• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gulma

Pada dasarnya gulma didefinisikan sebagai tunbuhan yang telah beradaptasi dengan habitat buatan dan menimbulkan gangguan terhadap segala aktivitas manusia (Sastroutomo, 1990). Gulma tumbuh pada pada tempat yang tidak dikehendaki manusia, sehingga keberadaan gulma baik secara langsung atau tidak langsung merugikan. Pengaruh negatif gulma yang penting adalah mempunyai daya kompetisi yang tinggi, sebagai inang penyakit atau parasit, mengurangi mutu hasil peertanian, dan menghambat kelancaran aktivitas pertanian.

Kerugian yang ditimbulkan akibat keberadaan gulma pada lahan budidaya dapat berdampak langsung maupun tidak langsung. Kerugian langsung terjadi akibat kompetisi yang dapat mengurangi hasil panen, baik secara kuantitas maupun kualitas akibat tercampurnya hasil panen dengan biji-biji gulma. Kerugian tidak langsung terjadi akibat kompetisi yang dapat merugikan petani, namun tidak langsung mengurangi hasil panen, seperti gulma dapat menjadi rumah inang bagi hama dan penyakit tanaman.

Gulma merupakan tumbuhan yang mempunyai daya tumbuh yang kuat. Cara bereproduksi gulma yaitu dengan menggunakan organ generatif dan organ vegetatifnya. Gulma yang bereproduksi dengan biji lebih banyak ditemui pada gulma semusim. Berbeda dengan jenis-jenis gulma menahun yang menggunakan organ-organ vegetatifnya untuk bereproduksi. Organ perbanyakan ini dapat merupakan modifikasi dari batang, yaitu umbi daun, umbi batang, rizom, stolon, dan umbi akar (tuber), atau modifikasi akar. Beberapa jenis gulma menahun mempunyai lebih dari satu organ perbanyakan vegetatif seperti pada Cynodon dactylon (stolon dan rizom), dan Cyperus rotundus (rizom dan umbi akar) (Sastroutomo, 1990).

Keberadaan gulma pada lahan pertanian menimbulkan pengaruh negatif pada tanaman budidaya. Hal ini akibat adanya interaksi antara keduanya dalam bentuk kompetisi dalam memanfaatkan sarana tumbuh seperti hara, air, cahaya,

5

dan ruang tumbuh. Interaksi lain yang diduga memberikan penekanan disebut alelopati sebagai akibat adanya suatu senyawa kimia yang dikeluarkan tumbuhan ke lingkungan (Junaedi et al, 2006).

Alelopati

Pada tahun 1937 Molisch pertama kali menggunakan istilah alelopati yang didefinisikan sebagai interaksi biokimia antara semua jenis tumbuhan termasuk mikroorganisme yang bersifat penghambatan maupun perangsangan (Rice, 1984). Rice (1984) juga mendifinisikan alelopati sebagai pengaruh positif atau negatif yang bersifat langsung maupun tidak langsung dari suatu tanaman terhadap tanaman lainnya melalui senyawa kimia yang dikeluarkan ke lingkungannya.

Alelopati merupakan senyawa kimia yang dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan baik sewaktu masih hidup atau setelah mati (Moenandir, 1993). Terdapat dua jenis alelopati yang terjadi di alam, yaitu alelopati yang sebenarnya dan alelopati fungsional. Alelopati yang sebenarnya adalah pelepasan senyawa beracun dari tumbuhan ke lingkungan sekitarnya dalam bentuk senyawa aslinya yang dihasilkan. Sedangkan alelopati fungsional ialah pelepasan senyawa kimia ke lingkungan yang telah mengalami perubahan akibat mikroba tanah (Sastroutomo, 1990).

Pada suatu agroekosistem, senyawa alelopati kemungkinan dapat dihasilkan oleh gulma, tanaman semusim dan tahunan, serta mikroorganisme (Junaedi et al., 2006). Potensi senyawa ini hampir berada di seluruh bagian tumbuhan, termasuk daun, bunga, buah, batang, akar, rizom, dan biji (Putnam, 1986). Senyawa-senyawa alelopati dapat dilepaskan dari jaringan tumbuh-tumbuhan dalam berbagi cara termasuk melalui penguapan, eksudat akar, pencucian, dan pembusukan bagian-bagian organ yang mati (Sastroutomo, 1990). Fenomena alelopati mencakup semua tipe interaksi kimia antar tumbuhan, antar mikro organisme, atau antara tumbuhan dan mikro organisme. Adanya senyawa alelopati tumbuhan perlu dipertimbangkan dalam budidaya tanaman karena akan memberikan pengaruh negatif pada pertumbuhan tanaman.

Beberapa jenis gulma yang diduga berpotensi mengeluarkan senyawa alelopati cukup besar jumlahnya. Gulma menahun yang memiliki potensi alelopati

6

diantaranya Agropyron repens, Cirsium arvense, Cyperus rotundus, dan Imperata cylindrica, serta gulma semusim seperti Setaria sp (Sastroutomo, 1990).

Alelopati dapat digunakan untuk menekan gulma melalui berbagai cara, diantaranya dengan penggunaan sebagai mulsa atau pencampuran dengan tanah (Iqbal and Cheema, 2008). Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk membuktikan keberadaan senyawa alelopati pada tumbuhan. Hasil penelitian Pane et al. (1988) menunjukkan A. conyzoides, I. Cylindrica, dan C. rotundus

memiliki pengaruh alelopati dan menurunkan prduksi padi gogo. Penelitian Nugroho dan Moenandir (1988) menunjukkan bahwa alelopati C. rotundus dapat mereduksi berat kering akar dan tajuk, tinggi, dan jumlah daun pada tanaman kacang tanah. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Fitria et al. (2011) menunjukkan ekstrak gulma C. rotundus, A. conyzoides, dan D. adscendens

mempengaruhi jumlah daun, jumlah cabang dan bobot buah tomat.

Senyawa alelopati yang dikeluarkan tumbuh-tumbuhan bervariasi yang dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan, termasuk diantaranya adalah kualitas, intensitas, dan lamanya penyinaran, kekurangan unsur hara, gangguan kekeringan, dan suhu rendah dibandingkan suhu normal untuk pertumbuhannya.

Teki (Cyperus rotundus L.)

Teki (Cyperus rotundus L.) merupakan salah satu jenis gulma yang tergolong dalam gulma berdaun sempit. C. rotundus mempunyai berbagai nama yaitu teki, tekan, motta (jawa), rukut teki wuta (maluku), karehawai (nusa tenggara), rukut teki wuta dengan nama asing purple nutsedge.

Gulma teki termasuk famili Cyperaceae (teki-tekian). Kemampuan gulma ini untuk beradaptasi di segala jenis tanah sangat tinggi (Tjitrosoedirdjo et al, 1984). Teki mampu tumbuh kuat dan subur di lahan pertanian tropis dan subtropis (Ameena and George, 2004). Oleh karena itu daerah penyebaran C. rotundus ini sangat luas di seluruh daerah pada 52 pertanaman yang berbeda dan di 92 negara (Holm, et al, 1977). Tumbuh didataran rendah sampai dengan ketinggian 1000 m dpl, banyak tumbuh liar di Afrika Selatan, Korea , Cina, Jepang, Taiwan, Malaysia, Indonesia dan kawasan Asia Tenggara pada umumnya. Tumbuh di lahan pertanian yang tidak terlalu kering, di ladang, dan di kebun. C. rotundus

7

bereproduksi dengan organ generatif dan organ vegetatifnya, yaitu umbi. Umbi yang pertama dibentuk kira-kira tiga minggu setelah pertumbuhan (Tumewu, 2009).

Organ C. rotundus yang terdapat di bawah tanah terdiri dari akar, akar rimpang, dan umbi. Bagian luar umbinya berwarna coklat dan bagian dalamnya berwarna putih, berbau seperti rempah-rempah, berasa agak pahit. Tinggi C.

rotundus pada umumnya 36-40 cm, batang berbentuk segitiga, daun berjumlah

4-10 berjejal pada pangkal batang, dengan pelepah daun yang tertutup di bawah tanah, berwarna coklat kemerahan, helaian daun berbentuk garis dengan permukaan atas berwarna hijau tua mengkilat, ujung daun meruncing dengan lebar helaian 2-5 mm. Bunga berbentuk bulir majemuk, anak bulir terkumpul menjadi bulir yang pendek dan tipis, berkelamin dua. Daun pembalut 3-4, tepi kasar, tidak merata. Sekam dengan punggung hijau dan sisi coklat, panjang kurang lebih 3 mm. Benang sari 3, kepala sari kuning cerah. Tangkai putik bercabang 3. Buah memanjang sampai bulat telur terbalik, bersegitiga coklat, panjang 1.5 mm (Hall et al., 2009)

Gulma ini hidup secara berkoloni, berupa herba, merupakan tanaman perenial atau tahunan, dengan akar berserat yang biasanya tumbuh 7-40 cm dan bereproduksi secara luas oleh rizom. Rizom pada awalnya putih dan berdaging dengan daun bersisik dan kemudian berserat. C. rotundus tidak tahan pula terhadap naungan, sehingga jarang ditemukan pada areal perkebunan yang tajuknya sudah tertutup (Sastroutomo, 1990).

Gambar 1. Cyperus rotundus

8

Kedelai (Glycine max (L.) Merr.)

Kedelai adalah salah satu tanaman polong-polongan semusim yang menjadi bahan dasar banyak makanan dari Asia Timur seperti kecap, tahu, dan tempe. Kedelai merupakan sumber utama protein nabati dan minyak nabati dunia. Klasifikasi tanaman kedelai menurut Adie dan Krisnawati (2007) sebagai berikut : Divisi : Spermatophyta

Class : Dicotyledoneae

Ordo : Polypetales

Famili : Leguminosae

Sub famili : Papilionaceae

Genus : Glycine

Species : max

Kedelai merupakan tumbuhan dikotil dengan percabangan sedikit, sistem perakaran akar tunggang, dan batang berkambium. Pertumbuhan batang kedelai dibedakan menjadi dua macam, yaitu tipe determinate dan indeterminate. Selain itu juga terdapat jenis lainnya yaitu semi indeterminate atau semi determinate. Pada tipe determinate, pertumbuhan vegetatif berhenti setelah fase berbunga, batang normal, dan tidak melilit. Tipe indeterminate, pertumbuhan vegetatif berlanjut setelah berbunga dan batang melilit (Adie dan Krisnawati, 2007).

Kedelai merupakan tanaman yang sangat peka terhadap perubahan lingkungan tumbuh yang disebabkan oleh kondisi iklim, baik mikro maupun makro (Adisarwanto dan Wudianto, 1998). Kedelai dibudidayakan di lahan sawah maupun lahan kering (ladang). Penanaman biasanya dilakukan pada akhir musim penghujan setelah panen padi.

Tanaman kedelai memiliki daya adaptasi luas terhadap berbagai jenis tanah, yaitu aluvial, regosol, grumosol, latosol, dan andosol (Wirawan, 2000). Tanaman kedelai sebagian besar tumbuh di daerah yang beriklim tropis dan subtropis. Iklim kering lebih disukai tanaman kedelai dibandingkan iklim lembab. Tanaman kedelai dapat tumbuh baik di daerah yang memiliki curah hujan sekitar 600-1200 mm/tahun. Suhu yang dikehendaki tanaman kedelai antara 21-34 ºC, akan tetapi suhu optimum bagi pertumbuhan tanaman kedelai 23-27 ºC. Varietas kedelai berbiji kecil, sangat cocok ditanam di lahan dengan ketinggian 0.5- 300 m

9

di atas permukaan laut. Varietas kedelai berbiji besar cocok ditanam di lahan dengan ketinggian 300-500 m dpl. Kedelai biasanya akan tumbuh baik pada ketinggian tidak lebih dari 500 m dpl (Departemen Pertanian, 1984).

Beberapa jenis hama utama yang sering menyerang pertanaman kedelai adalah lalat bibit kacang (Ophiomyia phaseoli Tryon), penggerek polong (Etiella zickenella) dan kepik hijau penghisap polong (Nezara viridula) (Marwoto dan Hardaningsih, 2007) dan beberapa jenis penyakit utama yang sering menyerang pertanaman kedelai yaitu penyakit karat (Phakospora phachyrizi Syd), hawar daun (Rhizoctonia solani Kuhn), bercak daun cercospora dan mosaik virus (Semangun, 1990).

10

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian lapangan ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan Kampus IPB Darmaga Bogor pada bulan November 2011 hingga Maret 2012, dan analisis tanah dilakukan di Laboratorium Tanah Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan IPB.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih kedelai varietas Anjasmoro, biomasa teki (C. rotundus) (umbi, batang, daun, bunga). Bahan lain yang digunakan adalah pupuk urea, KCl, SP-36, dan fungisida bernahan aktif karbofuran.

Peralatan yang digunakan dalam penilitian ini adalah oven, kuadrat, alat-alat olah tanah berupa cangkul, kored dan alat-alat-alat-alat ukur berupa meteran dan timbangan analitik.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah dengan rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) dengan satu faktor yang terdiri atas tujuh taraf cara pemberian biomasa teki yang diulang tiga kali. Dosis teki yang digunakan adalah 6 ton/ha teki kering atau 12 ton/ha teki segar (Maulana dan Chozin, 2011).

Model rancangan percobaan yang digunakan adalah: Yij = μ + αi+ βj+ εij

Dimana : i =1,2,3,4,5 ; j = 1,2,3

Yij = Respon pengamatan perlakuan ke-i pada kelompok ke-j. μ = Nilai tengah umum.

αi = Pengaruh perlakuan ke-i. βj = Pengaruh kelompok ke-j.

11

Uji lanjut dilakukan dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT), bila hasil sidik ragam terhadap data menunjukkan adanya pengaruh yang nyata (Gomez dan Gomez, 1995).

Perlakuan yang dicobakan pada penelitian ini adalah :

 P1 : Kontrol disiang.

 P2 : Kontrol tanpa disiang.

 P3 : Mulsa teki segar.

 P4 : Mulsa teki kering.

 P5 : Teki segar dicampur tanah.

 P6 : Teki kering dicampur tanah.

 P7 : Kompos teki.

Pelaksanaan Penelitian

1. Analisis Vegetasi

Sebelum dilakukan pengolahan lahan dilakukan analisis vegetasi terhadap jenis-jenis gulma yang terdapat pada lahan tersebut, terutama gulma jenis daun lebar. Analisis vegetasi ini dilakukan sebanyak tiga kali, yaitu pada saat sebelum pengolahan lahan, 4 minggu setelah tanam (MST), dan 8 MST.

2. Pengomposan Teki

Bahan kompos teki menggunakan teki yang telah dikeringkan dan telah dicacah sebanyak 12 kg teki kering/petak. Proses pengomposan menggunakan bahan-bahan pembantu yaitu EM, urea, air, dan gula yang diberikan pada saat awal pengomposan pada beberapa lapisan. Pengomposan berlangsung selama 35 hari, setiap lima hari sekali dilakukan pembalikan untuk menjaga aerasi dan kelembaban kompos.

3. Pengolahan Lahan

Pengolahan lahan dilakukan satu minggu sebelum penanaman dengan olah tanah sempurna. Lahan dibuat petakan dengan ukuran 4 m x 5 m dengan jarak

12

antar petak 30 cm. Pada saat pengolahaan tanah, dilakukan aplikasi perlakuan teki segar dicampur tanah (P5) dan teki kering dicampur tanah (P6), serta kompos teki (P7) yang dicampur dengan tanah.

4. Penanaman

Benih kedelai varietas Anjasmoro ditanam pada lahan yang telah diolah dengan jarak tanam 40 cm x 15 cm dengan jumlah benih 2 benih per lubang. Lubang tanam dibuat dengan menggunakan tugal, dengan arah barisan Utara-Selatan. Setelah benih ditanam diberikan perlakuan mulsa teki segar (P3) dan mulsa teki kering (P4) secara merata di atas permukaan tanah.

5. Pemupukan

Pupuk KCl dan SP-36 diberikan saat tanam serta urea setengah dosis pada saat tanam dan setengah dosis pada 4 MST. Dosis urea dan KCl adalah 75 kg/ha, dosis SP36 100 kg/ha.

6. Pemeliharaan

Pemeliharaan yang dilakukan adalah penyulaman, penyiraman, pengendalian hama penyakit, dan penyiangan gulma yang dilakukan setelah analisis vegetasi ke dua (4 MST) pada seluruh petak perlakuan kecuali perlakuan kontrol tanpa disiang.

Pengamatan

Pengamatan kedelai dilakukan terhadap pertumbuhan vegetatif, bobot kering biomasa kedelai, bintil akar kedelai, dan komponen hasil kedelai, serta analisis vegetasi gulma dan analisis tanah. Pengamatan vegetatif kedelai dilakukan pada 10 tanaman contoh yang diambil secara acak pada tiap petak perlakuan.

13

1. Analisis Vegetasi Gulma

Analisis vegetasi gulma dilakukan sebanyak tiga kali, yaitu pada lahan sebelum diolah, 4 MST dan 8 MST. Analisis vegetasi gulma dilakukan dengan mengambil 2 petak contoh secara acak pada setiap petak percobaan dengan menggunakan kuadrat yang berukuran 0.5 m x 0.5 m. Pengamatan yang dilakukan meliputi identifikasi spesies gulma, jumlah individu per spesies dan bobot kering per spesies. Bobot kering dihitung setelah dilakukan pengovenan gulma dengan suhu 1050 C selama 24 jam.

2. Analisis Tanah

Analisis tanah dilakukan 3 kali yaitu sebelum tanam, 6 MST, dan sesudah panen untuk setiap perlakuan secara komposit. Pengamatan ini diperlukan untuk mengetahui tingkat kesuburan dan kesesuaiannya bagi kedelai serta perubahan kandungan hara tanah setelah diberikan perlakuan.

3. Pengamatan Pertumbuhan Vegetatif Kedelai

Pengamatan tinggi tanaman diukur dari permukaan tanah hingga titik tumbuh tertinggi, jumlah daun trifoliat yang dilakukan saat 2 minggu setelah tanam (MST) hingga 8 MST. Jumlah cabang dihitung sejak 5 MST hingga 8 MST.

Pengamatan bobot kering biomasa kedelai diukur pada 2 MST, 4 MST, 6 MST, dan 8 MST terhadap dua tanaman selain tanaman contoh dan petak panen. Bobot kering ditimbang setelah dioven selama 24 jam dengan suhu 1050 C.

Pengamatan jumlah dan bobot bintil akar kedelai dilakukan pada 4 MST, 5 MST, dan 6 MST dengan mengambil dua tanaman selain tanaman contoh dan petak panen.

4. Pengamatan Komponen Produksi Kedelai

Pengamatan terhadap komponen produksi meliputi jumlah polong isi dan polong hampa pertanaman contoh, bobot kering 100 biji, bobot basah dan kering akar dan tajuk terhadap tiga tanaman contoh, dan bobot polong ubinan dengan luas ubinan 2 m x 2 m.

14

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Penelitian ini dilaksanakan di lahan kering dengan kondisi lahan sebelum pertanaman adalah tidak ditanami tanaman selama beberapa bulan dengan gulma yang dominan sebelum pertanaman adalah Cynodon dactylon dan Borreria alata

(Lampiran 3).

Kondisi awal tanah tergolong masam dengan pH 5.00. Hasil analisis tanah setelah perlakuan menunjukkan bahwa terjadi penurunan pH dari 5.00 menjadi 4.7 untuk perlakuan kontrol disiang dan mulsa teki segar. Penurunan juga terjadi pada perlakuan mulsa teki kering, teki segar dicampur tanah, dan kompos teki menjadi 4.6, sedangkan untuk perlakuan kontrol tanpa disiang dan teki kering dicampur tanah, pH menjadi 4.5 (Lampiran 8).

Kandungan C-organik, K, dan N total tergolong rendah dengan masing-masing nilai yaitu 1.92 %, 0.26 me/100g, dan 0.18 %. Kandungan P tergolong sangat rendah yaitu 14.8 ppm (Tabel 1). Nilai C organik dan N total mengalami peningkatan kecuali untuk perlakuan kontrol tanpa disiang yang mengalami penurunan, yaitu C organik menjadi 1.84 dan N total 0.17 %. Nilai C organik dan N total tertinggi pada perlakuan teki segar dicampur tanah yaitu 2.55 dan 0.23 %. Nilai P mengalami penurunan untuk perlakuan kontrol baik disiang maupun tidak disiang, serta mulsa teki segar dan mulsa teki kering, nilai terkecil pada kontrol disiang yaitu 7.5 ppm, sedangkan untuk perlakuan teki kering dicampur tanah nilai P tetap yaitu 14.8 ppm. Sementara untuk perlakuan teki segar dicampur tanah dan kompos nilai P naik menjadi 15.1 ppm dan 15.6 ppm. Nilai K mengalami kenaikan untuk seluruh perlakuan, nilai tertinggi terjadi pada perlakuan teki kering dicampur tanah yaitu 0.72 me/100g sedangkan nilai K terendah pada perlakuan mulsa teki kering yaitu 0.46 me/100 g (Lampiran 10).

Tabel 1 menunjukkan pemberian perlakuan teki segar dicampur tanah, teki kering dicampur tanah, dan kompos teki dapat meningkatkan kandungan hara P di dalam tanah. Perlakuan mulsa teki segar dan kompos teki juga meningkatkan C organik dalam tanah dengan nilai yang sama. Kandungan C organik dan N dalam

15

tanah akan meningkat dengan pemberian bahan-bahan organik ke dalam tanah (Gunarto, et al. 2002). Pemberian bahan organik ini juga berfungsi sebagai penyangga biologi yang dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah sehingga tanah dapat menyediakan hara bagi tanaman (Muhammad, 2005).

Tabel 1. Analisis Tanah pada Berbagai Perlakuan Pemberian Biomasa Teki (C.rotundus). Perlakuan N (%) P (ppm) K (me/100g) C Organik (%) C/N Rasio Sebelum Tanam Setelah Panen : Kontrol Disiang Kontrol Tanpa Disiang Mulsa Teki Segar Mulsa teki Kering

Teki Segar Dicampur Tanah Teki Kering Dicampur Tanah Kompos Teki 0.18 0.19 0.17 0.21 0.19 0.23 0.19 0.21 14.8 7.5 8.3 8.3 13.3 15.1 14.8 15.6 0.26 0.60 0.47 0.66 0.46 0.63 0.72 0.68 1.92 2.15 1.84 2.31 2.07 2.55 2.07 2.31 10.67 11.3 10.8 11.0 10.89 11.09 10.89 11.0 Sumber : Laboratorium Kimia Tanah Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

Fakultas Pertanian IPB 2012

Persentase daya tumbuh kedelai rata-rata berkisar 95-98 % tiap petaknya. Hal ini menunjukkan benih yang digunakan mampu tumbuh dengan baik. Berdasarkan data stasiun Klimatologi Darmaga kelembaban udara selama pelaksanaan penelitian berkisar 84 % hingga 87 % dan curah hujan rata-rata 388.5 mm/bulan (Lampiran 12). Kedelai akan tumbuh baik pada daerah dengan curah hujan 100 – 400 mm/bulan (Kemenristek, 2000).

Beberapa jenis hama dan penyakit yang menyerang tanaman kedelai selama percobaan adalah belalang (Valanga nigricornis Dunn), kepik (Anoplocnemis phasiana), mosaik virus, dan karat daun (Phakospora pachyrbizi

Syd), penyerangan terutama terjadi pada saat akhir fase vegetatif tanaman kedelai (5 MST). Selama percobaan berlangsung tidak dilakukan pengendalian terhadap hama karena tidak sampai merusak pertanaman kedelai. Pengendalian penyakit dilakukan secara mekanis yaitu dengan mencabut tanaman yang terserang.

16

Pengaruh Perlakuan Pemberian Biomasa Teki (C. rotundus) terhadap Pertumbuhan Gulma

Pertumbuhan gulma pada lahan percobaan dapat dilihat pada hasil analisis vegetasi yang dilakukan pada 4 MST dan 8 MST seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2. Hasil analisis vegetasi menunjukkan pada seluruh perlakuan gulma golongan daun lebar memiliki keragaman jenis yang paling banyak, kemudian diikuti gulma golongan rumput dan teki. Pada analisis vegetasi 4 MST, perlakuan mulsa teki kering memiliki keragaman spesies gulma daun lebar yang paling banyak yaitu 10 jenis, kemudian teki kering dicampur tanah 8 jenis, mulsa teki segar, teki segar dicampur tanah, dan kompos teki 7 jenis, serta perlakuan kontrol baik disiang maupun tidak disiang dengan keragaman jenis gulma daun lebar paling rendah, yaitu 6 jenis.

Tabel 2. Pertumbuhan Gulma pada Berbagai Perlakuan Pemberian Biomasa Teki (C. rotundus). Perlakuan Waktu (MST) Jumlah Jenis Gulma Nisbah Jumlah Dominansi (NJD) (%)

Berat Kering Gulma (g/0.25 m2) BK Gulma Total (g/0.25 m2) T R DL T R DL T R DL Kontrol Disiang 4 8 1 1 4 1 6 8 18.9 4.5 27.6 6.7 53.5 88.9 34.3 1 43.5 1.2 174.5 28.2 252.5 30.4 Kontrol Tanpa Disiang 4 8 1 0 3 1 6 5 9.5 0 13.2 4.7 77.4 95.3 11.6 0 20.8 3.2 239.7 302.4 272 305.6 Mulsa Teki Segar 4 8 1 1 6 2 7 7 20.1 8.6 26.5 24.1 53.4 67.4 35.4 0.6 57.8 4.1 104.5 8.7 197.7 13.4 Mulsa Teki Kering 4 8 0 1 5 4 10 6 0 4.9 37.1 40.9 63 54.3 0 0.2 36.1 7.4 103.6 6.7 139.7 14.3 Teki Segar Dicampur Tanah 4 8 1 1 4 2 7 3 45.1 22 23.5 47.6 31.4 30.4 125.5 0.9 69 6.6 77.2 2.6 271,7 10.1 Teki Kering Dicampur Tanah 4 8 1 1 5 3 8 5 41 4.5 21.6 32.4 37.4 67.6 120.3 0.5 44.1 5 54.3 10.5 218.7 16 Kompos Teki 4 8 0 0 3 3 7 4 0 0 31.5 53.2 68.5 46.8 0 0 96.5 6 172.2 4.4 268.7 10.4

Keterangan : BK : Bobot kering

T : Teki

R : Rumput

17

Pada analisis vegetasi 8 MST terjadi perubahan komposisi jenis gulma pada gulma golongan daun lebar dan rumput. Terjadi penurunan jumlah jenis pada golongan gulma rumput di seluruh perlakuan kecuali perlakuan kompos teki yang jumlahnya tetap. Penurunan jumlah jenis juga terjadi pada golongan daun lebar pada seluruh perlakuan pemberian biomasa teki kecuali mulsa teki segar yang jumlahnya tetap dan kontrol disiang yang jumlahnya justru meningkat dari 6 spesies menjadi 8 spesies.

Tabel 2 juga menunjukkan bahwa gulma golongan daun lebar mendominasi hampir di seluruh perlakuan kecuali pada perlakuan teki sebagai dicampur tanah, hal ini dapat dilihat dari nisbah jumlah dominansi (NJD) dan bobot kering gulma. Jika dilihat dari NJD gulma, lebih dari 50 % gulma daun lebar mendominasi di setiap petak perlakuan, kecuali untuk petak perlakuan teki dicampur tanah dengan persentase dominansi gulma daun lebar hanya 31.4 % untuk teki segar dicampur tanah dan 37.4 % untuk teki kering dicampur tanah. Pada perlakuan ini gulma golongan teki lebih mendominasi dengan persentase NJD 45.1 % untuk teki segar dicampur tanah dan 41 % untuk teki kering dicampur tanah.

Hasil analisis vegetasi juga menunjukkan bahwa bobot kering gulma daun lebar pada seluruh petak yang diberi perlakuan teki lebih rendah dibandingkan petak perlakuan kontrol, baik kontrol tidak disiang dan kontrol disiang. Pada analisis vegetasi 4 MST petak perlakuan teki kering dicampur tanah memiliki bobot kering gulma daun lebar paling rendah yaitu 54.3 g, dan tertinggi pada petak kontrol tidak disiang yaitu 239.7 g. Hal ini juga terjadi pada analisis vegetasi 8 MST, pada 8 MST petak teki segar dicampur tanah memiliki bobot kering gulma daun lebar paling rendah yaitu 2.6 g dan yang tertinggi pada petak kontrol tidak disiang yaitu 302.4 g.

Jika dilihat dari berat kering gulma total, perlakuan mulsa teki memiliki bobot yang paling rendah dibandingkan perlakuan yang lainnya yaitu 197.7 g untuk mulsa teki segar dan 139.7 untuk mulsa teki kering.

18

Pengaruh Perlakuan Pemberian Biomasa Teki (C. rotundus) terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai

Tinggi Tanaman

Selama periode pertumbuhan kedelai, perlakuan pemberian biomasa teki C.

rotundus berpengaruh nyata pada tinggi tanaman kedelai hanya pada 2 MST dan

tidak nyata pada 3 MST hingga 8 MST (Lampiran 6).

Tabel 3. Tinggi Tanaman Kedelai pada Berbagai Perlakuan Pemberian Biomasa Teki (C.rotundus).

Perlakuan Tinggi Tanaman (MST)

2 3 4 5 6 7 8

--- (cm/tanaman) --- Kontrol Disiang 11.07ab 16.83 26.50 44.73 57.57 69.18 76.33 Kontrol Tanpa Disiang 10.48b 15.92 24.54 41.38 51.08 61.90 70.48 Mulsa Teki Segar 11.66a 17.79 27.18 46.12 60.50 73.29 81.33 Mulsa Teki Kering 12.02a 17.93 27.10 45.28 57.92 70.73 77.03 Teki Segar Dicampur Tanah 11.14ab 17.00 26.08 42.77 55.00 66.13 73.53 Teki Kering Dicampur Tanah 11.15ab 16.83 25.89 44.35 56.22 67.02 74.18 Kompos Teki 10.39b 16.30 25.61 44.63 57.13 68.83 75.27 Keterangan : Nilai yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak

berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%.

Pada Tabel 3 menunjukkan tinggi tanaman teringgi terdapat pada

Dokumen terkait