• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Ampas Kelapa Sebagai Pakan Ternak

Kelapa (Cocos nucifera Lin) adalah komoditas sosial yang mudah tumbuh di daerah tropis dan merupakan tanaman yang penting dan melibatkan jutaan masyarakat tani di negara - negara Asia Pasifik. Pertanaman kelapa di Indonesia mencapai luas 3.759.397 ha. Sekitar 92,40% diantaranya berupa kelapa dalam yang diusahakan sebagai perkebunan rakyat, sedangkan kelapa hibrida baru sekitar 4%. Oleh karena itu Indonesia disebut sebagai negara produsen kelapa kedua setelah Philipina, tentu dilihat dari segi total areal maupun potensi produksinya (Putri, 2010).

Komposisi buah kelapa terdiri dari sabut 30 %, air 25 % daging buah 30 % dan tempurung 15 % (Suhardiman, 1999).

Gambar 1. Komposisi Buah Kelapa

Usaha budidaya tanamam kelapa melalui perkebunan terutama dilakukan untuk memproduksi minyak kelapa yang berasal dari daging buahnya dengan hasil samping berupa ampas kelapa (Miskiyah et al.,2006).

Ampas kelapa merupakan hasil ikutan yang diperoleh dari ekstraksi daging buah kelapa segar atau kering. Ampas kelapa pada umumnya digunakan sebagai bahan campuran makanan ternak. Potensi ampas kelapa dapat mencapai 34-42 %

dari keseluruhan buah kelapa. Ampas kelapa mengandung protein dan lemak (SNl, 1996).

Santan adalah cairan yang diperoleh dengan melakukan pemerasan terhadap daging buah kelapa parutan yang digunakan untuk mengolah berbagai masakan. Dengan cara perasan, diperoleh santan sedikit lebih daripada 50% berat daging buah kelapa parutan mula-mula (Suhardikono, 1995).

Gambar 2. Buah kelapa

Gambar 3. Alur perolehan ampas kelapa (Putri, 2010)

Ampas kelapa merupakan limbah industri atau limbah rumah tangga yang sangat potensial untuk digunakan sebagai bahan pakan ternak termasuk kelinci, karena ampas kelapa masih mudah didapatkan dari sisa pembuatan minyak kelapa tradisional dan limbah pembuatan virgin coconut oil (VCO). Menurut

Daging Buah Tempurung Kelapa Santan kelapa Ampas kelapa

Parutan daging buah

Diperas hingga keluar santan Ditambah Air

Purawisastra (2001), menyatakan bahwa ampas kelapa mengandung serat galaktomanan sebesar 61 %. Galaktomanan adalah polisakarida yang terdiri dari rantai mannose dan galaktosa, senyawa ini bermanfaat bagi kesehatan karena mengandung serat dan polisakarida, juga berperan memicu pertumbuhan bakteri usus yang membantu pencernaan (Winarno, 1992).

Untuk pengolahan minyak kelapa cara basah, dari 100 butir kelapa diperoleh ampas 19,50 kg. Ampas kelapa dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan tepung. Tepung kelapa adalah tepung yang diperoleh dengan cara menghaluskan daging ampas kelapa (Yulvianti et al., 2015).

Balasubramaniam (1976), menyatakan bahwa analisis ampas kelapa kering (bebas lemak) mengandung 93% karbohidrat yang terdiri atas: 61% galaktomanan, 26% manosa dan 13% selulosa. Sedangkan Bonzon andVelasco (1982), menyatakan bahwa tepung ampas kelapa mengandung lemak 12,2%, protein 18,2%, serat kasar 20%, abu 4,9%, dan kadar air 6,2%.

Hasil analisa yang dilakukan oleh Miskiyah et al.(2006), menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar protein ampas kelapa setelah fermentasi dari 11,35% menjadi 26,09% atau sebesar 130% dan penurunan kadar lemak sebesar 11,39%. Kecernaan bahan kering dan bahan organik meningkat masing-masing dari 78,99% dan 98,19% menjadi 95,1% dan 98,82%.

Tepung ampas kelapa adalah tepung yang diperoleh dengan cara menghaluskan ampas kelapa yang telah dikeringkan. Tepung ampas kelapa dapat dibuat dari kelapa parut kering yang dikeluarkan sebagian kandungan lemaknya melalui proses pressing. Lebih lanjut dijelaskan bahwa dari proses ini selain diperoleh tepung kelapa juga diperoleh minyak yang bemutu tinggi (Rony, 1993).

Karakteristik dan Potensi Ternak Kelinci (Oryctolagus cuniculus)

Taksonomi kelinci yaitukingdom: Animalia, filum : Chordata, subfilum:

Vertebrata, kelas: Mamalia, ordo: Lagomorpha, famili: Leporidae,

subfamili: Leporine, genus: Lepus, Oritolagus, spesies: Lepus spp,

Orictolagus spp, Cuniculus (Susiloriniet al., 2007).

Gambar 4. Kelinci Rex

Kelinci di Indonesia dapat diternakkan atau dikembangkan dengan baik didaerah ketinggian 500 meter dari permukaan laut dan suhu udara sejuk, berkisar antara 15-180C (60-850F). Temperatur yang ideal pada pemeliharaan kelinci adalah 15-160C tetapi pada temperatur antara 10-300C ternak masih dapat hidup dan berkembang biak dengan baik (Rukmana, 2005)

Kelinci merupakan ternak yang cocok dipelihara di negara berkembang dan mulai memanfaatkan kelinci sebagai sumber daging. Selain itu, kelinci juga memiliki potensi: 1) ukuran tubuh yang kecil, sehingga tidak memerlukan banyak ruang, 2) tidak memerlukan biaya yang besar dalam investasi ternak dan kandang, 3) umur dewasa yang singkat (4-5 bulan), 4) kemampuan berkembang biak yang

tinggi, 5) masa penggemukan yang singkat (kurang dari 2 bulan sejak sapih) (El-Raffa, 2004).

Rex merupakan salah satu dari berbagai macam jenis kelinci. Jenis rex pertama kali ditemukan oleh seorang petani bernama M. Caillon yang berasal dari

negara Perancis, kemudian diteruskan oleh Pat Abbe pada tahun 1919. Cheeke et al, (1987), menambahkan bahwa bulu kelinci rex sifatnya halus,

panjangnya seragam dan mempunyai variasi warna bulu yang menarik dan beragam sehingga sangat cocok untuk dijadikan kulit bulu (fur). Kelinci rex juga baik dan proporsional untuk produksi daging. Jenis ini mempunyai panjang tubuh medium dan dalam, hips yang bulat dan loin yang berisi, sehingga cocok pula untuk dijadikan sebagai kelinci pedaging. Umur dewasa kelamin kelinci rex 4-6 bulan (Sarwono, 2007).

Kelinci merupakan salah satu ternak penghasil daging yang mempunyai kandungan nutrisi yang cukup tinggi.Daging kelinci mempunyai serat yang halus dan warna sedikit pucat, sehingga daging kelinci dapat digolongkan kedalam golongan daging berwarna putih.Daging kelinci mempunyai kualitas yang lebih baik (Rokhmani, 2005).

Jika dibandingkan dengan daging ternak lainnya, daging kelinci mengandung lemak dan kolestrol jauh lebih rendah, tetapi proteinnya lebih tinggi. Kandungan lemak kelinci hanya sebesar 8%, sedangkan daging ayam 12%, daging sapi 24%, daging domba atau kambing 14%, dan daging babi 21%. Kadar kolestrol daging kelinci sekitar 164 mg/100 g, sedangkan daging ayam, daging sapi, daging domba, dan daging babi berkisar 220-250 mg/g daging. Kandungan protein daging kelinci mencapai 21% sementara ternak lain hanya 17-20% (Masanto dan Agus, 2010).

Sistem Pencernaan Kelinci

Ternak kelinci dikenal sebagai ternak herbivora non ruminansia (pseudoruminansia) yang memiliki saluran pencernaan yang dapat memfermentasi pakan yang dikonsumsi sehingga dapat memanfaatkan hijauan dan limbah pertanian secara efisien namun demikian perlu dilakukan pengawasan dalam pemberian pakan terhadap dampak akhirnya. Kualitas pakan tergantung pada komposisi nutrisi yang terkandung didalamnya terutama terhadap bahan kering, protein kasar, serat kasar, lemak kasar dan tingkat kecernaan sedangkan kuantitas pakan dilihat dari mudah didapat dan bersifat ekonomis (Fiberty, 2002).

Kemampuan kelinci mencerna serat kasar dan lemak bertambah setelah kelinci berumur 5-12 minggu. Kelinci menfermentasikan pakan diusus belakangnya. Fermentasi hanya terjadi di caecum (bagian pertama usus besar), yang kurang lebih merupakan 50% dari seluruh kapasitas saluran pencernaanya (Sarwono, 2001).

Gambar 5. Sistem Pencernaan Kelinci

Kelinci adalah ternak herbivora nonruminansiayang mempunyai lambung tunggaldengan pembesaran unik di bagian caecum. Bagian alat pencernaan ini berfungsi mirip dengan rumen sehingga kelinci disebut sebagai hewan ruminansia semu (pseudo-ruminant). Kelinci termasuk kedalam autocoprophagy,

yaitu kelinci membuang feses dari saluran pencernaanya dalam 2 bentuk, feses kering keras dan juga feses lembek berlendir dikeluarkan pada malam hari dan pagi hari. Feses yang lembek berlendir inilah yang dimakan kembali oleh kelinci langsung dari duburnya, ini dilakukan untuk memanfaatkan protein, serat kasar tumbuhan, vitamin yang terkandung dalam feses. Feses yang lembek dan berlendir mengandung banyak vitamin, dan nutrien seperti riboflavin, sianokobalamin (vitamin B12), asam pantotenat dan niasin. Dengan memakan kembali fesesnya, kelinci tidak akan kekurangan vitamin dan nutrien karena isi saluran pencernaan berdaur ulang kembali (Anon, 2011).

Kebutuhan Nutrisi Kelinci(Oryctolagus cuniculus)

Menurut Cheeke et al. (1987), kebutuhan protein kelinci berkisar antara 12-18%, tertinggi pada fase menyusui (18%) dan terendah pada dewasa (12%), kebutuhan serat kasar induk menyusui, bunting dan muda (10-12%), kebutuhan serat kasar kelinci dewasa (14%) sedangkan kebutuhan lemak pada setiap periode pemeliharaan tidak berbeda (2%) yang ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kebutuhan Nutrisi Kelinci (Oryctolagus cuniculus)

Nutrient Kebutuhan Nutrisi Kelinci

Pertumbuhan Hidup Pokok Bunting Laktasi Digestible energy (kcal/kg) 2500 2100 2500 2500 TDN (%) 65 55 58 70 Serat Kasar (%) 10-12 14 10-12 10-12 Protein Kasar (%) 16 12 15 17 Lemak (%) 2 2 2 2 Ca (%) 0,45 - 0,40 0,75 P (%) 0,55 0,5 Metionin + Cystine 0,6 0,6 Lysin 0,65 0,75 Sumber : NRC (1977)

NRC (1977) menyarankan kandungan energi dalam ransum sebesar 2500 kkal DE/kg dan kandungan protein kasar (PK) 16%, serat kasar (SK) berkisar antara 10-12 %, calsium (Ca) 0,4% dan posfor (P) 0,22 % untuk kelinci potong.

Jumlah pakan yang diberikan harus memenuhi jumlah yang dibutuhkan oleh kelinci sesuai dengan tingkat umur atau bobot badan kelinci. Pemberian pakan ditentukan berdasarkan kebutuhan bahan kering. Jumlah pemberian pakan bervariasi bergantung pada periode pemeliharaan dan bobot badan kelinci yang ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Kebutuhan Bahan Kering Kelinci (Oryctolagus cuniculus)

Status Bobot Badan (BB) Kebutuhan Bahan Kering

(kg) (% BB) (g/ekor/hari) Muda 1,8-3,2 6,2-5,4 112-173 Dewasa 2,3-6,8 4,0-3,0 92-204 Bunting 2,3-6,8 5,0-3,7 115-251 Menyusui dengan anak 7 ekor 4,5 11,5 520

Sumber : NRC (1977) dalam Ensminger et al., (1991).

Pakan kelinci pada umumnya berupa umbi-umbian dan sayur-mayur serta tumbuhan lain. Kelinci merupakan hewan herbivora yang rakus. Meskipun demikian, tetap harus memberi makanan kelinci secara teratur sesuai pola pemberian pakan. Pakan yang diberikan pun harus dipilih dan diperhitungkan agar kelinci tidak mengalami gangguan pencernaan. Untuk peningkatan bobot kelinci pedaging dapat sesuai dengan yang diinginkan, pemberian pakan harus diatur agar seimbang pakan hijauan dan konsentrat. Biasanya pada peternakan kelinci

intensif, hijauan diberikan sebanyak60-80% sedangkan konsentrat sebanyak 20-40% dari total jumlah pakan yang diberikan (Priyatna, 2011).

Konsentrat juga diperlukan dalam pemeliharaan kelinci. Dimana berfungsi untuk meningkatkan nilai gizi yang diberikan dan mempermudah penyediaan

makanan. Konsentrat sebagai ransum diberikan sebagai pakan penguat, kalau makanan pokoknya hijauan. Konsentrat untuk pakan kelinci dapat berupa pelet (makanan buatan dari pabrik), bekatul, bungkil kelapa, bungkil kacang tanah, ampas tahu dan gaplek (Prasetyo, 2002).

Teknologi Pengolahan Pakan Kualitas Rendah

Pada umumnya limbah pertanian mempunyai sifat sebagai berikut : 1) nilai nutrisi rendah terutama protein dan kecernaannya, 2) bersifat

bulky sehingga biaya angkutan menjadi mahal karena membutuhkan tempat yang

lebih banyak untuk satuan berat tertentu, 3) kelembabannya tinggi dan menyulitkan penyimpanan, 4) sering terdapat komponen yang kurang disukai ternak dan mengandung racun, 5) selain itu merupakan polusi yang potensial dan penampilannya kurang menyenangkan (Devendra, 1978).

Perlakuan yang paling umum dilakukan terhadap limbah yang dapat digunakan untuk bahan pakan ternak diantaranya berupa perlakuan fisik, kimia, biologis dan atau kombinasi perlakuan fisik-kimia atau fisik-biologis. Perlakuan secara fisik berupa pengeringan, penggilingan dan pemotongan, pengukusan, perendaman dan pembuatan pelet. Perlakuan secara kimia umumnya dilakukan meningkatkan kecernaan dan konsumsi pakan. Perlakuan kimiawi dikelompokkan menjadi tiga yaitu secara alkali, asam dan oksidas (Marzuki, 2013).

Aplikasi perlakuan secara biologis dalam pengolahan pakan bertujuan untuk mengubah struktur fisik bahan, pengawetan dan mengurangi antinutrisi. Enzim yang digunakan seperti selulase, hemiselulase dan enzim pemecah lignin, jamur ligninolitik, bakteri dan jamur rumen. Biokonversi lignoselulosa dapat

dikelompokkan dalam dua model yaitu fermentasi media padat dan cair (Marzuki, 2013).

Enzim selulase termasuk sistem multienzim yang terdiri dari tiga komponen yaitu endoglukanase, yang mengurai polimer selulosa secara random untuk menghasilkan oligodekstrin dengan panjang rantai yang bervariasi, eksoglukanase yang mengurai selulosa dari ujung pereduksi dan non-pereduksi

untuk menghasilkan selulosa ikatan pendek atau selobiosa, dan β-glukosidase

yang mengurai selobiosa untuk menghasilkan glukosa (Ikram et al., 2005).

Lipase merupakan kelompok enzim yang secara umum berfungsi dalam hidrolisis lemak, mono-, di-, dan trigliserida untuk menghasilkan asam lemak bebas dan gliserol. Enzim lipase merupakan enzim yang dapat menghidrolisis rantai panjang trigliserida. Enzim ini memiliki potensi untuk digunakan memproduksi asam lemak (Dali et al., 2009).

Gambar 7. Pemecahan trigliserida oleh enzim lipase Gambar 6. Proses pemecahan selulosa

Fermentasi.

Dalam proses fermentasi, mikroorganisme harus mempunyai 3 (tiga) karakteristik penting yaitu: 1) mikroorganisme harus mampu tumbuh dengan cepat dalam suatu substrat dan lingkungan yang cocok untuk memperbanyak diri. 2) mikroorganisme harus memiliki kemampuan untuk mengatur ketahanan fisiologi dan memilki enzim-enzim esensial yang mudah dan banyak. 3) kondisi lingkungan yang diperlukan bagi pertumbuhan harus sesuai. Beberapa faktor yang mempengaruhi pemilihan substrat untuk fermentasi adalah tersedia dan mudah didapat, sifat fermentasi dan faktor harga (Suprihatin, 2010).

Pakan tanpa fermentasi yang diberikan pada ternak akan menghasilkan daya cerna protein yang lebih rendah dibandingkan dengan pakan yang difermentasikan terlebih dahulu. Pakan yang difermentasi cukup palatabel dan disukai ternak. Fermentasi menghasilkan produk dengan rasa, aroma dan tekstur yang lebih disukai oleh ternak (Rasyaf, 1997).

Peningkatkan kualitas zat makanan dan daya cerna pada ampas kelapa maka dilakukan proses fermentasi. Dalam melakukan proses fermentasi aktifitas mikroorganisme dipengaruhi oleh pH, suhu, komposisi zat makanan dan adanya zat inhibitor (Raudati et al., 2001).

Tabel 3. Kandungan kimiawi ampas kelapa tanpa fermentasi dan dengan fermentasi kapang Aspergillus niger dan Ragi Tape

Zat Nutrisi

Kandungan (%) Tanpa Fermentasi Fermentasi

A.niger Fermentasi Ragi Tape BK (%) 90,12 94,74 94,05 PK (%) 2,10 5,59 4,54 SK (%) 26,31 23,74 24,17 LK (%) 40,12 16,07 18,34 ME (kkal/kg) 4696 2953 4548

Aspergillus niger

Dalam industri fermentasi diperlukan substrat yang murah, mudah tersedia dan efisien penggunaannya. Beberapa faktor yang mempengaruhi pemilihan substrat untuk fermentasi adalah tersedia dan mudah didapat, sifat fermentasi, harga dan faktor harga (Suprihatin, 2010).

Aspergillus niger salah satu spesies yang paling umum dan mudah

diidentifikasi dari genus Aspergillus, family Moniliaceae, ordo Monoliales dan kelas fungi imperfecti. Aspergillus niger dapat tumbuh dengan cepat diantaranya digunakan secara komersial dalam produksi asam sitrat, asam glukonat dan pembuatan beberapa enzim seperti amylase, pektinase, amiloglukosidase dan

sellulase. Aspergillus niger dapat tumbuh pada suhu 350C-370C (optimum), 60C-80C (minimum), 450C-470C (maksimum) dan memerlukan oksigen yang

cukup (aerobik) (Media Komunikasi Permi Malang, 2007).

Aspergillus niger dapat menghasilkan enzim-enzim yang dapat membantu

pencernaan seperti selulase, amilase, protease, fitase, dan mananase yang dapat membantu mencerna makanan ternak. Dengan demikian maka Aspergillus niger merupakan organisme proteolitik yang dapat mendegradasi serat kasar dan menghasilkan enzim protease (Erika, 2010).

Dari beberapa hasil penelitian dilaporkan bahwa penggunaan Aspergillus

niger dalam proses fermentasi adalah yang terbaik. Hasil penelitian Mirwandhono

dan Siregar (2004),tentang pemanfaatan mikroba Aspergillus niger dalam prosesfermentasi limbah sawit (bungkil inti dan limbah sawit) mampu meningkatkan kadar protein dari 15,40%menjadi 23,30%.Miskiyahet al.

(2006),melakukan penelitian ampas kelapa dengan Aspergillus niger dapat meningkatkan protein sebanyak 130% dan lemak turun 11,39%.

Bahan pakan yang mengalami fermentasi biasanya mempunyai nilai nutrisi yang lebih tinggi daripada bahan asalnya antara lain meningkat protein kasarnya dan menurun kandungan serat kasarnya. Hal ini disebabkan karena mikrobia bersifat memecah komponen-komponen yang kompleks menjadi zat-zat yang lebih sederhana sehingga mudah dicerna, tetapi juga mensintesa beberapa vitamin seperti riboflavin, vitamin B12 dan provitamin A (Winarno et al., 1980).

Ragi Tape

Menurut Merican dan Queeland (2004), ragi tape merupakan kultur starter kering yang terbuat dari campuran tepung beras, ramuan bumbu, air dan ekstrak

gula tebu. Ragi tape mengandung sekitar 8x107-3x108 sel/g kapang,

3x106-3x107 sel/g yeast dan 103 sel/g bakteri. Selanjutnya Kofli dan Dayaon (2010), mengatakan bahwa ragi tape merupakan

kultur kering yang terdiri konsorsium mikroba berupa yeast atau khamir, kapang

(Mucor, Rhizopus dan Amylomyces) dan bakteri dengan jenis cocci.

Ragi terdiri dari sejumlah kecil enzim, termasuk protease, lipase, invertase, maltase dan zymase. Enzim yang penting dalam ragi adalah invertase, maltase dan zymase.Enzim invertase dalam ragi bertanggung jawab terhadap awal aktivitas fermentasi. Enzim ini mengubah gula (sukrosa) yang terlarut dalam air menjadi gula sederhana yang terdiri atas glukosa dan fruktosa. Gula sederhana kemudian dipecah menjadi karbondioksida dan alkohol. Enzim amilase yang terdapat dalam tepung mampu memproduksi maltose yang dapat dikonsumsi oleh ragi sehingga fermentasi terus berlangsung (Waluyo, 2004)

Ragi yang mengandung mikroflora seperti kapang, khamir dan bakteri dapat berfungsi sebagai starter fermentasi. Selain itu ragi juga kaya akan protein yakni sekitar 40-50%, jumlah protein dari ragi tersebut tergantung dari jenis bahan penyusunnya (Susanto dan Saneto, 1994).

Teknologi Pakan Berbentuk Pelet

Pemberian pakan bentuk pelet dapat meningkatkan performa dan konversi pakan ternak bila dibandingkan dengan pakan bentuk mash (Behnke, 2001). Kualitas pelet dapat diukur dengan mengetahui kekerasan pelet (hardness) dan daya tahan pelet dipengaruhi oleh penambahan panas yang mempengaruhi sifat fisik dan kimia bahan pakan (Thomas dan Van, 1997).

Performa kelinci yang diberi pakan berupa pelet lebih baik dibandingkan dengan kelinci yang diberi pakan berupa butiran atau mash, hal ini dikarenakan ternak tidak mempunyai kemampuan untuk menyortir pakan. Pelet bersifat keras dan kuat, sehingga lebih disukai oleh kelinci, dibandingkan dengan pakan yang berukuran partikel halus. Selain itu, pakan yang berukuran partikel halus akan meningkatkan retensi makanan dalam saluran pencernaan dan dapat menyebabkan radang usus (Cheeke,1994).

Hasil penelitian Nugroho et al. (2012),mengatakan bahwa kelinci lebih

menyukai konsentrat dalam bentuk pelet daripada mash. Pertumbuhan kelinci

yang diberi konsentrat lebih baik daripada yang diberikan pakan mash.

Konsumsi Ransum

Konsumsi ransum adalah kemampuan untuk menghabiskan sejumlah ransum yang diberikan. Konsumsi ransum dapat dihitung dengan pengurangan

jumlah ransum yang diberikan dengan sisa dan hamburan. Konsumsi ransum dipengaruhi oleh kesehatan ternak, palatabilitas, mutu ransum dan tata cara pemberian (Anggorodi, 1995).

Konsumsi ransum dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah

palatabilitas ransum, bentuk fisik ransum, bobot badan, jenis kelamin, temperatur lingkungan, keseimbangan hormonal dan fase pertumbuhan (Piliang dan Djojosoebagio, 2000).

Menurut Blakely dan Bade (1992), jumlah pakan kelinci tiap harinya bervariasi berdasarkan ukuran atau besarnya kelinci serta tahapan atau tingkatan produksinya. Tinggi rendahnya konsumsi pakan dipengaruhi oleh faktor eksternal yaitu lingkungan dan faktor internal atau kondisi ternak sendiri yang meliputi temperatur lingkungan, palatabilitas, status fisiologi yaitu umur, jenis kelamin dan kondisi tubuh, konsentrasi nutrien, bentuk pakan, bobot tubuh dan produksi (Kartadisastra, 1994).

Dari hasil penelitian Bamikole dan Osemwenkhoe (2004), yang menggunakan objek kelinci jenis dwarf wallet dan tanpa pemilihan jenis kelamin dengan pemberian tepung semak putih (Chromolaena odorata) menghasilkan

tingkat konsumsi yang semakin menurun yaitu dari 41,42 sampai 26,72 g/ekor/hari.

Pertambahan Bobot Badan

Pertambahan bobot badan (PBB) dapat diketahui dengan pengukuran kenaikan berat badan yang dengan mudah dapat dilakukan lewat penimbangan berulang-ulang serta dicatat pertambahan bobot badan tiap hari, minggu, bulan, dan sebagainya. Kenaikan bobot badan pertumbuhan biasanya diketengahkan

sebagai pertambahan bobot badan harian atau Average Daily Gain (Tillman, 1998).

Menurut Rizqiani (2011) menyatakan bobot awal kelinci mempengaruhi bobot hidup kelinci, karena ketika bobot awalnya lebih tinggi maka

memungkinkan hasil bobot akhirnya lebih tinggi juga. Menurut Ali dan Badriyah (2010) kebutuhan nutrien bagi ternak tergantung dari jenis

ternak, umur, bobot badan, fase tumbuh, produksi serta lingkungan pemeliharaan. Semakin besar bobot badan, produksi dan pertumbuhan cepat maka kebutuhan nutrien lebih banyak.

Bobot badan ternak berbanding lurus dengan tingkat dari konsumsi pakannya. Hal itu berarti bahwa konsumsi pakan akan memberikan gambaran nutrient yang didapat oleh ternak sehingga mempengaruhi pertambahan bobot badan ternak (Kartadisastra, 1997).

Dari hasil penelitian Sari (2010), dengan menggunakan kulit nenas dalam ransum serta menggunakan objek kelinci jenis new zealand white jantan menghasilkan rataan pertambahan bobot badan sebesar 11,69 g/ekor/hari.

Konversi Ransum

Konversi ransum sangat dipengaruhi oleh kondisi ternak, daya cerna, jenis kelamin, bangsa, kualitas dan kuantitas ransum dan faktor lingkungan. Efisiensi pakan didefinisikan sebagai perbandingan jumlah unit yang dihasilkan (pertambahan bobot badan) dengan jumlah unit konsumsi ransum persatuan waktu yang sama (Lubis, 1993).

Konversi ransum tergantung kepada : (1) kemampuan ternak untukmencerna zat makanan, (2) kebutuhan ternak akan energi dan protein

untukpertumbuhan, hidup pokok dan fungsi tubuh lainnya, (3) jumlah makanan yanghilang melalui metabolisme dan kerja yang tidak produktif dan (4) tipe makananyang dikonsumsi, sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi konversi ransumadalah genetik, umur, berat badan, tingkat konsumsi makanan, pertambahan bobotbadan perhari, palatabilitas dan hormon (Campbell dan Lasley, 1985).

Keseimbangan zat gizi pada pakan dengan yang dibutuhkan oleh ternak menentukan baik atau tidak mutu pakan. Baik tidaknya mutu pakan ditentukan oleh keseimbangan zat gizi pada pakan yang dibutuhkan oleh tubuh ternak. Ternak akan mengkonsumsi pakan secara berlebihan untuk mencukupi kekurangan zat yang diperlukan apabila pakan kekurangan salah satu zat gizinya (Sarwono, 1996).

Menurut Rasyid (2009), megatakan bahwa rataan konversi yang tinggi disebabkan oleh rataan konsumsi yang rendah yang menyebabkan bobot badan yang rendah. Dalam penelitian Sari (2010) dengan menggunakan kelinci new

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak merupakan salah satu cara pemecahan masalah biaya tinggi pada industri peternakan. Salah satu limbah pertanian yang tersedia dalam jumlah banyak dan belum dimanfaatkan secara optimal sebagai bahan baku pakan adalah ampas kelapa. Permasalahan muncul karena rendahnya kadar protein, tingginya kadar air dan serat kasar sehingga penggunaannya terbatas dan belum memberikan hasil yang maksimum.

Pertanaman kelapa di Indonesia mencapai luas 3.759.397 ha. Provinsi Sumatera merupakan salah satu penghasil utama komoditas Sumatera Utara seluas 142.601 ha. Produksi kelapa di Sumatera Utara adalah 88.962 ton, dengan produksi terbesar dari kabupaten Nias Utara 14.905 ton, Asahan 18.121 ton dan Nias Selatan 12.612 ton(Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Utara, 2014).Dengan jumlah produksi kelapa tersebut, diperoleh jumlah produksi ampas kelapa di provinsi Sumatera Utara sebesar 13.344.300 kg (Diolah dari Suhardikono, 1995 dan Suhardiman,1999).

Ampas kelapa merupakan hasil samping pembuatan santan yang sampai saat ini pemanfaatannya masih terbatas untuk pakan ternak. Ampas kelapa merupakan limbah industri atau limbah rumah tangga yang sangat potensial untuk digunakan sebagai bahan pakan ternak termasuk kelinci.

Fermentasi merupakan salah satu cara untuk mengolah ampas kelapa menjadi bahan pakan ternak yang dapat ditingkatkan nilai manfaatnya. Menurut Buckle et al. (1985), fermentasi merupakan hasil proses metabolisme anaerobik

proses fermentasi terjadi reaksi dimana senyawa kompleks diubah menjadi senyawa yang lebih sederhana dengan bantuan enzim dari mikroorganisme.

Proses fermentasi akan terjadi perubahan kualitas bahan makanan menjadi

Dokumen terkait