• Tidak ada hasil yang ditemukan

Asal dan Klasifikasi Ternak Kambing Kingdom : Animalia Bangsa : Caprini Famili : Bovidae Subfamili :Caprinae Ordo : Artiodactyla Subordo : Ruminansia Genus : Capra Spesies : Capra sp. (Davendra dan McLeroy, 1982).

Diperkirakan ada sebanyak 102 bangsa kambing yang menyebar di seluruh dunia dengan hidup yang sangat beragam dari yang terkecil antara 9 sampai 13 kg sampai terbesar melebihi 100 kg (Dhanda et al., 2003). Di Indonesia paling tidak dilaporkan terdapat 13 jenis kambing baik asli maupun introduksi yang menyebar hampir di seluruh kepulauan, dengansentra populasi utama adalah Jawa (57%), Sumatera (25%), Sulawesi (7,4%) dan kepulauan Nusa Tenggara (NTT dan NTB) (6,1%) (Makka, 2004).

Menurut Sudono dan Abdulgani (2002), kambing tersebar luas di daerah tropis dan subtropis. Kambing juga mempunyai kemampuan beradaptasi yang luas terhadap berbagai keadaan lingkungan serta sifat toleransi yang tinggi terhadap hijauan pakan ternak.

Populasi kambing di Indonesia

Ternak kambing merupakan ruminansia kecil yang dalam kehidupannya sehari-hari dekat hubungannya dengan peternak kecil di pedesaan, keberadaan ternak kambing ditengah-tengah masyarakat kecil sangat membantu perekonomian. Selain itu, secara biologis ternak kambing cukup produktif dan mudah beradaptasi dengan berbagai kondisi lingkungan di Indonesia, mudah pemeliharaannya, sehingga mudah dalam pengembangannya (Sutama, 2005).

Dari total populasi kambing sekitar 14 juta ekor (DITJENNAK, 2007), kambing Kacang merupakan jenis kambing dengan populasi terbanyak (83%). Jenis kambing ini memiliki bobot hidup dan kapasitas tumbuh yang rendah dan lebih merupakan jenis kambing dengan tipe prolifik (Astuti et al., 1984).

Dengan demikian, ras kambing dengan populasi terbesar yang terdapat di Indonesia pada dasarnya bukanlah merupakan bangsa kambing yang memiliki karakter ideal sebagai penghasil daging, jika dilihat dari aspek kapasitas laju

tumbuh, ukuran serta konformasi bobot hidup, serta persentase karkas (Ginting dan Fera, 2008).

Secara nasional untuk populasi ternak kecil pada tahun 2011 mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan populasi pada tahun 2010 yaitu: kambing 16,95 juta ekor (peningkatan 1,97%), domba 11,79 juta ekor (peningkatan 9,93%), babi 7,52 juta ekor (peningkatan 0,64%) (DITJENNAK, 2010).

Tabel 1. Populasi ternak ruminansia di Indonesia

No Jenis ternak Populasi (000 ekor)

2008 2009 2010 2011 2012 1 Sapi potong 12.257 12.760 13.582 14.824 16.034

2 Sapi perah 458 475 488 597 622

3 Kerbau 1.931 1.933 2.000 1.305 1.378 4 Kambing 15.147 15.815 16.620 16.949 17.862

5 Domba 9.605 10.199 10.725 11.791 12.768 Sumber : DITJENNAK, 2012.

Tabel 2. Populasi ternak kambing di Sumatera Utara Tahun Populasi (ekor)

Sumatera Utara Nasional

2008 618.394 15.147.432 2009 619.941 15.815.317 2010 653.101 16.619.599 2011 762.180 16.946.186 2012 771.326 17.862.203 Sumber : DITJENNAK, 2012.

Cross breeding (kawin silang)

Persilangan (crossbreeding) saat ini masih merupakan salah satu metode yang relevan dilakukan dalam rangka memperbaiki potensi genetik suatu rumpun ternak, termasuk kambing (Mukherjee, 1992).

Persilangan kambing Boer yang merupakan salah satu jenis kambing penghasil daging terbaik dengan kambing lokal (Kacang)diharapkan akan menghasilkan jenis kambing dengan genotif baru yang memiliki ciri kambing pedaging yang lebih baik dibanding kambing lokal (Erasmus, 2000).

Secara teknis persilangan dilakukan dengan maksud : penggabungan beberapa sifat yang semula terdapat pada dua bangsa yang berbeda ke dalam satu bangsa silangan, pembentukan bangsa baru, grading up dan pemanfaatan heterosis (Hardjosubroto, 1994).

Salah satu keuntungan dari persilangan adalah hybrid vigor atau heterosis, yaitu jika seekor induk dikawinkan dengan pejantan dari bangsa berbeda maka turunan yang diperoleh akan lebih baik dari tetuanya seperti bobot lahir, laju pertumbuhan, bobot sapih dan bobot potong (Salamena, 2003).

Untuk kondisi Indonesia, pada umumnya kambing mempunyai potensi reproduksi yang sangat baik, maka introduksi melalui persilangan akan lebih baik, karena akan menggabungkan sifat adaptabilitas dan keunggulan genetik sifat pertumbuhan rumpun yang diintroduksi (Setiadi et al., 1998).

Program persilangan antara kambing Boer dengan kambing Kacang bertujuan untuk menghasilkan genotipe baru (kambing Boerka) yang memiliki kapasitas tumbuh dan bobot tubuh yang lebih besar dibandingkan kambing Kacang, namun relatif adaptif dengan kondisi tropis-basah (Ginting, 2009).

Gambar 1.Skematis cara perkawinan untuk menghasilkan berbagai komposisi darah kambing persilangan

Keterangan : = Alur perkawinan = Alur keturunan B = Kambing Boer K = Kambing Kacang BC = Kambing Backcroos Sumber : Elieser, 2012.

JANTAN BOER BETINAKACANG

JANTAN BOER JANTAN KACANG

BETINA 0.5B :0.5K BETINA BOER BETINA 0.5B :0.5K BETINA 0.5B :0.5K BETINA KACANG 100 % BOER 0.75B : 0.25K BC BOER 0.5B : 0.5K BOERKA 0.25B :0.75K BC KACANG 100% KACANG

Karakteristik kambing Boerka

Kambing Boerka adalah kambing hasil persilangan antara pejantan Boer dengan induk Kacang. Kambing hasil persilangan ini memiliki kemampuan tumbuh dan penambahan bobot tubuh yang lebih baik dibandingkan kambing kacang. Sifat baik lainnya, kambing Boerka mampu beradaptasi dengan kondisi tropik-basah dengan input produksi (pakan) yang moderat atau sedang (Ginting, 2008).

Dibandingkan kambing Kacang, kambing Boerka merupakan ternak yang potensial untuk dikembangkan karena memiliki keunggulan antara lain : memiliki kadar lemak rendah 0,15-0,5%, proporsi karkas 46% dan kadar protein daging 19-22% (Triyantini et al., 2002).

Tabel 3. Bobot lahir kambing Boerka (F1) berdasarkan jenis kelamin dan tipe kelahiran

Uraian Bobot lahir (kg) Jenis kelamin - Jantan - Betina 2,21 ± 0,51 2,01 ± 0,52 Tipe lahir - Tunggal - Kembar dua 2,30 ± 0,48 1,84 ± 0,46 Sumber : Mahmilia et al., 2014.

Tabel 4. Bobot sapih kambing Boerka berdasarkan jenis kelamin

Uraian Bobot sapih (kg)

Jenis kelamin - Jantan - Betina

9,89 ± 0,95 9,57 ± 0,56 Sumber : Elieser et al., 2006.

Laju petumbuhan kambing Boerka

Laju pertumbuhan setelah disapih ditentukan oleh beberapa faktor antara lain potensi pertumbuhan dari masing-masing individu ternak dan pakan yang tersedia (Cole, 1982). Potensi pertumbuhan dalam periode ini dipengaruhi oleh faktor bangsa dan jenis kelamin. Pola pertumbuhan ternak tergantung pada sistem manajemen yang dipakai, tingkat nutrisi yang tersedia, kesehatan dan iklim.. (Tomaszewska et al., 1993).

Dalam masa pertumbuhan ada dua hal yang terjadi yaitu adanya kenaikan bobot badan atau komponen tubuh sampai mencapai ukuran dewasa yang disebut pertumbuhan dan adanya perubahan bentuk konformasi disebabkan oleh perbedaan laju pertumbuhan jaringan atau bagian tubuh yang berbeda dengan proses perkembangan, proses penggemukan termasuk ke dalam perkembangan (Hammond et al., 1976).

Pertumbuhan biasanya mulai perlahan - lahan kemudian berlangsung lebih cepat dan akhirnya perlahan - lahan lagi atau sama sekali terhenti. Tahap cepat pertumbuhan terjadi pada saat kedewasaan tubuh hampir tercapai (Anggorodi, 1990).

Sifat kuantitatif

Setiap individu mempunyai kemampuan genetik tersendiri untuk sifat-sifat yang dimiliknya, kecuali kembar identik. Dari sejumlah individu dalam populasi yang ada terdapat keragaman atas setiap sifat yag ada. Keragaman genetik ini merupakan dasar analisis pemuliaan ternak. Dalam aplikasinya, keragaman menjadi dasar seleksi jika keragaman relatif besar. Sebaliknya, keragaman menjadi dasar persilangan jika nilanya kecil (Kurnianto, 2010).

Pada ternak terdapat dua sifat, yaitu sifat kuantitatif dan kualitatif. Sifat kuantitatif memiliki nilai ekonomis tinggi, sehingga sifat ini lebih penting diperhatikan pada program pemuliaan ternak dibanding sifat kualitatif. Ciri-ciri sifat kuantitatif adalah : Dapat diukur atau ditimbang, Fenotipe sifat kuantitatif dipengaruhi banyak pasangan gen, Penampilan sifat kuantitatif dipengaruhi faktor lingkungan (Kurnianto, 2010).

Bobot lahir

Bobot lahir adalah bobot saat dilahirkan atau bobot hasil penimbangan dalam kurun waktu 24 jam setelah dilahirkan (Hardjosubroto, 1994). Bobot lahir merupakan faktor yang menentukan bagi kelangsungan usaha peternakan, karena bobot lahir berkorelasi positif dengan kelangsungan hidup dan perkembangan ternak setelah lahir (Gatenby, 1986).

Bobot lahir serta laju pertumbuhan pada suatu ras kambing tergantung kepada potensi bobotnya saat mencapai kedewasaan (maturity), sehingga tingkat pertumbuhan anak pada ras kambing dengan tipe besar akan lebih tinggi dibandingkan pada ras kambing tipe kecil (Dhanda et al., 2003).

Tipe kelahiran mempengaruhi bobot lahir. Bobot lahir pada kelahiran tunggal lebih besar dibandingkan kelahiran kembar. Hal tersebut disebabkan karena terbatasnya volume uterus induk, sehingga bila dalam uterus terdapat lebih dari satu fetus maka calon anak tersebut pertumbuhannya akan terganggu karena harus berdesakan dalam uterus yang sempit (Ningsih, 1986).

Bobot sapih

Bobot sapih adalah bobot pada saat anak dipisahkan dari induknya. Bobot sapih merupakan indikator dari kemampuan induk untuk menghasilkan susu dan kemampuan anak untuk mendapatkan susu dan tumbuh (Hardjosubroto, 1994).

Faktor-faktor yang mempengaruhi bobot sapih diantaranya adalah : jumlah anak sekelahiran, bobot lahir dan jenis kelamin. Jumlah anak sekelahiran yang semakin sedikit menyebabkan bobot lahir anak semakin berat, sehingga akhirnya didapat bobot sapih yang tinggi (Fraser dan Stamp, 1986) dan umur sapih serta produksi susu induk (Davendra, 1994). Hal ini dikarenakan terbatasnya produksi susu induk, sehingga apabila induk memiliki anak kembar maka jumlah susu induk harus dibagi-bagi (Subandryo, 2004).

Bobot pasca-sapih

Laju pertumbuhan pada ras kambing tipe besar umumnya akan lebih tinggi dibandingkan pada ras tipekecil. Penggunaan pejantan Boer yang merupakan ras kambing tipe besar merupakan kontributor utama terhadap tingginya laju pertumbuhan kambing Boerka (Mcgregor, 1985).

Faktor bobot lahir serta laju pertumbuhan prasapih merupakan variabel yang menentukan tingginya bobot pascasapih. Seperti halnya bobot lahir, maka

laju pertumbuhan anak sangat ditentukan oleh kapasitas ukuran tubuh dewasa baik pejantan maupun induk (Mcgregor, 1985).

Efek heterosis

Dalam persilangan antar spesies akan muncul heterosis dari suatu karakter akibat dari heterogenetik. Heterogenetik tersebut adalah pertemuan antara berbagai gen yang mengontrol bermacam-macam sifat dalam menumbuhkan karakter, baik karakter kualitatif maupun kuantitatif. Sifat gen dominan, over dominan dan epistasis merupakan sifat genetik non aditif yang lebih nampak pengaruhnya terhadap timbulnya efek heterosis. Efek heterosis positif yaitu rata-rata penampilan suatu karakter keturunan hasil persilangan melebihi rata-rata-rata-rata penampilan kedua tetuanya, sedang efek heterosis negatif adalah rata-rata penampilan suatu karakter keturunan hasil persilangan yang lebih rendah dari rata-rata penampilan kedua tetuanya (Cassady et al., 2002).

Heterosis (hybrid vigor) dibedakan menjadi dua, yaitu individual heterosis (IH) dan maternal heterosis (MH). Istilah IH digunakan pada persilangan antara dua bangsa, didefinisikan sebagai perbedaan penampilan antara individu-individu hasil persilangan (crossbreed) dengan rataaan penampilan bangsa tetuanya (purebreed). Efek IH dipresentasikan dalam satuan unit dan persen (Kurnianto, 2010).

Efek heterosis cenderung tinggi untuk sifat-sifat yang mempunyai nilai heritabilitas rendah, seperti sifat reproduksi dan cenderung rendah untuk sifat-sifat yang mempunyai nilai heritabilitas tinggi seperti pertumbuhan, produksi karkas dan wool. Efek heterosis adalah kumulatif, dapat dimaksimalkan dengan cara

mengawinkan betina hasil crossbred dengan pejantan dari bangsa yang lain untuk menghasilkan keturunan yang crossbred (Hariyanan, 2010).

Parameter genetik

Keragaman dan mutu genetik sifat-sifat yang merupakan potensi genetik individu-individu dalam suatu populasi akan tercermin pada nilai parameter genetiknya meliputi nilai heritabilitas, repitabilitas, korelasi genetik, nilai pemuliaaan (Hardjosubroto, 1994).

Heritabilitas

Pengetahuan tentang heritabilitas penting dalam mengembangkan seleksi dan rencana perkawinan untuk meningkatkan mutu ternak. Heritabilitas dapat membantu dalam menduga nilai pemuliaan ternak, mengestimasi perubahan genetik setelah dilakukan seleksi dan menetukan bentuk seleksi yang akan dilakukan. Jika heritabilitas tinggi maka diterapkan seleksi fenotip dan jika heritabilitas rendah maka seleksi fenotipe menjadi kurang efektif sehingga seleksi dilakukan dengan memanfaatkan informasi kerabat (Bourdon, 1997).

Heritabilitas bukan merupakan nilai konstan, dengan klasifikasi (0-0,1) rendah, (0,1-0,3) sedang dan lebih dari (>0,3) termasuk tinggi (Dalton, 1980).

Dalam menduga heritabilitas kadang-kadang menghasilkan taksiran yang terletak diluar kisaran normalnya yaitu negatif atau lebih dari satu. Hal ini diduga karena jumlah data yang terbatas (Hardjosubroto, 1994).

Taksiran heritabilitas diluar kisaran normal disebabkan salah satu penyebab-penyebab berikut : keragaman yang disebabkan oleh lingkungan yang berbeda untuk kelompok yang berbeda, metode statistik yang tidak tepat sehingga

tidak dapat memisahkan ragam genetik dan lingkungan dengan efektif dan kesalahan mengambil contoh (Warwick et al., 1984).

Nilai heritabiltas pada satu sifat tidak tetap, faktor-faktor yang mempengaruhi diantaranya : nilai heritabiltas dari data yang diambil pada periode waktu yang berbeda, nilai heritabilitas suatu sifat antara satu bangsa dengan bangsa lain dapat berbeda meskipun dari wilayah dan jumlah yang sama, metode yang digunakan dalam pendugaan dan jumlah dan asal data yang berbeda (Kurnianto, 2010).

Korelasi genetik

Analisis korelasi adalah suatu metode yang digunakan untuk mengetahui sejauh mana tingkat hubungan antara dua sifat yang dibandingkan melalui sebuah bilangan yang biasa disebut koefisien korelasi (Walpole, 1995).

Hubungan korelatif antara dua sifat dapat dibedakan menjadi tiga yaitu : korelasi genetik, fenotipe dan lingkungan. Korelasi genetik adalah korelasi antara nilai pemuliaan aditif dari dua sifat atau diantara jumlah pengaruh aditif dari gen-gen yang mempengaruhi kedua sifat tertentu (Legates and Warwick, 1990).

Besar dan tanda korelasi genetik dapat digunakan untuk memperkirakan besarnya perubahan pada generasi berikutnya apabila digunakan sebagai kriteria seleksi. Cara yang paling mudah untuk menghitung korelasi genetik antara dua sifat adalah melalui percobaan seleksi dalam suatu populasi untuk mengamati sifat-sifat tunggal dan mengamati perubahan yang terjadi sebagai tanggapan korelasi sifat yang lain (Warwick et al., 1985).

Korelasi fenotipe merupakan korelasi total dari semua sifat yang dimiliki ternak. Korelasi bersifat positif apabila satu sifat meningkat kemudiaan sifat

lainnya juga ikut meningkat, sebaliknya pada korelasi negatif. Nilai korelasi fenotipe bermanfaat untuk memperkirakan besarnya perubahan-perubahan produktivitas pada generasi yang sama apabila digunakan sebagai kriteria seleksi berdasarkan catatan produktivitas sekarang (Warwick et al., 1985).

Kriteria hubungan dari suatu korelasi yaitu : (K=0) tidak ada korelasi antara 2 variabel, (0<K<0,25) korelasi sangat lemah, (0,25<K<0,5) korelasi cukup, (0,5<K<0,75) korelasi kuat, (0,75<K<0,90) korelasi sangat kuat dan (K=1) korelasi sempurna (Fujiatin, 2010).

Estimasi nilai pemuliaan (breeding value)

Nilai pemuliaan atau breeding value adalah penilaian dari mutu genetik ternak untuk suatu sifat tertentu yang diberikan secara relatif atas dasar kedudukannya dalam populasi (Hardjosubroto, 1994).

Ternak yang unggul adalah ternak yang memiliki nilai pemuliaan diatas rata-rata populasi. Pendugaan nilai pemuliaan merupakan salah satu penting dalam mengevaluasi keunggulan genetik ternak, terutama untuk ternak-ternak yang akan digunakan sebagai bibit (Nuringati, 2010).

Empat sumber informasi untuk mengestimasi nilai pemuliaan, yaitu : 1. Fenotipe ternak itu sendiri, hubungan antara fenotipe dengan nilai pemuliaanya

sama dengan heritabilitas. Nilai heritabilitas yang tinggi cukup menjadi sumber informasi untuk mengestimasi nilai pemuliaan, 2. Keturunan (progeny), makin banyak jumlah keturunan maka ketersediaan informasi yang dapat dimanfaatkan semakin baik, 3. Moyang (ancestor), moyang adalah ternak-ternak pada generasi sebelumnya yang berhubungan langsung dengan individu ternak yang menjadi

keturunannya, 4. Saudara kolateral, yang meliputi saudara tiri dan saudara kandung (Kurnianto, 2010).

Ternak yang mempunyai nilai pemuliaan yang lebih besar akan lebih baik dijadikan bibit atau ternak pengganti dibanding ternak yang memiliki nilai pemuliaan rendah. Pada dasarnya semakin banyak data yang digunakan maka semakin akurat estimasi nilai pemuliaan tersebut (Warwick et al., 1985).

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ternak lokal atau asli Indonesia seperti kambing merupakan kekayaan negeri yang cukup penting kedudukannya, baik dilihat dari hasil produknya sebagai sumber protein hewani maupun sebagai sumber pendapatan bagi masyarakat.

Food Agriculture Organization (FAO) memperkirakan negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) akan mengalami peningkatan konsumsi daging dua kali lebih besar ditahun 2030. Namun dalam perkembangannya di Indonesia, ternak kambing lokal tidak selalu menunjukkan produktivitas yang baik dan mungkin hal tersebut disebabkan oleh mutu genetik yang rendah.

Kepentingan dalam pemenuhan kebutuhan terhadap pangan asal protein hewani (asal ternak kambing) telah mendorong para pemulia ternak untuk menciptakan galur atau rumpun dengan mutu genetik yang lebih baik dengan nilai nyata yang lebih tinggi.

Produktivitas ternak ditentukan oleh mutu genetik yang dimiliki oleh ternak dan dipengaruhi faktor lingkungan dimana ternak tersebut berada serta kemungkinan adanya interaksi antara keduanya. Peningkatan produktivitas dari segi pemuliaan ditujukan ke arah perbaikan mutu genetik melalui seleksi pada pejantan karena 50% sifat diwariskan pejantan kepada keturunannya.

Introduksi kambing unggul merupakan jawaban tantangan dimasa depan. Dengan adanya persilangan antar bangsa ternak diharapkan akan turut memperbaiki produktivitas ternak di Indonesia, tentunya dengan tetap

memperhatikan aspek pemuliaan yang sangat penting untuk perkembangan peternakan kambing di waktu mendatang.

Persilangan kambing lokal khususnya kambing telah dilakukan oleh Loka Penelitian Kambing Potong untuk meningkatkan produktivitas kambing lokal. Loka Penelitian KambingPotong telah mengembangkan program pembentukan kambing unggul melalui pendekatan perkawinan silang (cross breeding) antara pejantan Boer dengan induk Kacang. Hasil silangan kedua raskambing tersebut adalah kambing ’Boerka’ yangmemiliki potensi sebagai jenis kambing tipe pedaging yang relatif baik untuk bibit unggul kambing potong dan adaptif terhadap lingkungan tropis.

Dalam aplikasinya, informasi data tentang parameter genetik kambing Boerka (F2) sangat penting untuk menunjukan potensi genetik ternak yang diduga berdasarkan sifat fenotipe (bobot badan) sebagai upaya penentuan strategi pemuliaan di masa mendatang.

Tujuan Penelitian

Mengetahui efek heterosis, nilai heritabilitas, korelasi genetik dan nilai pemuliaankambing Boerka (F2) di Loka Penelitian Kambing Potong, Sumatera Utara.

Manfaat Penelitian

Sebagai informasi dasarstrategi pemuliaan gunameningkatkan mutu genetik kambing Boerka serta menjadi bahan rujukan yang bermanfaat untuk khalayak luas.

ABSTRAK

RINALDI, 2015: “Pendugaan Parameter Genetik Kambing Boerka (F2) Berdasarkan Bobot Lahir, Bobot Sapih dan Bobot Umur 6 Bulan di Loka Penelitian Kambing Potong Sumatera Utara. Dibimbing oleh Hamdan, S.Pt, M.Si, Usman Budi, S.Pt, M.Si dan Dr.Ir. Simon Elieser, M.Si.

Kambing Boerka (F2) memiliki potensi sebagai penghasil daging, informasi genetik sangat penting guna menentukan strategi pemuliaan di masa mendatang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai individual heterosis, heritabilitas, korelasi genetik dan nilai pemuliaan kambing Boerka (F2). Penelitian ini dilakukan di Kandang Percobaan Loka Penelitian Kambing Potong Sumatera Utara dari bulan Agustus-November 2014. Rancangan yang digunakan adalah pola tersarang (Nested Design) data tidak seimbang. Parameter yang dianalisis yaitu nilai individual heterosis, heritabilitas, korelasi genetik dan nilai pemuliaan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan bobot lahir, bobot sapih dan bobot 6 bulan masing-masing adalah 13,7%; 14,5% dan 4%. nilai heritabilitas masing-masing sifat yaitu 68%, 56% dan 53% yang tergolong tinggi. Korelasi genetik tertinggi yaitu pada bobot sapih-bobot 6 bulan dengan nilai sebesar 0,29% namun masih tergolong rendah. Nilai pemuliaan tertinggi berturut-turut pada anak jantan adalah 73015, 94059 dab 84024, 94020 dan 94043 sedangkan pada anak betina adalah 94058, 73008, 94012, 73016 dan 94043. Kata kunci : Kambing Boerka, heritabilitas, korelasi genetik, nilai pemuliaan.

ABSTRACT

RINALDI, 2015: "Estimation of Genetic Parameters Goat Boerka (F2) Based on Birth Weight, Weaning Weight and Weight of Age 6 Months Goat Research Station in North Sumatra. Guided by Hamdan, S.Pt, M.Si, Usman Budi, S.Pt, M.Si and Dr.Ir. Simon Eliezer, M.Si.

Goat Boerka (F2) has potential as a producer of meat, genetic information is essential in order to determine future breeding strategies. This study aims to determine the value of individual heterosis, heritability, genetic correlation and goat breeding value Boerka (F2). This research was conducted in the Cage Experiment Research Station Goat North Sumatra of the month from August to November 2014. This research is a nested pattern (Nested Design) un-balanced. Parameters analyzed individual value of heterosis, heritability, genetic correlation and breeding value.

The results showed that an increase in birth weight, weaning weight and weight of 6 months each is 13.7%; 14.5% and 4%. heritability of each trait is 68%, 56% and 53% which is high. Highest genetic correlation on weaning weight-weight 6 months with a value of 0.29%, but which is low. The highest breeding values in a row on a male goat is 73 015, 94 059 dab 84024, 94 020 and 94043, while the female child is 94058, 73008, 94012, 73016 and 94043.

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK KAMBING BOERKA

Dokumen terkait