LAMPIRAN
1. Pembuatan pakan berbentuk pelet
Diaduk kembali hingga bahan cair tercampur rata dalam bahan
Bahan baku berbentuk adonan dengan kebasahan 60%
Adonan dimasukkan ke alat pencetak pelet
Dihasilkan pelet dengan ukuran 5-7 mm Bahan baku
Bahan baku digiling hingga menjadi tepung dengan mesin grinder
Diaduk hingga merata ditempat pengadukan
Ditambahkan air kedalam molasses dengan perbandingan air dengan molases 1 : 5 kemudian aduk hingga merata
2. Histogram konsumsi ransum kelinci (g/ekor/hari) selama penenlitian.
3. Histogram pertambahan bobot badan kelinci (g/ekor/hari) selama penelitian.
4. Histogram konversi ransum kelinci selama penelitian
5. Hasil SAS konsumsi ransum
Dependent Variable: Y1 konsumsi (g/ekor/hari)
6. Hasil SAS pertambahan bobot badan
Dependent Variable: Y1 PBB (g/ekor/hari)
7. Hasil SAS konversi ransum
Dependent Variable: Y1 konversi
DAFTAR PUSTAKA
Ali, U dan Badriyah. 2010. Intensifikasi Pemeliharaan Kelinci Penghasil Daging Menggunakan Limbah Industry Tempe dan Onggok Terfermentasi Dalam Pakan Komplit. Dosen Fakultas Peternakan. Universitas Islam Malang.
Anggorodi. 1995. Nutrisi Aneka Ternak Umum. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Anon, 2011. Kebiasaan Kelinci Memakan Kotoran Sendiri (Coprophagy) kotoran.html. Diakses pada tanggal 02 Maret 2016
Balasubramaniam, K. 1976. Polysacharides of the Kernel of Maturing and Matured Coconuts, Jurnal of Food Science, Page : 41.
Bamikole, M. A and Osemwenkhoe, A. E. 2004. Coverting Bush to Meat : Acase
of Chromolaena odorata Feeding to Rabbits. Pakistan Journal of
Nutrition. Vol 3(4):258-261. Disitasi skripsi Esterlina. 2009. Pemanfaatan Semak Bunga Putih (Chromolaena odorata) Dalam Ransum Terhadap Pertumbuhan Kelinci Jantan Umur 8-18 Minggu. USU-Press. Medan
Behnke, K. C. 2001. Processing Factors Influencing Pelet Quality. Feed Tech. 5 (4): 1-7. Disitasi Skripsi Rizqiani, A. 2011. Performa Kelinci Potong Jantan Lokal Peranakan New Zeland WhiteYang Diberi Pakan Silase Atau Pelet Ransum Komplit. Institut Pertanian Bogor-Press. Bogor.
Blakely, J. and Bade D. H. 1992. Ilmu Peternakan. Edisi Ke-4. Terjemahan B. Srogandono. UGM-Press. Yogyakarta.
Bonzon, J. A and Velasco J.R. 1982. Coconut Production and Utilization, Metro Manila, Philippines, 1882.
Buckle, Edwars, Fleet, Wooton. 1985. Ilmu Pangan. Jakarta: UI. Press. Universitas Indonesia.
Campbell, J.R. dan J.F. Lasley. 1985. The Science of Animal that Serve Humanity. 2nd Ed., Tata McGraw-Hill Publishing Co. Ltd., New Delhi.
Cheeke, R.B., N.M. Patton., S.D. Lukefahr and J.I. Mcniit. 1987. Rabbit
production. Sixth Edition. The Interstate Printers and Publisher, Inc.
Danville, Illinois. Pdf. Aritonang et al. 2003. Laju Pertumbuhan Kelinci Rex, Satin dan Persilangannya yang Diberi Lactosym@ dalam Sistem Pemeliharaan Intensif. [10 Maret 2014].
Dali, S., Patong, A.R., Jalaludin, M.N dan Pirman, A.P. 2009. Pengaruh Substrat Dan Non Logam Terhadap Aktifitas Enzim Lipase Dari Aspergillus niger pada kopra jamur. Universitas Hasanudin. Makasar.
Devendra, C. 1978. Utilization of Feedingstuffs From The Oil Palm. Interaksi : Feedingstuffs For Livestock In South East Asia. Malysia Society Of Animal Production. Serdang Selangor. Malaysia.
El-Raffa, A. M. 2004. Rabbit Production In Hot Climates. J. 8th World Rabbit Congres.
Ensminger, M. E., J. E. Oldfield & W. W. Hineman. 1991. Feed and Nutrition (Formaly Feed and Nutrition Complete). 2nd Edition. The Ensminger Publishing Company. California
Erika, P. 2010. Perlakuan Penyeduhan Air Panas Pada Proses Fermentasi Singkong Dengan Aspergilus niger. Laporan Penelitian.Universitas Katolik Indonesia. Jakarta.
Fiberty, E. 2002. Pengaruh Beberapa Tingkat Penggunaan Ampas Teh Dalam Ransum Bentuk Pelet Tehadap Performan Kelinci Persilangan Lepas Sapih. Skripsi. Fakultas Peternakan. IPB. Bogor.
Ikram-ul-haq, M. M. Javed, T. S. Khan and Z. Siddiq. 2005. Cotton Saccharifying Activity Of Cellulases Produced by Co-culture OF Aspergillus niger and Trichoderma Viride. Res. J. Agric & Biol. Sci. 1(3):241-245.
Kartadisastra, H. R. 1994. Komposisi Kandungan Bahan Penyusun Ransum. Kanisius. Yogyakarta.
___________. 1997. Ternak Kelinci. Teknologi Pasca Panen. Kanisius. Yogyakarta.
Kofli, N. T and Dayaon, S. H. M. 2010. Identification Of Microorganism From
Ragi For Bioethanol Production by API Kit. J. Applied Science 10
(21):2751-2753. Disitasi dari Arnata, I. W dan Anggreni, A. A. M. D. 2013. Rekayasa Bioproses Produksi Bioetanol Dari Ubi kayu Dengan Teknik Ko-Kultur Ragi Tape dan Saccharomyces cerevisiae. PS. Teknologi Industri Pertanian FTP UNUD.
Kurniawan, H. 2016. Kualitas Nutrisi Ampas Kelapa (Cocos nucifera L.) Fermentasi Menggunakan Aspergillus niger. Buletin Peternakan : Vol. 40 (1) : 25-32. Universitas Gajahmada. Yogyakarta.
Lubis, D. A. 1993. Ilmu Makanan Ternak. PT. Pembagunan. Jakarta.
Masanto, R., dan Agus, A. 2010. Beternak Kelinci Potong. Penebar Swadaya. Jakarta.
Media Komunikasi Permi Malang, 2007. Kecil Itu Indah (Aspergillus niger). http://permimalang.wordpress.com/2007/12/12/aspergillus-niger/
Merican, Z and Queeland, Y. 2004. Tapi Processing In Malaysia : A Technology
In Transtition, Industrialization Of Indigeneous Fermented Foods, pp.
247-270. Marcel Dekker Inc., New York. Disitasi dari Arnata, I. W dan Anggreni, A. A. M. D. 2013. Rekayasa Bioproses Produksi Bioetanol Dari Ubi kayu Dengan Teknik Ko-Kultur Ragi Tape dan Saccharomyces
cerevisiae. PS. Teknologi Industri Pertanian FTP UNUD.
Mirwandhono, E. dan Z. Siregar. 2004. Pemanfaatan hidrolisat tepung kepala udang dan limbah kelapa sawit yang difermentasi dengan Aspergillus
niger, Rhizopus oligosporus dan Trichoderma viridae dalam ransum ayam
pedaging. Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Miskiyah, Mulyawati I, dan Haliza W. 2006. Pemanfaatan Ampas Kelapa Limbah Pengolahan Minyak Kelapa Murni Menjadi Pakan. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Muhsafaat, L. A., H. A. Sukria dan Suryahadi. 2015. Kualitas Protein dan Komposisi Asam Amino Ampas Sagu Hasil Fermentasi Aspergillus niger dengan Penambahan Urea dan Zeolit. Jurnal Ilmu Peternakan Indonesia 20(2):125-127.
National Research Council. 1977. Dalam
Nugroho, S. S., Subur, P. S. dan B., Panjono. 2012. Pengaruh Penggunaan Konsentrat Dalam Bentuk Pelet Dan Mash Pada Pakan Dasar Rumput Lapangan Terhadap Palatabilitas Dan Kinerja Produksi Kelinci Jantan. Jurnal Peternakan : UGM. Yogyakarta
Piliang, W. G. dan S. Djojosoebagio. 2000. Fisiologi Nutrisi. Volume I. Ed ke-2. InstitutPertanian Bogor Press, Bogor
Prasetyo. S. 2002. Antar Hobi dan Bisnis Ternak kelinci Bisa Menghasilkan Devis
Priyatna, N. 2011. Beternak dan Bisnis Kelinci Pedaging. PT Agromedia Pustaka. Jakarta.
Purawisastra, S., 2001. Pengaruh isolat galaktomannan kelapa terhadap penurunan kadar kolesterol serum kelinci. Warta litbang kesehatan. vol.5 (3&4). http://www.digilib@litbang.depkes.go.id
Rasyaf, M. 1997. Pengelolaan Peternakan Unggas Pedaging. Kanisius. Yogyakarta.
Rasyid, Hafidz. 2009. Performa Produksi Kelinci Lokal Jantan Pada Pemberian Rumput Lapang Dan Berbagai Level Ampas Tahu. Institut Pertanian Bogor.
Raudati, E., Mahakka dan E. Sahara, 2001. Peningkatan mutu daging biji buah pinang (Pendium eduk) sebagai pakan ternak melalui proses fermentasi
dengan penambahan dedak halus. Jurnal peternakan dan lingkungan. Vol. 70. Universitas Andalas, Padang.
Rizqiani, A. 2011. Performa Kelinci Potong Jantan Local Peranakan New Zealan White Yang Diberi Pakan Silase Atau Ransum Komplit. Departemen Ilmu Nutrisi Dan Teknologi Pakan. Fakultas Peternakan. Institute Pertanian Bogor
Rokhmani, S.I.W. 2005. Peningkatan Nilai Gizi Bahan Pakan Dari Pertanian Melalui Fermentasi. Prosiding. Lokakarya Nasional. Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha kelinci. Bandung 30 September 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Hal 66-74.
Rony, P. 1993. Aneka Produk Olahan Kelapa. Jakarta : Penebar Swadaya.
Rukmana. 2005. Prospek Beternak Kelinci online.com/news. Diakses tanggal 28 Februari 2016.
Sari, F. K. 2010. Pengaruh Penggunaan Kulit Nenas Dalam Ransum Terhadap Performan Kelinci New Zealand White Jantan. Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Sarwono, B. 1996. Beternak Ayam Kampung. Penebar Swadaya. Jakarta.
_______. 2001. Kiat Mengatasi Permasalahan Praktis Kelinci Potong dan Hias. Agromedia Pustaka. Jakarta. Hal :36-41.
_______, 2007. Kelinci Potong dan Hias. Agromedia Pustaka. Jakarta.
SNl. 1996. SNI Bungkil Kelapa Bahan Baku Pakan No 01- 2904-1996
Suhardiman, P. 1999. Bertanam Kelapa Hibrida. Penebar Swadaya. Jakarta
Suhardikono, L. 1995. Tanaman Kelapa, Budidaya dan Pemanfaatannya. Kanisius. Yogyakarta.
Susanto, T. dan B. Saneto, 1994. Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian. Bina Ilmu, Surabaya.
Susilorini, T. E. Manik, E. S., dan Murharlien. 2007. Budidaya 22 Ternak Potenisal Cet-1. Penebar Swadaya. Jakarta. Hal : 73-74.
Thomas, M., & A. F. B. Van der Poel. 1997. Physical quality of peleted animal feed 2. contribution of processes and its conditions. Animal Feed Science and Technology. 61 (1): 89-109.
Tillman AD. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Umiyasih, U dan Y. N. Anggraeny. 2008. Pengaruh Fermentasi Saccharomyces
cerevisiae Terhadap Kandungan Nutrisi dan Kecernaan Ampas Pati Aren
(Arenga pinnata MERR.).Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner.
Waluyo, L. 2004. Mikrobiologi Umum. UMM Press. Malang.
Winarno, F. G dan D. Fardiaz., 1980. Pengantar Teknologi Pangan. PT. Gramedia. Jakarta.
Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia. Jakarta.
Yulvyanti, M., Widya E., Tarsono, dan Alfian, M., 2015. Pemanfaatan Ampas Kelapa Sebagai Bahan Baku Tepung Kelapa Dengan Metode Freeze
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Jl. Udara Gg. Rukun (Peternakan Kelinci
Rukun Farm) Berastagi, Kabupaten Karo. Penelitian ini berlangsung selama 3
bulan dimulai bulan Juli sampai dengan September 2016.
Bahan dan Alat Bahan
Bahan yang digunakan adalah kelinci rex jantan lepas sapih sebanyak 24
ekor dengan bobot badan awal 1012,14±126,67 g, bahan penyusun ransum/pelet
yang terdiri dari ampas kelapa fermentasi, bungkil kelapa, bungkil kedelai, dedak
padi, tepung ikan, mineral mix dan molases. Air minum yang diberikan secara
ad libitum dan rodalon sebagai desinfektan serta obat-obatan seperti obat cacing
(Kalbazen) dan anti bloat untuk obat kembung..
Alat
Alat yang digunakan adalah kandang individu ukuran 50 x 50 x 50cm
sebanyak 24 petak, mesin pencetak pelet, timbangan kapasitas 5 kg untuk
menimbang kelinci, pakan dan sisa pakan, tempat pakan pada tiap kandang
masing-masing sebanyak 24 unit, mesin grinder untuk membuat tepung, lampu,
termometer, sapu lidi, terpal plastik sebagai alas untuk meramu pelet, kantung
Metode Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap
dengan 6 perlakuan dan 4 ulangan, masing masing ulangan terdiri dari 1 ekor.
Adapun perlakuan tersebut sebagai berikut :
P0a : Ransum dengan 10% ampas kelapa tanpa fermentasi
P0b : Ransum dengan 20% ampas kelapa tanpa fermentasi
P1 : Ransum dengan 10% ampas kelapa fermentasi Aspergillus niger
P2 : Ransum dengan 20% ampas kelapa fermentasi Aspergillus niger
P3 : Ransum dengan 10% ampas kelapa fermentasi Ragi Tape
P4 : Ransum dengan 20% ampas kelapa fermentasi Ragi Tape
Dengan susunan penelitian sebagai berikut :
Tabel 4. Kombinasi Unit Perlakuan dan Ulangan
P4 U3 P3 U1 P2 U2 P1 U4
Model matematik percobaan yang digunakan adalah sebagai berikut :
Yij = μ + σi + Ԑij
Keterangan :
Yij = nilai pengamatan yang diperoleh dari satuan percobaan dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
μ = nilai tengah umum σi = efek dari perlakuan ke-i
Parameter yang diamati 1. Konsumsi Ransum
Konsumsi ransum dihitung dengan cara menimbang jumlah pakan yang
diberikan dikurangi dengan sisa pakan selama penelitian yang dinyatakan dalam
g/ekor/hari dalam bentuk bahan kering (BK)
Konsumsi = Pakan yang diberikan - pakan sisa (g/ekor/hari)
2. Pertambahan Bobot Badan
Pertambahan bobot badan harian merupakan selisih antara bobot badan
awal dengan bobot badan akhir dibagi dengan lama pemeliharaan dinyatakan
dalam g/ekor/minggu
PBB =bobot akhir−bobot awal Waktu (minggu)
3. Konversi ransum
Konversi pakanmerupakan perbandingan antara jumlah konsumsi
pakandengan pertambahan bobot badan harian selama pemeliharaan.
Konversi =Konsumsi pakan (gram/hari) PBB
Pelaksanaan Penelitian
1. Persiapan Kandang dan Peralatan
Kandang yang digunakan adalah kandang individu dengan ukuran
50x50x50 cm sebanyak 24 petak. Kandang dipersiapkan seminggu sebelum
kelinci masuk dalam kandang agar kandang bebas dari hama penyakit. Kandang
beserta peralatan seperti tempat pakan dan minum dibersihkan dan didesinfektan
2. Pemilihan Ternak
Kelinci yang akan digunakan sebagai objek penelitian diseleksi terlebih
dahulu dengan syarat seleksi sebagai berikut : kelinci dalam keadaan sehat, tidak
cacat dilihat dari bentuk kaki yang lurus dan lincah, ekor melengkung ke atas
lurus merapat ke bagian luar mengikuti tulang punggung, telinga lurus ke atas,
mata jernih dan bulu mengkilat. Sebelum kelinci dimasukkan ke dalam kandang,
dilakukan penimbangan untuk mengetahui bobot badan awal dari masing-masing
kelinci kemudian dilakukan random (pengacakan) yang bertujuan untuk
memperkecil nilai keragaman. Lalu kelinci dimasukkan ke dalam kandang
sebanyak 1 ekor per unit penelitian.
3. Pengolahan Tepung Ampas Kelapa Fermentasi dengan Ragi Tape
Pengolahan ampas kelapa hingga menjadi ampas kelapa fermentasi
dijelaskan pada skema berikut :
1 kg tepung ampas kelapa
Diautoclave selama 15 menit dengan suhu 1210C
Ditambahkan air 800 ml
Ditaburkan ragi tape sebanyak 18 g
Diaduk sampai homogen
Dimasukkan ke dalam kotak fermentasi, kemudian difermentasi secara aerob selama 6 hari
Dioven selama 24 jam dengan suhu 600C
Digiling dan disimpan
Sumber : Modifikasi Umiyasih dan Anggraeny (2008)
Gambar 8. Skema fermentasi dengan ragi tape
Pengolahan ampas kelapa hingga menjadi ampas kelapa fermentasi
dijelaskan pada skema berikut :
1 kg tepung ampas kelapa
Diautoclave selama 15 menit dengan suhu 1210C
Ditambahkan 800 ml air
Ditambahkan Zeolit 45 g dan Aspergillus niger 18 g
Diaduk sampai dengan homogen
Dimasukkan ke dalam kotak fermentasi,
Difermentasi secara aerob pada suhu kamar (250C) selama 6 hari
Dioven selama 24 jam dengan suhu 600C
Digiling dan disimpan
Sumber : Modifikasi Muhsafaatet al.(2015)
Gambar 9. Skema fermentasi dengan Aspergillus niger
5. Penyusunan Pakan dalam bentuk Pelet
Bahan penyusun konsentrat yang digunakan terdiri atas tepung ampas
kelapa, bungkil kelapa, bungkil kedelai, dedak padi, tepung ikan, mineral dan
molases. Bahan yang digunakan ditimbang terlebih dahulu sesuai dengan
formulasi pelet yang telah sesuai dengan level perlakuan. Untuk menghindari
ketengikan, pencampuran dilakukan satu kali dalam 3 minggu. Berikut susunan
Tabel 5. Susunan dan komposisi ransum
Pakan dan air minum diberikan secara ad libitum, penggantian air minum
dilakukan pada pagi dan sore hari. Obat-obatan dan vitamin diberikan sesuai
dengan kebutuhan kelinci seperti Wormectin untuk obat cacing dan scabies
dengan dosis 0,02 ml/kg bobot kelinci, pemberiannya dengan cara menyuntikkan
di bagian subkutan, anti bloat untuk obat mencret dan kembung dengan dosis
1 sendok teh untuk 1-3 ekor kelinci, pemberiannya melalui mulut. Pelet diberikan
pukul 08.00 WIB dan pukul 16.00 WIB dan hijauan diberikan 1 jam setelah
pemberian pelet.
Pengambilan Data
Pengambilan data untuk konsumsi ransum dilakukan dalam sekali sehari
penelitian. Sedangkan untuk mencari konversi ransum dihitung setelah didapatkan
kedua parameter tersebut.
Analisis Data
Data yang diperoleh selama penelitian dari setiap perlakuan dianalisis
dengan perbandingan linear ortogonal kontras sehingga diperoleh informasi
perlakuan terbaik. Dari 6 perlakuan dapat disusun 5 perbandingan linear ortogonal
kontras sebagai berikut :
Tabel 6. Perbandingan linear ortogonal kontras antar perlakuan penelitian
Perlakuan Keterangan
P0AP0B vs P1P2P3P4 Ransum dengan ampas kelapa non fermentasi dibandingkan dengan ransum ampas kelapa fermentasi
Aspergillus niger dan ragi tape
P0A vs P0B Ransum dengan 10% ampas kelapa non fermentasi dibandingkan dengan ransum 20 % ampas kelapa non fermentasi
P1P2 vsP3P4 Ransum dengan ampas kelapa fermentasi Aspergillus
niger dibandingkan dengan ampas kelapa fermentasi
ragi tape
P1 vsP2 Ransum dengan 10% ampas kelapa fermentasi
Aspergillus niger dibandingkan dengan 20% ampas
kelapa fermentasi Aspergillus niger
P3 vsP4 Ransum dengan 10% ampas kelapa fermentasi ragi tape dibandingkan dengan 20% ampas kelapa fermentasi ragi tape
Pembanding linear ortogonal kontras menggunakan persyaratan sebagai
berikut :
1. Jumlah koefisien pembanding sama dengan nol (Ʃki=0)
2. Jumlah perkalian koefisien dua pembanding sama dengan nol (Ʃki ki=0)
3. Jumlah kuadrat = Qi ²
r x ∑k²
Qi = Jumlah perkalian koefisien pembanding sama dengan total tiap perlakuan
r= Ulangan
Tabel 7. Sidik Ragam
SK Db JK KT Fhit F 5% F 1%
Perlakuan t-1 JKP JKP/db KTP/KTG
P0AP0B vs P1P2P3P4 1 JK1 JK1 JK1/KTG
P0B vs P0B 1 JK2 JK2 JK2/KTG
P1P2 vsP3P4 1 JK3 JK3 JK3/KTG
P1 vsP2 1 JK4 JK4 JK4/KTG
P3 vsP4 1 JK5 JK5 JK5/KTG
Galat Rt-t JKG KTG
Kaidah Keputusan
- Bila F hit < F 0,05 : perlakuan tidak berbeda nyata (terima H0/tolak H1)
- Bila F hit ≥ F 0,05 : perlakuan berbeda nyata (tolak H0/terima H1)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsumsi Ransum
Tinggi dan rendahnya konsumsi ransum dapat diperoleh dari selisih antara
jumlah pakan yang diberikan dengan sisa pakan (g/ekor/hari). Konsumsi ransum
dihitung setiap hari selama penelitian. Pakan yang dikonsumsi sudah
dikonversikan dalam bentuk bahan kering (total bahan kering dari hijauan dan
pelet). Data rataan konsumsi dalam bahan kering ransum kelinci dapat dilihat
pada Tabel 8 dibawah ini.
Tabel 8. Rataan konsumsi ransum kelinci dalam bahan kering (BK) selama penelitian (g/ekor/hari)
Perlakuan Ulangan Total Rataan±sd
1 2 3 4
Dari Tabel 8 menunjukkan bahwa rataan konsumsi ransum tertinggi
adalah P3 sebesar 69,96±2,35 g/ekor/hari, kemudian diikuti oleh P4 sebesar
67,42±2,63 g/ekor/hari, P0B sebesar 65,24±1,38 g/ekor/hari, P1 sebesar 64,24±0,78
g/ekor/hari, P0A sebesar 63,68±1,60 g/ekor/hari dan rataan konsumsi paling rendah
adalah P2 sebesar 62,07±0,61 g/ekor/hari.
Pada perlakuan P2 (ransum 20% ampas kelapa fermentasi A. niger) pada
Tabel 8 diatas, konsumsi rendah meskipun sudah difermentasi dengan Aspergillus
niger. Hal disebabkan karena konsumsi ransum dipengaruhi oleh kondisi ternak
pernyataan Kartadisastra (1994) yang menyatakan bahwa tinggi rendahnya
konsumsi pakan dipengaruhi oleh faktor eksternal yaitu lingkungan dan faktor
internal atau kondisi ternak sendiri yang meliputi temperatur lingkungan,
palatabilitas, status fisiologi yaitu umur, jenis kelamin dan kondisi tubuh,
konsentrasi nutrien, bentuk pakan, bobot tubuh dan produksi. Hal ini juga
didukung oleh Blakely and Bade (1998), yang menyatakan bahwa jumlah pakan
kelinci tiap harinya bervariasi berdasarkan ukuran atau besarnya kelinci serta
tahapan atau tingkatan produksinya.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa ransum
perlakuan dengan perbedaan tepung ampas kelapa yang difermentasi dengan level
yang berbeda menyebabkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) pada tingkat
konsumsi kelinci rex. Terdapat kecenderungan peningkatan konsumsi ransum
dengan penambahan tepung ampas kelapa yang difermentasi dengan ragi tape.
Mengetahui informasi perlakuan yang terbaik dalam konsumsi ransum dapat
dilihat pada Tabel 9 berikut.
Tabel 9. Uji ortogonal kontras terhadap konsumsi ransum
SK dB JK KT Fhit F tabel
Berdasarkan hasil uji ortogonal kontras pada Tabel 9 diatas menunjukkan
bahwa penambahan tepung ampas kelapa fermentasi dalam pakan memberikan
yang tidak difermentasi. Hal ini disebabkan karena tepung ampas kelapa yang
difermentasi sangat disukai oleh ternak karena aroma yang harum spesifik yang
dikeluarkan oleh ampas kelapa fermentasi sehingga menambah palatabilitas
ransum. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rasyaf (1997), yang menyatakan bahwa
pakan yang difermentasi cukup palatabel dan disukai ternak. Fermentasi
menghasilkan produk dengan rasa, aroma dan tekstur yang lebih disukai oleh
ternak.
Berdasarkan hasil uji ortogonal kontras pada Tabel 9 diatas menunjukkan
bahwa ampas kelapa yang difermentasi dengan ragi tape memberikan pengaruh
yang berbeda sangat nyata dengan ampas kelapa yang difermentasi dengan
Aspergillus niger terhadap konsumsi ransum. Hal ini disebabkan karena
palatabilitas terhadap ransum yang difermentasi dengan ragi tape tinggi, aroma
pakan yang lebih disukai ternak, kondisi fisik ternak selama pemeliharaan serta
keadaan lingkungan yang dapat mempengaruhi konsumsi dari ternak. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Piliang (2000), yang menyatakan bahwa konsumsi
ransum dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah palatabilitas ransum,
bentuk fisik ransum, bobot badan, jenis kelamin, temperatur lingkungan,
keseimbangan hormonal dan fase pertumbuhan.
Pertambahan Bobot Badan
Pertambahan bobot badan dapat diketahui berdasarkan selisih antara
penimbangan bobot akhir dengan penimbangan bobot badan awal yang dihitung
setiap minggu. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil rataan
Tabel 10. Rataan pertambahan bobot badan kelinci selama penelitian (g/ekor/hari)
Perlakuan Ulangan Total Rataan±sd
1 2 3 4
Tabel 10 diatas menunjukkan bahwa rata-rata pertambahan bobot badan
tertinggi adalah P3 sebesar 20,73±1,14 g/ekor/hari, kemudian diikuti berturut-turut
oleh perlakuan P4 sebesar 18,62±3,08 gram/ekor/hari, P1 sebesar 16,85±2,58
g/ekor/hari, P0B sebesar 16,52±1,12 g/ekor/hari, P0A sebesar 15,69±2,75
g/ekor/hari dan pertambahan bobot badan terendah pada perlakuan P2 sebesar
15,23±1,34 g/ekor/hari.
Berdasarkan analisis sidik ragam menunjukan bahwa ransum perlakuan
dengan perbedaan ampas kelapa yang difermentasi dengan dua fermentor
menyebabkann perbedaan yang nyata (P<0,05) pada tingkat pertambahan bobot
badan kelinci. Mengetahui informasi perlakuan terbaik dapat dilihat pada uji
ortogonal kontras pada Tabel 11 dibawah.
Tabe 11. Uji ortogonal kontras terhadap pertambahan bobot badan
Berdasarkan hasil uji ortogonal kontras pada Tabel 11 diatas diketahui
bahwa pakan yang difermentasi memberikan pengaruh yang nyata terhadap
pertambahan bobot badan kelinci daripada pakan yang tidak difermentasi. Hal ini
disebabkan karena konsumsimya yang tinggi dan daya cernanya terhadap pakan
yang diberikan juga tinggi. Kelinci yang memiliki tingkat palatabilitas tinggi
dapat mengkonsumsi lebih banyak bahan kering sehingga pertambahan bobot
badannya lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Winarno et al. (1980)
yang menyatakan bahwa bahan pakan yang mengalami fermentasi biasanya
mempunyai nilai nutrisi yang lebih tinggi daripada bahan asalnya antara lain
meningkat protein kasarnya dan menurun kandungan serat kasarnya. Hal ini
disebabkan karena mikrobia bersifat memecah komponen-komponen yang
kompleks menjadi zat-zat yang lebih sederhana sehingga mudah dicerna, tetapi
juga mensintesa beberapa vitamin seperti riboflavin, vitamin B12 dan provitamin
A.
Pertambahan bobot badan yang tinggi juga dipengaruhi oleh terjadinya
dua kali fermentasi baik dalam pakan maupun fermentasi dalam caecum kelinci
yang dikeluarkan dalam bentuk feses lembek yang dimakan kembali oleh kelinci
yang menyebabkan kecernaan pakannya tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Anon (2011), yang menyatakan bahwa kelinci termasuk kedalam
autocoprophagy, yaitu kelinci membuang feses dari saluran pencernaannya dalam
2 bentuk, feses kering keras dan juga feses lembek berlendir dikeluarkan pada
malam hari dan pagi hari. Feses yang lembek berlendir inilah yang dimakan
kembali oleh kelinci langsung dari duburnya, ini dilakukan untuk memanfaatkan
Berdasarkan hasil uji ortogonal kontras pada Tabel 11 diatas
menunjukkan bahwa pakan yang difermentasi dengan ragi tape memberikan
pengaruh yang sangat nyata terhadap pertambahan bobot badan daripada pakan
yang difermentasi dengan Aspergillus niger. Hal ini disebabkan oleh konsumsi
ransum yang rendah dan daya cerrnanya yang kurang terhadap pakan. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Kartadisastra (1997), yang menyatakan bahwa bobot
badan ternak biasanya berbanding lurus dengan tingkat dari konsumsi pakannya.
Hal itu berarti bahwa konsumsi pakan akan memberikan gambaran nutrien yang
didapat oleh ternak sehingga mempengaruhi pertambahan bobot badan ternak.
Rendahnya pertambahan bobot badan juga disebabkan oleh kualitas dan
kuantitas bahan pakan yang yang ada dalam ransum dan juga keadaan ternak pada
saat pemeliharaan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Fiberty (2002), yang
menyatakan bahwa kualitas pakan tergantung pada komposisi nutrisi yang
terkandung didalamnya terutama terhadap bahan kering, protein kasar, serat kasar,
lemak kasar dan tingkat kecernaan. Hal ini didukung juga oleh
Ali dan Badriyah (2010), yang menyatakan bahwa kebutuhan nutrien bagi ternak
tergantung dari jenis ternak, umur, bobot badan, fase tumbuh, produksi serta
lingkungan pemeliharaan. Semakin besar bobot badan, produksi dan pertumbuhan
cepat maka kebutuhan nutrien lebih banyak. Menurut Rizqiani (2011) menyatakan
bobot awal kelinci mempengaruhi bobot hidup kelinci, karena ketika bobot
awalnya lebih tinggi maka memungkinkan hasil bobot akhirnya lebih tinggi juga.
Konversi Ransum
Konversi ransum pada penelitian ini dihitung dalam bentuk bahan kering
pertambahan bobot badan yang dicapai setiap minggu. Rataan konversi ransum
selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 12 dibawah.
Tabel 12. Rataan konversi ransum kelinci selama penelitian
Perlakuan Ulangan Total Rataan±sd
1 2 3 4
Dari Tabel 12 diatas menunjukkan bahwa rataan konversi ransum
tertinggi adalah P0A sebesar 4,16±0,76, kemudian diikuti berturut-turut oleh
perlakuan P2sebesar 4,10±0,34, P0B sebesar 3,96±0,22, P1 sebesar 3,88±0,63,P4
sebesar 3,69±0,58, dan rataan konversi ransum yang terendah adalah kelinci yang
diberi perlakuan P3 yaitu sebesar 3,38±0,09.
Berdasarkan hasil analisis keragaman menunjukkan menunjukkan
bahwakonversi ransum menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05).
Semakin tinggi nilai konversi ransum maka semakin kurang efisien ternak
tersebut mengubah ransum menjadi daging. Kandungan nutrisi pada ransum
perlakuan menyebabkan konversi yang rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Sarwono (1996), yang menyatakan bahwa baik atau tidak mutu pakan ditentukan
oleh keseimbangan zat gizi pada pakan yang dibutuhkan oleh tubuh ternak.
Ternak akan mengkonsumsi pakan secara berlebihan untuk mencukupi
kekurangan zat yang diperlukan apabila pakan kekurangan salah satu zat gizinya.
Mengetahui informasi perlakuan terbaik dalam konversi ransum dapat dilihat pada
Tabel 13. Uji ortogonal kontras terhadap konversi ransum
Pada perlakuaan P3(ransum10% ampas kelapa fermentasi ragi tape),
rendahnya konversi pakan disebabkan oleh konsumsi pakan yang tinggi dan
pertambahan bobot badan yang tinggi pula. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Campbell dan Lasley (1985) yang menyatakan bahwa konversi ransum tergantung
kepada : (1) kemampuan ternak untukmencerna zat makanan, (2) kebutuhan
ternak akan energi dan protein untukpertumbuhan, hidup pokok dan fungsi tubuh
lainnya, (3) jumlah makanan yanghilang melalui metabolisme dan kerja yang
tidak produktif dan (4) tipe makananyang dikonsumsi, sedangkan faktor-faktor
yang mempengaruhi konversi ransumadalah genetik, umur, berat badan, tingkat
konsumsi makanan, pertambahan bobotbadan perhari, palatabilitas dan hormon.
Hal ini didukung oleh Lubis (1993), yang menyatakan bahwa konversi ransum
sangat dipengaruhi oleh kondisi ternak, daya cerna, jenis kelamin, bangsa, kualitas
dan kualitas ransum dan faktor lingkungan.
Pada perlakuan P0A(ransum dengan penambahan 10 % ampas kelapa
tanpa fermentasi), tingginya konversi pakan disebabkan karena konsumsi dan
pertambahan bobot badan yang rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan
disebabkan oleh rataan konsumsi yang rendah yang menyebabkan bobot badan
yang rendah.
Rekapitulasi Hasil Penelitian
Data hasil penelitian yang diperoleh selama penelitian dapat dilihat pada
gambar berikut ini.
P0A : Ransum 10% ampas kelapa tanpa fermentasi; P0B : Ransum 20% ampas kelapa tanpa
fermentasi; P1 : Ransum 10% ampas kelapa fermentasi Aspergillus. niger; P2 : Ransum 20%
ampas kelapa fermentasi Aspergillus niger; P3 : Ransum 10% ampas kelapa fermentasi ragi tape;
P4 : Ransum 20% ampas kelapa fermentasi ragi tape.
Gambar 10. Histogram rekapitulasi hasil penelitian
Gambar diatas menunjukkan masing-masing peubah penelitian setiap
perlakuan. Rekapitulasi hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan P3
terbaik pada masing-masing peubah penelitian. Pertambahan bobot badan
terendah terdapat pada perlakuan P2dan konversi ransum yang tertingggi terdapat
pada perlakuan P0A.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Penggunaan tepung ampas kelapa (Cocos nucifera L.) yang difermentasi
dapat digunakan sebagai pakan alternatif dalam ransum kelinci rexkarena akan
meningkatkan konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan menurunkan
konversi ransum. Perlakuan terbaik terdapat pada ransum dengan tepung ampas
kelapa fermentasi dengan ragi tape pada level 10%
Saran
Disarankan agar menggunakan tepung ampas kelapa yang difermentasi
TINJAUAN PUSTAKA
Potensi Ampas Kelapa Sebagai Pakan Ternak
Kelapa (Cocos nucifera Lin) adalah komoditas sosial yang mudah tumbuh
di daerah tropis dan merupakan tanaman yang penting dan melibatkan jutaan
masyarakat tani di negara - negara Asia Pasifik. Pertanaman kelapa di Indonesia
mencapai luas 3.759.397 ha. Sekitar 92,40% diantaranya berupa kelapa dalam
yang diusahakan sebagai perkebunan rakyat, sedangkan kelapa hibrida baru
sekitar 4%. Oleh karena itu Indonesia disebut sebagai negara produsen kelapa
kedua setelah Philipina, tentu dilihat dari segi total areal maupun potensi
produksinya (Putri, 2010).
Komposisi buah kelapa terdiri dari sabut 30 %, air 25 % daging buah 30 %
dan tempurung 15 % (Suhardiman, 1999).
Gambar 1. Komposisi Buah Kelapa
Usaha budidaya tanamam kelapa melalui perkebunan terutama dilakukan
untuk memproduksi minyak kelapa yang berasal dari daging buahnya dengan
hasil samping berupa ampas kelapa (Miskiyah et al.,2006).
Ampas kelapa merupakan hasil ikutan yang diperoleh dari ekstraksi daging
buah kelapa segar atau kering. Ampas kelapa pada umumnya digunakan sebagai
dari keseluruhan buah kelapa. Ampas kelapa mengandung protein dan lemak
(SNl, 1996).
Santan adalah cairan yang diperoleh dengan melakukan pemerasan
terhadap daging buah kelapa parutan yang digunakan untuk mengolah berbagai
masakan. Dengan cara perasan, diperoleh santan sedikit lebih daripada 50% berat
daging buah kelapa parutan mula-mula (Suhardikono, 1995).
Gambar 2. Buah kelapa
Gambar 3. Alur perolehan ampas kelapa (Putri, 2010)
Ampas kelapa merupakan limbah industri atau limbah rumah tangga yang
sangat potensial untuk digunakan sebagai bahan pakan ternak termasuk kelinci,
karena ampas kelapa masih mudah didapatkan dari sisa pembuatan minyak kelapa
tradisional dan limbah pembuatan virgin coconut oil (VCO). Menurut Daging
Buah
Tempurung Kelapa Santan
kelapa
Ampas kelapa
Parutan daging buah
Diperas hingga keluar santan Ditambah Air
Purawisastra (2001), menyatakan bahwa ampas kelapa mengandung serat
galaktomanan sebesar 61 %. Galaktomanan adalah polisakarida yang terdiri dari
rantai mannose dan galaktosa, senyawa ini bermanfaat bagi kesehatan karena
mengandung serat dan polisakarida, juga berperan memicu pertumbuhan bakteri
usus yang membantu pencernaan (Winarno, 1992).
Untuk pengolahan minyak kelapa cara basah, dari 100 butir kelapa
diperoleh ampas 19,50 kg. Ampas kelapa dapat digunakan sebagai bahan baku
pembuatan tepung. Tepung kelapa adalah tepung yang diperoleh dengan cara
menghaluskan daging ampas kelapa (Yulvianti et al., 2015).
Balasubramaniam (1976), menyatakan bahwa analisis ampas kelapa kering
(bebas lemak) mengandung 93% karbohidrat yang terdiri atas: 61%
galaktomanan, 26% manosa dan 13% selulosa. Sedangkan Bonzon andVelasco
(1982), menyatakan bahwa tepung ampas kelapa mengandung lemak 12,2%,
protein 18,2%, serat kasar 20%, abu 4,9%, dan kadar air 6,2%.
Hasil analisa yang dilakukan oleh Miskiyah et al.(2006), menunjukkan
bahwa terjadi peningkatan kadar protein ampas kelapa setelah fermentasi dari
11,35% menjadi 26,09% atau sebesar 130% dan penurunan kadar lemak sebesar
11,39%. Kecernaan bahan kering dan bahan organik meningkat masing-masing
dari 78,99% dan 98,19% menjadi 95,1% dan 98,82%.
Tepung ampas kelapa adalah tepung yang diperoleh dengan cara
menghaluskan ampas kelapa yang telah dikeringkan. Tepung ampas kelapa dapat
dibuat dari kelapa parut kering yang dikeluarkan sebagian kandungan lemaknya
melalui proses pressing. Lebih lanjut dijelaskan bahwa dari proses ini selain
Karakteristik dan Potensi Ternak Kelinci (Oryctolagus cuniculus)
Taksonomi kelinci yaitukingdom: Animalia, filum : Chordata, subfilum:
Vertebrata, kelas: Mamalia, ordo: Lagomorpha, famili: Leporidae,
subfamili: Leporine, genus: Lepus, Oritolagus, spesies: Lepus spp,
Orictolagus spp, Cuniculus (Susiloriniet al., 2007).
Gambar 4. Kelinci Rex
Kelinci di Indonesia dapat diternakkan atau dikembangkan dengan baik
didaerah ketinggian 500 meter dari permukaan laut dan suhu udara sejuk, berkisar
antara 15-180C (60-850F). Temperatur yang ideal pada pemeliharaan kelinci
adalah 15-160C tetapi pada temperatur antara 10-300C ternak masih dapat hidup
dan berkembang biak dengan baik (Rukmana, 2005)
Kelinci merupakan ternak yang cocok dipelihara di negara berkembang
dan mulai memanfaatkan kelinci sebagai sumber daging. Selain itu, kelinci juga
memiliki potensi: 1) ukuran tubuh yang kecil, sehingga tidak memerlukan banyak
ruang, 2) tidak memerlukan biaya yang besar dalam investasi ternak dan kandang,
3) umur dewasa yang singkat (4-5 bulan), 4) kemampuan berkembang biak yang
tinggi, 5) masa penggemukan yang singkat (kurang dari 2 bulan sejak sapih)
Rex merupakan salah satu dari berbagai macam jenis kelinci. Jenis rex
pertama kali ditemukan oleh seorang petani bernama M. Caillon yang berasal dari
negara Perancis, kemudian diteruskan oleh Pat Abbe pada tahun 1919.
Cheeke et al, (1987), menambahkan bahwa bulu kelinci rex sifatnya halus,
panjangnya seragam dan mempunyai variasi warna bulu yang menarik dan
beragam sehingga sangat cocok untuk dijadikan kulit bulu (fur). Kelinci rex juga
baik dan proporsional untuk produksi daging. Jenis ini mempunyai panjang tubuh
medium dan dalam, hips yang bulat dan loin yang berisi, sehingga cocok pula
untuk dijadikan sebagai kelinci pedaging. Umur dewasa kelamin kelinci rex 4-6
bulan (Sarwono, 2007).
Kelinci merupakan salah satu ternak penghasil daging yang mempunyai
kandungan nutrisi yang cukup tinggi.Daging kelinci mempunyai serat yang halus
dan warna sedikit pucat, sehingga daging kelinci dapat digolongkan kedalam
golongan daging berwarna putih.Daging kelinci mempunyai kualitas yang lebih
baik (Rokhmani, 2005).
Jika dibandingkan dengan daging ternak lainnya, daging kelinci
mengandung lemak dan kolestrol jauh lebih rendah, tetapi proteinnya lebih tinggi.
Kandungan lemak kelinci hanya sebesar 8%, sedangkan daging ayam 12%,
daging sapi 24%, daging domba atau kambing 14%, dan daging babi 21%. Kadar
kolestrol daging kelinci sekitar 164 mg/100 g, sedangkan daging ayam, daging
sapi, daging domba, dan daging babi berkisar 220-250 mg/g daging. Kandungan
protein daging kelinci mencapai 21% sementara ternak lain hanya 17-20%
Sistem Pencernaan Kelinci
Ternak kelinci dikenal sebagai ternak herbivora non ruminansia
(pseudoruminansia) yang memiliki saluran pencernaan yang dapat memfermentasi
pakan yang dikonsumsi sehingga dapat memanfaatkan hijauan dan limbah
pertanian secara efisien namun demikian perlu dilakukan pengawasan dalam
pemberian pakan terhadap dampak akhirnya. Kualitas pakan tergantung pada
komposisi nutrisi yang terkandung didalamnya terutama terhadap bahan kering,
protein kasar, serat kasar, lemak kasar dan tingkat kecernaan sedangkan kuantitas
pakan dilihat dari mudah didapat dan bersifat ekonomis (Fiberty, 2002).
Kemampuan kelinci mencerna serat kasar dan lemak bertambah setelah
kelinci berumur 5-12 minggu. Kelinci menfermentasikan pakan diusus
belakangnya. Fermentasi hanya terjadi di caecum (bagian pertama usus besar),
yang kurang lebih merupakan 50% dari seluruh kapasitas saluran pencernaanya
(Sarwono, 2001).
Gambar 5. Sistem Pencernaan Kelinci
Kelinci adalah ternak herbivora nonruminansiayang mempunyai lambung
tunggaldengan pembesaran unik di bagian caecum. Bagian alat pencernaan ini
berfungsi mirip dengan rumen sehingga kelinci disebut sebagai hewan
yaitu kelinci membuang feses dari saluran pencernaanya dalam 2 bentuk, feses
kering keras dan juga feses lembek berlendir dikeluarkan pada malam hari dan
pagi hari. Feses yang lembek berlendir inilah yang dimakan kembali oleh kelinci
langsung dari duburnya, ini dilakukan untuk memanfaatkan protein, serat kasar
tumbuhan, vitamin yang terkandung dalam feses. Feses yang lembek dan
berlendir mengandung banyak vitamin, dan nutrien seperti riboflavin,
sianokobalamin (vitamin B12), asam pantotenat dan niasin. Dengan memakan
kembali fesesnya, kelinci tidak akan kekurangan vitamin dan nutrien karena isi
saluran pencernaan berdaur ulang kembali (Anon, 2011).
Kebutuhan Nutrisi Kelinci(Oryctolagus cuniculus)
Menurut Cheeke et al. (1987), kebutuhan protein kelinci berkisar antara
12-18%, tertinggi pada fase menyusui (18%) dan terendah pada dewasa (12%),
kebutuhan serat kasar induk menyusui, bunting dan muda (10-12%), kebutuhan
serat kasar kelinci dewasa (14%) sedangkan kebutuhan lemak pada setiap periode
pemeliharaan tidak berbeda (2%) yang ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kebutuhan Nutrisi Kelinci (Oryctolagus cuniculus)
Nutrient Kebutuhan Nutrisi Kelinci
NRC (1977) menyarankan kandungan energi dalam ransum sebesar 2500
kkal DE/kg dan kandungan protein kasar (PK) 16%, serat kasar (SK) berkisar
antara 10-12 %, calsium (Ca) 0,4% dan posfor (P) 0,22 % untuk kelinci potong.
Jumlah pakan yang diberikan harus memenuhi jumlah yang dibutuhkan
oleh kelinci sesuai dengan tingkat umur atau bobot badan kelinci. Pemberian
pakan ditentukan berdasarkan kebutuhan bahan kering. Jumlah pemberian pakan
bervariasi bergantung pada periode pemeliharaan dan bobot badan kelinci yang
ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Kebutuhan Bahan Kering Kelinci (Oryctolagus cuniculus)
Status Bobot Badan (BB) Kebutuhan Bahan Kering
(kg) (% BB) (g/ekor/hari)
Pakan kelinci pada umumnya berupa umbi-umbian dan sayur-mayur serta
tumbuhan lain. Kelinci merupakan hewan herbivora yang rakus. Meskipun
demikian, tetap harus memberi makanan kelinci secara teratur sesuai pola
pemberian pakan. Pakan yang diberikan pun harus dipilih dan diperhitungkan agar
kelinci tidak mengalami gangguan pencernaan. Untuk peningkatan bobot kelinci
pedaging dapat sesuai dengan yang diinginkan, pemberian pakan harus diatur agar
seimbang pakan hijauan dan konsentrat. Biasanya pada peternakan kelinci
intensif, hijauan diberikan sebanyak60-80% sedangkan konsentrat sebanyak
20-40% dari total jumlah pakan yang diberikan (Priyatna, 2011).
Konsentrat juga diperlukan dalam pemeliharaan kelinci. Dimana berfungsi
makanan. Konsentrat sebagai ransum diberikan sebagai pakan penguat, kalau
makanan pokoknya hijauan. Konsentrat untuk pakan kelinci dapat berupa pelet
(makanan buatan dari pabrik), bekatul, bungkil kelapa, bungkil kacang tanah,
ampas tahu dan gaplek (Prasetyo, 2002).
Teknologi Pengolahan Pakan Kualitas Rendah
Pada umumnya limbah pertanian mempunyai sifat sebagai
berikut : 1) nilai nutrisi rendah terutama protein dan kecernaannya, 2) bersifat
bulky sehingga biaya angkutan menjadi mahal karena membutuhkan tempat yang
lebih banyak untuk satuan berat tertentu, 3) kelembabannya tinggi dan
menyulitkan penyimpanan, 4) sering terdapat komponen yang kurang disukai
ternak dan mengandung racun, 5) selain itu merupakan polusi yang potensial dan
penampilannya kurang menyenangkan (Devendra, 1978).
Perlakuan yang paling umum dilakukan terhadap limbah yang dapat
digunakan untuk bahan pakan ternak diantaranya berupa perlakuan fisik, kimia,
biologis dan atau kombinasi perlakuan fisik-kimia atau fisik-biologis. Perlakuan
secara fisik berupa pengeringan, penggilingan dan pemotongan, pengukusan,
perendaman dan pembuatan pelet. Perlakuan secara kimia umumnya dilakukan
meningkatkan kecernaan dan konsumsi pakan. Perlakuan kimiawi dikelompokkan
menjadi tiga yaitu secara alkali, asam dan oksidas (Marzuki, 2013).
Aplikasi perlakuan secara biologis dalam pengolahan pakan bertujuan
untuk mengubah struktur fisik bahan, pengawetan dan mengurangi antinutrisi.
Enzim yang digunakan seperti selulase, hemiselulase dan enzim pemecah lignin,
dikelompokkan dalam dua model yaitu fermentasi media padat dan cair
(Marzuki, 2013).
Enzim selulase termasuk sistem multienzim yang terdiri dari tiga
komponen yaitu endoglukanase, yang mengurai polimer selulosa secara random
untuk menghasilkan oligodekstrin dengan panjang rantai yang bervariasi,
eksoglukanase yang mengurai selulosa dari ujung pereduksi dan non-pereduksi
untuk menghasilkan selulosa ikatan pendek atau selobiosa, dan β-glukosidase
yang mengurai selobiosa untuk menghasilkan glukosa (Ikram et al., 2005).
Lipase merupakan kelompok enzim yang secara umum berfungsi dalam
hidrolisis lemak, mono-, di-, dan trigliserida untuk menghasilkan asam lemak
bebas dan gliserol. Enzim lipase merupakan enzim yang dapat menghidrolisis
rantai panjang trigliserida. Enzim ini memiliki potensi untuk digunakan
memproduksi asam lemak (Dali et al., 2009).
Fermentasi.
Dalam proses fermentasi, mikroorganisme harus mempunyai 3 (tiga)
karakteristik penting yaitu: 1) mikroorganisme harus mampu tumbuh dengan
cepat dalam suatu substrat dan lingkungan yang cocok untuk memperbanyak diri.
2) mikroorganisme harus memiliki kemampuan untuk mengatur ketahanan
fisiologi dan memilki enzim-enzim esensial yang mudah dan banyak. 3) kondisi
lingkungan yang diperlukan bagi pertumbuhan harus sesuai. Beberapa faktor yang
mempengaruhi pemilihan substrat untuk fermentasi adalah tersedia dan mudah
didapat, sifat fermentasi dan faktor harga (Suprihatin, 2010).
Pakan tanpa fermentasi yang diberikan pada ternak akan menghasilkan
daya cerna protein yang lebih rendah dibandingkan dengan pakan yang
difermentasikan terlebih dahulu. Pakan yang difermentasi cukup palatabel dan
disukai ternak. Fermentasi menghasilkan produk dengan rasa, aroma dan tekstur
yang lebih disukai oleh ternak (Rasyaf, 1997).
Peningkatkan kualitas zat makanan dan daya cerna pada ampas kelapa
maka dilakukan proses fermentasi. Dalam melakukan proses fermentasi aktifitas
mikroorganisme dipengaruhi oleh pH, suhu, komposisi zat makanan dan adanya
zat inhibitor (Raudati et al., 2001).
Tabel 3. Kandungan kimiawi ampas kelapa tanpa fermentasi dan dengan fermentasi kapang Aspergillus niger dan Ragi Tape
Zat Nutrisi
Aspergillus niger
Dalam industri fermentasi diperlukan substrat yang murah, mudah tersedia
dan efisien penggunaannya. Beberapa faktor yang mempengaruhi pemilihan
substrat untuk fermentasi adalah tersedia dan mudah didapat, sifat fermentasi,
harga dan faktor harga (Suprihatin, 2010).
Aspergillus niger salah satu spesies yang paling umum dan mudah
diidentifikasi dari genus Aspergillus, family Moniliaceae, ordo Monoliales dan
kelas fungi imperfecti. Aspergillus niger dapat tumbuh dengan cepat diantaranya
digunakan secara komersial dalam produksi asam sitrat, asam glukonat dan
pembuatan beberapa enzim seperti amylase, pektinase, amiloglukosidase dan
sellulase. Aspergillus niger dapat tumbuh pada suhu 350C-370C (optimum),
60C-80C (minimum), 450C-470C (maksimum) dan memerlukan oksigen yang
cukup (aerobik) (Media Komunikasi Permi Malang, 2007).
Aspergillus niger dapat menghasilkan enzim-enzim yang dapat membantu
pencernaan seperti selulase, amilase, protease, fitase, dan mananase yang dapat
membantu mencerna makanan ternak. Dengan demikian maka Aspergillus niger
merupakan organisme proteolitik yang dapat mendegradasi serat kasar dan
menghasilkan enzim protease (Erika, 2010).
Dari beberapa hasil penelitian dilaporkan bahwa penggunaan Aspergillus
niger dalam proses fermentasi adalah yang terbaik. Hasil penelitian Mirwandhono
dan Siregar (2004),tentang pemanfaatan mikroba Aspergillus niger dalam
prosesfermentasi limbah sawit (bungkil inti dan limbah sawit) mampu
(2006),melakukan penelitian ampas kelapa dengan Aspergillus niger dapat
meningkatkan protein sebanyak 130% dan lemak turun 11,39%.
Bahan pakan yang mengalami fermentasi biasanya mempunyai nilai
nutrisi yang lebih tinggi daripada bahan asalnya antara lain meningkat protein
kasarnya dan menurun kandungan serat kasarnya. Hal ini disebabkan karena
mikrobia bersifat memecah komponen-komponen yang kompleks menjadi zat-zat
yang lebih sederhana sehingga mudah dicerna, tetapi juga mensintesa beberapa
vitamin seperti riboflavin, vitamin B12 dan provitamin A (Winarno et al., 1980).
Ragi Tape
Menurut Merican dan Queeland (2004), ragi tape merupakan kultur starter
kering yang terbuat dari campuran tepung beras, ramuan bumbu, air dan ekstrak
gula tebu. Ragi tape mengandung sekitar 8x107-3x108 sel/g kapang,
3x106-3x107 sel/g yeast dan 103 sel/g bakteri. Selanjutnya
Kofli dan Dayaon (2010), mengatakan bahwa ragi tape merupakan
kultur kering yang terdiri konsorsium mikroba berupa yeast atau khamir, kapang
(Mucor, Rhizopus dan Amylomyces) dan bakteri dengan jenis cocci.
Ragi terdiri dari sejumlah kecil enzim, termasuk protease, lipase, invertase,
maltase dan zymase. Enzim yang penting dalam ragi adalah invertase, maltase dan
zymase.Enzim invertase dalam ragi bertanggung jawab terhadap awal aktivitas
fermentasi. Enzim ini mengubah gula (sukrosa) yang terlarut dalam air menjadi gula
sederhana yang terdiri atas glukosa dan fruktosa. Gula sederhana kemudian dipecah
menjadi karbondioksida dan alkohol. Enzim amilase yang terdapat dalam tepung
mampu memproduksi maltose yang dapat dikonsumsi oleh ragi sehingga fermentasi
Ragi yang mengandung mikroflora seperti kapang, khamir dan bakteri
dapat berfungsi sebagai starter fermentasi. Selain itu ragi juga kaya akan protein
yakni sekitar 40-50%, jumlah protein dari ragi tersebut tergantung dari jenis bahan
penyusunnya (Susanto dan Saneto, 1994).
Teknologi Pakan Berbentuk Pelet
Pemberian pakan bentuk pelet dapat meningkatkan performa dan konversi
pakan ternak bila dibandingkan dengan pakan bentuk mash (Behnke, 2001).
Kualitas pelet dapat diukur dengan mengetahui kekerasan pelet (hardness) dan
daya tahan pelet dipengaruhi oleh penambahan panas yang mempengaruhi sifat
fisik dan kimia bahan pakan (Thomas dan Van, 1997).
Performa kelinci yang diberi pakan berupa pelet lebih baik dibandingkan
dengan kelinci yang diberi pakan berupa butiran atau mash, hal ini dikarenakan
ternak tidak mempunyai kemampuan untuk menyortir pakan. Pelet bersifat keras
dan kuat, sehingga lebih disukai oleh kelinci, dibandingkan dengan pakan yang
berukuran partikel halus. Selain itu, pakan yang berukuran partikel halus akan
meningkatkan retensi makanan dalam saluran pencernaan dan dapat menyebabkan
radang usus (Cheeke,1994).
Hasil penelitian Nugroho et al. (2012),mengatakan bahwa kelinci lebih
menyukai konsentrat dalam bentuk pelet daripada mash. Pertumbuhan kelinci
yang diberi konsentrat lebih baik daripada yang diberikan pakan mash.
Konsumsi Ransum
Konsumsi ransum adalah kemampuan untuk menghabiskan sejumlah
jumlah ransum yang diberikan dengan sisa dan hamburan. Konsumsi ransum
dipengaruhi oleh kesehatan ternak, palatabilitas, mutu ransum dan tata cara
pemberian (Anggorodi, 1995).
Konsumsi ransum dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah
palatabilitas ransum, bentuk fisik ransum, bobot badan, jenis kelamin,
temperatur lingkungan, keseimbangan hormonal dan fase pertumbuhan
(Piliang dan Djojosoebagio, 2000).
Menurut Blakely dan Bade (1992), jumlah pakan kelinci tiap harinya
bervariasi berdasarkan ukuran atau besarnya kelinci serta tahapan atau tingkatan
produksinya. Tinggi rendahnya konsumsi pakan dipengaruhi oleh faktor eksternal
yaitu lingkungan dan faktor internal atau kondisi ternak sendiri yang meliputi
temperatur lingkungan, palatabilitas, status fisiologi yaitu umur, jenis kelamin dan
kondisi tubuh, konsentrasi nutrien, bentuk pakan, bobot tubuh dan produksi
(Kartadisastra, 1994).
Dari hasil penelitian Bamikole dan Osemwenkhoe (2004), yang
menggunakan objek kelinci jenis dwarf wallet dan tanpa pemilihan jenis kelamin
dengan pemberian tepung semak putih (Chromolaena odorata) menghasilkan
tingkat konsumsi yang semakin menurun yaitu dari 41,42 sampai
26,72 g/ekor/hari.
Pertambahan Bobot Badan
Pertambahan bobot badan (PBB) dapat diketahui dengan pengukuran
kenaikan berat badan yang dengan mudah dapat dilakukan lewat penimbangan
berulang-ulang serta dicatat pertambahan bobot badan tiap hari, minggu, bulan,
sebagai pertambahan bobot badan harian atau Average Daily Gain
(Tillman, 1998).
Menurut Rizqiani (2011) menyatakan bobot awal kelinci mempengaruhi
bobot hidup kelinci, karena ketika bobot awalnya lebih tinggi maka
memungkinkan hasil bobot akhirnya lebih tinggi juga. Menurut
Ali dan Badriyah (2010) kebutuhan nutrien bagi ternak tergantung dari jenis
ternak, umur, bobot badan, fase tumbuh, produksi serta lingkungan pemeliharaan.
Semakin besar bobot badan, produksi dan pertumbuhan cepat maka kebutuhan
nutrien lebih banyak.
Bobot badan ternak berbanding lurus dengan tingkat dari konsumsi
pakannya. Hal itu berarti bahwa konsumsi pakan akan memberikan gambaran
nutrient yang didapat oleh ternak sehingga mempengaruhi pertambahan bobot
badan ternak (Kartadisastra, 1997).
Dari hasil penelitian Sari (2010), dengan menggunakan kulit nenas dalam
ransum serta menggunakan objek kelinci jenis new zealand white jantan
menghasilkan rataan pertambahan bobot badan sebesar 11,69 g/ekor/hari.
Konversi Ransum
Konversi ransum sangat dipengaruhi oleh kondisi ternak, daya cerna, jenis
kelamin, bangsa, kualitas dan kuantitas ransum dan faktor lingkungan. Efisiensi
pakan didefinisikan sebagai perbandingan jumlah unit yang dihasilkan
(pertambahan bobot badan) dengan jumlah unit konsumsi ransum persatuan waktu
yang sama (Lubis, 1993).
Konversi ransum tergantung kepada : (1) kemampuan ternak
untukpertumbuhan, hidup pokok dan fungsi tubuh lainnya, (3) jumlah makanan
yanghilang melalui metabolisme dan kerja yang tidak produktif dan (4) tipe
makananyang dikonsumsi, sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi konversi
ransumadalah genetik, umur, berat badan, tingkat konsumsi makanan,
pertambahan bobotbadan perhari, palatabilitas dan hormon (Campbell dan Lasley,
1985).
Keseimbangan zat gizi pada pakan dengan yang dibutuhkan oleh ternak
menentukan baik atau tidak mutu pakan. Baik tidaknya mutu pakan ditentukan
oleh keseimbangan zat gizi pada pakan yang dibutuhkan oleh tubuh ternak.
Ternak akan mengkonsumsi pakan secara berlebihan untuk mencukupi
kekurangan zat yang diperlukan apabila pakan kekurangan salah satu zat gizinya
(Sarwono, 1996).
Menurut Rasyid (2009), megatakan bahwa rataan konversi yang tinggi
disebabkan oleh rataan konsumsi yang rendah yang menyebabkan bobot badan
yang rendah. Dalam penelitian Sari (2010) dengan menggunakan kelinci new
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak merupakan salah satu
cara pemecahan masalah biaya tinggi pada industri peternakan. Salah satu limbah
pertanian yang tersedia dalam jumlah banyak dan belum dimanfaatkan secara
optimal sebagai bahan baku pakan adalah ampas kelapa. Permasalahan muncul
karena rendahnya kadar protein, tingginya kadar air dan serat kasar sehingga
penggunaannya terbatas dan belum memberikan hasil yang maksimum.
Pertanaman kelapa di Indonesia mencapai luas 3.759.397 ha. Provinsi
Sumatera merupakan salah satu penghasil utama komoditas Sumatera Utara seluas
142.601 ha. Produksi kelapa di Sumatera Utara adalah 88.962 ton, dengan
produksi terbesar dari kabupaten Nias Utara 14.905 ton, Asahan 18.121 ton dan
Nias Selatan 12.612 ton(Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Utara,
2014).Dengan jumlah produksi kelapa tersebut, diperoleh jumlah produksi ampas
kelapa di provinsi Sumatera Utara sebesar 13.344.300 kg (Diolah dari
Suhardikono, 1995 dan Suhardiman,1999).
Ampas kelapa merupakan hasil samping pembuatan santan yang sampai
saat ini pemanfaatannya masih terbatas untuk pakan ternak. Ampas kelapa
merupakan limbah industri atau limbah rumah tangga yang sangat potensial untuk
digunakan sebagai bahan pakan ternak termasuk kelinci.
Fermentasi merupakan salah satu cara untuk mengolah ampas kelapa
menjadi bahan pakan ternak yang dapat ditingkatkan nilai manfaatnya. Menurut
proses fermentasi terjadi reaksi dimana senyawa kompleks diubah menjadi
senyawa yang lebih sederhana dengan bantuan enzim dari mikroorganisme.
Proses fermentasi akan terjadi perubahan kualitas bahan makanan menjadi
lebih baik dari bahan asalnya baik dari aspek gizi, daya cerna serta meningkatnya
daya simpan. Aspergillus niger dapat digunakan sebagai fermentor untuk
meningkatkan protein dan menurunkan lemak serta serat kasar.
Ragi yang mengandung mikroflora seperti kapang, khamir dan bakteri
dapat berfungsi sebagai starter fermentasi. Selain itu ragi juga kaya akan protein
yakni sekitar 40-50%, jumlah protein dari ragi tersebut tergantung dari jenis bahan
penyusunnya (Susanto dan Saneto, 1994).
Penelitian tentang penggunaan ampas kelapa fermentasi terhadap ternak
terhadap domba yang menunjukkan hasil peningkatan konsumsi pakan sebesar
972,81 g/ekor/hari dan pertambahan bobot badan 101,67 g/ekor/hari
(Kurniawan, 2016).
Kelinci merupakan salah satu ternak pseudoruminansia yang bisa
mencerna serat kasar dengan baik, sehingga ampas kelapa fermentasi cocok
dijadikan sebagai bahan pakan kelinci. Pemberian pakan yang baik dan sesuai
dengan kebutuhan dapat meningkatkan produktivitas ternak kelinci. Pemberian
pakan hijauan belum cukup untuk memenuhi kebutuhan secara optimal, oleh
sebab itu perlu pemberian konsentrat sebagai pakan tambahan. Pemberian
konsentrat meningkatkan biaya pakan. Perlu dicari bahan pakan alternatif yang
murah namun tetap memperhatikan nutrien. Salah satunya dengan memanfaatkan
ampas kelapa yang difermentasi untuk meningkatkan nilai gizi pada ampas
Atas dasar pemikiran inilah penulis tertarik untuk mengetahui pengaruh
pemanfaatan ampas kelapa (Cocos nucifera L.) difermentasi dengan
Aspergillus nigerdan ragi tape sebagai bahan pakan campuran dalam ransum
terhadap performans kelinci rex jantan lepas sapih.
Tujuan Penelitian
Menguji pengaruh pemberian tepung ampas kelapa yang difermentasi
dengan Aspergillus nigerdan ragi tapeterhadap konsumsi, pertambahan bobot
badan dan konversi ransum kelinci rex jantan lepas sapih.
Hipotesis Penelitian
Pemanfaatan ampas kelapa yang difermentasi Aspergillus nigerdan ragi
tape dapat meningkatkan performans kelinci rex jantan lepas sapih
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi kalangan
akademis, peneliti dan masyarakat tentang pemanfaatan ampas kelapa yang
ABSTRAK
IWAN BERKAT SELAMAT LASE, 2017.“Pemanfaatan Tepung Ampas Kelapa (Cocos nucifera L.) Fermentasi Terhadap Performans Kelinci Rex Jantan
Lepas Sapih”. Dibimbing oleh R. EDHY MIRWANDHONO dan SAYED UMAR
Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemanfaatan tepung ampas kelapa (Cocos nucifera L.) fermentasi terhadap performans kelinci rex jantan lepas sapih. Penelitian dilaksanakan di Rukun Farm Berastagi, pada bulan Juli-September 2016. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 6 perlakuan dan 4 ulangan selanjutnya dianalisis dengan pembanding ortogonal kontras. Penelitian ini menggunakan 24 ekor kelinci Rex jantan lepas sapih dengan rataan bobot badan awal1012,14±126,67 g. Perlakuan terdiridari ransum dengan tepung ampas kelapa tanpa fermentasi (P0A = 10%; P0B = 20%), ransum dengan tepung ampas kelapa fermentasi Aspergillusniger (P1 = 10%; P2 = 20%), ransum dengan tepung ampaskelapafermentasiRagi Tape (P3 = 10%; P4 = 20%).
Hasil penelitian menunjukan bahwa perlakuan fermentasi lebih baik daripada perlakuan tanpa fermentasi dan perlakuan fermentasi dengan ragi tape lebih baik daripada perlakuan dengan fermentasi Aspergillusniger. Level pemberian 10% lebih baik dibandingkan 20% terhadap konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan konversi ransum. Kesimpulan penelitian ini adalah penggunaan tepung ampas kelapa fermentas idengan ragi tape dapat meningkatkan konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan menurunkan konversi ransum pada level 10%.
ABSTRACT
IWAN BERKAT SELAMAT LASE, 2017. "The Utilization OfFermented Cocos nucifera L. Pulp on Performances of Weaning Male Rex Rabbits". Under
supervised by R. EDHY MIRWANDHONO andSAYED UMAR.
The objective of this research is utilization offermented
Cocos nucifera L. pulp on performances of weaning male rex rabbits. This research was conducted atRukun Farm Berastagi from July to September 2016. The research used completely randomized design (CRD) with 6 treatments and 4
replications futher analyzed by orthogonal contrast. The experiment used 24 Rex
rabbit male weaning with initial body1012,14±126,67 g. The treatments consisted
of Cocosnucifera L. pulp without fermentation(P0A = 10%; P0B = 20%), Cocos nucifera L.pulpfermented byAspergillusniger(P1 = 10%; P2 = 20%), Cocosnucifera L.pulpfermented by tapai yeast (P3 = 10%; P4 = 20%).
The result showed that the treatment with fermentation were better than non fermented and the treatment with tapai yeast fermentation were better than
fermented by Aspergillus niger. Level 10% were better than 20% on feed intake
(g/head/day), body weight gain (g/head/day) and feed convertion ratio. The conclusion of this research that the utilization of fermented Cocos nucifera L. pulp
with tapai yeast can increase feed intake, body weight gain and reduce feed
convertion ratio at the level 10%.
PEMANFAATAN TEPUNG AMPAS KELAPA (CocosnuciferaL.)
FERMENTASI TERHADAP PERFORMANS KELINCI REX
JANTANLEPAS SAPIH
SKRIPSI
Oleh :
IWAN BERKAT SELAMAT LASE 120306027
PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PEMANFAATAN TEPUNG AMPAS KELAPA (CocosnuciferaL.)
FERMENTASI TERHADAP PERFORMANS KELINCI REX
JANTANLEPAS SAPIH
SKRIPSI
Oleh :
IWAN BERKAT SELAMAT LASE 120306027
Skripsi merupakansalahsatusyaratuntuk memperoleh gelar sarjana pada Program StudiPeternakanFakultasPertanian
Universitas Sumatera Utara
Judul Skripsi : Pemanfaatan Tepung Ampas Kelapa (Cocos nucifera L.) Fermentasi Terhadap Performans Kelinci Rex Jantan Lepas Sapih
Nama : Iwan Berkat Selamat Lase
NIM : 120306027
Program Studi : Peternakan
Disetujui Oleh: Komisi Pembimbing
Ir. R. Edhy Mirwandhono, M.Si. Prof. Dr. Ir. Sayed Umar, MS.
Ketua Anggota
Mengetahui,
Dr. Ir. Ma’ruf Tafsin, M.Si Ketua Program Studi Peternakan
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala
pernyataan dalam skripsi PEMANFAATAN TEPUNG AMPAS KELAPA
(Cocos nucifera L.) FERMENTASI TERHADAP PERFORMANS KELINCI
REXJANTAN LEPAS SAPIHadalah benar merupakan gagasan dari hasil
penelitian saya sendiri dibawah arahan komisi pembimbing. Semua data dan
sumber informasi yang digunakan dalam skripsi ini telah dinyatakan secara jelas
dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir skripsi serta dapat diperiksa
kebenarannya. Skripsi ini juga belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar
pada program studi sejenis di perguruan tinggi lain.
Medan, Januari 2017
ABSTRAK
IWAN BERKAT SELAMAT LASE, 2017.“Pemanfaatan Tepung Ampas Kelapa (Cocos nucifera L.) Fermentasi Terhadap Performans Kelinci Rex Jantan
Lepas Sapih”. Dibimbing oleh R. EDHY MIRWANDHONO dan SAYED UMAR
Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemanfaatan tepung ampas kelapa (Cocos nucifera L.) fermentasi terhadap performans kelinci rex jantan lepas sapih. Penelitian dilaksanakan di Rukun Farm Berastagi, pada bulan Juli-September 2016. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 6 perlakuan dan 4 ulangan selanjutnya dianalisis dengan pembanding ortogonal kontras. Penelitian ini menggunakan 24 ekor kelinci Rex jantan lepas sapih dengan rataan bobot badan awal1012,14±126,67 g. Perlakuan terdiridari ransum dengan tepung ampas kelapa tanpa fermentasi (P0A = 10%; P0B = 20%), ransum dengan tepung ampas kelapa fermentasi Aspergillusniger (P1 = 10%; P2 = 20%), ransum dengan tepung ampaskelapafermentasiRagi Tape (P3 = 10%; P4 = 20%).
Hasil penelitian menunjukan bahwa perlakuan fermentasi lebih baik daripada perlakuan tanpa fermentasi dan perlakuan fermentasi dengan ragi tape lebih baik daripada perlakuan dengan fermentasi Aspergillusniger. Level pemberian 10% lebih baik dibandingkan 20% terhadap konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan konversi ransum. Kesimpulan penelitian ini adalah penggunaan tepung ampas kelapa fermentas idengan ragi tape dapat meningkatkan konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan menurunkan konversi ransum pada level 10%.
ABSTRACT
IWAN BERKAT SELAMAT LASE, 2017. "The Utilization OfFermented Cocos nucifera L. Pulp on Performances of Weaning Male Rex Rabbits". Under
supervised by R. EDHY MIRWANDHONO andSAYED UMAR.
The objective of this research is utilization offermented
Cocos nucifera L. pulp on performances of weaning male rex rabbits. This research was conducted atRukun Farm Berastagi from July to September 2016. The research used completely randomized design (CRD) with 6 treatments and 4
replications futher analyzed by orthogonal contrast. The experiment used 24 Rex
rabbit male weaning with initial body1012,14±126,67 g. The treatments consisted
of Cocosnucifera L. pulp without fermentation(P0A = 10%; P0B = 20%), Cocos nucifera L.pulpfermented byAspergillusniger(P1 = 10%; P2 = 20%), Cocosnucifera L.pulpfermented by tapai yeast (P3 = 10%; P4 = 20%).
The result showed that the treatment with fermentation were better than non fermented and the treatment with tapai yeast fermentation were better than
fermented by Aspergillus niger. Level 10% were better than 20% on feed intake
(g/head/day), body weight gain (g/head/day) and feed convertion ratio. The conclusion of this research that the utilization of fermented Cocos nucifera L. pulp
with tapai yeast can increase feed intake, body weight gain and reduce feed
convertion ratio at the level 10%.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Hiligodu Ombolata, Kota Gunungasitoli, Nias
Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 04 Januari 1995 anak dari Bapak
Bezisokhi Lase dan Ibu Samaria Zebua. Penulis merupakan anak ketiga dari
delapan bersaudara.
Tahun 2012 penulis lulus dari SMA Negeri Unggulan Sukma Nias dan
pada tahun yang sama masuk ke Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara
Program Studi Peternakan melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi
Negeri (SNMPTN).
Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif mengikuti berbagai
organisasi kampus seperti aktif sebagai anggota Ikatan Mahasiswa Peternakan
(IMAPET), sebagai anggota Ikatan Mahasiswa Kristen Peternakan (IMAKRIP)
dan anggota Unit Kegiatan Mahasiswa Kebaktian Mahasiswa Kristen
(UKM-KMK).
Penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) pada bulan
Juli 2015 - Agustus 2015 di Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) Babi dan