% db ****Konsentrasi suspensi pati 10% db
Pati dengan profil gelatinisasi tipe A umumnya mempunyai kandungan amilosa yang rendah. Pati dengan kandungan amilosa yang rendah (amilopektin yang tinggi) akan mengalami pengembangan yang tinggi pada saat mengalami gelatinisasi yang ditandai dengan tingginya viskositas puncak pasta. Namun apabila pemanasan dilanjutkan, viskositas pasta akan turun dengan tajam.
Menurut Wu and Seib (1990) seperti yang dikutip oleh Wattanachant et al.
20022), pati dengan kandungan amilosa tinggi akan mengalami pengembangan yang terbatas karena keberadaan amilosa akan mencegah pengembangan granula pati selama pemanasan. Hal ini ditandai dengan viskositas pasta pati yang cenderung rendah. Apabila pemanasan dilanjutkan maka viskositas pasta pati tersebut cenderung stabil bahkan dapat mengalami peningkatan sehingga pati tersebut dikategorikan pati dengan profil gelatinisasi tipe C (Schoch and Maywad 1968 dikutip oleh Collado et al. 2001). Pati yang mempunyai profil gelatinisasi tipe C adalah beberapa pati serealia seperti mungbean (kacang hijau) navy bean
dan pinto bean (Kim et al. 1996) dan pati yang telah mengalami modifikasi ikatan silang (Wattanachant et al. 2003). Pati dengan kandungan amilosa moderat umumnya mempunyai viskositas puncak pasta yang lebih rendah dari pati dengan profil gelatinisasi tipe A namun lebih tinggi dari pati dengan profil gelatinisasi tipe C sehingga digolongkan sebagai pati dengan profil gelatinisasi tipe B.
Apabila dibandingkan dengan sumber pati lainnya, pati sagu khususnya pati sagu asal Indonesia memiliki kandungan amilosa yang relatif tinggi bila dibandingkan dengan pati serealia seperti pati beras, pati gandum, dan pati jagung yang masing-masing mencapai 17%, 25% dan 26% (Wattanachant et al. 20022). Namun demikian, pati serealia tersebut digolongkan sebagai pati dengan profil gelatinisasi tipe B karena mempunyai kemampuan pengembangan sedang yang ditunjukkan dengan lebih rendahnya viskositas puncak dan viskositas mengalami penurunan yang tidak terlalu tajam selama pemanasan.
b. Ukuran dan Bentuk Granula
Molekul amilosa dan amilopektin menyusun granula pati dengan pola tertentu (Jane, 2006). Struktur amilosa yang cenderung lurus sebagian besar berada pada bagian amorphous dari granula pati dan sebagian kecil menyusun bagian kristalin pati. Sementara itu, molekul amilopektin berperan sebagai komponen utama penyusun bagian kristalin pati (Belitz and Grosch, 1999).