• Tidak ada hasil yang ditemukan

Domba Ekor Tipis

Ternak domba termasuk dalam phylum Chordata, kelas Mammalia, ordo

Artiodactyla, subfamili Cuprinae, famili Bovidae, genus Ovis dan spesies Ovis aries

(Damron, 2006). Menurut Salamena (2003) domba merupakan ternak yang pertama kali didomestikasi, dimulai dari daerah Kaspia, Iran, India, Asia Barat, Asia Tenggara, dan Eropa sampai ke Afrika. Di Indonesia, domba terbagi menjadi domba ekor tipis (Javanese thin tailed), domba ekor gemuk (Javanese fat tailed) dan domba Priangan atau dikenal dengan domba garut.

Berdasarkan data statistik Direktorat Jenderal Peternakan pada tahun 2010 populasi ternak domba di Indonesia mencapai 10.932.000 ekor. Sekitar 50% dari populasi domba di Indonesia terdapat di Jawa Barat dan terdiri dari domba asli Indonesia yang dikenal dengan nama domba ekor tipis (Subandriyo dan Iniquez, 1992). Domba ekor tipis merupakan domba asli Indonesia yang dikenal juga dengan nama domba lokal, domba kampung, atau domba kacang, disebut demikian karena tubuhnya yang kecil. Domba ini tidak jelas asal-usulnya dan dijumpai di daerah Jawa Barat dan Jawa tengah (Devendra dan Mc Leroy, 1992). Domba ekor tipis memiliki keunggulan dalam beradaptasi pada kondisi iklim tropis serta dapat kawin sepanjang tahun. Konsentrasi domba ekor tipis terdapat di propinsi Jawa Barat (Iniquez dan Gunawan, 1990). Domba Ekor Tipis merupakan domba prolifik. Sifat-sifat domba prolifik menurut Tiesnamurti (1992) tercantum pada Tabel 1.

Tabel 1. Sifat-Sifat Domba Prolifik

Sifat Tunggal

Rata-rata bobot lahir (kg) 2,6

Rata-rata bobot sapih per ekor (kg) 15,2

Kematian prasapih (%) 10

Laju pertumbuhan prasapih (g/ekor/hari) 130 Laju pertumbuhan lepas sapih (g/ekor/hari) 119

Umur pubertas betina (hari) 359,1

Rata-rata bobot badan setahun (kg) 25

4 Karakteristik domba lokal diantaranya bertubuh kecil, lambat dewasa, berbulu kasar, tidak seragam, hasil daging relatif sedikit dan pola warna bulu sangat beragam dari bercak putih, coklat, hitam atau warna polos putih dan hitam umumnya. Ekor pada domba lokal umumnya pendek dengan ukuran panjang rata-rata 19,3 cm, lebar pangkal ekor 5,6 cm dan tebal 2,7 cm (Tiesnamurti, 1992).

Tongkol Jagung

Tongkol jagung merupakan salah satu limbah pertanian yang memiliki potensi untuk dijadikan pakan ternak ruminansia. Menurut Samples dan McCutcheon (2002) kurang lebih 50% dari berat total tanaman jagung adalah limbah yang ditinggalkan setelah panen. Limbah jagung ini terdiri dari batang, daun, kulit dan tongkol jagung. Persentase masing-masing limbah dari bahan kering tanaman jagung adalah 50% batang, 20% daun, 10% kulit dan 20% tongkol jagung. Menurut Parakkasi (1999) tongkol jagung memiliki persentase sebesar 20% dari berat jagung bertongkol (buah jagung tanpa kelobot). Badan Pusat Statistik (2009) mengatakan bahwa luas panen jagung di Indonesia sebesar 4.096.838 Ha dengan produksi jagung sebesar 17.041.215 ton.

Tongkol jagung mempunyai kadar protein yang rendah 4,64% dengan kadar lignin 15,8% dan selulosa yang tinggi (Aregheore, 1995). Pemanfaatan tongkol jagung perlu disuplementasi dengan bahan pakan sumber protein, energi dan mineral agar dapat memenuhi kebutuhan hidup pokok dan pertumbuhan ternak ruminansia. Menurut Perry et al. (2003) tongkol jagung sebaiknya dipotong-potong atau digiling terlebih dahulu sebelum diberikan kepada ternak ruminansia agar dapat dimanfaatkan secara baik dan efisien. Komposisi zat makanan tongkol jagung dapat dilihat pada Tabel 2. Menurut Parakkasi (1999) tongkol jagung bersifat sebagai hijauan dan dapat memenuhi kebutuhan minimal hijauan untuk sapi atau kerbau yang digemukkan. Dengan adanya tongkol tersebut, hanya memerlukan penambahan hijauan 50% dari kebutuhan hijauan bila menggunakan biji jagung sebagai sumber energi penggemukan. Tongkol jagung bersifat hijauan (roughage) dikarenakan termasuk bahan pakan yang banyak mengandung serat kasar >18% dan rendah energinya.

Tabel 2. Komposisi Zat Makanan Tongkol Jagung Berdasarkan Bahan Kering

Keterangan: NDF= Neutral Detergent Fiber, ADF= Acid Detergent Fiber, ADL= Acid Detergent Lignin. a Perry et al. (2003). b Parakkasi (1999). c Aregheore (1995). d NRC (1985)

Konsentrat

Konsentrat untuk ternak domba umumnya disebut makanan penguat atau bahan makanan yang kaya karbohidrat, kaya protein dan memiliki kandungan serat kasar kurang dari 18%. Menurut Munier et al. (2004), pemberian pakan konsentrat pada domba ekor gemuk selama pengkajian memperlihatkan produktivitas yang lebih baik dibandingkan dengan tanpa pemberian pakan tambahan. Tujuan suplementasi konsentrat dalam makanan domba adalah untuk meningkatkan daya guna makanan atau menambah nilai gizi makanan dan menambah unsur makanan yang defisien. Penelitian tentang pakan menunjukkan bahwa dengan menggunakan 100% konsentrat menghasilkan pertambahan bobot badan paling tinggi dengan lama penggemukan selama sembilan minggu sehingga didapat keuntungan yang maksimal (Mulyaningsih, 2006).

Zat Makanan Tongkol

Jagung a Tongkol jagung b Tongkol Jagung c Tongkol jagung d Bahan Kering (%) 90 90 96 90 Abu (%) 1,9 2,2 12,3 - Protein Kasar (%) 3,6 3,3 4,8 3,1 Lemak Kasar (%) 0,8 0,6 1,1 - Serat Kasar (%) 40,2 40,0 - 36,3 BETN (%) 53,6 53,9 - - NDF (%) 98,9 97,8 79,3 - ADF (%) 38,9 47,8 52,0 - ADL (%) - - 16,5 - Hemiselulosa (%) - - 27,3 - Selulosa (%) 31,1 - 47,8 27,8 Lignin (%) 7,8 - - 6,7 Calcium (%) 0,13 0,11 - 0,12 Phosphor (%) 0,04 0,04 - 0,04 TDN (%) 55,6 53,33 - 51,1

6

Onggok

Onggok adalah serat yang merupakan hasil samping pembuatan pati dari ubi kayu (cassava). Pemanfaatan onggok masih sangat sederhana dan dikategorikan sebagai hasil samping yang bernilai ekonomi sangat rendah. Serat terdiri dari hemiselulosa, pektin dan selulosa. Hasil sementara yang diperoleh menunjukkan bahwa penambahan asam 20 ml merupakan kondisi optimal untuk proses hidrolisa pati dari onggok dan kurang lebih 80% onggok mampu terhidrolisa menjadi glukosa pada 24 jam fermentasi (Anindyawati, 2007). Kandungan zat makanan dari onggok dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Kandungan Zat Makanan Onggok Berdasarkan Bahan Kering

Sumber : Irawan, 2002

Urea

Urea banyak digunakan dalam ransum ternak ruminansia karena mudah diperoleh, harganya murah dan sedikit resiko keracunan (Ernawati, 1995). Urea yang diberikan pada ransum ternak ruminansia di dalam rumen akan dipecah oleh enzim urease menjadi amonium. Amonium bersama mikroorganisme rumen akan membentuk protein mikroba dengan bantuan energi. Apabila urea berlebihan atau tidak dicerna oleh tubuh ternak maka urea akan diabsorbsi oleh dinding rumen, kemudian dibawa oleh aliran darah ke hati dan di dalam hati dibentuk kembali amonium yang pada akhirnya dieksresikan melalui urine dan feses (Sutardi, 1980). Urea merupakan bahan pakan sumber nitrogen yang dapat difermentasi. Urea dalam proporsi tertentu mempunyai dampak positif terdapat peningkatan konsumsi protein kasar dan daya cerna urea bila diberikan pada ruminansia dirubah menjadi protein oleh mikroba dalam rumen (Anggorodi, 1984).

Zat Makanan Kandungan

Bahan Kering (%) 86,00 Protein Kasar (%) 1,77 Lemak Kasar (%) 1,48 BETN (%) 89,20 Serat Kasar (%) 6,67 Abu (%) 0,89

Bungkil Kelapa

Menurut SNI (1996) bungkil kelapa adalah hasil ikutan yang didapat dari ekstraksi daging buah kelapa segar/kering. Kopra merupakan buah kelapa yang dikeringkan dan digunakan sebagai sumber minyak. Bungkil kelapa mengandung lemak yang tinggi maka ketengikan mudah terjadi, sehingga disarankan untuk tidak terlalu lama dalam menyimpan bungkil ini. Bahan pakan ini mengandung protein nabati dan sangat potensial untuk meningkatkan kualitas karkas (Parakkasi, 1999).

Menurut Sutardi (1979) perpaduan antara bungkil kelapa dan kedelai ternyata lebih unggul daripada bungkil kelapa atau bungkil kedelai saja. Kedua sumber protein dapat saling melengkapi kelemahan masing-masing sehingga menjadi jauh lebih baik, kemungkinan bungkil kelapa yang biasanya defisien metionin akan ditutupi oleh bungkil kedelai. Kandungan zat makanan dari bungkil kelapa dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kandungan Zat Makanan Bungkil Kelapa Berdasarkan Bahan Kering

Komposisi Mutu 1 Mutu 2

Air (%) 12 12 Protein Kasar (%) 20 18 Serat Kasar(%) 16 18 Abu(%) 8 10 Lemak Kasar(%) 14 17 BETN(%) 42 36 Sumber: SNI (1996) Bungkil Kedelai

Bungkil kedelai adalah produk hasil ikutan penggilingan biji kedelai setelah diekstraksi minyaknya secara mekanis (expeller) atau secara kimia (solvent) (SNI,1996). Kandungan protein bungkil kedelai mencapai 43%-48%. Bungkil kedelai juga mengandung zat antinutrisi seperti tripsin inhibitor, namun zat antinutrisi tersebut tersebut akan rusak oleh pemanasan sehingga aman untuk digunakan sebagai bahan pakan. Bungkil kedelai dibuat melalui beberapa tahapan seperti pengambilan lemak, pemanasan, dan penggilingan (Boniran, 1999). Bungkil kedelai yang baik mengandung air tidak lebih dari 12% (Hutagalung, 1999). Bungkil

8 kedelai merupakan sumber protein nabati yang memiliki kandungan protein yang tinggi tetapi kandungan Ca, P, dan vitamin A rendah serta mengandung asam amino yang hampir lengkap namun defisiensi salah satu asam amino ensensial seperti metionin (Tangendjadja, 1987). Fahmy et al. (1992) dengan bungkil kacang tanah dan kacang kedelai sebagai sumber protein utamanya untuk menggemukkan berbagai bangsa domba, hasilnya adalah pertambahan bobot hidup 186-189 g/ekor/hari. Kandungan zat makanan dari bungkil kedelai dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Kandungan Zat Makanan Bungkil Kedelai Berdasarkan Bahan Kering

Komposisi Mutu 1 Mutu 2 Mutu 3

Air (%) 12 12 12 Protein Kasar (%) 53,4 50 46,6 Serat Kasar(%) 6,8 7,4 10,2 Abu(%) 6,8 8 9,1 Lemak Kasar(%) 4 4 5,7 BETN(%) 29 30,6 28,4 Sumber: SNI (1996) Tepung Ikan

Tepung ikan adalah ikan atau bagian-bagian ikan yang minyaknya diambil atau tidak, dikeringkan kemudian digiling (SNI, 1996). Tepung ikan mengandung protein yang cukup tinggi, sehingga bahan tersebut digunakan sebagi sumber utama protein pada pakan, disamping pakan lainnya. Selain sebagai sumber protein, tepung ikan juga digunakan sebagai sumber kalsium. Tepung ikan yang baik mempunyai kandungan protein kasar 58%-68%, air 5,5%-8,5%, serta garam 0,5%-3,0% (Boniran, 1999). Tepung ikan mempunyai variasi kualitas yang sangat tinggi, standarisasi pengolahan dan tingkat nutrien tepung ikan yang didatangkan dari luar negeri mempunyai kadar protein antara 55%-65%, lemak 5%-7% (NRC, 1994). Kandungan protein atau asam amino tepung ikan dipengaruhi oleh bahan ikan yang digunakan serta proses pembuatannya. Pemanasan yang berlebihan akan menghasilkan tepung ikan yang berwarna coklat dan kadar protein atau asam aminonya cenderung menurun atau menjadi rusak (Sitompul, 2004). Kandungan zat makanan tepung ikan dapat dilihat pada Tabel 6. Susunan asam amino bungkil kelapa, bungkil kedelai dan tepung ikan dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 6. Kandungan Zat Makanan Tepung Ikan Berdasarkan Bahan Kering

Sumber: SNI (1996)

Tabel 7. Asam Amino Bungkil Kelapa, Bungkil Kedelai dan Tepung Ikan

No. Asam Amino B. Kelapa B. Kedelai Tepung Ikan

1 Arginin 1,96 3,14 3,68 2 Glysin 0,89 1,90 4,46 3 Serin 0,96 2,29 2,37 4 Histidin 0,41 1,17 1,42 5 Isoleusin 0,60 1,96 2,28 6 Leusin 1,21 3,39 4,16 7 Lysin 0,48 2,69 4,51 8 Methionin 0,37 0,62 1,63 9 Cystin 0,24 0,66 0,57 10 Phenylalanim 0,81 2,16 2,21 11 Tyrosin 0,46 1,91 1,80 12 Threonin 0,66 1,72 2,46 13 Tryptophan - 0,74 0,49 14 Valin 0,89 2,07 2,77

Sumber : NRC (1994) dan Parakkasi (1983)

Konsumsi Ransum

Konsumsi adalah faktor esensial yang merupakan dasar untuk hidup pokok dan menentukan produksi. Voluntary feed intake (tingkat konsumsi) adalah jumlah pakan yang dikonsumsi apabila bahan pakan tersebut diberikan ad libitum. Tingkat konsumsi ternak dipengaruhi oleh berbagai faktor yang kompleks yang terdiri dari

Komposisi Mutu 1 Mutu 2 Mutu 3

Air (%) 10 12 12 Protein Kasar (%) 65 55 45 Serat Kasar(%) 1,5 2,5 3 Abu(%) 20 25 30 Lemak Kasar(%) 8 10 12 Ca(%) 2,5-5,0 2,5-6,0 2,5-7,0 P(%) 1,6-3,2 1,6-4,0 1,6-4,7

10 hewan, makanan yang diberikan dan lingkungan tempat hewan tersebut dipelihara (Parakkasi,1999). Menurut Aregheore (2000) konsumsi merupakan faktor yang penting dalam menentukan jumlah dan efisiensi produktifitas ruminansia, dimana ukuran tubuh ternak sangat mempengaruhi konsumsi pakan. Konsumsi diperhitungkan sebagai jumlah pakan yang dimakan oleh ternak zat makanan yang dikandungnya akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok maupun keperluan produksi ternak (Tillman et al., 1991). Menurut Cheeke (1998) konsumsi pakan dipengaruhi oleh palatabilitas, level energi, level protein dan konsentrasi asam amino, komposisi hijauan, temperatur lingkungan, pertumbuhan laktasi dan ukuran metabolik tubuh. Jumlah konsumsi pakan merupakan faktor penentu yang paling penting untuk menentukan jumlah zat-zat makanan yang tersedia bagi ternak. Menurut Aregheore (2000), konsumsi merupakan faktor yang penting dalam menentukan produktifitas ruminansia dan ukuran tubuh ternak. Konsumsi ransum juga dipengaruhi oleh kualitas makanan dan kebutuhan energi ternak. Semakin baik kualitas makanannya, semakin tinggi konsumsi ransum ternak (Parakkasi, 1999).

Kecernaan

Kecernaan zat makanan didefinisikan sebagai jumlah zat makanan yang tidak diekskresikan dalam feses atau dengan asumsi bahwa zat makanan tersebut dicerna oleh hewan (McDonald et al., 1991). Campbell et al. (2003) menyatakan bahwa kecernaan adalah persentase pakan yang dapat dicerna dalam sistem pencernaan yang kemudian dapat diserap tubuh dan sebaliknya yang tidak terserap dibuang melalui feses. Kecernaan nutrien merupakan salah satu ukuran dalam menentukan kualitas pakan. Kecernaan diartikan juga sejauh mana ternak dapat mengubah zat makanan menjadi kimia sederhana yang diserap oleh sistem pencernaan tubuh (Damron, 2006).

Selisih antara konsumsi zat makanan bahan pakan dengan ekskresi zat makanan feses menunjukkan jumlah zat makanan bahan pakan yang dapat dicerna (Suparjo, 2008). Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan ransum diantaranya adalah suhu lingkungan, laju aliran pakan saat melewati sistem pencernaan, bentuk fisik pakan dan komposisi nutrien pakan (Campbell et al., 2003). McDonald et al. (2002) menambahkan bahwa kecernaan juga dipengaruhi oleh komposisi ransum antar hijauan dan konsentrat, pengolahan pakan dan jumlah pakan yang dikonsumsi.

Pengetahuan akan faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan ransum sangatlah penting sebagai strategi dalam meningkatkan efisiensi konversi ransum. Domba akan mengkonsumsi lebih banyak pakan halus dibanding pakan yang kasar. Konsumsi bahan kering pakan kasar bervariasi mulai dari 1,5% dari bobot badan untuk pakan dengan kualitas rendah hingga 3% untuk pakan dengan kualitas tinggi (Gatenby, 1991). Kecernaan bahan kering dan organik merupakan indikator derajat kecernaan pakan pada ternak dan manfaat pakan yang diberikan pada ternak.

Kecernaan protein bahan makanan tergantung pada kandungan protein ransum, bahan makanan yang rendah kandungan proteinnya mempunyai kecernaan protein yang rendah, begitu pula sebaliknya. Kecernaan protein dapat tertekan dengan meningkatnya kadar serat kasar ransum (Khoerunnisa, 2006). Ternak membutuhkan energi untuk hidup pokok. Bahan pakan yang menjadi sumber energi adalah bahan pakan yang mengandung protein kasar kurang dari 20% dan serat kasar kurang dari 18% dalam bahan kering. Kebutuhan energi untuk domba dalam pemenuhannya dapat dipenuhi dengan pemberian pakan sumber energi. Tingkat kebutuhan energi metabolisme (EM) untuk domba dipengaruhi oleh bobot hidup, tingkat produksi dan nisbah energi, dan PK pakan yang akan diberikan (Mathius et al., 2003).

Kecernaan serat suatu bahan makanan sangat mempengaruhi kecernaan pakan, baik dari segi jumlah maupun dari komposisi kimia seratnya (Tillman et al., 1991). Konsentrasi serat pakan yang meningkat tidak mempengaruhi volume digesta rumen maupun bobot digesta akan tetapi menurunkan persentase bobot bahan kering digesta. Kandungan serat yang tinggi menurunkan kecernaan bahan kering namun meningkatkan kecernaan neutral detergent fibre (NDF) (Tjardes, 2002). Menurut Sutardi (1980), nilai kecernaan bahan organik dari suatu pakan dapat menentukan kualitas pakan tersebut. Nilai rataan koefisien cerna bahan kering pada domba lokal adalah 57,43%, sedangkan nilai rataan koefisien cerna bahan organik adalah 60,74% (Elita, 2006).

Kelarutan Protein

Sifat fisikokimia setiap protein tidak sama, tergantung pada jumlah dan jenis asam aminonya. Berat molekulnya yang sangat besar, menyebabkan bila dilarutkan ke dalam air akan membentuk suatu koloidal. Protein ada yang larut dalam air,

12 namun ada pula yang tidak larut, tetapi semua protein tidak larut dalam pelarut lemak seperti etil eter dan petroleum eter (Winarno, 1997). Kelarutan merupakan salah satu sifat fungsional protein yang sangat dipengaruhi asal protein, komposisi dan struktur protein serta perlakuan-perlakuan selama pengolahan. Kelarutan protein dipengaruhi oleh ukuran molekul-molekul protein, semakin besar ukuran molekulnya semakin sulit larut sehingga mempengaruhi proses penghancuran (Miller, 1998). Kelarutan protein yang berbeda-beda diakibatkan oleh proses pengolahan yang tidak sama sehingga menghasilkan kandungan nutrisi yang berbeda. Menurut Qomariah (2004) kelarutan protein pada sumber protein nabati lebih tinggi daripada sumber protein hewani, kelarutan protein pada sumber nabati yang tertinggi adalah bungkil kedelai, sedangkan yang terendah bungkil sawit.

Bypass Protein

Pakan berprotein salah satunya akan dicerna dalam rumen dan yang lolos atau belum tercerna dalam rumen akan dialirkan menuju omasum dan abomasum. Jika ada protein yang tidak tercerna dalam rumen, maka ini disebut bypass atau protein yang lolos. Bypass disebut juga ketahanan protein terhadap degradasi dalam rumen.

Bypass protein salah satunya akan dicerna pada pasca rumen atau terekskresi dalam feses. Pakan berprotein terdegradasi dalam rumen menghasilkan amonia, dimana akan tergabung kedalam mikroba protein. ARC (1980) telah mengklasifikasi sumber protein secara luas yang melewati degradasi rumen (persentase dari jumlah protein belum tercerna yang mencapai usus halus) yaitu sumber protein dengan tingkat ketahanan degradasi dalam rumen rendah atau low-bypass (<40%), sumber protein dengan tingkat ketahanan sedang atau medium-bypass (40%-60%), dan sumber protein dengan tingkat ketahanan tinggi atau high-bypass (>60%) Tabel 8. Cara pengolahan bahan pakan, variasi ternak dan perubahan populasi mikroba mempengaruhi tingkat dari protein bypass. Meningkatnya protein bypass tidak selalu meningkatkan produksi, karena protein bypass bisa sangat sedikit tercerna di bagian pasca rumen, diduga karena sisa dari asam amino yang tersedia untuk penyerapan di usus halus mungkin sangat kurang (NRC, 1985). Sutardi (1979) melaporkan bahwa ransum campuran bungkil kelapa dan bungkil kedelai menghasilkan PBB tertinggi (0,858 kg/hari) dibandingkan ransum bungkil kelapa atau bungkil kedelai saja. Perbedaan sumber protein mempengaruhi potensinya untuk mendukung

pertumbuhan ternak. Perbedaan ini mungkin sekali disebabkan oleh keragaman ketahanan degradasinya. Protein yang tahan terhadap degradasi akan lebih baikdaripada yang tidak tahan degradasi karena dapat memberikan masukan protein lewat jalur fraksi yang lolos degradasi. Tetapi daya tahan yang terlalu tinggi juga dapat mengurangi jumlah masukan protein lewat protein mikroba.

Gambar 1. Rataan Nilai Kelarutan Protein Berbagai Jenis Bahan Pakan. Kelarutan protein diukur dengan metode KOH protein solubility (Araba & Dale, 1990).

Tabel 8. Klasifikasi Sumber Protein Berdasarkan Degradasinya dalam Rumen Bypass protein Sumber protein

Low-bypass kasein, bungkil kedelai, bungkil kacang, dan bungkil bunga matahari

Medium-bypass bungkil biji kapas, bungkil alfafa kering, biji jagung

High-bypass tepung daging, CGM, tepung darah, tepung bulu, tepung ikan Sumber: ARC (1980) 25,23 26,12 74,25 12,26 16,49 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Bungkil Sawit Bungkil Kelapa Bungkil Kedelai MBM Tepung Ikan Ke lar utan pr otein ( % )

MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, dan pengukuran kecernaan dilakukan di Laboratorium Lapang Ilmu Nutrisi Ternak Perah Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor yang dilaksanakan dari bulan September hingga November 2011.

Materi

Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain kandang domba individu, tempat pakan dan minum, timbangan digital, timbangan pegas, ember, plastik penampung feses, alumunium foil, dan kandang metabolis.

Ternak Percobaan

Ternak yang digunakan adalah 12 ekor domba jantan dengan berat awal rata- rata 26,6±1,5 Kg dan umur sekitar 1,5 tahun dan domba dikandangkan secara individu. Ternak domba lokal yang digunakan dikandangkan secara individu. Contoh ternak domba lokal yang digunakan seperti disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Domba Penelitian

Ransum

Ransum yang digunakan selama penelitian adalah ransum yang mengandung total digestible nutrient (TDN) 70%, serat kasar (SK) 18,25% dan protein kasar (PK) 14% yang digunakan untuk menjaga pertumbuhan serta memenuhi kebutuhan hidup pokok. Ransum yang digunakan terdiri atas tongkol jagung dan konsentrat dengan perbandingan 30 : 70. Persentase penggunaan bahan pakan sumber protein yang

berbeda-beda bertujuan untuk mencapai iso protein dan iso energi pada masing- masing perlakuan. Air minum diberikan secara ad libitum. Ransum dan feses yang digunakan seperti disajikan pada Gambar 3 dan Gambar 4. Komposisi bahan pakan masing-masing ransum dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Komposisi Bahan Pakan Ransum Penelitian

Keterangan: R1 : Ransum kombinasi sumber protein bungkil kelapa dan urea. R2: Ransum kombinasi sumber protein bungkil kelapa dan bungkil kedelai. R3 : Ransum kombinasi sumber protein bungkil kelapa dan tepung ikan. R4: Ransum kombinasi sumber protein bungkil kelapa, bungkil kedelai dan tepung ikan.

Gambar 3. Ransum Penelitian Gambar 4. Feses Domba Penelitian

Prosedur

Pemeliharaan

Pemeliharaan domba dilakukan selama 1,5 bulan dalam kandang individu. Sebelum digunakan domba ditimbang terlebih dahulu. Domba ditimbang setiap satu minggu sekali untuk mengetahui perubahan bobot badannya. Pakan diberikan pada pagi dan sore hari. Pemberian pakan pada saat adaptasi 3% BB, tetapi seiring bertambahnya BB maka pemberian ransum dinaikkan sampai 3,5% BB. Konsumsi

Bahan Pakan Perlakuan (%)

R1 R2 R3 R4 Tongkol jagung 30,00 30,00 30,00 30,00 Onggok 20,00 20,00 20,00 20,00 Bungkil kelapa 45,00 31,50 36,50 34,00 Bungkil kedelai - 15,00 - 7,50 Tepung ikan - - 10,00 5,00 CaCO3 2,7 2,7 2,7 2,7 Garam 0,5 0,5 0,5 0,5 Premix 0,3 0,3 0,3 0,3 Urea 1,50 - - -

16 pakan dan sisa pakan dihitung setiap hari. Sebelum melakukan pengukuran domba diadaptasi lagi selama satu minggu untuk mengurangi stress saat dipindahkan ke kandang metabolis. Pengukuran kecernaan dilakukan selama lima hari setelah masa adaptasi.

Pengukuran Konsumsi Nutrien

Konsumsi nutrien adalah jumlah pakan (g) yang dimakan oleh seekor domba setiap hari selama koleksi total. Konsumsi nutrien diperoleh dengan menghitung selisih antara pakan yang diberikan dikurangi dengan sisa pakan. Konsumsi nutrien yang dihitung yaitu konsumsi bahan kering, bahan organik, protein kasar, serat kasar. Konsumsi (g) = Konsumsi pakan (g) - Sisa Pakan (g)

Pengukuran Kecernaan Nutrien

Pengumpulan feses dilakukan selama lima hari berturut-turut pada minggu terakhir pemeliharaan yang bertujuan untuk mengetahui kandungan nutrien feses. Feses diambil selama 24 jam dimulai pada pagi hari sampai keesokan pagi harinya. Feses yang baru keluar ditampung dalam plastik yang sudah disediakan agar tidak tercampur dengan urin. Feses yang terkumpul selama 24 jam ditimbang dengan timbangan digital sebagai bobot feses segar (awal), kemudian sampel feses diambil 10% dari total feses segar yang terkumpul setiap harinya dan dikeringkan matahari dan dimasukkan dalam oven 60 ºC untuk mendapatkan berat feses kering udara matahari, kemudian sampel dihaluskan dan dikomposit berdasarkan masing-masing perlakuan dan ulangan. Sampel yang sudah dikomposit selanjutnya dilakukan analisa proksimat untuk mengetahui kandungan nutrien feses (McDonald et al., 2002).

Kecernaan bahan kering dan serat dihitung dengan mengacu pada metode AOAC (2000), kadar protein pakan dan feses ditentukan dengan menggunakan metode Kjeldahl, kadar lemak dihitung berdasarkan metode Soxlet dan TDN dihitung berdasarkan Sutardi (1981). Kecernaan dihitung berdasarkan persentase dari selisih antara yang dikonsumsi dengan sisa yang dikeluarkan melalui feses dibagi dengan yang dikonsumsi dikali 100%. Kecernaan yang dihitung yaitu bahan kering, bahan organik, protein, serat kasar, lemak kasar, BETN dan nilai TDN. KCBK = (Konsumsi BK pakan–BK feses) x 100%

KCBO = (Konsumsi BO pakan–BO feses) x 100%

Konsumsi BO pakan

KCPK = (Konsumsi PK pakan–PK feses) x 100%

Konsumsi PK pakan

KCSK = (Konsumsi SK pakan–SK feses) x 100%

Konsumsi SK pakan

Dokumen terkait