• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1 Gambaran Geografis dan Demografi Kota Tidore Kepulauan

Kota Tidore Kepulauan yang memiliki luas wilayah sebesar 14.220.020 km2 terdiri dari luas lautan sebesar 9.816.164 km2 (69.031%) dan luas daratan 4.403.856 km2 (30,969 %) mencakup 5 buah pulau besar dan kecil diantaranya Pulau Tidore, Pulau Halmahera bagian tengah, Pulau Mare, Pulau Maitara dan Pulau Filonga dengan pembagian batas wilayah sebagai berikut :

Sebelah Utara : berbatasan dengan Kota Ternate.

Sebelah Timur : berbatasan dengan Kabupaten Halmahera Timur. Sebelah selatan : berbatasan dengan Kabupaten Halmahera Selata n. Sebelah barat : berbatasan dengan Laut Maluku.

Berdasarkan UU Nomor 1 tahun 2003, Kota Tidore Kepulauan merupakan daerah otonom dengan perubahan status dari Kabupaten Halmahera Tengah menjadi Kota Tidore Kepulauan secara administratif terbagi atas 5 (lima) kecamatan yaitu : Kecamatan Tidore, Kecamatan Tidore Selatan, Kecamatan Tidore Utara, Kecamatan Oba dan Kecamatan Oba Utara dengan 41 kelurahan serta 21 desa.

Penduduk Kota Tidore Kepulauan berdasarkan hasil sensus tahun 2002 berjumlah 74.485 jiwa yang tersebar di lima kecamatan. Dari 5 kecamatan tersebut yang terbanyak penduduknya adalah Kecamatan Tidore dengan jumlah penduduk 22.958 jiwa kemudian disusul Kecamatan Tidore Utara sebanyak 13.965 jiwa, Kecamatan Oba Utara sebanyak 13.571 jiwa, Kecamatan Tidore Selatan sebanyak 12.551 jiwa dan Kecamatan Oba sebanyak 11.808 jiwa (Renstra Pembangunan Daerah Kota Tidore Kepulauan 2004).

2.2 Keadaan Umum Sumber D aya Perikanan

Kota Tidore Kepulauan dengan luas wilayah lautan yang lebih besar yaitu 69.031 % yang jika dibandingkan dengan luas daratan yang hanya 30,969 % mengandung beranekaragam sumber daya hayati laut. Ketersediaan sumber daya laut yang ada memungkinkan terjadinya aktifitas di bidang perikanan dan hal ini dapat dilihat dengan beragamnya jumlah alat tangkap, jumlah armada dan

peningkatan produksi hasil tangkapan dari tahun ketahun. Namun dengan melihat jumlah armada dan alat tangkap yang ada menunjukan bahwa usaha penangkapan yang ada di Kota Tidore Kepulauan masih dapat digolongkan bersifat tradisional dan dalam skala usaha yang kecil.

2.2.1 Armada penangkapan ikan

Jumlah armada penangkapan ikan yang beroperasi di perairan Kota Tidore Kepulauan dalam periode tahun 2000 – 2004 berfluktuasi. Terjadi kecenderungan penurunan jumlah armada untuk perahu tanpa motor dan kapal motor pada kelima kecamatan di Kota Tidore Kepulauan. Pada tahun 2001 terjadi penurunan perahu tanpa motor dari 1167 unit hingga 1000 unit pada tahun 2004. Demikian halnya dengan armada kapal motor yang menurun sejak tahun 2000 dengan jumlah 113 unit hingga tahun 2004 menjadi 89 unit. Sedangkan motor tempel terjadi kenaikan dari 106 unit pada tahun 2000 menjadi 150 unit pada tahun 2004 (Tabel 1). Tabel 1. Perkembangan jumlah armada penangkapan ikan di Kota Tidore

Kepulauan selama periode tahun 2000 – 2004. Tahun Perahu Tanpa

Motor

Motor Tempel Kapal Motor Jumlah 2000 2001 2002 2003 2004 1167 1157 1133 1108 1000 106 104 121 151 150 113 87 89 89 89 1386 1348 1343 1348 1239 Sumber : Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Tidore Kepulauan (2005)

2.2.2 Alat penangkapan ikan

Jumlah alat penangkapan ikan yang dioperasikan di Perairan Kota Tidore Kepulauan dalam periode 2000 – 2004 mengalami fluktuasi dan lebih d idominasi oleh alat tangkap yang bersifat tradisional. Alat tangkap dengan unit penangkapan terbesar adalah Pancing tonda pada tahun 2000 sebanyak 313 unit namun menurun pada tahun 2002 menjadi 280 unit. Kemudian menyusul alat tangkap jaring insang hanyut yang pada tahun 2000 sebanyak 259 unit dan mengalami kenaikan hingga tahun 2004 menjadi 275 unit. Selanjutnya alat tangkap rawai tetap yang terjadi penurunan dari 222 unit pada tahun 2000 menjadi 190 unit pada tahun 2004.

Dari semua alat yang beroperasi di perairan Kota Tidore Kepulauan yang terkecil jumlahnya adalah sero, muroami dan bagan perahu. Perkembangan alat tangkap keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Perkembangan jumlah jenis alat tangkap ikan di Kota Tidore Kepulauan selama tahun 2000 - 2004

Jenis Alat Tangkap

2000 2001

Tahun

2002 2003 2004 Pukat Pantai

Pukat Cincin

Jaring Insang Hanyut Jaring Insang Tetap Bagan Perahu Bagan Tancap Rawai tetap Huhate Pancing Tonda Sero Bubu Muroami 55 49 259 207 - 14 222 113 313 3 8 3 55 50 261 212 6 17 190 87 328 3 6 3 55 52 264 212 6 9 190 89 328 3 6 3 53 52 232 212 6 6 190 89 344 - 1 2 51 45 275 217 6 4 190 89 280 - 4 - Jumlah 1246 1218 1215 1187 1194

Sumber : Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Tidore Kepulauan Tahun 2005 2.2.3 Produksi hasil tangkapan

Jumlah produksi hasil tangkapan ikan yang ada di Kota Tidore Kepulauan dalam periode tahun 2000 – 2004 terdiri dari 11 jenis ikan dengan volume yang bervariasi namun terjadi peningkatan dari tahun ke tahun. Produksi tertinggi terdapat pada ikan Cakalang dengan jumlah produksi yang meningkat setiap tahun sejak tahun 2000 sebanyak 7000,5 ton meningkat menjadi 15.000,8 ton pada tahun 2004. Kemudian menyusul ikan Layang pada tahun 2000 sebanyak 3550,6 ton meningkat menjadi 1000,5 ton pada tahun 2004 dan ikan Tuna pada tahun 2000 sebanyak 4540,3 ton meningkat menjadi 8000,11 ton pada tahun 2004.

Jumlah produksi terkecil terdapat pada sumber daya ikan Lemuru dan Tembang. Produksi ikan lemuru pada tahun 2000 sebanyak 400,3 ton namun meningkat menjadi1500,1 ton pada tahun 2004. Ikan Tembang pada tahun 2000

produksinya 450,5 ton dan meningkat menjadi 3250,6 ton pada tahun 2004. Perkembangan jumlah produksi ikan tahun 2000–2004 dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Perkembangan jumlah produksi ikan di kota Tidore Kepulauan selama

periode tahun 2000 - 2004 Jenis Ikan 2000 2001 Tahun 2002 2003 2004 Cakalang Tuna Tongkol Julung Kembung Layang Lemuru Ekor Kuning Selar Tembang Teri 7000,5 3540,3 1000,2 1247,5 2400,3 3550,6 400,3 550,4 1200,3 450,5 1035,6 8000,5 4000,3 1800,2 1254,9 3000,4 4000,3 700,4 1000,6 1600 800,5 1200,5 9800,6 5800,4 2800,7 1280,5 4000,4 5500,6 980,5 1400,4 2000,3 1000,1 1518,2 11000,8 6500,6 3500,45 1300,3 4500,4 7000,6 1100,4 1900,3 2800,4 2050,6 1800,4 15000,8 8000,11 7000,9 1425,4 6000,7 1000,5 1500,1 2200,6 3500,7 3250,6 2300,6 Jumlah 21802,3 27358,6 36082,7 4286,9 60180,81

Sumber : Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Tidore Kepulauan Tahun 2005 2.2.4 Unit penangkapan

(1 ) Kapal ikan

Spesifikasi umum kapal pole and line yang beroperasi di Kota Tidore Kepulauan dirincikan pada Tabel 4. Konstruksi dan tata letak kapal pole and line

adalah terdiri atas bagian haluan yang terdapat tempat duduk untuk para pemanc ing yang disebut flyng deck dan plat form. Flyng deck adalah dek yang menjorok keluar dari bagian haluan kapal dan plat form adalah berupa sayap yang menonjol dari dek kesisi-sisi kapal. Pada bagian ini juga terdapat pila -pila

yaitu penyangga yang berfungsi sebagai pijakan atau tumpuan para pemancing.

Water sprayer atau penyemprot air terdapat pada bagian depan dan samping pada pila-pila kapal be rperan sangat penting saat pemancingan yaitu untuk mengaburkan penglihatan ikan terhadap mata pancing ataupun pemancing. Pada bagian haluan juga terdapat tempat penyimpanan alat tangkap dan jaring yang akan digunakan untuk penangkapan umpan.

Pada bagian tengah kapal terdapat dua buah bak umpan sebagai tempat penampungan umpan hidup, empat buah palkah sebagai tempat penampungan dan penyimpanan hasil tangkapan dan sebuah palkah gudang yang tidak difungsikan sehingga digunakan sebagai palkah penampung hasil tangkapan. Pada bagian anjungan terdapat ruang ABK dan ruang kemudi yang di dalamnya terdapat beberapa alat navigasi dan komunikasi yang sederhana seperti kompas, peta, teropong dan sebuah radio komunikasi. Pada bagian bawah terdapat ruang mesin dan bagian buritan terdapat ruang dapur dan sedikit ruang yang selalu digunakan ABK kapal untuk belajar memancing bagi pemancing pemula. Gambar kapal pole and line yang beroperasi pada usaha perikanan cakalang Kota Tidore Kepulauan dapat dilihat pada Lampiran 16.

Tabel 4. Spesifikasi kapal pole and line di Kota Tidore Kepulauan

Spesifikasi Keterangan

Type kapal F.R.P. 15 GT

Bahan Utama Fibre Glass Reinforced Plastic

Panjang 12,7 meter

Lebar 2,7 meter

Dalam 1,2 meter

Isi kotor 6,69 GRT

Isi bersih 4,02 GRT

Mesin penggerak Yanmar 6 CHE, 105 PK Kecepatan maksimum 14 knot

Daya jelajah 60 jam

Isi tangki 1.100 liter

Pemakaian bahan bakar 16,2 liter/jam Kapasitas palkah 4 – 5 ton

Sumber : PT Ocean Mitra Mas

(2) Alat tangkap

Konstruksi alat tangkap pole and line terdiri atas joran (pole), tali (line) dan mata pancing (hook). Joran yang digunakan nelayan terbuat dari bambu de ngan tingkat kelenturan yang cukup tinggi . Panjang joran dan tali yang digunakan nelayan bervariasi antara 2 – 4 m dan 1,5 – 3 m sesuai dengan keinginan pemancing untuk mempermudah pemancingan dan disesuaikan dengan besarnya kapal. Pada umumnya panjang pole and line yang berkisar 3,5 – 5 m digunakan

oleh pemancing bagian haluan dan panjang pole and line yan.g berkisar 6 – 7 m digunakan oleh pemancing bagian samping atau buritan.

Umumnya tali pancing yang digunakan nelayan perikanan cakalang di Kota Tidore Kepulauan terdiri atas tiga bagian yaitu tali kepala (head line), tali utama

(main line), dan tali pengikat (string line). Panjang tali kepala berkisar 0,3 – 0,5 meter dari bahan kuralon yang ujung satunya diikatkan pada joran dan ujung satunya lagi diikatkan pada tali utama. Tali utama yang panjangnya bervariasi antara 1 – 3 m terbuat dari bahan polyethylen (PE), salah satu ujungnya diikatkan pada ujung tali kepala secara tetap dan salah satu ujungnya diikatkan pada tali pengikat dengan simpul yang dapat dilepas. Hal tersebut dimaksud untuk dapat dilepaskan setelah selesai melakukan pemancingan dan akan dipasang lagi apabila akan memulai pemancingan.

Panjang tali pengikat berkisar 0,3–0,4 m terbuat dari bahan nilon

monofilament diikatkan pada ujung simpul tali utama dan mata pancing yang diberi lobang. Mata pancing yang digunakan tidak berkait balik dan terbuat dari baja dengan maksud agar ikan yang tertangkap akan lebih mudah terlepas dari mata pancing jika disentak dan mata pancing tidak mudah berkarat. Pada mata pancing dipasangkan bulu ayam atau tali rafia yang berwarna –warni dengan maksud agar mengelabui penglihatan ikan terhadap mata pancing sehingga ikan akan menganggap sebagai umpan. Gambar alat tangkap pole and line yang digunakan nelayan pada umumnya di perairan Kota Tidore Kepulauan dapat dilihat pada Lampiran 16.

(3) Nelayan

Anak buah kapal (ABK) kapal pole and line merupakan tenaga kerja yang harus trampil, ulet dan mempunyai fisik yang kuat. Jumlah ABK kapal berkisar antara 9–13 orang dengan masing– masing tugas dan tanggung jawabnya sebagai berikut :

1. Nahkoda (skipper) : bertanggung jawab terhadap keselamatan pelayaran, ABK dan keberhasilan usaha penangkapan

3. KKM ( Chief enginer ) : bertanggung jawab terhadap seluruh pekerjaan di dalam kamar mesin dan mengawasi masinis dan olimen dalam pekerjaannya. 4. Masinis (Ass. Enginer) : membantu KKM

5. Olimen (Oiler) : membantu KKM dan masinis dalam mengawasi mesin agar kapal dapat berjalan dengan baik dan lancar

6. Juru mudi : membantu nahkoda dan mualim dalam mengawasi kemudi selama pelayaran

7. Boy-boy : menjaga dan merawat umpan agar tetap dalam kondisi baik serta menaburkan umpan pada saat kegiatan penangkapan

8. Jur u masak (cook ) : bertanggung jawab terhadap makan dan minum para ABK kapal selama pelayaran

9. Pemancing : memancing ikan, menangani hasil tangkapan selama di atas kapal dan mempersiapakan sarana produksi pada saat akan melakukan operasi penangkapan.

2.3 Kegiatan Operasi Penangkapan Pole and Line

Faktor yang sangat berperan penting dalam kegiatan operasi penangkapan cakalang dengan pole and line adalah ketersediaan umpan hidup. Awal kegiatan operasi penangkapan dimulai dari persiapan ABK untuk menyediakan perlengakapan kapal, alat dan sarana produksi lainnya serta perbekalan (konsumsi) pada pukul 18.00 - 19.00 WIT. Setelah itu kapal menuju lokasi penangkapan atau pengambilan umpan pada pukul 20.00 WIT. Umpan yang tersedia harus memadai dan mencukupi untuk penangkapan satu hari (one day fishing). Setelah umpan tersedia kapal menuju daerah penangkapan (rumpon) pada pukul 04.00 – 05.00 WIT. Kapal tiba di lokasi rumpon pada pukul 06.00 WIT saat menjelang fajar. Pada saat itu nafsu makan ikan cakalang sangat baik sehingga operasi penangkapan selalu diusahakan pada waktu yang sama. Ketika di lokasi rumpon semua ABK telah siap pada tempatnya dan mengamati schooling ikan. Para pemancing dengan pole and line telah duduk di haluan kapal

( flyng deck dan plat form). Boy-boy telah siap untuk menebarkan umpan.

Nakhodapun mendekati gerombolan ikan dengan menjalankan kapal secara perlahan dengan memperhatikan arah renang ikan dan arah angin. Kapal

mendekati schooling ikan dari arah lambung dimana terdapat boy-boy. Umpan ditebarkan dan ikan cakalang mulai mengejar dan mendekati umpan yang berenang berbalik menuju kapal. Kapal diusahakan memotong arah renang ikan hingga berada di bagian depan ikan agar ikan dapat melihat umpan yang ditebarkan dan mendekati kapal. Bersamaan dengan itu water sprayer dijalankan untuk mengaburkan pandangan ikan terhadap mata pancing maupun pemancing.

Proses penangkapan dimulai setelah ikan cakalang telah banyak bergerombol mendekati kapal. Para pemancing dengan cekatan dan cepat melakukan pemancingan dengan sistem banting. Sistem ini biasanya dipakai jika pemancingnya telah berpengalaman. Ikan hasil tangkapan disentak hingga terpelanting jatuh pada bagian dek kapal. Diusahakan agar ikan tidak kembali jatuh ke dalam air karena dengan jatuhnya ik an yang telah ditangkap akan menyebabkan gerombolan ikan lainnya akan segera menjauh dan meninggalkan kapal ataupun berenang ke arah yang lebih dalam. Selain itu ada beberapa pemancing yang melakukan pemancingan pada bagian buritan kapal dengan sistem dijepit. Biasanya sistem ini diberlakukan bagi pemancing pemula.

Setelah 30 menit sampai 1 jam pemancingan dilakukan, schooling cakalang semakin sedikit bahkan menjauh meninggalkan kapal. Nakhoda kembali menjalankan kapalnya menuju rumpon berikutnya untuk melakukan penangkapan selanjutnya. Para ABK kapal lainnya mulai menyortir dan membersihkan ikan hasil tangkapan dan menyusunnya ke dalam palkah. Perjalanan menuju rumpon berikutnya membutuhkan waktu satu sampai dua jam. Umumnya penangkapan dilakukan hingga sore hari pada pukul 16.00 WIT sampai pukul 17.00 WIT. Kapal kembali ke fishing base dan tiba pada pukul 19.00 WIT. Hasil tangkapan dibongkar dan ABK kembali mempersiapakn diri untuk melakukan operasi penangkapan selanjutnya. Gambar kegiatan Operasi penangkapan dapat dilihat pada Lampiran 16

.

2.4 Perikanan Cakalang

Kegiatan penangkapan ikan tuna (cakalang, madidihang dan tuna lainnya) telah berkembang di perairan Indonesia, khususnya Perairan Timur Indonesia sejak awal tahun 1970-an (Wild and Hampton 1994). Pe nangkapan dilakukan

dengan menggunakan huhate (pole and line ), pancing tonda (trolling), pancing

(hand line), pukat cincin (purse seine) dan lain- lain. Untuk penangkapan ikan cakalang di perairan utara Irian Jaya, penangkapan dengan huhate dioperasikan oleh perusahaan perikanan sedangkan lainnya dioperasikan oleh perikanan rakyat (Kusumastanto 1984).

Berdasarkan skala usaha, perikanan cakalang dapat dikelompokan menjadi perikanan rakyat dan perikanan industri. Perikanan rakyat umumnya mempunyai skala usaha kecil, sarana dan prasarana penangkapan yang terbatas. Hal ini terutama disebabkan karena modal usaha yang dimiliki terbatas. Kegiatan penangkapan ikan dalam perikanan rakyat umumnya dilakukan secara tradisional. Dengan kondisi tersebut di atas, maka produksi yang diperoleh relatif renda h, daya penangkapan dan pemasaran sangat terbatas (Monintja et al. 2001). Perikanan industri pada umumnya memiliki modal usaha yang lebih besar, sarana dan prasarana lebih lengkap. Akibatnya produksi per upaya penangkapan lebih besar dibandingkan dengan perikanan rakyat. Dengan kondisi sarana yang lebih lengkap, mutu hasil tangkapan akan lebih baik dan dapat memenuhi persyaratan yang diminta oleh pasar termasuk pasar eksport. Dengan demikian perikanan industri ini diharapkan dapat mengemban misi negara yang secara aktif ikut membangun perekonomian nasional, meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat (PT Usaha Mina 2000, diacu dalam Simbolon 2003 )

2.5 Penyebaran Cakalang

Penyebaran ikan cakalang dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu penyebaran horizontal atau penyebaran menurut letak geografis perairan dan penyebaran vertikal atau penyebaran menurut ke dalaman perairan (Nakamura 1969).

Selanjutnya Uktolseja (1987 ), menerangkan bahwa sediaan cakalang di wilayah perairan Kawasan Indonesia Timur (KTI) tersedia sepanjang tahun terutama di Laut Maluku, Laut Banda, Laut Seram dan Laut Sulawesi. Populasi cakalang yang dijumpai di perairan Indonesia bagian Timur sebagian besar berasal dari Samudera Pasifik yang memasuki perairan ini mengikuti arus. Perairan Indonesia secara geografis, terletak antara Samudera Pasifik dan

Samudra Hindia, oleh karena itu sebagian besar jenis ikan di kedua samudera itu juga terdapat di Indonesia.

Stok yang terdapat di perairan KTI diduga berasal dari Samudera Pasifik bagian barat yang beruaya dari sebelah timur Philiphina dan sebelah utara Papua Nugini. Ikan tersebut selanjutnya beruaya ke perairan KTI dari Samudera Pasifik bagian barat yaitu ke Perairan Zamboanga dan sebelah utara Papua Nugini (Suhendrata 1987, diacu dalam Simbolon 2003).

2.6 Musim dan Daerah Penangkapan Cakalang di Indonesia

Musim penangkapan cakalang di perairan Indonesia bervariasi dan belum tentu sama d iantara satu perairan dengan perairan yang lain. Nikujuluw (1986), menyatakan bahwa penangkapan cakalang dan tuna di perairan Indonesia dapat dilakukan sepanjang tahun dan hasil yang diperoleh berbeda dari musim ke musim dan bervariasi menurut lokasi penangkapan. Selanjutnya Monintja et al. (2001), membagi puncak musim penangkapan cakalang menurut wilayah perairan yang disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 . Puncak musim penangkapan cakalang menurut wilayah perairan

Wilayah Perairan Puncak Musim

Sulawesi Utara – Tengah Halmahera Maluku Irian Jaya Pelabuhan Ratu Padang Aceh

Maret s/d Mei; Agustus s/d Nopember; April s/d Juni September s/d Oktober; Pebruari s/d April

September s/d Desember

Pebruari s/d Juni; Agustus s/d Desember Agustus s/d September

Maret s/d Mei

Belum diperoleh informasi

Sumber : Monintja et al. 2001

Paulus (1987), menyatakan bahwa dalam memilih dan menentukan daerah penangkapan, harus memenuhi syarat-syarat antara lain : (1) Kondisi daerah tersebut harus sedemikian rupa sehingga ikan dengan mudah datang dan berkumpul dalam gerombolan, (2) daerahnya aman dan alat tangkap mudah dioperasikan, (3) daerah tersebut harus daerah yang secara ekonomis menguntungkan. Potensi cakalang di Indonesia sebagaian besar terdapat di daerah perairan kawasan timur Indonesia. Daerah penangkapan yang potensial bagi ikan tersebut di KTI terdapat di perairan Sulawesi Utara,

Halmahera, Maluku dan Irian Jaya dengan basis penangkapan masing- masing di Bitung, Ternate, Ambon dan Sorong. Wilayah yang memiliki potensi cakalang di kawasan barat Indonesia terdapat di perairan selatan Jawa Barat (Pelabuhan Ratu), Sumatera Barat dan Aceh (Monintja et al. 2001)

2.7 Unit Penangkapan Pole and line (Huhate)

Teknologi penangkapan dengan pole and line (huhate) di perairan Indonesia telah dilakukan sejak dahulu oleh nelayan secara tradisional. Usaha penangkapan ini secara komersial mulai dilaksanakan pada tahun 1960-an melalui pembentukan perusahaan–perusahaan perikanan dalam bentuk BUMN. Kebijakan tersebut diharapkan dapat meningkatkan perkembangan perikanan industri. Namun demik ian, nelayan yang termasuk dalam kategori perikanan rakyat masih banyak ditemukan di berbagai wilayah perairan Indonesia dewasa ini ( PT Usaha Mina 2000). Pole and line merupakan alat tangkap yang terdiri atas joran, tali pancing dan mata pancing. Joran te rbuat dari bambu yang mempunyai kelenturan tinggi. Pada mata pancing diikatkan tali rapiah yang berwarna -warni sedemikian rupa sehingga menyerupai umpan. Umpan hidup merupakan salah satu faktor pembatas yang sangat penting dalam pengoperasian pole and line. Umpan hidup ini dimaksudkan untuk memikat dan menarik perhatian ikan agar muncul di permukaan laut serta untuk menahan schooling ikan agar tetap berada di dekat lambung kapal (Kaneda 1995).

Satu unit penangkapan ikan dengan alat tangkap p ole and line terdiri atas kapal penangkap, alat tangkap dan ABK. Kebanyakan kapal penangkap ikan dengan Pole and line berukuran kecil (< 30 GT) yang terdiri atas kapal berukuran 5–15 GT yang menggunakan joran (pole) yang panjangnya sekitar 5-6 m sebanyak 10 buah dan kapal berukuran 20-30 GT yang menggunakan joran dengan panjang 3-4 m sebanyak 20-30 buah. Kapal penangkap dilengkapi dengan palkah penyimpan ikan dan bak umpan, tempat pemancingan dan alat penyemprot ( Monintja 1995).

2.7 Umpan Hidup Dalam Perikanan Cakalang

Umpan hidup dalam perikanan cakalang sangat memegang peranan penting untuk menjamin keberhasilan operasi penangkapan. Widodo (1973), diacu dalam

Simbolon (2003), menyatakan bahwa umpan hidup berfungsi untuk menarik perhatian ikan, sehingga memudahkan proses penangkapan. Pengaruh umpan terhadap hasil tangkapan juga dipengaruhi oleh besar kecilnya schooling ikan yang menjadi tujuan penangkapan dan kondisi ikan itu sendiri (lapar atau kenyang). Ikan cakalang yang lapar cenderung lebih rakus dan nafsu makannya lebih tinggi untuk menangkap umpan hidup yang digunakan. Selanjutnya dikatakan bahwa umpan yang dipakai dalam perikanan pole and line adalah umpan alami (natural bait) yang masih hidup ( live bait). Umpan yang digunakan untuk jenis pancing lainnya seperti long line, troll line dan lain-lain adalah umpan buatan (artificial bait) atau umpan alami yang sudah mati.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa ikan teri (Stolephorus sp) merupakan jenis yang paling baik untuk dijadikan umpan hidup pada perikanan Pole and line. Hal ini disebabkan karena jenis ikan ini memiliki ukuran 5–10,4 cm dan memiliki ciri-ciri sebagai umpan hidup yang sangat disukai oleh ikan cakalang (Monintja et al. 1968). Jenis ikan umpan yang sangat disenangi oleh cakalang karena memiliki sifat-sifat sebagai berikut : (1) berwarna terang dan mengkilat atau keputih-putihan sehingga mudah menarik perhatian ikan cakalang, (2) tahan hidup lama di dalam bak penyimpanan pada saat pelayaran dari daerah penangkapan ikan umpan menuju daerah penangkapan cakalang, (3) umpan yang disebarkan di antara schooling cakalang memiliki sifat yang cenderung bergerak mendekati kapal untuk berlindung, (4) sisik umpan tidak mudah terkelupas, sehingga tingkat kecerahan warna dapat dipertahankan dan (5) panjang (size) umpan hid up sesuai dengan ukuran yang disenangi oleh cakalang yang menjadi target penangkapan.

Menurut Gafa dan Merta (1987), masalah utama yang sering dialami dalam perikanan cakalang dengan menggunakan pole and line adalah ketersediaan umpan hidup pada waktu-waktu tertentu dan tingginya tingkat kematian umpan dalam bak penyimpanan di atas kapal. Dilain pihak, kegiatan operasi penangkapan cakalang tidak akan berhasil apabila umpan hidup tidak tersedia dalam jumlah yang memadai. Dengan demikian, umpan hidup merupakan faktor

pembatas (limiting factor) paling penting dalam perikanan cakalang dengan menggunakan pole and line .

2.9 Pendekatan Sistem

Sistem dapat didefinisikan sebagai kumpulan elemen-elemen yang saling berhubungan melalui berbagai bentuk interaksi dan bekerjasama untuk mencapai yang berguna (Gaspersz 1992). Pendapat yang senada dikemukakan oleh Davis (1984), yang mengatakan bawa sebuah sistem bukanlah seperangkat unsur yang tersusun secara tidak teratur, tetapi terdiri atas unsur yang dapat dik enal saling melengkapi karena mempunyai satu maksud, tujuan atau sasaran.

Manetsh dan Park (1974), mendefinisikan sistem sebagai satu set elemen

Dokumen terkait