• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bunga krisan memiliki banyak varietas atau kultivar. Dewan Standarisasi Nasional (1998) mengelompokkan bunga krisan sebagai berikut:

a. Tunggal : bunga hanya berdiri sendiri pada tangkainya. Piringan dasar bunga lebih sempit daripada lingkar mahkota.

b. Anemone : bunga mirip seperti bunga tunggal, tetapi piringan dasarnya lebih besar dan lebih tebal.

c. Pompon : bunga berbentuk bulat seperti bola, mahkota bunga menyebar ke semua arah dan piringan dasar tidak tampak.

d. Dekoratif : bentuk bunga seperti aster, tidak tampak piringan dasarnya, mahkota bunga bertumpuk rapat, di tengah pendek dan makin ke tepi makin panjang.

e. Bunga besar : bunga hanya berdiri sendiri pada tangkainya, piringan dasar bunga tidak tampak, garis tengah bunga lebih besar dari 10 cm. Bunga krisan besar ini dibagi lagi menjadi empat sub golongan, yaitu:

1. Incurve : ujung mahkota bunga melekuk ke dalam. 2. Kiku : ujung mahkota bunga melekuk ke luar.

3. Spider : mahkota bunga pipih dan panjang seperti kaki laba-laba.

4. Spoon : seperti spider tetapi ujung mahkota bunga agak melebar sehingga berbentuk seperti sendok.

Selain itu, kuntum bunga krisan memiliki karakter masing-masing, yaitu standar dan spray. Krisan standar memiliki satu kuntum bunga berukuran besar tiap tangkai, sedangkan tipe spray memiliki sekitar 10-20 kuntum bunga dengan diameter 2-3 cm.

Syarat Tumbuh Krisan

Krisan tumbuh dengan baik di dataran medium hingga tinggi, yaitu pada kisaran 600-1200 m dpl. Krisan kurang menyukai cahaya matahari dan percikan air hujan langsung serta tanah yang tergenang. Hujan deras atau curah hujan tinggi yang langsung menerpa tanaman krisan dapat menyebabkan tanaman

mudah roboh, rusak, dan menghasilkan bunga dengan kualitas rendah. Oleh karena itu, budidaya krisan di daerah bercurah hujan tinggi dapat dilakukan di dalam bangunan rumah lindung berupa rumah plastik atau rumah kaca. Sifat fisik media tumbuh optimal untuk tanaman krisan, yaitu memiliki kerapatan jenis 0.2-0.8 g/cm (berat kering), total porositas 50-75 %, kandungan udara dalam pori 10-20 %, kandungan garam terlarut 1-1.25 dS/m dan kisaran pH 5.5-6.5 (Balithi, 2008).

Krisan dapat tumbuh pada kisaran suhu harian 17-30 °C. Tanaman krisan membutuhkan kisaran suhu harian 22-28 °C pada siang hari dan tidak melebihi 26 °C pada malam hari untuk pertumbuhan optimal saat fase vegetatif. Suhu juga berpengaruh terhadap kualitas bunga yang dihasilkan. Suhu harian ideal pada fase generatif adalah 16-18 °C. Apabila suhu lebih dari 18 °C, bunga yang dihasilkan cenderung berwarna kusam, pucat, dan memudar (Balithi, 2008).

Kelembaban udara juga berpengaruh terhadap pertumbuhan bunga krisan. Tanaman krisan membutuhkan kelembaban 90-95 % pada awal pertumbuhan untuk pertumbuhan akar. Sedangkan pada tanaman dewasa, pertumbuhan optimal tercapai pada kelembaban udara sekitar 70-85 % (Balithi, 2008).

Perbanyakan Krisan

Perbanyakan krisan dapat dilakukan secara generatif dan vegetatif. Perbanyakan krisan secara generatif jarang dilakukan karena sulit dan bersifat heterozigot sehingga keturunan dari biji tidak sama dengan induknya. Selain itu, perbanyakan secara generatif membutuhkan waktu lama dan penanganan khusus. Perbanyakan krisan secara vegetatif biasanya dilakukan melalui setek pucuk, anakan, dan kultur jaringan. Perbanyakan melalui setek pucuk dapat menghasilkan tunas dalam waktu sekitar tiga bulan, sedangkan perbanyakan melalui kultur jaringan dapat menghemat waktu dan diperoleh bibit dalam jumlah banyak.

Setek pucuk diambil dari pucuk-pucuk batang tanaman induk yang masih muda. Pengambilan setek pertama dari tanaman induk dapat dilakukan setelah tanaman induk mempunyai tujuh daun atau kira-kira berumur 2 minggu setelah tanam. Penyetekan pertama dilakukan dengan menyisakan 4 daun, dari 4 daun ini

diharapkan akan tumbuh minimal 2 tunas yang selanjutnya akan dijadikan bahan setek pada periode berikutnya. Penyetekan kedua dapat dilakukan dengan menyisakan 2 daun yang produktif, sehingga diharapkan dapat tumbuh 2 tunas. Selanjutnya untuk merangsang pertumbuhan akar, bahan setek tersebut diberi perlakuan dengan cara mencelupkan bagian pangkal setek ke dalam hormone perangsang perakaran dengan kedalaman mencelup kira-kira 0.5 cm. Setelah itu bahan setek tersebut dibiarkan sekitar 0.5 jam hingga larutan hormon yang menempel pada pangkal batang mengering (Supari, 1999).

Tanaman induk krisan ditanam seperti cara menanam krisan potong, tetapi dengan jarak tanam lebih besar dan lama penyinaran tambahan lebih lama. Jarak tanam yang digunakan adalah 17 cm x 17 cm. Jarak yang lebih lebar dimaksudkan untuk memberi tempat bagi percabangan tanaman yang banyak setelah tanaman cukup tua, dan penyediaan faktor tumbuh yang banyak agar tanaman dapat memproduksi tunas-tunas dengan baik (Supari,1999). Selain itu, pemupukan juga sedikit berbeda dengan krisan potong. Pemupukan tanaman induk ditekankan untuk merangasang pertumbuhan tunas-tunas baru, sehingga diberikan pupuk nitrogen yang lebih banyak (Supari, 1999).

Tanaman krisan dapat dibudidayakan secara tungal (monokultur), maupun dengan pola tumpang sari (Widyawan dan Prahastuti, 1994). Jarak tanam krisan sangat bervariasi tergantung situasi lokasi penanaman (Soekartawi, 1996). Jarak tanam krisan yang biasa digunakan adalah 10 cm x 10 cm, dan 12.5 cm x 12.5 cm.

Kualitas Bunga Krisan

Kualitas bunga krisan potong segar ditentukan berdasarkan panjang tangkai minimum, diameter tangkai bunga, diameter bunga setengah mekar, jumlah kuntum bunga setengah mekar pertangkai pada tipe spray, kesegaran bunga, benda asing/kotoran, keadaan tangkai bunga, daun pada 2/3 bagian tangkai bunga dengan penanganan pasca panen minimum. Dewan Standarisasi Nasional telah menetapkan Standar Nasional Indonesia untuk bunga krisan potong seperti yang tercantum pada Lampiran 6.

Kriteria yang paling menentukan mutu krisan nasional adalah panjang tangkai bunga. Tanaman krisan yang memiliki panjang tangkai 76 cm akan

memiliki kualitas AA, 70 cm memiliki kualitas A, dan 60 cm memiliki kualitas B. Penurunan kualitas akan mengakibatkan penurunan nilai komersial tanaman tersebut.

Mutasi

Mutasi adalah perubahan pada sekuen DNA. Mutasi dapat terjadi pada genom yang mana saja. Akan tetapi, perubahan-perubahan fenotipik hanya teramati pada organisme jika mutasi terjadi dalam sekuens sebuah gen. Alel-alel mutan memiliki sekuens yang sedikit berbeda dengan alel-alel wild

(Elrod and Stansfield, 2007).Mutasi dapat juga didefinisikan sebagai perubahan materi genetik, yang merupakan sumber pokok dari semua keragaman genetik dan bagian dari fenomena alam. Tipe perubahan genetik yang termasuk dalam mutasi terjadi secara acak, maka mungkin saja perubahan tersebut justru meningkatkan kemampuan organisme untuk bertahan hidup, tumbuh dan bereproduksi (Aisyah, 2006).

Induksi mutasi dapat dilakukan dengan beberapa mutagen, yaitu analog basa, mutagen kimia, dan mutagen fisik (Yuwono, 2008). Analog basa adalah senyawa dengan struktur kimia mirip dengan salah satu basa nukleotida sehingga dapat digabungkan dengan molekul DNA dalam proses replikasi. Analog basa dapat menginduksi mutasi karena dapat menyebabkan kesalahan dalam penyisipan nukleotida pada untaian DNA pasangannya. Senyawa ini dapat menyebabkan mutasi transisi. Contoh dari senyawa ini adalah 5-bromourasil (5-BU) dan 2-aminopurin (2-AP) (Yuwono, 2008).

Mutagen kimia yang banyak digunakan oleh pemulia adalah yang berasal dari kelompok alkylating agents. Senyawa ini mengandung satu atau lebih kelompok alkil reaktif yang dapat ditransfer ke molekul lain pada posisi dimana kerapatan elektronnya tinggi. Alkylating agents ini akan bereaksi dengan DNA dengan cara mengalkilasi kelompok fosfat, termasuk basa-basa purin dan pirimidin. Mutagen kimia yang biasa digunakan diantaranya adalah EMS (ethyl methane sulphonate), DES (diethylsulfate), El (ethylenimine), NMUT (N-nitroso-N-methyl urethane), NMU (N-nitro-(N-nitroso-N-methyl urea), NEUT (N-nitrose-N-ethyl urethane) dan NEU (N-nitrose-N-ethyl urea) (Aisyah, 2006).

Mutagen fisik secara khas dibedakan dari tipe radiasinya. Mutagen fisik yang sering digunakan diantaranya adalah sinar-x, sinar gamma, ultraviolet, dan neutron (Aisyah, 2006). Mutagen fisik lainnya adalah partikel alpha dan sinar devteron (Welsh, 1981). Radiasi sinar-x, gamma, dan neutron mengionisasi atom-atom dalam jaringan dengan cara melepaskan elektron-elektron dari atomnya (Aisyah, 2006). Jumlah bahan yang diperlakukan akan mempengaruhi keberhasilan dalam menghasilkan mutan. Oleh karena itu, dalam melakukan pemuliaan mutasi perlu diperhatikan banyaknya bahan yang digunakan agar dapat terjadi variasi-variasi genetika yang banyak (Soetarto dan Darsono, 1972).

Kecepatan mutasi bervariasi sesuai dengan dosis mutagen. Semakin tinggi dosis mutagen, semakin sering terjadi mutasi, pemunculan kromosom-kromosom dan kematian gen yang tidak diharapkan (Welsh, 1981). Dosis radiasi yang tinggi tidak hanya dapat mempengaruhi materi-materi genetik, tetapi juga dapat merusak organisme secara fisiologis. Bahkan radiasi yang tinggi pada tanaman dapat mengurangi frekuensi germinasi, pertumbuhan yang terhambat dan mengurangi kekuatan tanaman (Darussalam, 1972). Dosis yang dianggap efektif adalah yang hanya mengakibatkan kematian 50% dari populasi yang diperlakukan. Dosis ini disebut dosis letal 50% atau LD50 (Welsh, 1981).

Mutasi dapat terjadi pada setiap tahap perkembangan suatu organisme. Apabila terjadi di dalam jaringan somatik, mutasi mengakibatkan pola mosaik pada satu atau beberapa sel. Apabila di dalam jaringan generatif, mutasi dapat dipindahkan kepada keturunannya, tetapi tidak terlihat untuk beberapa generasi. Jaringan tertentu dari suatu organisme lebih sensitif terhadap mutagen daripada jaringan lain. Embrio lebih sensitif daripada jaringan yang sudah tak berkembang. Sel yang aktif tumbuh dan membelah lebih peka terhadap kerusakan daripada sel yang lebih tua (Crowder, 2006).

Sebagian besar mutasi adalah resesif (mutasi maju), tetapi beberapa dapat berbalik (mutasi balik). Mutasi letal menyebabkan kematian pada organisme tersebut. Tipe yang merusak mengganggu aktivitas metabolisme. Sebagian besar mutasi merugikan, tetapi kira-kira 0.01 persen menguntungkan (Crowder, 2006). Sel-sel yang membawa sifat mutasi yang baru cenderung hilang dalam persaingan dengan sel-sel normal (Aisyah, 2006). Mutasi pada sel dapat hilang dengan

matinya individu atau pun karena matinya sel yang termutasi sebelum multiplikasi (Sinha and Sinha, 1982).

Mutasi dapat diklasifikasikan berdasarkan asal, arah, dan tipe sel. Berikut ini merupakan klasifikasi mutasi:

1. Asal

a) Mutasi spontan: mutasi terjadi saat aktivitas selular normal, terutama saat replikasi dan perbaikan DNA.

b) Mutasi terinduksi: mutasi terjadi sebagai akibat perlakuan dengan agen mutagenik atau lingkungan, laju mutasi biasanya lebih tinggi daripada mutasi spontan.

2. Arah

a) Mutasi maju (forward): menciptakan perubahan dari wild type menjadi fenotipe abnormal.

b) Mutasi balik (reverse) atau mundur (back): perubahan sekuens nukleotida kembali menjadi sekuens awalnya.

c) Mutasi supresor: menghasilkan perubahan dari fenotipe abnormal (atau dengan kata lain, termutasi) kembali menjadi wild type.

 Supresor intragenik: sebuah mutasi pada gen yang sama dengan yang termutasi pada awalnya, tapi pada situs yang berbeda, sehingga mengembalikan fungsi wild type.

 Supresor intergenik: sebuah mutasi pada gen lain yang mengembalikan fungsi wild type

3. Tipe sel

a) Mutasi sel somatik: terjadi pada semua sel tubuh, kecuali sel kelamin, seringkali menghasilkan fenotipe mutan hanya pada satu sektor organisme (mosaik atau kimera), bukan perubahan yang diwariskan.

b) Mutasi lini nutfah (germ line, gametik): terjadi pada sel-sel kelamin, menghasilkan perubahan yang diwariskan (Elrod and Stansfield,2007).

Radiasi

Radiasi elektromagnetik tersusun atas dua gelombang, yaitu gelombang elektrik dan magnetik. Berikut ini merupakan spektrum elektromagnetik:

Gambar 1. Spektrum Elektromagnetik

(Sumber : McDonald, 2003)

Radiasi adalah istilah yang digunakan untuk berbagai bentuk pancaran energi seperti pancaran cahaya, pancaran panas, pancaran radio dan TV, dan sinar ultra violet. Radiasi energi tinggi biasanya merupakan bentuk-bentuk yang melepaskan tenaga dalam jumlah besar dan kadang-kadang disebut radiasi ionisasi karena ion-ion dihasilkan dalam bahan yang ditembus oleh energi tersebut. Tipe-tipe radiasi adalah sebagai berikut :

1. Sinar x, dari tabung sinar x yang tegangannya relatif rendah, panjang gelombang agak panjang (150 – 0.15 Å), disebut sinar lemah, penting untuk menginduksi perubahan-perubahan genetik.

2. Sinar gamma, dipancarkan dari isotop radioaktif, panjang gelombang lebih pendek dari sinar x, lebih kuat daya tembusnya, dikenal sebagai sinar kuat, penting untuk menginduksi perubahan genetik.

3. Sinar ultra violet, panjang gelombang berbeda-beda (3800 - 150 Å), terletak antara sinar x (150 – 0.15 Å) dan cahaya yang terlihat (7800 – 3800 Å), daya tembus rendah, menyebabkan perangsangan elektron (Crowder, 2006).

Radisi pengionisasi, misalnya sinar x menyebabkan mutasi pada gen dalam perbandingan lurus dengan dosis radiasinya (Elrod and Stansfield, 2007). Jumlah radiasi yang sama dengan intensitas tinggi untuk waktu pendek atau intensitas rendah dengan waktu panjang, atau dosis yang berselang-seling, akan menimbulkan jumlah mutasi yang sama. Tidak ada pengaruh intensitas pada mutasi buatan tetapi pengaruh radiasi bersifat kumulatif. Baik gelombang pendek maupun gelombang panjang mempunyai efektifitas sama pada dosis yang sama

(Crowder, 2006). Frekuensi mutasi dapat ditingkatkan dengan penambahan dosis radiasi, tetapi penggunaan dosis radiasi yang terlalu tinggi dapat menyebabkan tidak berkecambahnya biji-biji (Hartana, 1972).

Radiasi menembus bagian tertentu dari gen yang menyebabkan perubahan bahan DNA. Akibat tidak langsung, yaitu radiasi menimbulkan perubahan zat kimia tertentu disekitar gen yang menghasilkan perubahan susunan nukleotida (Crowder, 2006). Susunan nukleotida dalam gen merupakan pengkode bagi protein yang ditentukan dari urutan asam aminonya. Karena itu perubahan susunan nukleotida akan menentukan protein yang dihasilkan dan fungsinya (Salisbury and Ross, 1995). Perubahan pasangan basa (urutan nukleotida) mengubah struktur dan fungsi protein. Pergeseran dalam pembacaan kode triplet mengubah urutan asam amino dari polipeptida atau mungkin mengakibatkan terhentinya sintesis asam amino (Crowder, 2006).

Kerusakan pada sel akibat radiasi dapat mempengaruhi fungsi jaringan atau organ bila jumlah sel yang mati/rusak dalam jaringan/organ tersebut cukup banyak. Semakin banyak sel yang rusak/mati, semakin parah perubahan fungsi yang terjadi sampai akhirnya organ tersebut kehilangan kemampuan untuk menjalankan fungsinya dengan baik. Perubahan fungsi sel atau kematian dari sejumlah sel menghasilkan suatu efek biologik dari radiasi yang bergantung pada jenis radiasi, dosis, jenis sel, dan lainnya (Alatas, 2010). Biasanya terdapat korelasi antara jumlah DNA, yaitu lebih sedikit DNA akan lebih tahan suatu organisme terhadap radiasi (Crowder, 2006).

Radiasi gamma merupakan yang paling sering digunakan dalam mutasi buatan. Sinar gamma memiliki panjang gelombang yang pendek, yaitu 10 – 0.01 nm dengan sumber utama radiasi adalah isotop Cobalt-60 (60Co). Sinar gamma dikelompokkan ke dalam gelombang elektromagnetik karena tidak mempunyai massa dan muatan listrik. Sinar gamma mempunyai energi radiasi tinggi, yaitu diatas 10 MeV sehingga mempunyai daya penetrasi yang kuat ke dalam jaringan dan mampu mengionisasi atom-atom dari molekul yang dilewatinya (Crowder, 2006).

Ionisasi dari radiasi sinar gamma terjadi menyebar sepanjang jalur ionisasi partikel. Ketika agen ionisasi yang mengandung inti atom (seperti partikel alpha)

terlempar akibat radiasi, ionisasi menjadi lebih rapat terkonsentrasi di daerah terebut. Ionisasi dapat menyebabkan pengelompokan molekul-molekul di sepanjang jalur ion yang tertinggal karena radiasi. Pengelompokan baru ini menyebabkan perubahan kimia yang mengarah pada mutasi gen atau pada kerusakan atau pengaturan kembali kromosom (Aisyah, 2006).

Ethyl Methane Sulphonate

Ethyl Methane Sulphonate merupakan ethyl ester dari asam methanesulphonic (methanesulphonic acid) dan cairan yang tidak berwarna di suhu ruang. Ethyl Methane Sulphonate dapat terlarut pada air dan stabil dibawah suhu dan tekanan normal (Akron, 2009). Ethyl Methane Sulphonate biasanya digunakan dalam percobaan sebagai mutagen dan sebagai bahan untuk penelitian biokimia (Akron 2009, HSBD 2009). Sifat fisik dan kimia EMS dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 1. Sifat Fisik dan Kimia EMS

Komponen Informasi Berat molekul 124.2a Titik leleh <-25°Cb Tittik didih 213°C to 214°C at 761 mm Hga Log Kow 0.09a Kelarutan air 135 g/L at 25°Cb Tekanan uap 0.328 mm Hg at 25°C Sumber: aHSDB 2009, bChemIDplus 2009

Rumus kimia ethyl methane sulphonate adalah sebagai berikut:

Ethyl Methane Sulphonate (EMS) merupakan agen ethylating yang menyebabkan mutagenik mulai dari virus hingga mamalia. Data genetik yang diperoleh dengan menggunakan mikroorganisme menjelaskan bahwa EMS menyebabkan mutasi transisi dengan mengubah basa guanin dan timin (GT) menjadi adenin dan timin (AT) serta adenin dan timin (AT) menjadi guanin dan timin (GT). Telah diperoleh pula bukti yang menjelaskan bahwa EMS dapat

menyebabkan penyisipan (insersi) atau penghilangan (delesi) pasangan basa serta penghapusan intragenik lebih luas. Pada organisme tingkat tinggi, EMS mampu mematahkan kromosom, meskipun belum dipahami mekanismenya. Sebuah hipotesis yang sering dikutip adalah bahwa etylasi basa DNA oleh EMS (umumnya pada posisi N-7 dari guanin) secara bertahap menghidrolisis deoxiribosa pada backbone DNA meninggalkan sebuah situs purin (atau mungkin pirimidin) yang stabil dan dapat menyebabkan kerusakan untaian tunggal DNA (Sega, 1984).

Penggunan EMS lebih efektif dibandingkan dengan radiasi pengionisasi sinar x. Nauman (1976), menjelaskan bahwa Tradescantia klon 4430 lebih sensitif terhadap EMS 6-7 kali dibandingkan dengan radiasi sinar x untuk menghasilkan mutan. Selain itu, Mallikarjun et al. (2008), melaporkan bahwa regenerasi in vitro melalui kalus dengan perlakuan EMS menciptakan variasi tambahan pada tebu. Kalus yang diberi perlakuan EMS menghasilkan mutagen potensial pada 0.5% untuk interval waktu yang berbeda.

Kloroplas

Kloroplas adalah plastid fotosintesis berwarna hijau yang mengandung klorofil dan responsibel untuk menangkap energi cahaya. Kloroplas umumnya berbentuk bulat hingga oval. Kloroplas lebih besar dibandingkan mitokondria dan memiliki diameter 4-6 µm (McDonald, 2003). Aneka bentuk dan ukuran kloroplas ditemukan pada berbagai tumbuhan. Kloroplas berasal dari proplastid kecil (plastid yang belum dewasa, kecil, dan hampir tak berwarna, dengan sedikit atau tanpa membran dalam). Pada umumnya proplastid berasal hanya dari sel telur yang tak terbuahi, sperma tidak berperan di sini. Proplastid membelah pada saat embrio berkembang, dan berkembang menjadi kloroplas ketika daun dan batang terbentuk. Kloroplas muda juga aktif membelah, khususnya bila organ yang mengandung kloroplas terpajan dengan cahaya, jadi tiap sel daun dewasa sering mengandung beberapa ratus kloroplas (Salisbury and Ross, 1995).

Kloroplas merupakan organel poliploid, yang terdiri dari banyak duplikat DNA kloroplas (plastome) per kloroplas. Sekuen DNA tersedia dari beberapa tanaman yang berbeda mengindikasikan bahwa semua enzim dan protein

esensial untuk replikasi plastid DNA dikodekan pada nuclear genome. Plastid DNA pada umumnya homogeny pada salah satu spesies tanaman. Meskipun demikian, hanya seperti semua sel somatik pada organisme memiliki set nuclear gen yang sama tetapi mungkin mengekspresikan gen ini pada kombinasi yang berbeda. Kloroplas diketahui mengandung semua gen rRNA kloroplas (3-5 gen), sekitar 30 gen tRNA dan sekitar 100 gen pengkode protein, jumlah gen mengestimasikan ukuran genom kloroplas (McDonald, 2003).

Tiap kloroplas dikelilingi oleh sistem satu selimut membran ganda yang mengatur lalu lintas molekul keluar masuk kloroplas. Di dalam kloroplas mengandung bahan amorf, iir-gel, dan kaya enzim yang disebut stroma. Di dalam kloroplas juga dijumpai DNA, RNA, ribosom, dan tentu saja berbagai enzim. Semua molekul ini sebagian besar terdapat di stroma, tempat berlangsungnya transkripsi dan translasi. DNA kloroplas terdapat dalam 50 atau lebih lingkaran jalur-ganda melilit dalam tiap plastid. Berbagai gen plastid menyandi semua molekul RNA-pemindah (sekitar 30), dan molekul RNA-ribosom (empat) yang digunakan oleh plastid untuk translasi (Salisbury and Ross, 1995).

Kloroplas mengandung materi genetik (gen atau DNA) yang juga dapat termutasi. Energi radiasi sinar gamma dapat menyebabkan kerusakan atau mutasi gen pada kloroplas. Mutasi pada gen kloroplas dapat menyebabkan kerusakan gen mutan (defective mutant genes) yang kemudian dapat mengganggu proses fotosintesis pada daun (Agustrial, 2008).

Pengamatan kuantitatif pada karakteristik sel seperti pengukuran sel sering diterapkan untuk mengetahui adanya poliploidi. Materi yang paling sering dilihat adalah sel penjaga dan stomata. Ukuran dan jumlah sel tersebut per area daun menjadi hal yang umum untuk melacak perubahan ploidi (Sybenga, 1992). Menurut Saria et al. (2000), jumlah kloroplas sel penjaga menentukan tingkat ploidi suatu tanaman. Tanaman semangka diploid mempunyai jumlah kloroplas sel penjaga sebanyak 11 – 12, yaitu sekitar dua kali lipat dari tanaman haploidnya yang berjumlah 6 – 7. Pada umumnya, perubahan genetik yang mencakup perubahan tingkat ploidi dipengaruhi oleh adanya pembelahan sel yang tinggi. Perwati (2009), menunjukkan bahwa poliploidi menyebabkan penambahan ukuran sel pada Adiantum raddianum. Selain itu, diketahui bahwa

terdapat kecenderungan penambahan ukuran stomata dan spora seiring meningkatnya derajat ploidi.

Tanaman poliploid mempunyai kromosom yang lebih banyak daripada diploidnya. Sifat umum dari tanaman popliploid adalah tanaman lebih kekar, bagian-bagian tanaman menjadi lebih besar (akar, batang, daun), sel-selnya (sel epidermis) lebih besar, ukuran stomata lebih besar. Selain itu, pada kebanyakan spesies, tangkai dan helai daun menjadi lebih tebal (Suryo, 2007).

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Perbanyakan planlet krisan dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, IPB. Aklimatisasi dan budidaya tanaman dilaksanakan di greenhouse petani tanaman hias krisan yang berlokasi di Desa Nongkojajar, Kecamatan Tutur, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur dengan ketinggian 1080 m dpl. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari hingga September 2011.

Bahan dan Alat

Bahan tanam yang digunakan dalam penelitian ini adalah planlet varian krisan hasil induksi mutasi melalui radiasi sinar gamma (0 dan 20 Gy) dan perendaman dalam EMS 0.77% (0, 105, 120 menit). Asal planlet krisan yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Asal Planlet yang Digunakan

No. Genotipe Perlakuan Kode Keterangan

Varianhasil radiasi sinar gamma

1 Puspita Nusantara 0 Gy PN 0 Kontrol

2 Puspita Nusantara 20 Gy PN 20

3 Dewi Ratih 0 Gy DR 0 Kontrol

4 Dewi Ratih 20 Gy DR 20

Varian hasil perendaman dalam EMS 0.77%

5 Puspita Asri 0 menit PA 0 Kontrol

6 Puspita Asri 105 menit PA 105

7 Puspita Asri 120 menit PA 120

8 Chandra Kirana 0 menit CDK 0 Kontrol

9 Chandra Kirana 105 menit CDK 105

10 Chandra Kirana 120 menit CDK 120

Sumber: Maharani (2011) dan Rahmah (2011)

Bahan yang digunakan untuk perbanyakan planlet diantaranya adalah komposisi media Murashige and Skoog (MS 0), alkohol 70 %, alkohol 96 %, spiritus, dan aquades. Bahan yang digunakan dalam budidaya di greenhouse

adalah rooton-F, Urea, KCl, SP-36, pupuk kandang, dolomit, arang sekam, fungisida, dan insektisida. Alat yang digunakan dalam perbanyakan planlet

diantaranya adalah autoclave, laminar airflow, dan alat yang dibutuhkan dalam kultur jaringan tanaman. Alat yang digunakan dalam budidaya di greenhouse

adalah perlengkapan budidaya tanaman, jaring penegak tanaman, sprayer, mistar, jangka sorong, termometer, hygrometer, dan mikroskop cahaya.

Metode

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian adalah Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT). Perlakuan terdiri dari 7 varian krisan hasil induksi mutasi dan 3 kontrol, setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali sehingga terdapat 30 satuan percobaan. Setiap satuan percobaan terdiri dari 15 tanaman

Dokumen terkait