• Tidak ada hasil yang ditemukan

Biologi Penyebab Penyakit

Menurut Agrios (1996) taksonomi penyakit busuk pangkal batang yaitu: Kingdom : Fungi Phylum : Basidiomycota Class : Basidiomycetes Subclass : Agaricomycetidae Order : Polyporales Family : Ganodermataceae Genus : Ganoderma Species : G. Boninense Pat.

Miselium

Gambar 1. Miselium Jamur G. boninense Pat.

Sumber : Foto langsung

Basidiospora berbentuk elips dengan warna keemasan, bagian sisi atas membentuk seperti irisan yang datar agak lengkung, permukaannya terlihat berduri dan kadang terlihat vakuola. Percobaan untuk membentuk basidiokarp pada biakkan murni belum pernah berhasil. Pembiakkan cendawan pada media agar berupa dekstrose, kentang, dan agar malt, membentuk koloni miselia

8

berwarna putih seperti kapas dan pada umur 8 hari atau lebih, maka biakkan mengalami perubahan warna menjadi kuning kecoklatan pada bagian tengahnya (Abadi, 1987).

Basidiospora tidak mempunyai kemampuan parasitik yang cukup tetapi mempunyai kemampuan saprofitik untuk mengkoloni substrat dan membangun inokulum yang berpotensi untuk menginfeksi tanaman sehat. Cara penularan utama yang terjadi di lapangan adalah melalui kontak akar pada tanaman sakit (Turner, 1981; Hashim, 1993).

Sejumlah faktor lingkungan telah dilaporkan memiliki pengaruh terhadap perkembangan penyakit busuk pangkal batang. Kondisi yang melemahkan tanaman dapat mempredisposisi infeksi. Tekstur tanah pesisir yang liat, kadar Na dan Mg yang tinggi dan kekurangan hara tertentu dapat meningkatkan insiden di lapangan (Turner, 1981).

Di Indonesia, G. boninense Pat. dapat tumbuh pada pH 3-8.5 dengan temperatur optimal 30oC dan terganggu pertumbuhannya pada suhu 15oC dan 35oC, dan tidak dapat tumbuh pada suhu 40oC. Penyebab busuk pangkal batang pada kelapa sawit berbeda di tiap negara. Di Afrika Selatan, busuk pangkal batang disebabkan oleh G. lucidum Karst. sedangkan di Nigeria disebabkan oleh jamur

G. zonatum, G. encidum, G. colossus, dan G. applanatum. Di Malaysia, spesies teridentifikasi sebagai penyebab busuk pangkal batang yaitu G. boninense Pat., sementara G. tornatum hanya ditemukan tumbuh di pedalaman dan dataran tinggi dengan curah hujan tinggi. Di Indonesia, jamur G. boninense Pat. teridentifikasi sebagai spesies jamur yang paling umum menyerang pada tanaman kelapa sawit (Jing, 2007).

9

Daur Hidup Penyakit

Penyakit menyebar ke tanaman sehat bila akar tanaman bersinggungan dengan tunggul-tunggul pohon yang sakit. Laju infeksi G. boninense akan semakin cepat ketika populasi sumber penyakit (inokulum) semakin banyak diareal perkebunan kelapa sawit. Hal ini akan mengancam kelangsungan hidup tanaman kelapa sawit muda yang baru saja ditanam (Lizarmi, 2011).

Jamur jenis G. boninense penyebab busuk pangkal batang kelapa sawit dapat menyerang 44 jenis tanaman yang termasuk ke dalam 34 marga, antara lain kelapa, pinang, dan nibung. Meskipun demikian yang memegang peranan paling penting sebagai sumber infeksi bagi tanaman kelapa sawit adalah tunggul-tunggul kelapa dan kelapa sawit itu sendiri. Agar dapat menginfeksi akar tanaman sehat, jamur harus memiliki bekal makanan (food base) yang cukup. Jaringan batang yang sakit dapat menjadi sumber infeksi yang lebih baik daripada jaringan akar yang sakit, sedangkan adanya luka pada akar dapat meningkatkan infeksi di lapangan (Semangun, 2000).

Gejala Serangan

 

Gejala ditandai dengan mati dan mengeringnya tanaman dapat terjadi bersamaan dengan adanya serangan rayap. Dapat diasumsikan jika gejala pada daun terlihat, maka setengah batang kelapa sawit telah hancur oleh G. boninense

Pat. Pada tanaman belum menghasilkan, saat gejala muncul, tanaman akan mati setelah 7 sampai 12 bulan, sementara tanaman dewasa akan mati setelah 2 tahun. Saat gejala tajuk muncul, biasanya setengah dari jaringan didalam pangkal batang sudah mati oleh G. boninense Pat. Sebagai tambahan, gejala internal yang ditandai

10

dengan busuk pangkal batang muncul. Dalam jaringan yang busuk, luka terlihat dari area berwarna coklat muda diikuti dengan area gelap seperti bayangan pita, yang umumnya disebut zona reaksi resin (Semangun, 1990).

Secara mikroskopik, pada jaringan korteks dari akar yang terinfeksi berubah menjadi coklat sampai putih. Pada serangan lanjutan, jaringan korteks menjadi rapuh dan mudah hancur. Jaringan stele akar terinfeksi menjadi hitam pada serangan berat. Hifa umumnya berada pada jaringan korteks, endodermis, perisel, xilem dan floem. Klamidospora sering dibentuk untuk bertahan hidup pada kondisi ekstrim. Bila tanaman sawit sudah terserang berat, tubuh buah jamur akan muncul pada bagian pangkal batang.

G. boninense Pat. akan terbentuk pada pangkal batang atau akar sakit didekat batang. Tanaman mati dalam 6-12 bulan setelah terlihat gejala awal pada daun, dan banyak tanaman sakit tumbang sebelum badan buah jamur terbentuk terutama pada tanaman muda dengan generasi tanaman yang lebih besar, misalnya pada pertanaman sawit generasi ketiga dan keempat (Susanto, dkk, 2007).

   

A B

Gambar 2. Gejala serangan jamur pada tanaman berumur 4 tahun (A) dan pada tanaman berumur 9 tahun (B)

11

Faktor Yang Mempengaruhi

Saat ini, pertumbuhan penyakit G. boninense Pat. di perkebunan kelapa sawit terutama dipicu oleh generasi perkebunan. Semakin tinggi generasi perkebunan, semakin parah serangan penyakit hingga menyerang tanaman belum menghasilkan. Pada perkebunan kelapa sawit di lahan gambut, perkembangan infeksi G. boninense Pat. cenderung meningkat, disebabkan oleh mekanisme pemencaran melalui basidiospora. Penyakit busuk pangkal batang terutama menyebar melalui kontak akar dari tanaman sehat dengan sumber inokulum yang dapat berupa akar atau batang sakit. Selain batang kelapa sawit, akar yang terinfeksi merupakan inokulum utama penyakit G. boninense Pat. pada kelapa sawit. Mekanisme infeksi didukung oleh pola persebaran penyakit yang mengelompok (Idris, 2008).

Tanaman sakit biasanya dikelilingi oleh tanaman sakit dengan gejala lebih ringan. Banyak sekali kelapa sawit yang mati akibat busuk pangkal batang ketika sistem under planting digunakan. Karena metode ini mennggunakan sistem penanaman tanaman muda di bawah tanaman tua. Di sisi lain, basidiospora juga telah dinyatakan memainkan peranan penting dalam menyebarkan penyakit. Basidiospora tidak selalu membentuk miselium sekunder dan tubuh buah karena memerlukan tipe perkawinan yang sama. Basidiospora dibebaskan dan menyebar secara besar-besaran pada pukul 22.00-06.00, dan lebih sedikit pada pukul 12.00-16.00. Pemencaran ini juga dibantu oleh kumbang Oryctes rhinoceros yang larvanya umum ditemukan pada batang kelapa sawit yang busuk (Susanto, dkk, 2007).

12

Pengendalian Penyakit

Hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan menghasilkan strategi pengendalian penyakit BPB yang paling menjanjikan yaitu dengan menerapkan pengendalian terpadu yang merupakan kombinasi dari pengendalian hayati yaitu perlakuan bibit dengan jamur antagonis (Trichoderma spp. dan Gliocladium spp.) dan Mikoriza, pemanfaatan tanaman yang toleran terhadap serangan Ganoderma, pembuatan parit isolasi untuk tanaman terinfeksi, dan pemusnahan inokulum dengan cara membongkar tanah dan memusnahkan tunggul-tunggul serta akar-akar tanaman terinfeksi kemudian dibakar-akar (Lizarmi, 2011 ).

Susanto dan Agus (2008) menyatakan bahwa infeksi pada tanaman muda (umur 1–6 tahun) tanaman dimatikan dengan melakukan penyuntikkan. Pada daerah bekas tanaman sakit dibuat lubang besar berukuran 1m x 1m x 60cm kemudian lubang dibiarkan minimal selama 6 bulan, baru dilakukan penanaman dan pemberian 200 gr Trichoderma atau 400 gr Marfu. Tanah untuk menimbun kembali sisipan diambil dari top soil yang baru. Perlakuan yang sama juga diberikan pada tanaman muda yang terserang berat G. boninense Pat. Di areal konversi, bila ada tanaman yang terserang G. boninense Pat. dibuat parit keliling pohon sejarak 2,5 m dari pangkal pohon sedalam 80 cm. Kemudian ditabur belerang ke dinding parit sebelah dalam sebanyak 3-4 kg/pohon. Pada tanaman umur 7–23 tahun dilakukan pembumbunan pada pangkal pohon dengan tujuan menumbuhkan akar baru dan mencegah agar pohon tidak tumbang, namun pembumbunan tidak mampu untuk membunuh patogen G. boninense Pat. Pembumbunan minimal selebar 75 cm dan tinggi 30 cm.

13

Biofungisida berbahan aktif B. chitinosporus

Menurut Weber (1973) taksonomi bakteri B. chitinosporus yaitu: Kingdom : Eubacteria Phylum : Firmicutes Class : Bacilli Ordo : Bacillales Family : Bacillaceae Genus : Bacillus Spesies : B. chitinosporus

Dinding sel Bakteri

Gambar 3. Bakteri B. chitinosporus

Sumber : www.mpob.gov.my

Sejumlah bakteri saprofitik gram negatif seperti Bacillus, Lactobacillus,

dan Corynebacterium dapat ditemukan di permukaan tanah pada sekitar pertanaman (Abadi, 2003). Pada beberapa kasus, penyemprotan tanaman sakit dengan preparat bakteri saprofitik atau dengan strain bakteri patogenik yang avirulen mampu menurunkan infeksi yang disebabkan bakteri atau jamur patogenik (Agrios, 1996).

14 Mikroba penghasil bahan fungisida merupakan kelompok bakteri seperti pada genus Bacillus dan Pseudomonas, serta dari golongan jamur yang umum dikenal seperti Tricoderma. Sekitar 8 spesies Bacillus yang telah dan sedang diteliti kemampuannya dalam menghasilkan biofungisida tengah dikembangkan. Secara fungsional, isolat tersebut mampu menghambat pertumbuhan jamur patogen tanaman. Biofungisida yang berasal dari kelompok bakteri dari golongan

Bacillus menghasilkan produk metabolit seperti alboleutin, bacillomycin, botricin, chlorotetain, fengycin, mycosubtilin, dan iturin yang diduga berperan dalam faktor penghambat patogen (Yuliar, 2009).

Bacillus chitinosporus merupakan salah satu bakteri yang memproduksi metabolit enzim chitinase yang mampu menghancurkan, mengurai dan mencerna zat kitin yang terdapat pada sel telur nematoda, kulit serangga, larva dan pupa serangga. Hal ini juga yang diduga mampu mengendalikan jamur dari golongan basidiomycetes (Sudharto, dkk, 2011).

Bakteri yang ditumbuhkan di laboratorium dalam sebuah larutan yang terdiri dari air, nutrien, dan sumber energi atau medium kultur yang padat dengan penambahan agar yang disebut biakkan, kebanyakan bakteri tidak mencerna agar, namun mencerna gelatin (Elrod and Stansfield, 2006).

Bakteri berkembang biak dengan kecepatan yang luar biasa. Dibawah kondisi yang menguntungkan bakteri membelah setiap 20 menit, satu bakteri menjadi dua, dua menjadi empat, dan seterusnya. Dengan kecepatan yang demikian satu bakteri akan menghasilkan satu juta bakteri dalam 10 jam. Tetapi karena keterbatasan ketersediaan bahan makanan, akumulasi buangan metabolik dan faktor pembatas lainnya, maka laju reproduksi akan menurun dan akhirnya

15 berhenti (Agrios, 1996).

Mikroba yang digunakan sebagai agen biokontrol, ternyata diduga juga mempunyai kemampuan dalam memacu pertumbuhan tanaman dan berfungsi dapat melarutkan fosfat sebagai hara yang diperlukan tanaman. Pada penelitian sebelumnya, penggunaan agen biokontrol Bacillus sp. dapat menghambat serangan penyakit layu pada tomat sekitar 30-70%. Keampuhan penggunaan bakteri B. panthoteinticus dan B. brevis yang digunakan sebagai inokulan tunggal yang berfungsi menekan bakteri penyakit layu (Rhizoctonia solani) dan sekaligus mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman (Yuliar, 2009).

Mekanisme penghambatan agens biokontrol Bacillus sp. berbeda dengan spesies cendawan yang umum digunakan sebagai agen biokontrol patogen

Ganoderma spp. Penghambatan tidak melalui hiperparasitik, tetapi melalui antibiosis dengan mengeluarkan antibiotik. Hifa G. boninense Pat. yang mengalami kontak langsung dengan antibiotik akan mengalami kerusakan dan membran hifa menjadi pecah sehingga tidak menjadi silindris lagi serta cairan sel akan keluar sehingga mengakibatkan kematian pada patogen (Susanto, dkk, 2002)

Karyudi (2011) menyatakan dalam penelitiannya bahwa salah satu agensia lain yang mempunyai kemampuan mengendalikan jamur JAP pada karet yaitu suatu formulasi dalam bentuk cairan yang memiliki sifat sebagai penambah nutrisi tanaman. Formulasi ini merupakan salah satu bentuk kombinasi antara pupuk dan biofungisida yang ditujukan untuk mengendalikan jamur patogen. Penggunaan formulasi ini juga diharapkan mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman di lapangan, serta dapat mengurangi pemakaian pupuk konvensional. Oleh karena itu sebelum dipasarkan produk ini harus diuji terlebih dahulu efektivitasnya untuk

mengendalikan penyakit dan meningkatkan pertumbuhan tanaman.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Percobaan

Adapun percobaan ini dilakukan di Laboratorium Penyakit Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan pada ketinggian tempat ± 25 m dpl dan percobaan ini dilakukan dari bulan Mei 2011 hingga Juni 2011.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah biakkan murni Jamur Busuk Pangkal Batang (G. boninense Pat.), media Potato Agar Dekstrose (PDA), Biofungisida (Promax) berbahan aktif B. chitinopsorus, alkohol, Clorox 1%, tissue, dan air.

Alat yang digunakan adalah cawan petri Ø 9 cm, inkubator, autoclave, jarum ose, gelas ukur, planimeter, tabung reaksi, cork border, cling wrap, kertas stensil, aluminium foil, hotplate, tabung erlemeyer, kapas, pinset, panci, laminar air flow, mikroskop photo, plastik, timbangan analitik, bunsen, pipet tetes, kompor, dan alat tulis.

Metode Percobaan

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) non faktorial dengan faktor sebagai berikut:

16 P2 = perlakuan biofungisida dengan dosis 10 ml/100 ml media

P3 = perlakuan biofungisida dengan dosis 15 ml/100 ml media P4 = perlakuan biofungisida dengan dosis 20 ml/100 ml media P5 = perlakuan biofungisida dengan dosis 25 ml/100 ml media Jumlah perlakuan (t) = 6

Jumlah ulangan (r) = 4

Jumlah ulangan diperoleh dengan rumus sebagai berikut : (t-1) (r-1) ≥ 15 ( 6 -1) (r-1) ≥ 15 5 r – 5 ≥ 15 5 r ≥ 15 + 5 r ≥ 20 : 5 r ≥ 4

Model linier yang digunakan adalah :

Yij = π + τi + ßj + €ij

Yij = respon atau nilai pengamatan dari perlakuan ke-I dan ulangan ke-j π = nilai tengah umum (rataan)

τi = pengaruh (efek)perlakuan ke-i ßj = pengaruh (efek)perlakuan ke-j

€ij = efek acak pada perlakuan ke-I dan ulangan ke-j (Bangun, 1994).

17

Pelaksanaan penelitian

1. Pembuatan Potato Dekstrose Agar (PDA)

Kentang dikupas dan dicuci bersih lalu ditimbang sebanyak 250 gr, dipotong dengan ukuran kecil, kemudian dimasak dengan aquades 500 ml pada panci selama 3 menit. Kemudian ekstrak disaring dengan kain muslin hingga volume mencapai 500 ml. Tambahkan dekstrose dan agar masing-masing sebanyak 20 gr. Aduk didalam beaker glass hingga merata, kemudian tambahkan aquades sebanyak 500 ml. aduk diatas panci hingga larutan homogen. Masukkan kedalam Erlenmeyer masing-masing 250 ml. Tutup dengan kapas steril dan aluminium foil, kemudian dibalut dengan cling wrap. Kemudian dimasukkan kedalam autoclave untuk disterilkan selama 30 menit dengan suhu 120 oC pada tekanan 1,5 atm.

2. Penyediaan Sumber Inokulum BPB (G. boninense Pat.)

Sumber inokulum diambil dari tanaman kelapa sawit yang terserang jamur

G. boninense Pat. Diambil bagian pangkal batang yang terdapat miselium jamur, kemudian dibersihkan dengan air steril. Lalu dipotong-potong dengan ukuran ±0,5 cm x 0.5 cm), kemudian sterilkan dengan larutan Clorox (NaOCl) 1 % selama 3 menit lalu bersihkan kembali dengan air steril. Keringkan kembali potongan tubuh buah jamur tersebut diatas kertas filter steril.

18

Gambar 4. Tubuh Buah G. boninense Pat. Sumber : Foto langsung

Tubuh buah yang telah disterilkan di inokulasi ke dalam petridish yang telah berisi media PDA. Simpan media PDA tersebut dalam inkubator dengan suhu kamar. Setelah miselium jamur tumbuh, isolasi kembali untuk mendapatkan biakkan murni.

Miselium

A B

Gambar 5. Biakkan murni G. boninense Pat. (A), dan Miselium G. boninense Pat. (B) Sumber : Foto langsung

3. Pengaplikasian Biofungisida berbahan aktif Bacillus sp.

Inokulum G. boninense Pat. yang berumur 6 hari diambil dari biakkan murni dan ditumbuhkan pada media PDA yang telah dicampur dengan biofungisida (Promax) berbahan aktif B. chitinosporus. Pengujian antagonis dengan cara seperti ini disebut teknik peracunan makanan (food poisoning). Inokulum yang berbentuk bulat dengan diameter 0,5 cm diletakkan di tengah cawan petri. Selanjutnya perlakuan disimpan dalam inkubator dengan suhu 28oC.

19

Peubah Amatan

1. Luas Pertumbuhan Miselium Jamur

Pengamatan luas pertumbuhan koloni jamur G. boninense Pat. dilakukan 1 hari setelah perlakuan biofungisida Pengamatan dilakukan setiap hari dan dihentikan apabila salah satu koloni jamur pada perlakuan kontrol mulai menutupi seluruh permukaan media. Untuk menghitung luas pertumbuhan jamur dapat dilakukan dengan menggunakan bantuan alat yaitu planimeter yang berfungsi untuk menghitung luas miselium jamur.

Cara penggunaan planimeter yaitu dengan menggambar luas pertumbuhan jamur pada plastik transparan. Setelah didapat pola, dibuat garis pembatas sebagai titik awal pola. Kemudian titik awal pada pola di sejajarkan dengan garis pada lensa planimeter. Putar sesuai dengan arah jarum jam mengikuti pola yang sudah tersedia. Kemudian catat angka yang terlihat pada alat pengukur planimeter.

Gambar 6. Planimeter Sumber : Foto langsung

2. Daya efikasi

Pengamatan dilakukan untuk mengetahui persentase zona penghambatan pertumbuhan miselium jamur G. boninense Pat. oleh Biofungisida berbahan aktif bakteri B. chitinosporus. Daya efikasi (penghambatan) biofungisida diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

20

DE = x – y x 100 % x

Keterangan :

DE = Daya efikasi (penghambatan) (%)

x = Luas pertumbuhan jamur pada kontrol (Cm2)

y = Luas pertumbuhan jamur pada perlakuan biofungisida (Cm2)

3. Pengamatan Secara Visual

Pengamatan dilakukan berupa morfologi koloni dan warna koloni pada media biakkan pada jamur G. boninense Pat. dan bakteri B. chitinosporus. Diamati pertumbuhan koloni sejak hari ke-1 setelah aplikasi.

                             

Dokumen terkait