• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Minyak, Lemak dan Asam Lemak 2.1.1 Minyak dan Lemak

Minyak dan lemak termasuk salah satu golongan lipida yaitu lipida netral. Minyak dan lemak yang telah dipisahkan dari jaringan asalnya, mengandung sejumlah kecil komponen selain trigliserida (bahan pengotor atau impurities), yaitu asam lemak bebas, hidrokarbon, pigmen yang larut dalam lemak, sterol dan lipida kompleks seperti fosfatida dan lesitin. Komponen tersebut mempengaruhi warna dan kadar produk serta berperan pada proses ketengikan (Thomas, 1985).

Asam lemak bebas merupakan komponen trigliserida yang dapat disabunkan, sedangkan sterol, pigmen dan hidrokarbon merupakan fraksi yang tidak tersabunkan

(unsaponiable matter) (Ketaren, 1986 ; Bernardini, 1985).

Minyak dan lemak (trigliserida) mempunyai sifat fisika-kimia yang berbeda satu sama lain, karena perbedaan jumlah dari jenis ester di dalamnya. Minyak dan lemak merupakan ester 1 mol gliserol dengan 3 mol asam lemak mengikat asam lemak yang sama atau yang berbeda, umumnya berantai lurus monokarbosilat beratom karbon genap.

Trigliserida dapat berwujud cair atau padat, hal ini tergantung dari komposisi asam lemak yang menyusunnya (Thomas, 1985). Semakin banyak asam lemak tidak jenuh seperti asam oleat, linoleat atau asam linolenat pada suatu trigliserida, maka titik cairnya lebih rendah atau sebaliknya trigliserida yang lebih banyak mengandung asam palmitat dan stearat, titik cairnya lebih tinggi .

Pigmen atau zat warna sebagai salah satu fraksi tidak tersabunkan pada minyak dan lemak terdapat secara alami. Zat warna tersebut antara lain terdiri dari

α- dan β- karoten, xantofil, klorofil dan antosianin. Zat warna ini menyebabkan minyak berwarna kuning, kuning kecoklatan, kehijau-hijauan dan kemerah-merahan (Ketaren, 1986).

Beberapa reaksi kimia minyak dan lemak, adalah reaksi hidrolisis, oksidasi dan hidrogenasi. Ketiga reaksi ini diperkirakan saling berkaitan dan terkait dengan penelitian ini. Reaksi hidrolisa menghasilkan flavour dan bau tengik pada minyak atau lemak dan produk turunannya (Thomas, 1985). Reaksi oksidasi menyebabkan

oil ).

.

bau tengik pada minyak dan lemak. Reaksi tingkat lanjut mengakibatkan terurainya asam lemak menjadi aldehid, keton, alkohol, aromatik dan hidrokarbon, hasil reaksi ini juga menyebabkan bau produk turunannya juga terpengaruh (Thomas, 1985).

Secara menyeluruh reaksi oksidasi minyak dan lemak lebih khusus kepada asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh semakin reaktif terhadap oksidasi dengan bertambahnya ikatan rangkap pada rantai molekul.

Reaksi oksidasi tidak hanya merusak asam lemak atau lemak itu sendiri, juga merusak karotenoid, sehingga berwarna gelap. Hal ini menyebabkan warna asam lemak atau lemak cenderung semakin gelap (Thomas, 1985).

Reaksi hidrogenasi merubah ikatan rangkap menjadi ikatan jenuh yang terdapat pada asam lemak maupun bahan pengotor (impurities) dalam minyak atau lemak, sehingga menjadi lebih stabil. Reaksi ini juga sangat diperlukan untuk membuat produk - produk asam lemak bermutu premium setelah melalui proses distillasi atau fraksinasi, sebagai tahap pemurnian akhir asam lemak (Patterson, 2000).

2.1.2 Asam lemak

Untuk memperoleh asam lemak dengan rantai karbon di atas C14 seperti asam palmitat C16, asam stearat C18, asam oleat C18-1 asam linoleat C18 -2 umumnya dipakai minyak kelapa sawit ( crude palm

Crude Palm Oil (CPO) termasuk golongan lemak dan merupakan bahan baku pembuatan RBDPS (Refined Bleached Deodorized Palm Stearin). Secara umum pembuatan dan pemurnian RBDPS melalui tahapan pengolahan awal CPO yang mencakup tahap degumming dan pemucatan (bleaching), deodorisasi dan fraksinasi basah atau kering atas fraksi olein dan stearin (RBDPS). Pengolahan ini bertujuan untuk menekan kandungan impurities (bahan pengotor) serendah mungkin, sehingga dapat digunakan sebagai bahan pembuatan asam stearat berbasis RBDPS (C18 = 37 – 42 %) bermutu premium pada industri oleokimia

Asam stearat yang diproduksi pada industri oleokimia sangat luas pemanfaatannya dalam kehidupan manusia, khususnya asam stearat berbasis RBDPS banyak dimanfaatkan untuk pembuatan : sabun, lilin, krayon, kosmetik, pelumas, penyetabil PVC, monogliserida, bahan pengkilat, obat – obatan, metil stearat,

pengemulsi makanan(Thomas, 1985).

Salah satu route proses pembuatan dan modifikasi asam lemak yang digunakan untuk pembuatan asam stearat berbasis RBDPS (C18 = 37 – 42 %), ditampilkan pada diagram balok Gambar 2.1. Route proses ini juga dapat digunakan untuk pembuatan asam stearat berbasis CPO (C18 = 50 – 56 %) dan asam stearat berbasis PKO (C18 = 62 – 70 %).

Degumming Splitting Hidrogenasi Asam Stearat Distilasi

RBDPS DRBDPS Air Lunak Air Lunak H3 PO4, 85% SRBDFA Sweet Water Steam bertekanan 64 bar Katalisator Ni Residue Acid

Distilat asam Sterat Gas Hidrogen Fraksi ringan

Gambar 2.1 : Pembuatan dan modifikasi asam stearat berbasis RBDPS (C18 = 37- 42%) (PT. Flora Sawita Chemindo)

Catatan : RBDPS (Refined Bleached Deodorized Palm Stearin ); DRBDPS (Degummed RBDPS ) ; SRBDPSFA (Spllited RBDPS Fatty Acid)

Jenis asam stearat di atas merupakan sebagian kecil dari jenis asam stearat yang dapat diroduksi sampai saat ini pada industri oleokimia dan masih banyak yang ragamnya. Asam stearat lainnya dapat dibuat dari bahan baku yang berbeda dengan mutu yang berbeda pula (Ritonga, 2004 : 2008). Perbedaan mutu tidak saja disebabkan oleh perbedaan bahan baku, tetapi juga disebabkan oleh perbedaan tahapan pengolahan yang dilakukan dan kemampuan fasilitas pemurnian. Asam stearat yang merupakan fraksi tunggal dengan kemurnian di atas 90 % dapat dibuat melalui proses fraksinasi sebagai tahap pemurnian lanjut setelah distillasi (Ritonga, 2007).

Jumlah perolehan asam stearat ini dari bahan baku yang berbeda sangat dipengaruhi mutu bahan baku dan tingkat kemampuan peralatan pemurnian yang dipergunakan. Secara teori jumlah asam stearat dari bahan baku yang berbeda dapat ditentukan dari komposisi asam stearat pada bahan baku yang dipergunakan. Bahan pengotor (impurities) yang terkandung pada bahan baku yang dipergunakan, merupakan salah faktor penyebab penentu jumlah perolehan asam stearat (Ritonga, 2006). Kandungan bahan pengotor yang lebih banyak pada bahan baku, cenderung

menekan jumlah perolehan asam stearat. Guna mendapatkan asam stearat dengan jumlah yang sesuai dengan komposisinya pada bahan baku dan untuk mendapatkan asam stearat dengan mutu yang lebih baik, diperlukan pemurnian awal yang sesuai dengan kebutuhan.

Asam lemak kasar berbasis RBDPS yang dihasilkan dari splitting memiliki

komposisi dan jenis kandungan yang sama dengan minyak atau lemak yang dipergunakan sebagai bahan baku, tetapi masih mengandung minyak dan lemak yang Tabel -2.1. Mutu Bahan Baku RBDPS (Asam lemak bebas = 0,2%, Bilangan penyabunan = 195 - 210: Bilangan iodium = 34 - 37; Warna = 3,0 R maksimum ; Air = 0,15 % maksimum).

No Nama Asam Lemak Jumlah Karbon

Jumlah ikatan

rangkap Simbol

Komposisi (% berat)

1 Asam laurat C12 0 C12 1 maks

2. Asam miristat C14 0 C14 2 maks

3 Asam palmitat C16 0 C16 57 – 61

4. Asam stearat C18 0 C18 3 – 7

5. Asam oleat C18-1 1 C18 26 – 30

6. Asam linoleat C18-2 2 C18 5 - 7

7. Asam arakidat C20 0 C20 1 maks

Sumber : PT. Flora Sawita Chemindo, 2008

tidak terhidrolisa pada operasi splitting, yang menjadi salah satu bagian fraksi bertitik didih tinggi (High Boiling Component). Fraksi bertitik didih rendah pada asam lemak adalah material-material penyebab bau (odor) seperti aldehid, keton dan sebagai bahan tak tersabunkan (Unsapniable matter )(Brown,1979).

Asam lemak yang dapat dihasilkan dari hidrolisis RBDPS mengandung fraksi ringan (light end) beratom karbon C14 dan lebih rendah. Fraksi berat (heavy

component) beratom karbon C16 sampai C20 dengan range komposisi asam lemak

hasil hidrolisis RBDPS ditampilkan pada Tabel -2. di atas.

Sifat fisika asam lemak tergantung pada komposisi asam lemak pembentuknya. Jika asam lemak pembentuknya banyak mengandung asam palmitat C16 dan asam stearat C18 maka titik cairnya semakin tinggi. Jika asam lemak pembentuknya banyak mengandung asam oleat C18-1, asam linoleat C18-2 dan asam linolenat C18-3 maka titik didih dan cairnya akan semakin rendah.

Asam lemak dari RBDPS membeku pada suhu kamar, sebab banyak mengandung asam palmitat dan stearat. Asam lemak dari minyak inti kelapa sawit berwujud cair pada suhu kamar, sebab banyak mengandung asam kaprilat C8 sampai asam miristat C14 sampai 63 % berat.

2.1.3 Karakteristik

Beberapa karakteristik asam lemak yang penting dapat diperhatikan pada pokok bahasan berikut ini :

2.1.3.1 Titik Didih (Boiling Point)

Titik didih asam lemak bertambah dengan kenaikan berat molekul asam lemak. Asam lemak tidak jenuh dengan jumlah atom C yang sama dengan asam lemak jenuh memiliki titik didih yang lebih rendah (Lurgi, 1989).

Titik didih beberapa asam lemak dengan jumlah rantai lurus ditampilkan pada Tabel -2.2 (Bernardini, 1985).

Tabel 2.2. Titik Didih Asam Lemak Jenuh ( 0 C).

Tekanan (mmHg) No

Nama asam lemak Jml atom C 1 2 4 8 16 1 Asam Kaproat C6 61,7 71, 9 82,8 94,6 107,3 2 Asam Kaprilat C8 87,5 97,9 109,1 121,3 134,6 3 Asam Kaprat C10 110,3 121,2 132,7 145,5 159,4 4 Asam Laurat C12 130,2 141,8 154,1 167,4 181,8 5 Asam Miristat C14 149,2 161,1 177,9 187,6 202,4 6 Asam palmitat C16 167,4 179 198,2 200,1 221,5 7 Asam stearat C18 183,6 195,9 209,2 224,0 240,0 2.1.3.2 Titer

Titer adalah titik beku asam lemak. Titer asam lemak bertambah dengan pertambahan berat molekul dan berkurang dengan pertambahan ketidakjenuhan asam lemak. Nilai titer dapat dikorelasikan dengan tingkat ketidakjenuhan suatu asam lemak dan digunakan secara luas untuk mengidentifikasikan kemurnian asam lemak

(Unichema International, 1998).

Pada Tabel -2.3 ditampilkan nilai titer beberapa asam lemak (Unichema International, 1998).

Tabel -2.3. Titer Beberapa Asam Lemak

No Nama asam lemak Simbol nama Titer,oC

1 Asam laurat C12 44,10 2 Asam miristat C14 54,20 3 Asam palmitat C16 62,80 4 Asam stearat C18 69,60 5 Asam oleat C18-1 13.5 ( ): 16,3 ( ) 6 Asam linoleat C18-2 - 5,0 7 Asam aracidat C20 75,40 2.1.3.3. Warna

Warna dari asam lemak cair merupakan salah satu indikasi mutu dan atau kemurnian asam lemak. Warna dapat diukur secara visual dengan membandingkan sampel dengan warna standar. Pengukuran warna asam lemak dilakukan dengan pengukuran warna Lovibond (Unichema International, 1998).

2.1.3.4. Komposisi Lemak

Komposisi campuran asam lemak beratom karbon C6-24 dapat ditentukan untuk asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh dengan Gas Chromatography

(GC) (Unichema International, 1998). 2.1.3.5. Bilangan Iodium (Iodine Value)

Bilangan iodium adalah suatu ukuran total dari ketidakjenuhan suatu asam lemak tetapi tidak bisa digunakan untuk menyimpulkan kandungan dari asam lemak jenuh. Bilangan Iodium ini dinyatakan sebagai jumlah gram iodin yang dise

rap per 100 gram sampel (% iodin diserap) (Unichema International, 1998).

2.1.3.6. Bilangan Asam (Acid Value)

Bilangan asam adalah suatu ukuran jumlah asam lemak yang bebas dan didefinisikan sebagai jumlah milligram KOH yang dibutuhkan untuk menetralkan asam lemak bebas dari satu gram sampel. Penentuan bilangan asam digunakan untuk mengidentifikasi dan kemurnian asam lemak (Unichema International, 1998).

2.1.3.7. Bahan Tidak tersabunkan (Unsaponiable matter).

Bahan tidak tersabunkan termasuk semua bahan yang tidak tersabunkan oleh alkali dan hanya larut pada pelarut lemak tertentu. Bahan yang tidak tersabunkan, adalah alkohol alipatik, sterol, zat warna dan hidrokarbon. Asam lemak secara normal mengandung sejumlah persentase kecil bahan tidak tersabunkan. Jika terdapat jumlah bahan yang tidak tersabunkan pada asam lemak, mutu asam lemak yang rendah sudah terindikasi (Unichema International, 1998 ).

2.1.3.8. Stabilitas Warna (Heat stability).

Stabilitas warna atau heat stability dihubungkan dengan kenaikan suhu, adalah sangat penting pada penggunaan komersil asam lemak. Kondisi yang dibuat pada saat pengukuran stabilitas warna, seperti suhu, lama pemanasan, waktu mencapai suhu yang diperlukan dan kontak dengan udara mempengaruhi hasil akhir analisa (Unichema International, 1998). Nilai heat stability yang semakin besar menunjukkan kestabilan warna yang semakin rendah, artinya warna akan cenderung semakin gelap jika disimpan dan masa simpan yang lebih pendek. Nilai heat stability

yang lebih tinggi menunjukkan kandungan bahan pengotor penyebab warna yang lebih banyak (sangat riskan menjadi lebih gelap karena teroksidasi oleh oksigen yang diudukung oleh suhu dan kenaikannya) dan perlu diperbaiki lebih rendah jika diperlukan melalui refinery, hidrogenasi adan/atau distillasi. Penentuan nilai heat

stabiltiy dilakukan dalam suatu oil bath pada suhu 205 oC selama 2 jam tanpa

diblanketing dengan gas nitrogen (gas N2).

Nilai heat stability dinyatakan dalam satuan warna, misalnya Lovibond. 2.2. Hubungan Bilangan Iodium dan Warna Asam Lemak

Kerusakan pada minyak dan lemak pada dasarnya, adalah kerusakan pada asam lemak penyususnnya serta konstituen atau bahan pengotor non asam lemak yang terkandung di dalamnya, seperti pigmen karoten, tirgliserida, aldehid, keton dan pospolipida, yang terjadi secara bersamaan dengan kerusakan asam lemak. Kerusakan asam lemak dan bahan pengotor di dalamnya tidak ditentukan oleh jumlah asam lemak atau bahan pengotor di dalamnya, tetapi ditentukan oleh intensitas bilangan iodium (iodine value) asam lemak dan suhu. Kerusakan asam lemak dimulai pada bagian asam lemak yang paling labil atau sensitif terhadap oksidasi oleh udara dan dipercepat oleh panas. Semakin banyak ikatan rangkap yang

dikandung asam lemak, semakin mudah atau semakin sensitif terhadap kerusakan asam lemak. Demikian pula kerusakan konstituen non asam lemak yang terkandung di dalamnya. Pigmen karoten merupakan senyawa hidrokarbon tidak jenuh (memiliki intensitas bilangan iodium tertentu) yang juga bersifat labil atau sensitif terhadap oksidasi oleh oksigen dan dipercepat oleh panas. Bilangan iodium pada asam lemak menandai jumlah ikatan rangkap yang dikandung asam lemak itu sendiri dan bahan pengotor yang mengandung ikatan rangkap di dalamnya. Bilangan iodium ini sangat mempengaruhi warna asam lemak, karena sifatnya yang labil atau sensitif terhadap oksidasi oleh udara dan dipercepat oleh kenaikan suhu atau panas. Oksidasi asam lemak tidak jenuh menghasilkan aldehid dan keton dengan berat molekul yang lebih rendah dan dengan intensitas warna yang berbeda, tergantung dari berat molekulnya. Semakin besar berat molekulnya semakin gelap warna yang dihasilkan. Hasil oksidasi ini menyebabkan stabilitas warna asam lemak semakin tidak stabil. Dengan demikian tingkat oksidasi asam lemak, sangat ditentukan oleh perubahan suhu atau panas dan bilangan iodium asam lemak serta sangat menentukan intensitas warna atau stabilitas warna asam lemak yang dihasilkan (Ketaren, 1986). Dengan demikian bilangan iodium dan suhu mempengaruhi stabiltas warna (heat stability) asam lemak.

2.3. Mekanisma dan Hasil Oksidasi Asam Lemak

Oksidasi asam lemak dimulai dengan pembentukan peroksida dan hidroperoksida asam lemak sebagai produk primer (yang bersifat labil dan akan mudah mengalami dekomposisi oleh proses isomerisasi dan polimerisasi), selanjutnya terurainya asam lemak disertai konversi hidroperoksida menjadi aldehid dan keton (senyawa karbonil) serta asam lemak dengan berat molekul yang lebih rendah (terutama dengan jumlah atom karbon C1 – C9) dan persenyawaan tidak jenuh yang labil terhadap oksidasi dan perubahan panas, yang cenderung berbau tidak enak dan berwarna lebih gelap. Pembentukan peroksida cenderung bertambah dengan bertambahnya bilangan iodium (iodine value) dan kenaikan suhu. Dengan demikian intensitas ikatan rangkap atau bilangan iodium asam lemak, sangat mempengaruhi intensitas warna asam lemak sebagai hasil oksidasi asam lemak. Semakin besar nilai bilangan iodium semakin mudah teroksidasi atau semakin mudah pada pembentukan warna asam lemak yang lebih gelap. Hal ini dipengaruhi

juga oleh suhu. Kenaikan suhu memepercepat perubahan warna asam lemak yang lebih gelap (Ketaren, 1986).

Mekanisma oksidasi asam lemak ditunjukkan pada Gambar -2.2 dan pengaruh oksidasi ikatan rangkap asam lemak terhadap mutu asam lemak dapat diperhatikan pada Gambar -2.3. Oksidasi asam lemak dimulai dengan pembentukan peroksida dan hiperoksida (Ketaren, 1986).

Polimerisasi

Dimer, polimer

Hidroperoksida Asam Lemak

Oksidasi lebih lanjut Penguraian Dehidrasi Oksidasi ikatan -CH = CH atau molekul lain Asam - aldehid - semi aldehid - senyawa OH - epoksidasi - OH Gliserida - Di – OH gliserida Polimer Diperoksida Keto gliserida

Oksidasi berantai Asam Lemak Tidak Jenuh

menyebabkan

Lipo peroksida, aldehid, asam, ketohidroksi, epoksi, polimer

Dekstruksi konstituen aroma, flavor, warna, vitamin

menyebabkan

Off odour/flavor, destruksi asam

lemak essensial, browning dengan

protein, kemungkinan menimbulkan keracunan.

Gambar -2.3. Pengaruh Oksidasi Ikatan Rangkap Asam Lemak Pada Mutu Asam lemak

2.4. Membuat Distillat Asam Lemak dengan Stabilitas Warna yang Stabil

Senyawa peroksida tidak terbentuk pada suasan vakum (Ketaren, 1986). Dengan demikian tekanan vakum dapat menekan oksidasi ikatan rangkap asam lemak dan bahan pengotornya untuk menekan perubahan warna asam lemak pada proses pembuatan dan pemurniannya dengan fraksinasi dan/atau distillasi yang umumnya dilakukan pada suhu tinggi (220 – 265 oC). Tekanan vakum yang lebih tinggi, lebih baik bagi untuk stabilitas warna distillat asam lemak yang lebih stabil.

Jika demikian halnya, maka upaya menekan warna atau menaikkan kestabilan warna asam lemak dapat dilakukan dengan memisahkan bahan pengotor yang terdapat dalam umpan asam lemak pada kondisi pemisahan pada tekanan vakum yang sesuai untuk menghasilkan distillat asam lemak dengan mutu yang spesifik pula. Bahan pengotor digolongkan pada fraksi ringan dan berat berdasarkan titik didihnya.

Satu – satunya reaksi oksidasi yang mungkin terjadi pada proses pemurnian asam lemak dengan fraksinasi dan/atau distillasi (tanpa kehadiran oksigen), adalah

thermal polimerisasi yang membentuk senyawa siklik (C6) dari asam lemak tidak

jenuh (asam oleat dan linoleat) yang terjadi pada suhu sekitar 250 oC (Ketaren,

1986). Asam lemak kasar dari CPO mengandung sekitar 2 % berat minyak yang

tidak terhidolisa pada saat konversi minyak menjadi asam lemak kasar dan gliserin.

Dengan demikian asam lemak kasar mengandung sejumlah kecil asam oleat dan linoleat yang digolongkan pada fraksi berat karena berada dalam bentuk minyak. Guna menekan pengaruh oksidasi asam lemak ini (tanpa oksigen) terhadap stabilitas warna asam lemak pada proses pemurnian asam lemak (dengan proses fraksinasi dan/atau distillasi) pencampuran asam lemak yang dihasilkan dari step pemurnian yang mengandung fraksi berat ini, mungkin sebaiknya dihindarkan (Gmbar 1.2), disamping memisahkan bahan pengotor fraksi ringan tentunya pada kondisi yang sesuai dan tertentu untuk produk asam lemak dengan mutu yang tertentu dan spesifik. Prinsipnya menekan bahan pengotor pada produk distillat yang diinginkan seoptimum mungkin yang disesuaikan dengan mutu produk yang diinginkan.

2.5. Prinsip Dasar Distilasi atau Fraksinasi

Proses distilasi atau fraksinasi adalah suatu proses pemisahan suatu komponen – komponen pembentuk suatu campuran cairan, berdasarkan perbedaan titik didih komponen – komponennya. Kondisi proses ini sangat dipengaruhi suhu, tekanan dan kecepatan aliran fluida dalam proses ini. Kondisi proses distilasi atau fraksinasi harus dalam keadaan seimbang untuk mendapatkan mutu produk yang spesifik (Hermann,1990).

Variabel – variable suhu, tekanan dan kecepatan aliran adalah tiga kunci utama pada proses distilasi atau fraksinasi. Perubahan dapat dilakukan terhadap satu atau lebih variabel – variabel di atas untuk mendapatkan kondisi operasi yang spesifik dan spesifikasi mutu produk yang dihasilkan (Edgar, 1985 ; Hermann,1990 ;

Ritonga, 1994).

2.5.1 Suhu

Pada proses distilasi atau fraksinasi komposisi produk yang dihasilkan sangat ditentukan oleh titik didihnya dan komposisi umpan yang akan dipisahkan. Komposisi umpan yang berbeda akan menghasilkan komposisi produk yang berbeda. Berdasarkan hal ini selama proses dilakukan komposisi umpan sangat penting dianalisa, karena setiap perubahan komposisi umpan akan menyebabkan perubahan pada kondisi operasi proses distilasi atau fraksinasi (Ritonga, 1997; P.Zacchi et al ; Prieto et all, 2007).

Secara umum jika suhu pemisahan lebih tinggi dari titik didih umpan yang dipisahkan, produk yang dihasilkan banyak mengandung komponen yang bertitik didih lebih tinggi (heavy component). Demikian sebaliknya (Ritonga, 1994).

2.5.2. Tekanan

Selama proses berlangsung tekanan operasi kolom harus dijaga dengan seksama. Mengubah tekanan operasi kolom berarti mengubah kwalitas seluruh produk yang dihasilkan, karena perubahan tekanan kolom menyebabkan perubahan pada titik didih material yang dihasilkan. Jika tekanan operasi kolom ditambah, titik didih material yang diolah juga bertambah. Demikian sebaliknya. Kenaikan tekanan kolom akan menyebabkan distilat mengandung lebih kecil heavy component dan produk bawah mengandung light component yang lebih besar (Ritonga, 1994).

2.5.3. Laju alir

Laju alir yang dimaksud, adalah laju alir umpan masuk pada kolom ditilasi atau fraksinasi, laju alir distilat, laju alir produk bawah dan laju alir refluks yang kembali ke kolom distilasi atau fraksinasi. Keempat laju alir ini harus dijaga dengan baik.

Jika laju alir umpan berkurang dan/atau laju alir distilat bertambah, produk distilat akan mengandung lebih banyak heavy component. Demikian sebaliknya.

Jika laju alir produk bawah bertambah, produk ini akan mengandung light

component yang lebih besar (Ritonga, 1994).

Perubahan pada laju alir refluks, menyebabkan perubahan pada komposisi produk – produk distilasi. Jika laju alir refluks berkurang, suhu bagian atas kolom distilasi atau fraksinasi akan bertambah, sehingga over head product atau distilat mengandung lebih banyak komponen bertitik didih lebih tinggi (heavy componet).

Demikian sebaliknya (Ernest,1989 ; Ritonga, 1994).

Jika suhu bagian atas kolom distilasi atau fraksinasi lebih atau terlalu tinggi dari yang dibutuhkan, maka distillate product atau over head distillate atau distilat banyak mengandung heavy component dan jumlahnya lebih banyak. Sebaliknya jika suhu bagian atas kolom distilasi atau fraksinasi lebih atau terlalu rendah dari yang dibutuhkan, maka distillate product atau over head distillate atau distilat banyak

mengandung komponen bertitik didih lebih rendah (light component) dan jumlahnya lebih sedikit.

Jika suhu bagian bawah kolom distilasi atau fraksinasi lebih atau terlalu rendah dari yang dibutuhkan, bottom product atau produk bawah yang dihasilkan mengandung light component yang lebih besar dan jumlahnya lebih banyak dari keadaan normal operasi. Sebaliknya jika suhu bagian bawah kolom distilasi atau fraksinasi lebih atau atau terlalu tinggi dari yang dibutuhkan, bottom product atau produk bawah yang dihasilkan mengandung light component yang lebih kecil dan jumlahnya lebih kecil dari keadaan normal operasi (Ritonga, 1994).

2.6. Distilasi Asam Lemak

Asam lemak kasar yang dihasilkan dari splitting mengandung sejumlah bahan pengotor bertitik didih tinggi (high boiling impurities), seperti gliserida yang tidak bereaksi, gliserol, sterol, fosfatida dan juga bahan pengotor bertitik didih rendah (low

boiling material), seperti hidrokarbon berberat molekul rendah, aldehida dan

metilketon. Bahan – bahan pengotor ini dipisahkan dengan distillasi (Brown,1979). Kerusakan asam lemak disebabkan oleh oksidasi, dekomposisi, polimerisasi dan polikondensasi. Kerusakan ini akan semakin bertambah secara eksoponensial dengan kenaikan suhu dan kerusakan ini akan meyebabkan kerusakan warna bau serta mengurangi jumlah perolehan distilat. Atas alasan ini suhu distilasi harus dibuat lebih rendah dengan aplikasi tekanan vakum. Asam lemak disirkulasikan dan diuapkan dengan cepat pada reboiler, uap yang dihasilkan dikondensasi secara

Dokumen terkait