• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hutan Indonesia

Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaanya sebagai hutan tetap. Kawasan hutan perlu ditetapkan untuk menjamin kepastian hukum mengenai status kawasan hutan, letak batas dan luas suatu wilayah tertentu yang sudah ditunjuk sebagai kawasan hutan menjadi kawasan hutan tetap. Penetapan kawasan hutan juga ditujukan untuk menjaga dan mengamankan keberadaan dan keutuhan kawasan hutan sebagai penggerak perekonomian lokal, regional, nasional, serta penyangga kehidupan lokal, regional, nasional dan global (Departemen Kehutanan, 2011).

Menurut UU RI No. 41 tahun 1999, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Pengertian hutan dapat ditinjau dari beberapa faktor antara lain: wujud biofisik lahan dan tumbuhan, fungsi ekologi, kepentingan kegiatan operasional pengelolaan atau kegiatan tertentu lainnya, dan status hukum lahan hutan (Departemen Kehutanan, 2007).

Hutan bukan hanya kumpulan pohon-pohon yang dieksploitasi hasil kayunya saja, tetapi hutan merupakan persekutuan hidup alam hayati atau suatu masyarakat tumbuhan yang kompleks yang terdiri atas pohon-pohon, semak, tumbuhan bawah, jasad renik tanah, hewan, dan alam lingkungannya. Semuanya itu mempunyai keterkaitan yang saling bergantung satu sama lain. Selain saling bergantung, di dalam

hutan juga terjadi persaingan dalam penyerapan unsur hara, air, sinar matahari, ataupun tempat tumbuh (Arief, 2001).

Hutan hujan tropis terdapat di wilayah yang memiliki ciri-ciri yaitu iklim yang selalu basah, tanah podsol, latosol, aluvial, dan regosol, drainase tanah baik, serta terletak jauh dari pantai. Tegakannya didominasi oleh pohon-pohon yang selalu hijau dan tidak menggugurkan daun. Hutan hujan tropis juga memiliki berbagai jenis kayu penting yang berasal dari suku dipterocarpaceae seperti Shorea, Dipterocarpus,

Vatica, dan Dryobalanops, serta genus-genus lain seperti Agathis, Altingia, Dialium, Duabanga, Dyera, Gossanepinus, Kompassia, dan Octomeles. (Suhendang (2002).

Menurut Kementerian Kehutanan (2011), Indonesia mengalami perubahan penutupan hutan dan lahan yang cukup cepat. Perubahan ini terutama terjadi setelah adanya perubahan iklim politik di Indonesia sejak tahun 1999. Aktivitas pemantauan penutupan lahan secara nasional dapat dilakukan sebagai berikut:

1. Pemantauan penutupan lahan menggunakan Citra Landsat 7 ETM+ dengan resolusi spasial 30 meter (citra resolusi sedang) sehingga dianggap cocok untuk melakukan pemantauan sumber daya hutan pada skala nasional. Dengan resolusi spasial 30 meter cukup memudahkan penafsir dalam mengidentifikasi obyek-obyek yang ada diatas citra. Sementara itu citra resolusi sedang umumnya mampu untuk menjangkau wilayah yang relative luas karena cakupan sapuan citra satelitnya yang cukup luas (185 km).

2. Pemetaan penutupan lahan dengan citra Landsat 7 ETM+ ini hanya bisa dilakukan setiap tiga tahunan mengingat sulitnya untuk mendapatkan citra

3. Penggunaan citra resolusi tinggi seperti Quickbird atau Ikonos akan memberikan informasi yang lebih detil namun biasanya hanya dapat menjangkau wilayah yang relative sempit.

4. Pemetaan penutupan lahan menggunakan sistem klasifikasi 23 kelas penutupan lahan. Penafsiran citra dilakukan dengan metode penafsiran visual dengan mendelineasi kelas penutupan lahan dengan kunci interpretasi.

Karbon Hutan

Cadangan karbon pada berbagai kelas penutupan lahan di hutan alam berkisar antara 7,5 – 264,70 ton C/ha. Secara umum pada hutan lahan kering primer mampu menyimpan karbon dalam jumlah lebih besar dibandingkan dengan hutan lahan kering sekunder karena pada hutan sekunder telah terjadi gangguan terhadap tegakannya. Kebakaran, ekstraksi kayu, pemanfaatan lahan untuk bercocok tanam dan kejadian atau aktivitas lainnya di kawasan hutan yang menyebabkan berkurangnya potensi biomassa yang berindikasi langsung terhadap kemampuannya menyimpan karbon. Pola tersebut juga terjadi pada hutan rawa primer dan hutan rawa sekunder. Selanjutnya pada hutan lahan kering relatif memiliki kemampuan menyimpan karbon dalam jumlah lebih besar daripada hutan rawa dan mangrove karena kemampuannya dalam membangun tegakan yang tinggi dan berdiameter besar sebagai tempat menyimpan karbon (Hairiah et al.,2001).

Cadangan karbon untuk berbagai jenis pohon dan umur di hutan tanaman. Kemampuan hutan tanaman dalam menyimpan karbon lebih rendah dibandingkan hutan alam. Pada hutan tanaman didominasi oleh tanaman yang cenderung

monokultur dan tanaman berumur muda. Apabila dilihat dari produktivitasnya menyimpan karbon (persatuan luas dan per satuan waktu) maka ada kemungkinan hutan tanaman akan memiliki kemampuan menyimpan karbon pada tegakannya dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan di hutan alam karena daurnya lebih pendek (Hairiah et al.,2001).

Kemampuan hutan tanaman dalam menyimpan karbon lebih rendah dibandingkan hutan alam. Pada hutan tanaman didominasi oleh tanaman yang cenderung monokultur dan tanaman berumur muda. Apabila dilihat dari produktivitasnya menyimpan karbon (persatuan luas dan per satuan waktu) maka ada kemungkinan hutan tanaman akan memiliki kemampuan menyimpan karbon pada tegakannya dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan di hutan alam karena daurnya lebih pendek (Hairiah et al.,2001).

Cadangan karbon pada kawasan non hutan pada berbagai jenis tanaman dan umur berkisar antara 0,7 – 932,96 ton/ha. Kemampuan penyimpan karbon dapat juga terjadi diluar kawasan hutan pada beberapa pemanfaatan lahan yang terdapat berbagai tumbuhan. Savana atau padang rumput dan semak belukar memiliki keterbatasan dalam menyimpan karbon, sementara untuk hutan kota dan ruang terbuka hijau yang didominasi oleh tumbuhan berupa pepohonan kemampuan menyimpan karbonnya lebih tinggi bahkan hampir sama dengan kawasan hutan lahan kering primer. Lahan yang kelola masyarakat dalam bentuk agroforestri yang di dalamnya terdapat pepohonan juga potensial dalam menyimpan karbon (Hairiah et al.,2001).

dalam CO2. Secara kasar, sekitar 40% atau 330 milyar ton karbon tersimpan dalam bagian pohon dan bagian tumbuhan hutan lainnya di atas permukaan tanah, sedangkan sisanya sekitar 60% atau 500 milyar ton tersimpan dalam tanah hutan dan akar-akar tumbuhan di dalam tanah (Suhendang, 2002).

Panjang jangka penyimpanan karbon di dalam hutan akan sangat tergantung pada pengelolaan hutannya sendiri termasuk cara mengatasi gangguan yang mungkin terjadi. potensi penyerapan karbon ekosistem dunia tergantung pada tipe dan kondisi ekosistemnya yaitu komposisi jenis, struktur dan sebaran umur (khusus untuk hutan) (Hairiah dkk, 2001).

Peran Hutan Sebagai Penyerap Karbon

Carbon sink adalah istilah yang kerap digunakan di bidang perubahan iklim. Istilah ini berkaitan dengan fungsi hutan sebagai penyerap (sink) dan penyimpan (reservoir) karbon. Emisi karbon ini umumnya dihasilkan dari kegiatan pembakaran bahan bakar fosil pada sektor industri, transportasi dan rumah tangga. Ketika terjadi penebangan hutan, kebakaran atau perubahan tata guna lahan, karbon tersebut akan dilepaskan kembali ke atmosfer (Rusmantoro, 2003).

Siklus karbon di dalam biosfer meliputi dua bagian siklus penting, di darat dan di laut. Keduanya dihubungkan oleh atmosfer yang berfungsi sebagai fase antara. Siklus karbon global melibatkan transfer karbon dari berbagai reservoir. Jika dibandingkan dengan sumber karbon yang tidak reaktif, biosfer mengandung karbon yang lebih sedikit, namun demikian siklus yang terjadi sangat dinamik di alam (Vlek, 1997).

Tabel 1. Karbon di dalam berbagai reservoir dari siklus global

Lokasi Satuan C (ton x 1010)

Udara CO2-atmosfer 70

Darat Biomassa 59

Bahan organik tanah 85

Produksi bersih/tahun 6.3

Pelepasan dari fosil 0.5

Laut Biomassa 0.3

C-organik terlarut 100

C-anorganik (HCO3) 3.500

Produksi bersih/tahun 45

Sedimen C-anorganik (HCO3) 2.000.000

Batu bara dan minyak 1.000

Sumber: IPPC The International Panel on Panel Climate Change (2000)

Sejumlah besar kalsium karbonat dalam lebih dari 10 juta tahun yang lalu telah terlarut dan tercuci dari permukaan daratan. Sebaliknya, dalam jumlah yang sama telah terpresipitasi dari air laut ke dalam lantai dasar laut. Waktu tinggal (residence time) karbon di dalam atmosfer dalam pertukarannya dengan hidrosfer berkisar antara 5 – 10 tahun, sedangkan dalam pertukarannya dengan sel tanaman dan binatang sekitar 300 tahun. Hal ini berbeda dalam skala waktu dibandingkan dengan residence time untuk karbon terlarut (ribuan tahun) dan karbon dalam sedimen dan bahan bakar fosil (jutaan tahun) (Vlek, 1997).

Hasil inventarisasi gas-gas rumah kaca di Indonesia dengan menggunakan metoda IPCC 1996, diketahui bahwa pada tahun 1994 emisi total CO2 adalah 748,607 Gg (Giga gram), CH4 sebanyak 6,409 Gg, N2O sekitar 61 Gg, NOX sebanyak 928 Gg dan CO sebanyak 11,966 Gg. Adapun penyerapan CO2 oleh hutan kurang lebih sebanyak 364,726 Gg, dengan dem ikian untuk tahun 1994 tingkat emisi CO2 di Indonesia sudah lebih tinggi dari tingkat penyerapannya. Indonesia sudah menjadi net emitter, sekitar 383,881 Gg pada tahun 1994. Hasil perhitungan

sebelumnya, pada tahun 1990, Indonesia masih sebagai net sink atau tingkat penyerapan lebih tinggi dari tingkat emisi. Berapapun kecilnya Indonesia sudah memberikan kontribusi bagi meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca secara global di atmosfer (Widjaja, 2002).

Pemanasan Global

Pemanasan global adalah salah satu isu lingkungan penting yang saat ini menjadi perhatian berbagai pihak. Akibat pemanasan global, terjadi peningkatan temperatur rata-rata laut dan daratan bumi yang disebabkan oleh kegiatan industri dan semakin berkurangnya penutupan lahan khususnya hutan akibat laju deforestasi akhir-akhir ini. Menurut Departemen Kehutanan (2007), penyebab dari pemanasan global adalah efek gas rumah kaca yaitu energi yang diterima dari sinar matahari yang diserap sebagai radiasi gelombang pendek dan dikembalikan keangkasa sebagai radiasi inframerah gelombang panjang. Gas-gas rumah kaca menyerap radiasi inframerah dan terperangkap di atmosfer dalam bentuk energi panas. Peristiwa ini dikenal dengan efek rumah kaca dimana panas yang masuk akan terperangkap di dalamnya dan tidak dapat menembus ke luar sehingga dapat membuat kondisi umum menjadi lebih panas.

Sugiharto (2007) menyatakan bahwa berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi masalah pemanasan global, salah satunya dengan meningkatkan kemampuan hutan yang luasannya semakin menurun sehingga tetap mampu mempertahankan fungsi ekologi hutan sebagai penyangga sistem kehidupan. Pada protokol Kyoto dikenal dengan adanya mekanisme pembangunan bersih atau Clean

penghasil polutan diberi kesempatan untuk melakukan kompensasi dengan cara membayar negara negara berkembang untuk mencadangkan hutan tropis yang mereka miliki sehingga terjadi penyerapan dan penyimpanan sejumlah besar karbon. Dengan potensi hutan yang masih luas yang dimiliki Indonesia, tentu halini menjadi peluang emas bagi negara kita untuk memperoleh manfaat besar dari keberadaan hutannya dengan memperoleh insentif dari perdagangan karbonyang dapat dialokasikan untuk proyek atau program lingkungan seperti rehabilitasi dan konversi.

Siklus karbon pada ekosistem hutan menyangkut proses penyerapan dan emisi karbon ke atmosfer. Proses ini dipengaruhi oleh beberapa faktor atau kondisi yaitu : 1) Kondisi vegetasi yang meliputi jenis atau tipe vegetasi atau hutan; 2) Kondisi tempat tumbuh dan lingkungan yang meliputi faktor edafis, klimatis dan faktor hayati lainnya; 3) Kondisi pengelolaan yang meliputi pengaturan ruang (tata ruang), penentuan peruntukan/penggunaanlahan dan hutan; 4) Kondisi gangguan seperti perubahan lingkungan, kemarau, ledakan gangguan hama dan penyakit, gangguan perbuatan manusia seperti pembakaran, eksploitasi tidak terkelola dengan baik dan lain-lain (Melillo et al., 1993 dalam Zak et al., 2000).

Siklus Karbon merupakan proses penyerapan dan emisi karbon, yang hasil akhirnya adalah akumulasi atau stok karbon di tegakan atau hutan. Neraca Karbon akan menggambarkan perubahan stok karbon dari waktu ke waktu di dalam ekosistem hutan tersebut di dalam suatu ruang. Ada beberapa konsep umum yang mengukur hasil yang terjadi pada siklus karbon ini yaitu: 1) Produksi Primer Bruto (Gross Primary Production) yang merupakan penyerapan karbon dari atmosfer

vegetasi; 2) Produksi Primer Neto (Net Primary Production) merupakan gambaran jumlah energi yang difiksasi menjadi bahan kimia (karbon) oleh vegetasi dikurangi oleh energi respirasi oleh vegetasi (autotrophic) berupa pelepasan karbon dioksida ke atmosfer; dan Produksi Ekosistem Neto (Net Ecosystem Production), merupakan gambaran metabolisme ekosistem total yaitu pembentukan bahan organik (karbon) neto di suatu ekosistem (Hairiah et al.,2001).

Neraca Karbon dapat sebagai salah satu cermin kualitas tata kelola ekosistem hutan. Faktor penting yang terkait mempengaruhi neraca karbon antara lain: 1) Faktor yang mempengaruhi siklus karbon (fotosintesis, respirasi dan dekomposisi); 2) Faktor prasyarat berupa kepastian ruang kelola, kepastian bentuk penggunaan/pengelolaan, kepastian hak pengelolaan, yang dijamin secara legal; dan Faktor harmonisasi kepentingan para pihak di dalam pengelolaan ekosistem hutan, untuk pencapaian tujuan ekonomi, sosial dan lingkungan(Brown et al.,1995).

Arboretum

Arboretum berasal dari bahasa latin arboreta (pohon) dan rium (tempat), dengan demikian arboretum merupakan tempat atau wilayah untuk menanam pohon. Arboretum adalah tempat berbagai pohon ditanam dan dikembangbiakkan untuk tujuan penelitian atau pendidikan. Secara umum arboretum memiliki kegunaan sebagai tempat mengkoleksi berbagai jenis pohon. Arboretum sangat layak untuk dijadikan objek wisata edukatif karena selain memiliki nilai estetika dan keindahan, di dalamnya terdapat beraneka ragam jenis flora maupun fauna untuk dijadikan objek penelitian. Di perkotaan, arboretum dapat dijadikan sebagai solusi pemenuhan ruang

terbuka hijau, konservasi keanekaragaman hayati, mitigasi perubahan iklim, serta daerah resapan air (Hairiah, et al., 2007).

Arboretum telah terdapat di beberapa kota di Indonesia antara lain, Arboretum Nyaru Menteng-Bukit Batu (Palangkaraya), Arboretum Bogor, Arboretum Bangko (Jambi), dll. Namun tidak sedikit kota besar maupun kota kecil yang belum memenuhi luas RTH dan belum memiliki arboretum. Bahkan saat ini justru pembangunan diarahkan untuk kemajuan sektor industri dan perekonomian. Padahal, jika ingin menambah sektor perekonomian tanpa mengurangi nilai natural suatu kota, misalnya dengan mengembangkan suatu arboretum sebagai pusat pendidikan dan penelitian di ibu kota. Di beberapa kampus di Indonesia kini juga telah memiliki arboretum sebagai tempat pendidikan, penelitian dan konservasi misalnya, Arboretum Kehutanan UGM, Arboretum UNPAD, Arboretum Kehutanan IPB, Arboretum Sumber Brantas (Batu), dll (Hairiah, et al., 2007).

Menurut Hairiah (2007), arboretum memiliki banyak manfaat, diantaranya adalah sebagai berikut:

• Tempat pembelajaran mengenai lingkungan dan keanekaan hayati untuk berbagai jenjang pendidikan dan umum.

• laboratorium lapangan, arboretum merupakan sumber daya plasma nutfah (bank genetik) yang menyimpan berbagai koleksi jenis tanaman langka khususnya dari daerah jawa barat, tanaman obat-obatan, tanaman pohon produksi dan kolam percobaan, berbagai jenis hewan liar.

• Melestarikan model ekologi pedesaan seperti pekarangan tradisional, rumah baduy, kolam, sawah, kebun dan lain-lain.

• Tempat wisata pendidikan dan rekreasi.

Menurut Gultom (2012) dan Tambunan (2012), terdapat 22 jenis pohon di Arboretum USU yang terdiri dari pohon kehutanan dan pohon buah-buahan. 5 jenis pohon kehutanan yang paling banyak ditemukan adalah Pulai (Alstonia scholaris) yang berjumlah 384 pohon, Mindi (Melia azedarach) berjumlah 265 pohon, Gmelina (Gmelina Arborea) berjumlah 236 pohon, Jati (Tectona Grandis) berjumlah 127 pohon dan Mahoni (Swietenia mahagoni) berjumlah 75 pohon. Penanaman jenis yang tepat pada lahan yang sesuai merupakan cara yang tepat dalam pengembangan Arboretum. Arboretum USU seluas 64, 813 Ha dibangun di lahan Kampus USU Kuala Bekala. Arboretum USU yang disahkan pada tahun 2006 masih tergolong baru dan akan digunakan sebagai tempat dimana jenis-jenis pohon dan tanaman ditanam dan dipelihara untuk menjadi koleksi.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan merupakan sumber daya alam yang sangat penting dan bermanfaat bagi hidup dan kehidupan baik secara langsung maupun tidak langsung. Manfaat langsung dari keberadaan hutan di antaranya adalah kayu, hasil hutan bukan kayu dan satwa. Sedangkan manfaat tidak langsungnya adalah berupa jasa lingkungan, baik sebagai pengatur tata air, fungsi estetika, maupun sebagai penyedia oksigen dan penyerap karbon. Kerusakan hutan, perubahan iklim dan pemanasan global, menyebabkan manfaat tidak langsung dari hutan berkurang, yaitu karena hutan merupakan penyerap karbon terbesar dan memainkan peranan yang penting dalam siklus karbon global dan dapat menyimpan karbon sekurang kurangnya 10 kali lebih besar dibandingkan dengan tipe vegetasi lain seperti padang rumput, tanaman semusim dan tundra (Adiriono, 2009).

Peranan hutan yang sangat penting dalam menyerap karbon menghasilkan sebuah konsep perdagangan karbon. Perdagangan karbon diawali dengan disepakatinya Kyoto Protocol bahwa negara-negara penghasil emisi karbon harus menurunkan tingkat emisinya dengan menerapkan teknologi tinggi dan juga menyalurkan dana kepada negara-negara yang memiliki potensi sumberdaya alam untuk mampu menyerap emisi karbon secara alami misalnya melalui vegetasi (hutan). Indonesia dengan luas hutan tersebar ketiga di dunia, bisa berperan aktif untuk mengurangi emisi dunia melalui carbon sink. Hal ini bisa terjadi jika hutan yang ada dijaga kelestariannya dan melakukan penanaman (afforestasi) pada kawasan bukan

hutan (degraded land). Serta melakukan perbaikan kawasan hutan yang rusak (degraded forest) dengan cara penghutanan kembali (reforestasi) (Sugiharto, 2007).

Indonesia dengan luas tutupan lahan hutan mencapai 120 juta ha terdiri dari berbagai jenis tipe hutan dan penutupan lahan. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya dinamika dalam pengukuran karbon. Kemampuan hutan dalam menyerap dan menyimpan karbon tidak sama baik di hutan alam, hutan tanaman, hutan payau, hutan rawa maupun di hutan rakyat tergantung pada jenis pohon, tipe tanah dan topografi (Heriyanto dan Garsetiasih, 2004).

Sementara itu peranan pohon-pohon dalam komunitas hutan semakin sulit dipertahankan mengingat tekanan masyarakat terhadap kelompok tumbuhan dari waktu ke waktu terus meningkat. Berkaitan dengan hal tersebut, pengetahuan serta penelitian melalui pengungkapan data cadangan karbon pada beberapa tempat yang berbeda perlu dilakukan untuk memberi gambaran mengenai kondisi dan potensi kawasan hutan, baik itu hutan alam maupun hutan tanaman. Oleh karena itu, informasi mengenai cadangan karbon dari berbagai tipe hutan, jenis pohon, jenis tanah dan topografi di Indonesia sangat penting terutama informasi yang bersifat terbaru.

Berdasarkan penjelasan tersebut dan mengingat pentingnya peranan hutan maka perlu banyak dilakukan penelitian yang mendorong terus berkembangnya perhitungan karbon dalam biomassa. Salah satu aspek penelitian yang penting yaitu mengetahuipotensi karbon yang tersimpan dalam Arboretum Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data stok karbon pada Arboretum

Perumusan masalah

Arboretum sebagai tempat berbagai pohon ditanam dan dikembangbiakkan untuk tujuan penelitian atau pendidikan. Berdasarkan definisi tersebut, secara umum arboretum memiliki kegunaan sebagai tempat mengkoleksi berbagai jenis pohon. Penanaman jenis yang tepat pada lahan yang sesuai merupakan cara yang tepat dalam pengembangan Arboretum sehingga dapat memiliki fungsi jasa lingkungan penyeraban karbon. Oleh karena itu dari kegiatan penelitian ini diharapkan dapat menduga potensi karbon yang tersimpan dalam kawasan Arboretum, Koala Bekala, Sumatera Utara.

Tujuan

1. Inventarisasi jenis-jenis pohon di Arboretum USU 2. Analisis dugaan stok karbon Arboretum USU. Manfaat

Manfaat penelitian yang dilakukan adalah untuk mengetahui nilai karbon tersimpan sebagai sarana informasi mengenai stok karbon dalam Arboretum Universitas Sumatera Utara yang diharapkan dapat digunakan bagi pihak-pihak yang membutuhkan, khususnya bagi kegiatan penelitian yang terkait dengan stok karbon tersimpan pada tegakan hutan.

ABSTRAK

HOT PARASIAN PARHUSIP: Pendugaan Stok Karbon Tegakan Pohon di Arboretum Universitas Sumatera Utara. Dibimbing oleh SITI LATIFAH dan YUNUS AFIFUDDIN.

Penelitian ini bertujuan untuk analisis pendugaan stok karbon dalam Arboretum Universitas Sumatera Utara sehingga hasil analisisnya bisa digunakan sebagai acuan untuk pengembangan dan pengelolaan Arboretum USU di waktu yang akan datang. Penelitian ini dilaksanakan di Arboretum Universitas Sumatera Utara, Kuala Bekala, Kabupaten Deli Serdang. Penelitian ini menggunakan metode sensus. Parameter yang diamati adalah diameter pohon untuk mendapatkan nilai biomassa dan stok karbon serta serta titik koordinat setiap pohon.

Hasil dari penelitian ini, dari luas Arboretum USU seluas 64, 813 Ha, diperoleh jumlah biomassa total adalah 0,08 ton/ha, sedangkan jumlah stok karbon total adalah sekitar 0,04 ton/ ha. Biomassa dan stok karbon terbesar adalah dari jenis pohon Mindi (Melia azedarach) yaitu sekitar 0,0277 ton/ha dan 0,0127 ton/ha, dimana jumlah total dari pohon Mindi (Melia azedarach) adalah 284 pohon. Sedangkan jumlah biomassa dan stok karbon paling kecil adalah dari jenis pohon Manglid yaitu sekitar 0,00001 ton/ha dan 0,000005 ton/ha.

ABSTRACT

HOT PARASIAN PARHUSIP: Carbon Stock Estimation of Trees in the North Sumatra University Arboretum. Supervised by SITI LATIFAH and YUNUS AFIFUDDIN.

This study aims to analysis of carbon stock assessment in the North Sumatra University Arboretum and the results of the analysis can be used as a reference for the development and management of USU Arboretum in the future. This research was conducted at the Arboretum University of North Sumatra, Kwala Bekala, Deli Serdang regency. This study uses census. Parameters measured were diameter of the tree to get the value of biomass and carbon stocks as well as well as the coordinates of each tree.

The resultsof this study, from a broad USU Arboretum area of 64, 813 hectares, the total amount of biomass obtained was 0.08 tons/ha. While the total amount of carbon stocks is approximately 0.04 tons/ha. Biomass and carbon stocks of the largest tree species Mindi (Melia azedarach) is about 230.78 tons/ha and 106.16t /ha, in which the total number of trees Mindi (Melia azedarach) is 284 trees. While the amount of biomass and carbon stocks contained at least is a tree species Manglid which is about 0.00001tons/ha and 0.000005tons/ha.

PENDUGAAN STOK KARBON TEGAKAN POHON PADA

Dokumen terkait