• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hutan Rakyat

Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lain tidak dapat dipisahkan (Pasal 1 (2) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan), dalam (Suhendang, 2002). Sedangkan hutan menurut Society of America Forester (SAF) adalah suatu ekosistem yang dicirikan oleh adanya penutupan pohon yang cukup rapat dan luas, biasanya dengan ciri-ciri beragam dalam komposisi jenis, struktur dan kelas umur.

Hutan rakyat dalam pengertian menurut (UU No. 41 Tahun 1999) adalah hutan yang tumbuh diatas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya dengan ketentuan luas minimum 0,25 ha dan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan lebih dari 50%. Hutan rakyat sebagai hutan buatan yang terletak di luar kawasan hutan negara, yang dibangun pada lahan milik atau gabungan dari lahan milik yang ditanami pohon yang pengelolaannya dilakukan oleh pemilik atau badan usaha.

Praktek hutan rakyat di Indonesia telah lama diusahakan dengan beragam bentuk. Berdasarkan jenis tanaman dan pola penanamannya hutan rakyat dapat digolongkan ke dalam bentuk hutan rakyat murni, hutan rakyat campuran dan hutan rakyat dengan pola wanatani (agroforestry).

Hutan rakyat murni adalah hutan rakyat yang hanya terdiri satu jenis pohon berkayu yang ditanam dan diusahakan secara homogen. Hutan rakyat murni lebih mudah dalam pembuatan dan pengelolaannya, tetapi memiliki kelemahan seperti peka terhadap serangan hama dan gangguan alam, tidak adanya diversifikasi komoditi, sehingga tidak diperoleh ragam pendapatan dari lahan tersebut karena hanya mengandalkan satu atau dua jenis tanaman kayu, misalnya jati saja.

Hutan rakyat campuran adalah hutan yang ditanami lebih dari satu jenis tanaman kayu, dan berbagai jenis pohon yang ditanam secara campuran dengan tanaman semusim. Hutan rakyat campuran lebih tahan terhadap serangan hama penyakit dan gangguan alam, juga dapat mengurangi persaingan penggunaan unsur hara oleh akar dan penggunaan cahaya matahari. Bentuk hutan rakyat

campuran memiliki ketahanan dan fleksibilitas secara ekonomi karena adanya diversifikasi tanaman secara horisontal sehingga diperoleh ragam pendapatan secara berkesinambungan.

Hutan rakyat sistem agroforestri adalah bentuk hutan rakyat yang mempunyai usaha kombinasi kehutanan dengan tanaman musiman, tanaman panga n dan peternakan secara terpadu pada satu lokasi. Hutan rakyat dengan sistem agroforestri berorientasi kepada optimalisasi pemanfaatan lahan, baik dari segi ekonomi maupun ekologi. Sistem agroforestri ini mempunyai daya tahan terhadap hama penyakit dan angin. Agroforestri memiliki nilai ekonomi dan ekologi yang cukup tinggi, selain ragam pendapatan juga memberi keuntungan ganda melalui pemanenan bertahap yang berkesinambungan serta terjadinya kesinambungan kesuburan tanah dan air. Aktivitas hutan rakyat yang paling dominan dilakukan di Minahasa adalah praktek hutan rakyat sistem agroforestri.

Nair (1989) merangkum beberapa definisi tentang agroforestri, yaitu suatu sistem penggunaan lahan dimana (a) tanaman tahunan dan tanaman perdu tumbuh bersama-sama dalam campuran dengan pembagian tapak dan atau secara berurutan dengan atau tanpa hewan, (b) menghasilkan lebih besar keuntunga n pada penggunaan lahannya daripada mengusahakan tanaman pertanian atau hutan saja. Keuntungan dimaksud adalah: terjadinya keberlanjutan kesuburan tanah, konservasi tanah, peningkatan hasil, memperkecil resiko kerusakan atau kegagalan tanam, kemudahan pengelolaan dan pengedalian hama serta penyakit, dan atau lebih dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.

Nair (1995) mengemukakan empat komponen utama sebagai ciri khas agroforestri, yaitu: (1) menghasilkan beragam keluaran yang dikombinasikan dengan perlindungan sumberdaya, (2) menggunakan jenis lokal, tumbuhan bawah dan pohon serba guna yang bertujuan agar agroforestri sesuai dengan lingkungannya, (3) lebih mengedepankan nilai- nilai sosial budaya, (4) praktek yang dilakukan lebih rumit daripada jenis monokultur.

Nair (2002) merangkum beberapa praktek hutan rakyat atau agroforestri di berbagai negara tropis, sebagaimana ditunjukkan oleh tabel 1. secara keseluruhan keuntungan dari praktek hutan rakyat dan agroforestri menghasilkan manfaat ganda, yaitu nilai ekologis, ekonomis dan sosial (Ruark et al. 2003).

8

Tabel 1 Rangkuman praktek agroforestri di beberapa negara tropis (Nair, 2002) Praktek agroforestri Bentuk praktek

Tanaman lorong (alley-cropping)

Taungnya/tumpangsari Kebun pekarangan

Perbaikan tanah tandus

Pohon untuk konservasi dan reklamasi tanah

Pakan ternak di bawah hutan tanaman/perkebunan

Sistem pohon penaung

Sabuk penahan dan pemecah angin

Pohon yang cepat tumbuh, terutama jenis legum di lahan pertanian; jenis pohon secara teratur dipangkas untuk mengurangi naungan tanaman; pemangkasan akan menghasilkan mulsa dalam lorong sebagai sumber bahan organik dan hara, atau untuk pakan ternak.

Penanaman tanaman pertanian selama tahap awal pembangunan hutan tanaman.

Kombinasi tajuk secara berlapis dari sejumlah besar pohon dan tanaman pangan di pekarangan; kadang-kadang dengan atau tanpa kehadiaran ternak.

Pohon yang cepat tumbuh, terutama legum jenis berkayu ditanam dan dibiarkan tumbuh selama tahap pergiliran ladang; jenis berkayu menyebabkan perbaikan tanah dan mungkin menghasilkan produk bernilai.

Pohon yang ditanam pada teras -teras, tempat yang menonjol, dengan atau tanpa penanaman jalur rumput; penggunaan pohon untuk reklamasi tanah yang salin, asam atau lahan yang terdegradasi.

Penanaman rumput untuk pakan pada jalur tertentu di bawah hutan tanaman/perkebunan.

Campuran secara terpadu pohon seperti kelapa, coklat, kopi, karet dan pohon penaung atau tumbuhan herba (tanaman semusim).

Menggunakan vegetasi pohon untuk melindungi lahan pertanian dari gangguan angin, rembesan air laut, banjir dan lain-lain.

Manfaat ekologis dari hutan rakyat dan agroforestri adalah meningkatnya pemanfaatan lahan, memperbaiki sifat tanah, meningkatkan produktifitas, mengurangi erosi, mengurangi iklim mikro yang ekstrim, dan meningkatnya keanekaragaman hayati di atas dan di bawah permukaan tanah.

Biomassa Hutan

Biomassa adalah jumlah bahan organik yang diproduksi oleh organisme (tumbuhan) per satuan unit area pada suatu waktu. Biomassa biasanya dinyatakan dalam ukuran berat kering, dalam gram atau kalori, dengan unit satuan biomassa adalah gram per m2 (gr/m2) atau kg per hektar (kg/ha) atau ton per hektar (Chapman, 1976, Brown, 1997). Sedangkan laju produksi biomassa adalah laju akumulasi biomassa dalam kurun waktu tertentu, sehingga unit satuannya dinyatakan per satuan waktu, misalnya kg per ha per tahun (Barbour et al., 1987). Biomassa dalam suatu komunitas hutan terdapat di atas dan di bawah permukaan tanah (above and below ground biomass).

Brown (1997) mendefinisikan biomassa sebagai jumlah nilai bahan organik yang hidup di atas permukaan tanah pada pohon termasuk daun, ranting, cabang, dan batang utama yang dinyatakan dalam berat kering oven ton per unit area. Sedangkan Whitten et al. (1984) biomassa hutan adalah jumlah total bobot kering semua bagian tumbuhan hidup, baik untuk seluruh atau sebagian tubuh organisme, produksi atau komunitas yang dinyatakan dalam berat kering per satuan luas (ton/ha). Chapman (1976) mengemukakan bahwa biomassa adalah berat bahan organik suatu organisme per satuan unit area pada suatu saat yang umumnya dinyatakan dengan satuan berat kering (dry weight) atau kadang-kadang dalam berat kering bebas abu (ash free dry weight).

Informasi tentang kandungan biomassa dalam suatu pohon atau hutan sangat penting dalam kegiatan pengelolaan hutan lestari karena hutan dapat dianggap sebagai sumber (source) dan sinks dari karbon serta memberi manfaat jasa lingkungan (Davis and Johnson, 2001). Jumlah stok biomassa tergantung pada terganggu atau tidaknya hutan atau pada ada tidaknya permudaan alam dan peruntukkan hutan (IPPC, 1995). Lugo dan Snedaker (1974) mengemukakan bahwa biomassa tegakan hutan dipengaruhi oleh umur tegakan hutan, sejarah perkembangan vegetasi, komposisi dan struktur tegakan. Menurut Satoo & Madgwick (1982), faktor iklim (curah hujan dan temperatur) mempengaruhi laju peningkatan biomassa pohon.

Biomassa tersusun oleh senyawa karbohidrat yang terdiri dari elemen karbon, hidrogen, dan oksigen yang dihasilkan dari proses fotosintesis tana man. Kandungan biomassa pada tiap-tiap bagian pohon berbeda misalnya pada pohon komersil umumnya terdiri dari batang pohon (60-65%), tajuk (5%), daun dan cabang (10-15%) dan akar (5%). Pada bagian batang memiliki komposisi selulosa 50%, hemiselulosa 20%dan lignin 30% (White dan Plaskett, 1981). Biomassa dalam hutan merupakan selisih antara hasil fotosintesis dengan konsumsi untuk respirasi dan proses pemanenan (Whitten et al. 1984). Jumlah total biomassa tumbuhan suatu area dapat bertambah karena tumbuhan menyerap CO2 dari udara dan mengubah zat tersebut menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis.

Proses dimana tumbuhan hijau menangkap radiasi matahari dan mengubahnya menjadi energi kimia dikenal sebagai proses fotosintesis. Dalam

10

fotosintesis CO2 dan air diubah menjadi karbohidrat sederhana yang dihasilkan melalui proses metabolisme tumbuhan untuk selanjutnya diubah menjadi lipid, asam nukleat, protein dan molekul organik lainnya. Molekul- molekul organik tersebut kemudian diubah menjadi daun, batang, akar, umbi, biji, jaringan dan sistem organ lainnya. Hutan berperan dalam menyerap CO2, daur ulang CO2 di dalam hutan didasarkan pada proses fotosintesis dan respirasi sebagai berikut :

Fotosintesis

6CO2 + 6H2O + Radiasi C6H12O6 + 6H2O + energi Respirasi

C6H12O6 + 6H2O + energi 6CO2 + 6H2O

Laju reaksi dari tumbuhan hijau melalui reaksi fotosintesis pada siang hari berbanding lurus dengan laju penyerapan CO2 diudara sekitar tumbuhan berada. Ini artinya bahwa reaksi fotosintesis dapat mencegah akumulasi CO2 yang berlebihan di atmosfer. Hasil akhir fotesintesis ini di simpan oleh tumbuhan dalam bentuk biomassa pohon.

Pada hutan yang sedang tumbuh, penyerapan karbondioksida oleh tanaman akan mencapai maksimum hingga keadaan setimbang, emisi pada malam hari sama dengan absorbsi pada siang hari. Setelah setimbang penyerapan karbondioksida oleh tanaman akan semakin berkurang, sejalan dengan menuanya usia tanaman (Kyrklund, 1990). Hasil penelitian Siringoringo dan Gintings (1997) menyebutkan semakin tua umur suatu tanaman semakin rendah kemampuan tanaman tersebut dalam menyerap kandungan CO2, berarti suatu saat kandungan biomassa suatu tanaman akan mencapai titik jenuh seiring dengan akhir daur.

Karbon dan Cadangan Karbon dalam Hutan

Karbon merupakan komponen penting penyusun biomassa tanaman hasil rangkuman berbagai studi terhadap berbagai jenis pohon diperkirakan kadar kandungan karbon sekitar 45–50% bahan kering dari tanaman (Brown, 1997). Tempat penyimpanan dan fluks C yang terpenting dalam ekosistem hutan tropik tergantung pada perubahan dinamik stok C di vegetasi dan tanah, ketersediaan hara, dan kondisi iklim setempat. Tempat penyimpanan utama C adalah dalam biomassa pohon (termasuk bagian atas yang meliputi batang, cabang, ranting,

daun, bunga dan buah; bagian bawah yang meliputi akar), bahan organik mati (nekromassa), serasah, tanah, dan yang tersimpan dalam bentuk produk kayu (Snowdown et al. 2002). Cadangan karbon (C-stock) diartikan sebagai adanya potensi jangka panjang dalam biomassa hutan dan produk hutan. Satuan potensi hutan adalah tonC/ha, sedangkan fluks karbon adalah tonC/ha/tahun (Nabuurs & Mohren 1995; McMutrie 1995).

Hutan berfungsi untuk menfiksasi karbon dan menyimpannya dalam ekosistem yang tersimpan di dalam vegetasi yang dikenal dengan sinks CO2. Hutan tropis mengandung biomassa dalam jumlah yang besar sehingga merupakan tempat penyimpanan karbon yang sangat besar di dunia (Suhendang, 2002). Jumlah karbon yang diserap oleh hutan untuk dikelolah lebih lanjut ditentukan oleh jumlah karbon pada biomassa tegakan, jumlah karbon yang tersisa di bawah permukaan tanah pada akhir rotasi, dan jumlah karbon yang tersimpan di dalam produk yang terbentuk dari pemanenan kayu (Johnsen et al. 2001).

Sekuestrasi karbon diartikan sebagai pengambilan CO2 secara (semi) permanen oleh tumbuhan melalui fotosintesis dari atmosfer ke dalam komponen organik, disebut fiksasi karbon (Hairiah et al. 2001b) dalam (Rusolono, 2006). Murdiyarso dan Herawati (2005) mengemukakan, dalam arti pertumbuhan hutan, sekuestrasi adalah riap atau pertambahan terhadap serapan karbon yang dikandung hutan. Sekuestrasi karbon dapat ditentukan sebagai hasil produktifitas bersih tahunan karbon (Net Primary Production, NPP) (dalam MgC/ha/tahun) dikalikan dengan paruh hidup harapan (dalam tahun) karbon yang terikat (Hairiah et al.

2001b). Potensi sekuestrasi karbon pada ekosistem dataran tergantung pada macam dan kondisi ekosistem, yaitu komposisi jenis, struktur dan sebaran umur (untuk hutan), kondisi tempat tumbuh, iklim, tanah, ganguan alami, dan tindakan pengelolaan (Hairiah et al. 2001b; Hoover et al. 2000).

Aktifitas kehutanan selain sebagai gudang karbon lewat kegiatan pengurangan emisi dan penambatan karbon, juga sebagai emiter yang cukup besar terjadinya GRK. Konversi hutan menjadi lahan pertanian serta perubahan tata guna lahan merupakan penyebab utama dalam perubahan global yang ditunjukkan dengan perubahan penutupan lahan yang berpengaruh pada penyerapan dan refleksi radiasi matahari dan kapabilitas ekosistem terhadap tanah dan serasah.

12

Kegiatan afforestasi, reforestasi, hutan tanaman, perhutanan sosial, dan hutan khusus dalam bentuk penanaman pohon, pengelolaan lahan, pengaturan daur serta tindakan silvikultur yang teratur akan mampu mengkonversi dan menyerap karbon dengan baik sehingga memberi keuntungan dalam proses penyerapan dari atmosfer dan tersimpan dalam karbon yang membentuk sinks

karbon (Brown & Gaston 1996). Tabel 2 memperlihatkan potensi serapan karbon bersadarkan jenis praktek kehutanan. Brown dan Gaston (1996); Nair dan Nair (2002); dan Cacho et al. (2003) mengemukakan bahwa praktek hutan rakyat (agroforestry) dan hutan tanaman di negara tropis memiliki potensi besar dalam menyerap karbon yaitu sebesar 6,3 dan 16,4 GtC.

Tabel 2 Potensi Serapan Karbon di Negara Tropis

Jenis praktek kehutanan Sumber

Penelitian Hutan tanaman (GtC) Agroforestri (GtC) Hutan regenerasi (GtC) Trexler&Haugen 1994 2,0 – 5,0 0,7 – 1,6 9,0 – 23,0

Brown & Gaston 1996 16,4 6,3 11,5 – 28,7

Sumber : Cacho et al. 2003.

Pada atmosfer bumi karbondioksida terdapat dalam kepekatan rendah sekitar 0,03%, tetapi CO2 ini memainkan peranan yang penting dalam iklim bumi. Radiasi sinar matahari yang masuk mempunyai panjang gelombang yang berbeda-beda pada saat mengenai bumi, sehingga sebagian besar energi diubah menjadi radiasi inframerah. Karbondioksida memainkan peranan dalam mengatur suhu bumi dengan menyerap dan mencegah radiasi inframerah. Karbondioksida tersimpan dalam organisme yang masih hidup dan yang telah mati seperti pada siklus karbon berikut:

Gambar 2 Siklus karbon di dalam ekosistem hutan (Nabuurs dan Mohren, 1993)

Pendugaan dan Pengukuran Biomassa dan Karbon

Hamburg (2000) menyatakan bahwa perhitungan karbon untuk tujuan proyek sekuestrasi harus mencakup seluruh gudang karbon, yaitu biomassa hidup bagian atas, biomassa hidup bagian bawah, nekromassa, dan biomassa tanah. Biomassa merupakan jumlah total dari bahan organik hidup yang dinyatakan dalam berat kering oven ton per unit area. Brown (1999) mengemukakan bagian terbesar gudang karbon (carbon pool) dalam proyek berbasis hutan adalah dalam

CO2

Fotosintesis

Daun Cabang Akar Batang

CO2 Serasah Panenan Humus CO2 D e k o m p o s Dekompos CO2 Dekompos Respirasi

14

biomassa hidup, meliputi komponen bagian atas dan bagian bawah (akar), pohon, palma, tumbuhan herba (rumput dan tumbuhan bawah), semak dan paku-pakuan. Biomassa mati meliputi serasah halus, sisa kayu kasar, tanah termasuk mineral, lapisan organik dan gambut. Namun untuk mengukur keseluruhan mengalami banyak kendala dan biaya yang sangat besar serta beberapa komponen gudang karbon dalam vegetasi perubahan C-stock sangat kecil sehingga tidak perlu diukur. IPCC (2003) merekomendasikan gudang karbon utama yang dapat diperhitungkan untuk kegiatan proyek karbon yakni biomassa di atas permukaan tanah (above ground biomass), biomassa di bawah permukaan tanah (below ground biomass), serasah, kayu-kayu mati dan karbon tanah.

Pengukuran biomassa vegetasi dapat memberikan informasi tentang karbon dalam vegetasi secara keseluruhan, atau jumlah bagian-bagian tertentu seperti kayu yang sudah diekstrasi. Metode pendugaan biomassa diatas permukaan tanah secara garis besar dikelompokkan menjadi dua (Chapman, 1976), yaitu:

1. Metode pemanenan (destruktif)

a) Metode pemanenan individu tanaman, metode ini digunakan pada kerapatan tanaman individu tumbuhan cukup rendah dan komunitas tumbuhan dengan jumlah yang sedikit. Nilai total biomassa dengan metode ini diperoleh dengan menjumlahkan biomassa seluruh individu dalam suatu unit area contoh.

b) Metode pemanenan kuadrat, metode ini megharuskan menanam semua individu dalam suatu unit area contoh dan menimbangnya. Nilai total biomassa diperoleh dengan mengkonversi berat bahan organik yang dipanen dalam suatu unit area.

c) Metode pemanenan individu pohon yang mempunyai luas bidang dasar (Lbds), metode ini biasanya diterapkan pada tegakan yang memiliki ukuran individu seragam. Nilai total biomassa diperoleh denga n menggandakan nilai berat rata-rata dari pohon contoh yang ditebang dengan jumlah individu pohon dalam suatu unit area dengan jumlah luas bidang dasar dari semua pohon. 2. Metode pendugaan tidak langsung (non-destruktif)

a) Metode hubungan alometrik, metode ini didasari pada persamaan alometrik dengan mencari korelasi paling baik antara dimensi pohon (diameter dan tinggi) dengan biomassanya. Sebelum pembuatan persamaan, pohon-pohon

yang mewakili sebaran kelas diameter ditebang dan ditimbang. Nilai total biomassa diperoleh dengan menjumlahkan semua berat individu pohon dalam suatu unit area.

b) Crop meter, metode pendugaan biomassa ini dilakukan dengan cara menggunakan peralatan elektroda listrik.

Brown (1997) mengemukakan ada dua pendekatan yang digunakan untuk menduga biomassa dari pohon, yakni pertama berdasarkan pendugaan volume kulit sampai batang bebas cabang yang kemudian diubah menjadi kerapatan biomassa (ton/ha), sedangkan pendekatan kedua secara langsung dengan menggunakan persamaan regresi biomassa. Pendugaan biomassa pada pendekatan pertama menggunakan persamaan :

Biomassa di atas tanah (ton/ha) = VOB X WD X BEF (Brown et al. 1989) dimana :

VOB = Volume batang bebas cabang dengan kulit (m3/ha)

WD = Kerapatan kayu (biomassa kering oven (ton) dibagi volume biomassa inventarisasi (m3)

BEF = Perbandingan total biomassa pohon kering oven di atas tanah dengan biomassa kering oven hasil inventarisasi hutan.

Pendugaan biomassa dengan pendekatan kedua menggunakan persamaan : Biomassa di atas tanah Y = aDb

dimana :

Y = biomassa pohon (kg)

D = diameter setinggi dada (130 cm), a dan b merupakan konstanta.

Ketterings et al. (2001) mengemukakan model pengukuran biomassa hutan campuran sekunder seperti yang dilakukan di hutan Sepunggur Jambi, dengan memasukkan peubah berat jenis ke dalam persamaan : B = 0,11 x ? x D 2,62

dimana :

D = diameter setinggi dada (130 cm)

ρ = massa jenis pohon (kg/m3) B = biomassa (kg/pohon)

Beberapa ahli mengembangkan pendugaan biomassa hubungan alometrik dengan membangun hubungan diameter (dbh) pohon dengan tinggi pohon

16

(MacDicken et al. 1997; Ketterings et al. 1999; Hairiah et al. 2001). Menurut Brown (1997) analisis dimensional (dbh dan tinggi) suatu pohon telah terbukti dan mampu menjelaskan lebih dari 95% variasi biomassa pohon.

Lebih lanjut Whitmore (1985) mengemukakan bahwa kandungan biomassa (berat kering) dari hutan berbeda-beda tergantung dari tipe hutan, kesuburan tanah, tempat tumbuh, dan bagian-bagian biomassa pohon. Pada bagian berat batang lebih besar daripada berat akar, berat cabang dan berat daun, meskipun demikian bagian-bagian tersebut sangat penting dalam inventarisasi hara, dan kandungan hara pada bagian batang cenderung mendominasi semua komponen di dalam hutan.

Pendugaan biomassa juga dapat dilakukan dengan pendekatan volume kayu berdiri mulai dari volume tunggak, batang utama, bebas cabang atau cabang beraturan dan volume total batang dengan mengalikan volume tiap-tiap bagian ini dengan kerapatan kayu. Model matematik merupakan sala h satu jenis model yang banyak digunakan pada tanaman. Model ini dicirikan oleh persamaan matematik yang terdiri dari peubah dan parameter serta adanya korespondensi (fungsi) antar peubah. Penerapan model matematik telah lama dikembangkan dalam studi tanaman berkaitan untuk mendapatkan informasi kuantitatif dan peningkatan kompleksitas pertanaman seperti akibat pemanasan global dan penerapan agroforestri. Brown (1997); Ketterings et al. (2001) dan Rusolono (2006) telah mengembangkan model penduga biomassa dan karbon dari persamaan taper dan persamaan regresi alometrik dengan membangun hubungan biomassa sebagai fungsi dari dimensi pohon, yaitu B = f (Dbh,h).

Para ahli ekologi dan kehutanan mengasumsikan bahwa cadangan karbon dalam pohon diperkirakan 40–50% dari total biomassa, sehingga pendugaan karbon terutama dalam kegiatan pengukuran dan monitoring perdagangan karbon menggunakan asumsi bahwa 50% dari total biomassa adalah karbon (Brown, 1997). Pendekatan lain dalam pengukuran karbon adalah dengan proses karbonisasi atau pengabuan, untuk mendapatkan karbon terikat.

Simpanan Karbon melalui Praktek hutan Rakyat

Pandey (2002) mengemukakan bahwa pengelolaan tegakan dalam hutan rakyat, agroforestri, dan pohon-pohon di luar kawasan hutan berpotensi dapat mengurangi emisi gas rumah kaca. Namun demikian studi yang berkaitan dengan potensi serapan karbon lewat agroforestri masih dangat minim. Dua alasan pokok yang dikemukakan oleh Nair (2002), yaitu: (1) wilayah yang berbeda-beda dari sistem agroforestri tidak banyak diketahui, dan (2) gambaran menyeluruh tentang kemampuan penyimpanan dan dinamika karbon pada sistem hutan rakyat atau agroforestri yang beragam belum ditemukan.

Dixon (1995) dalam Rusolono (2006), mengemukakan dua alasan utama mengapa agroforestri potensial untuk mengurangi emisi karbon, yaitu: (1) banyaknyalahan di daerah tropis yang digunakan untuk praktek pertanian dan meningkatnya penggunaan agroforestri dalam waktu yang panjang akan menghasilkan peningkatan yang nyata dalam penyerapan karbon; (2) meskipun jumlah karbon yang diserap per satuan luas lebih rendah dibandingkan dengan hutan alam atau hutan tanaman, namun kayu yang diproduksi sering dipakai untuk kayu bakar menggantikan bahan bakar fosil. Penggunaan kayu dari hasil hutan rakyat unt uk kayu bakar akan mengurangi tekanan penebangan di hutan alam. Umumnya tegakan penyusun hutan rakyat relatif masih berumur muda, sehingga kemampuan menyerap karbon jauh lebih besar dan sangat cepat, dibandingkan dengan tegakan di hutan alam yang sudah berumut tua.

Bila pengelolaan hutan rakyat diartikan sebagai penanaman pohon berkayu atau kayu bakar, sistem pengendali angin dan kebun kayu, besar kemungkinan pohon-pohon dalam hutan rakyat berpotensi dalam menyerap karbon atau pengganti emisi dari bahan bakar fosil. Apabila sistem ini dikelolah secara lestari, maka penyerapan karbon bisa dipertahankan selama mungkin. Jumlah karbon yang dapat diserap besarnya tergantung pada sistem agroforestri yang dilakukan, struktur dan fungsi yang ada serta secara luas ditentukan oleh faktor- faktor lingkungan, sosial ekonomi dan faktor lainnya seperti pemilihan jenis pohon dan sistem pengelolaannya (Dixon, 1995).

18

Tinjauan Umum tentang kayu cempaka (Elmerrillia spp)

Cempaka Elmerrillia ovalis (Miq.) Dandy dan wasian Elmerrillia celebica

Dandy, termasuk Magnoliaceae. Biasanya di Indonesia dan Malaysia kayu

Elmerrillia diperdagangkan secara bersama-sama dalam kategori dari Michelia

spp, dan Magnolia spp. Di Indonesia cempaka dikenal dengan nama cempaka, cempaka hutan, di Malaysia chempaka. Beberapa nama daerah antara lain: minjaran (Sumatra), arimot (Biak), cempaka hutan kasar (Sulawesi), dan cempaka hutan alus atau wasian (Sulawesi Utara). Jenis wasian ini lebih merupakan jenis endemik dan hanya ditemukan dan bertumbuh di Sulawesi Utara.

Asal-usul dan distribusi geografis. Elmerrillia memiliki 4 spesies yang

Dokumen terkait