• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tebu

Tanaman tebu tumbuh di daerah tropika dan subtropika sampai batas garis isoterm 20oC yaitu antara 19oLU – 35oLS. Kondisi tanah yang baik bagi tanaman tebuadalah yang tidak terlalu kering dan tidak terlalu basah, selain itu akar tanaman tebu sangat sensitif terhadap kekurangan udara dalam tanah sehingga pengairan dan drainase harus sangat diperhatikan. Drainase yang baik dengan kedalaman sekitar 1 meter memberikan peluang akar tanaman menyerap air dan unsur hara pada lapisan yang lebih dalam sehingga pertumbuhan tanaman pada musim kemarau tidak terganggu (Indrawanto, dkk, 2010).

Adapun sistematika tanaman tebu adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji) Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas : Liliopsida (berkeping satu / monokotil) Sub Kelas : Commelinidae

Ordo : Poales

Family : Poaceae (suku rumput-rumputan)

Genus : Saccharum

Spesies : Saccharum offinarum L. (Dinas Pertanian,2010).

6

Tebu termasuk tanaman perdu, sering pula digolongkan ke dalam bangsa rumput. Batang tebu berdiri lurus, terdiri atas ruas ruas yang dibatasi dengan buku-buku. Pada setiap buku terdapat mata tunas. Besar batang tebu antara 3 sampai 4 cm diukur dari garis tengah. Tinggi batang tebu 2 sampai 5 meter dan tidak bercabang. Mata tunas bawah yang ada di dalam tanah tumbuh keluar membentuk rumpun. Akar tebu termasuk akar serabut tidak panjang, buah tebu seperti padi-padian bijinya hanya satu lembaga, besarnya sepertiga dari panjang biji.Jenis tebu itu ada dua macam, yaitu saccharum offinarum dan saccnarum

spontaneum.Namun ahli-ahli pertanian telah berusaha mengawinkan kedua jenis

itu dan hasilnya cukup baik (Munir, 1983).

Batang tanaman tebu yang masih segar hampir seluruhnya (99%) tersusun atas unsur-unsur karbon (C), hidrogen (H), dan oksigen (O). Dari sejumlah itu, kira-kira diantaranya dalam bentuk air (H2O), dan 25% sisanya dalam bentuk bahan kering. Analisa dari bahan tebu siap-giling (millable stalks) menunjukkan bahwa kandungan bahan bukan C-H-O tersebut terdiri atas silika (± 40%), kalium (±22%), fosfat (± 7%), kalsium (± 6%), oksida besi, alumina, dan belerang (masing-masing ± 4–5%), sedang sisanya terdiri atas natrium, magnesium, mangan, khlor, dan sebagainya (Adikoesoemo dan Baktir, 2005).

Pada penggilingan batang tebu menjadi gula menghasilkan beberapa limbah padat diantaranya bagas dan blotong. Bagas atau ampas tebu merupakan sisa penggilingan dan pemerahan tebu berupa serpihan lembut serabut batang tebu yang diperoleh dalam jumlah besar. Rendemen bagas mencapai sekitar 30-40% dari jumlah bobot tebu yang masuk ke penggilingan. Sedangkan

blotongdihasilkan dari proses pemurnian nira dengan jumlah sekitar 3,8% dari bobot tebu (Ismayana, 2012).

Blotong

Pada pemprosesan gula dari tebu menghasilkan limbah atau hasil samping, antara lain ampas, blotong dan tetes. Ampas berasal dari tebu yang digiling dan digunakan sebagai bahan bakar ketel uap. Blotong atau filter cake adalah endapan dari nira kotor yang ditapis di rotary vacuum filter, sedangkan tetes merupakan sisa sirup terakhir dari masakan yang telah dipisahkan gulanya melalui kristalisasi berulangkali sehingga tidak mungkin lagi menghasilkan kristal. Blotong dari PG Sulfitasi rata-rata berkadar air 67% dan kadar pol 3% (Sinaga dan Susanto, 2010).

Blotong (filter press mud) merupakan limbah yang bermasalah bagi pabrik gula dan masyarakat karena blotong yang basah menimbulkan bau busuk. Oleh karena itu, apabila blotong dapat dimanfaatkan akan mengurangi pencemaran lingkungan. Secara umum bentuk dari blotong berupa serpihan serat-serat tebu yang mempunyai komposisi humus, N-total,C/N, PI05, KIO, CaO dan MgO, cukup baik untuk dijadikan bahan pupuk organik (Sinaga dan Susanto, 2010). Tabel 1.Komposisi Kimia Blotong Kering

Unsur Kadar Kandungan

Nitrogen (N) 1,4 %

Posphat (P) 3,03 %

Kalium (K) 0,7 %

Kalsium (Ca) 16,2 %

Sulfat (SO3) 6,42 %

Ampas tebu (bagasse) 64,00 %

Kalor bakar 3,319 kkal / kg

Blotong adalah limbah pabrik gula yang bersifat padat dan hangat. Blotong belum dimanfaatkan secara maksimal, ini terbukti pada pabrik gula hanya dibuang dan penduduk dipersilahkan mengambil secara bebas. Masyarakat

8

memanfaatkan blotong sebagai bahan timbunan atau pemanfaatan blotong untuk urug tanah dan pupuk tanaman. Blotong mempunyai sifat padat, berserat dan mengandung sedikit tetes tebu. Tetes tebu ini yang mengakibatkan blotong bersifat lekat sehingga dapat diasumsikan blotong mampu sebagai bahan tambah batu bata (Marwayudhi, 2013).

Batako

Batako adalah salah satu bahan bangunan yang berupa batu-batuan yang pengerasannya tidak dibakar dengan bahan pembentuk yang berupa campuran pasir, semen, air dan dalam pembuatannya dapat ditambahkan dengan bahan lain sebagai bahan pengisi antara campuran tersebut (additive). Kemudian dicetak melalui proses pemadatan sehingga menjadi bentuk balok-balok dengan ukuran tertentu dan dimana proses pengerasannya tanpa melalui proses pembakaran serta dalam pemeliharaannya ditempatkan dalam tempat yang lembab atau tidak terkena sinar matahari langsung atau hujan, tetapi dalam pembuatannya dicetak sedemikian rupa hingga memenuhi syarat dan dapat digunakan sebagai bahan pasangan dinding (Lubis, 2010).

Batako ringan (aerated concrete) sering juga disebut batako berpori dibuat dari campuran: semen, pasir dan sludge. Campuran batako kemudian dicetak dan dikeringkan secara alami, dengan waktu pengeringan (agieng) selama: 7, 14, 21 dan 28 hari. Adapun karakteristik batako yang diukur meliputi: densitas, penyerapan air, kuat tekan, kuat patah, kuat tarik, daya redam suara, dan analisa mikrostrukturnya dengan menggunakan Scanning Electron Microscope(SEM) (Sihombing, 2009).

Batako yang selama ini kita kenal adalah jenis batako yang terbuat dari bahanPortland Cement(PC) yang lebih dikenal dengan semen dan bahan pengisi berupa agregat halus (pasir) dan air. Dimensi batako pada umumnya adalah panjang 35 cm, lebar 15 cm, dan tebal 10 cm. Campuran ini mempunyai beberapa komposisi tergantung dari mutu berapa yang diinginkan. Semakin banyak kandungan semen, maka mutu akan semakin baik (Marsudi, 2010).

Ada beberapa keuntungan dan kerugian dalam menggunakan batako sebagai bahan pengganti batu bata. Diantara keuntungan yang diperoleh adalah :

1. Tiap m2 pasangan tembok, membutuhkan lebih sedikit batako jika dengan menggunakan batu bata, berarti secara kuantitatif terdapat suatu pengurangan.

2. Pembuatan mudah dan ukuran dapat dibuat sama.

3. Ukurannya besar, sehingga waktu dan ongkos pemasangan juga lebih hemat.

4. Khusus jenis yang berlubang, dapat berfungsi sebagai isolasi udara. 5. Apabila pengerjaan rapi, tidak perlu diplester.

6. Lebih mudah dipotong untuk sambungan tertentu yang membutuhkan potongan.

7. Sebelum pemakaian tidak perlu direndam air.

Sedangkan kerugian pemakaian batako adalah sebagai berikut:

1. Karena proses pengerasannya butuh waktu yang cukup lama (± 3minggu), maka butuh waktu lama untuk membuatnya sebelum memakainya

2. Bila diinginkan lebih cepat membantu/mengeras perlu ditambah dengan semen, sehingga menambah biaya pembuatan.

10

3. Mengingat ukurannya yang besar dan proses pengerasannya cukup lama mengakibatkanpada saat pengangkutan banyak terjadi batako pecah.

(Lubis, 2010). Semen

Semen adalah bahan yang mempunyai sifat adhesif dan kohesif digunakan sebagai bahan pengikat (bonding material) yang dipakai bersama batu kerikil,pasir dan air. Semen akan mengikat butir-butir agregat halus (halus dan kasar) setelah diberi air dan selanjutnya akan mengeras menjadi suatu massa yang padat. Semen yang digunakan sebagai bahan struktur harus mempunyai kualitas yang sesuai dengan ketepatan agar berfungsi secara efektif. Pemeriksaan dilakukan terhadap yang masih berupa bentuk kering, pasta semen yang telah keras dan beton dibuat darinya.

Sifat kimia yang perlu mendapat perhatian adalah kesegaran semen itu sendiri. Semakin sedikit kehilangan berat berarti semakin baik kesegaran semen. Dalam keadaan normal kehilangan berat sekitar 2% dan maksimum kehilangan yang diijinkan 3%. Kehilangan berat terjadi karena adanya kelembaban dan karbondioksida dalam bentuk kapur bebas atau magnesium yang menguap (Lubis, 2010).

Tabel 2. Presentase komposisi semen portland Tipe

Komposisi dalam Persen (%) Ca3 SiO5 Ca2 SiO4 Ca3Al2 O6 4CaO.Al2O3. Fe2O3

CaSO4 CaO MgO Semen Penggunaan

Umum

49 25 12 8 2,9 0,8 2,4

Semen pengeras pada panas sedang

46 29 6 12 2,8 0,6 3

Semen berkekuatan tinggi awal

56 15 12 8 3,9 1,4 2,6

Semen panas rendah 30 46 5 13 2,9 0,3 2,7

Pasir

Pasir merupakan bahan pengisi yang digunakan dengan semen untuk membuat adukan. Selain itu juga pasir berpengaruh terhadap sifat tahan susut, keretakan dan kekerasan pada batako atau produk bahan bangunan campuran semen lainnya. Pasir yang digunakan untuk pembuatan batako harus bermutu baik yaitu pasir yang bebas dari lumpur, tanah liat, zat organik, garam florida dan garam sulfat. Selain itu juga pasir harus bersifat keras, kekal dan mempunyai susunan butir (gradasi) yang baik (Lubis, 2010).

Tabel 3. Komposisi pasir

Komponen penyusun Presentase (%)

SiO3 96

Al2O3 3

Debu 1

Air

Air yang digunakan sebagai bahan campuran bahan bangunan, harus berupa air bersih dan tidak mengandung bahan-bahan yang dapat menurunkankualitas beton. Persyaratan air yang digunakan sebagai campuran bahan bangunan adalah sebagai berikut:

a) Air untuk pembuatan dan perawatan beton tidak boleh mengandung minyak, asam alkali, garam-garam, bahan-bahan organik atau bahan lain yang dapat merusak daripada beton.

b) Apabila dipandang perlu maka contoh air dapat dibawa ke Laboratorium Penyelidikan Bahan untuk mendapatkan pengujian sebagaimana yang dipersyaratkan.

12

c) Jumlah air yang digunakan adukan beton dapat ditentukan dengan ukuran berat dan harus dilakukan setepat-tepatnya.

(Lubis, 2010).

Karakteristik Batako

Ukuran dan jenis batako/bata cetak bermacam-macam sesuai dengan kebutuhan. Ukuran batako yang standar adalah:

(1) Type A

Ukuran 20 x 20 x 40 cm3 berlubang untuk tembok/dinding pemikul beban dengan tebal 20 cm.

(2) Type B

Ukuran 20 x 20 x 40 cm3 berlubang untuk tembok/dinding tebal 20 cm sebagai penutup atap pada sudut-sudut dan pertemuan-pertemuan.

(3) Type C

Ukuran 10 x 20 x 40 cm3berlubang, digunakan sebagai dinding pengisi dengan tebal 20 cm.

(4) Type D

Ukuran 10 x 20 x 40 cm3 berlubang, digunakan sebagai dinding pengisi/pemisah dengan tebal 20 cm.

(5) Type E

Ukuran 10 x 20 x 40 cm3 tidak berlubang untuk tembok-tembok setebal 10 cm, juga dipergunakan sebagai dinding pengisi atau pemikul sebagai hubungan sudut-sudut dan pertemuan.

(6) Type F

Ukuran 8 x 20 x 40 cm3 tidak berlubang, digunakan sebagai dinding pengisi dengan tebal 20 cm.

(Lubis, 2010).

Persyaratan batako menurut PUBI (1982) pada pasal 6 antara lain: - Permukaan batako harus mulus

- Kadar air 25-35% dari berat

- Memiliki kuat tekan antar 2-7 N/mm2

- Sisi-sisi batako harus tegak lurus satu dengan yang lainnya dan tidak mudah direpihkan dengan tangan.

(Damaris,dkk, 2011).

Tabel 4. Syarat fisis batako mengacu SK. SNI 03-0349-1989 No Syarat fisis Satuan

Tingkat mutu bata beton Pejal

Tingkat mutu bata beton berlubang

I II III IV I II III IV 1

Kuat tekan bruto rata-rata min

kg/cm2 100 70 40 25 70 50 35 20 2 Kuat tekan bruto

masing-masing benda uji min.

kg/cm2 90 65 35 21 65 45 30 17

3 Penyerapan air rata-rata, maks.

% 25 35 - - 25 35 - -

Pengujian Batako Uji Tekan Batako

Kuat tekan batako adalah kekuatan yang dihasilkan dari pengujian tekan oleh mesin uji tekan yang merupakan beban tekan keseluruhan pada waktu benda uji pecah dibagi dengan ukuran luas nominal batako atau besarnya beban persatuan luas. Sifat agregat yang paling berpengaruh pada terhadap kekuatan beton adalah kekasaran permukaan dan ukuran maksimumnya. Jumlah semen

14

dapat menentukan kuat tekan dari batako, tetapi banyaknya jumlah semen yang dimaksudkan untuk meningkatkan kuat tekan batako harus diperhatikan nilai faktor air semen yang dihasilkan oleh adukan beton tersebut (Lubis, 2010).

Kuat tekan suatu material didefinisikan sebagai kemampuan material dalam menahan beban atau gaya mekanis sampai terjadinya kegagalan (failure). Persamaan untuk pengujian kuat tekan dengan menggunakanUniversal Testing

Machine adalah sebagai berikut:

F = P

A

Dimana :

F = Beban maksimum (N).

A = Luas bidang permukaan (m2) = 4π(d)2

d = diameter silinder (m). (Hutasoit, 2010).

Tabel 5. Persyaratan kuat tekan batako

Mutu Kuat tekan minimum (MPa)

I 9,7

II 6,7

III 3,7

IV 2

Absorbsi

Dalam pengujian penyerapan air, dipakai 3 (tiga) buah benda uji setiap variasi percobaan dalam keadaan utuh dengan peralatan sebagai berikut (SNI 03- 2113-2000):

a. Timbangan dengan ketelitian sampai 0,5% dari berat contoh uji. b. Dapur pengering yang dapat mencapai suhu 105 ± 5° C.

Benda uji seutuhnya direndam dalam air bersih yang bersuhu ruangan selama 24 jam. Kemudian benda uji diangkat dari rendaman, dan air sisanya dibiarkan meniris kurang lebih 1 menit, lalu permukaan benda uji diseka dengan kain lembab, agar air yang berlebihan yang masih melekat dibidang permukaan benda uji terserap kain lembab itu. Benda uji kemudian ditimbang (A). Setelah itu benda uji dikeringkan di dalam dapur pengering suhu pada 105 ± 5 °C sampai beratnya pada 2 kali penimbangan tidak berbeda lebih dari 0,2% dari penimbangan yang terdahulu (B). Selisih penimbangan dalam keadaan basah (A) dan dalam keadaan kering (B) adalah jumlah penyerapan air, dan harus dihitung berdasarkan prosen benda uji kering (Lubis, 2010).

Untuk mengetahui besarnya penyerapan air dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Simbolon, 2008):

WA = ��−��

x 100% Dimana:

WA = Water Absorption (%)

= massa benda dalam kondisi kering (kilogram)

= massa benda dalam kondisi saturasi/jenuh (kilogram).

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perkembangan industri yang sangat pesat secara universal, di samping menghasilkan produk yang mempengaruhi perekonomian global juga menghasilkan produk samping yang sangat mempengaruhi keseimbangan lingkungan.Di dalam kurun waktu seperempat abad terakhir, pengaruh industri terhadap lingkungan tidak hanya berasal dari produk sampingnya, tetapi produk industri itu sendiri telah berkembang sedemikian pesatnya sehingga menjadi limbah pengganggu lingkungan (Wiryowidagto, 1994).

Menurut Undang-undang Republik Indonesia (UU RI) No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), definisi limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan. Definisi secara umum, limbah adalah bahan sisa atau buangan yang dihasilkan dari suatu kegiatan dan prosesproduksi, baik pada skala rumahtangga, industri, pertambangan, dan sebagainya. Bentuk limbah tersebut dapat berupa gas dan debu, cair atau padat.Di antara berbagai jenis limbah ini ada yang bersifat beracun atau berbahaya dan dikenal sebagai Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Limbah B3).

Semakin meningkat kegiatan manusia, semakin banyak pula limbah yang dihasilkan. Oleh karena itu, perlu peraturan yang mengikat secara hukum terkait dengan limbah dan pengelolaannya. UU No 32 Tahun 2009 sudah memuat aturan segala sesuatu yang terkait limbah tersebut. Aturan itu menyangkut apa yang diperbolehkan, dilarang dan sanksi hukumnya. UU no 32/2009 inimerupakan penyempurnaan dari UU sebelumnya yaitu UU No 23 Tahun 1997 tentang

Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU No 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Disamping itu, sudah ada UU yang lebih khusus lagi yaitu UU no 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (Soenarno, 2011).

Salah satu segi positif dari sistem tanam paksa (1830-1970) adalah perkembangan industri gula yang cepat sekali di Indonesia. Terlepas dari beban penderitaan yang dipikul oleh rakyat, selama kira-kira empat puluh tahun, produksi gula di Indonesia meningkat dari kurang dari 25.000 pikul per tahun menjadi lebih dari 225.000 pikul per tahun. Pada penutup abad ke 19, produksi gula di Indonesia telah mencapai 900.000 pikul lebih. Menjelang tahun 1980, jumlah pabrik gula di Indonesia ada sebanyak 61 buah, 5 buah diantaranya di luar Jawa. Luas areal perkebunan tebu pada waktu itu sudah mencapai ±100.000 hektar dengan produksi tahunan rata-rata sebesar 0,8 juta ton.

Dengan semakin berkembangnya sistem TRI berdasarkan Instruksi Presiden nomor 9/1975 yang pelaksanaannya diatur dengan SK. Menteri Pertanian nomor 022/Badan Pengendali Bimas/1975, maka sampai saat ini luas areal perkebunan tebu telah mencapai hampir 250.000 hektar dengan produksi rata-rata tahunan sebesar 1,6 juta ton (Adikoesoemo dan Baktir, 2005).

Pabrik gula merupakan salah satu industri yang menghasilkan limbah, baik limbah padat, gas, maupun limbah cair. Limbah yang dihasilkan oleh pabrik gula ini menjadi salah satu permasalahan karena dapat memberikan dampak negatif terhadap lingkungan. Dibandingkan dengan limbah padat dan gas, limbah cair lebih menjadi sorotan karena limbah cair ini akan dibuang ke sungai yang airnya sering dimanfaatkan oleh masyarakat. Limbah yang dihasilkan dari proses

3

produksi gula kristal dibagi menjadi limbah padat (abu, blotong, dan ampas), limbah cair (limbah cair berat dan limbah cair ringan), dan gas (gas dari pembakaran listrik dan dari genset listrik). Setiap jenis limbah ini ditangani dengan cara yang berbeda (Vilandri, 2010).

Blotong merupakan salah satu limbah padat yang berasal dari Pabrik Gula. Limbah ini berasal dari unit proses pemurnian nira, tepatnya pada penapisan nira dengan proses sulfasi. Pengolahan limbah blotong selama ini kurang mendapat perhatian sehingga pemanfaatannya dapat menimbulkan pencemaran lingkungan. Pada umumnya blotong digunakan untuk bahan bakar, dari pembakaran tersebut masih mengandung gas-gas berbahaya karena blotong dari proses sulfitasi masih mengandung belerang (Elykurniati, 2009).

Bahan utama pada pembuatan batako yaitu semen, pasir dan air. Dapat juga menggunakan bahan tambahan lain untuk mengurangi pemakaian semen sebagai campurannya, seperti blotong tebu. Blotong tebu merupakan limbah dari hasil pemurnian nira tebu.

Dalam proses pengolahan tebu menjadi gula menghasilkan limbah padat, limbah cair dan limbah gas. Limbah padat berupa blotong dan ampas tebu.Limbah blotong dihasilkan dari pemurnian gula, ampas dihasilkan dari pengepresan.Limbah padat lainnya yaitu abu ketel yang berasal dari pembakaran ampas abu ketel di ketel uap (boiler). Blotong inilah yang akan digunakan sebagai bahan tambahan pada pembuatan batako.

Dari uraian diatas perlu dilakukan penelitian dengan judul “Pembuatan Batako dengan Menggunakan Bahan Baku Blotong Tebu” yang diharapkan dapat

mengurangi limbah blotong yang dihasilkan oleh pabrik gula dan batako blotong tebu dapat bersaing di pasaran.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk membuat batako dari limbah blotong tebu dan pemberian kadar blotong pada batako terhadap tekstur, kuat tekan dan daya serap air.

Kegunaan Penelitian

1. Bagi penulis yaitu sebagai bahan untuk menyusun skripsi yang merupakansyarat untuk dapat menyelesaikan pendidikan di Program Studi Keteknikan Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. 2. Bagi mahasiswa, sebagai informasi pendukung untuk melakukan

penelitian lebih lanjut mengenai batako dengan bahan baku limbah blotong tebu.

3. Bagi masyarakat, untuk membantu masyarakat dalam pengembangan dan pengolahan batako dengan memanfaatkan limbah industri.

ABSTRAK

ANDRI FERNANDO PAKPAHAN : Pemanfaatan Blotong Tebu Untuk Mengurangi Pemakaian Semen Pada Pembuatan Batako. Dibimbing oleh AINUN ROHANAH dan SULASTRI PANGGABEAN.

Pemanfaatan limbah blotong tebu dalam pembuatan batako ini bertujuan

untuk mengurangi pemakaian semen dalam pembuatan batako dengan

memanfaatkan limbah blotong tebu, menghitung ukuran, nilai kuat tekan dan absorbsi. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap non-faktorial dengan pemberian kadar blotong (A) terdiri dari tiga taraf yaitu (A1= 5%, A2= 15%, P3= 25%). Parameter yang diamati adalah ukuran, kuat tekan, dan absorbsi.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perbedaan pemberian limbah blotong tebu pada campuran batako memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap ukuran, nilai kuat tekan, dan absorbsi. Ukuran tertinggi dari setiap perlakuan adalah pada kadar blotong 25% dan ukuran terendah didapat pada kadar blotong 5%. Nilai kuat tekan tertinggi didapat pada kadar blotong 5% dan nilai kuat tekan terendah didapat pada kadar 25%. Absorbsi tertinggi diperoleh pada kadar blotong 25% dan absorbsi terendah diperoleh pada kadar blotong 5%.

Kata kunci: Batako, Blotong, Limbah.

ABSTRACT

ANDRI FERNANDO PAKPAHAN: Utilization Of Sugarcane Filter

Cake to Reduce The Use of Cement Block Making. Supervised by AINUN

ROHANAH and SULASTRI PANGGABEAN.

Sugarcane filter cake waste utilization in brick-making aims to reduce the use of cement block making by utilizing sugarcane filter cake waste, calculate the size, the compressive strength and absorption. This research used non-factorial complete random design with provision filter cake level (A) consisted of three types which were (A1= 5%, A2= 15%, A3= 25%). The parameter was size, compressive strength and absorption.

The result showed that some differences on the treatments of rice field tillage gave significant effect on size, compressive strength and absorption. The highest measure of each treatment is at a level 25% and the size of the filter cake obtained at the lowest levels of filter cake 5%. The highest compressive strength values obtained at 5% level of filter cake and low compressive strength values obtained at the level of 25% filter cake. The highest absorption filter cake obtained at levels of 25% and the lowest absorption filter cake obtained at 5% level.

SKRIPSI

OLEH :

ANDRI FERNANDO PAKPAHAN 100308014

PROGRAM STUDI KETEKNIKAN PERTANIAN

Dokumen terkait