LAMPIRAN
Lampiran 1. Recording kambing Boerka (F2)
24 84018 2,8 7,6 1 1 1,13 3,164 7,6 24 84018 9,4 7,6 167 180 10,13
25 84024 3 8,4 1 1 1,13 3,39 8,4 25 84024 13 8,4 173 180 13,53
26 84025 3 7,2 1 1 1,13 3,39 8,14 26 84025 9,2 7,2 180 180 9,2
27 84027 2,6 7 1 1 1,13 2,938 7,91 27 84027 9 7 170 180 9,52
Lampiran 3. Nilai Individual Heterosis terhadap Sifat Bobot Badan
No Anak
Individual Heterosis
BL BS B6
94051 0,4423077 0,0416667 -0,061584
94052 0,25 0,0677083 -0,002933
94056 0,6346154 0,171875 -0,100684
94059 0,25 0,484375 0,3489736
94002 0,1538462 0,0416667 -0,002933
94020 1,0192308 0,171875 -0,002933
73015 0,3461538 0,1979167 0,5249267
84011 0,2980769 -0,140625 -0,042033
84013 0,1538462 -0,088542 -0,120235
84018 0,3461538 -0,010417 -0,081134
84024 0,4423077 0,09375 0,3098729
84027 0,25 -0,088542 -0,102151
84025 0,4423077 -0,088542 -0,0826
94001 0,1538462 -0,140625 -0,139785
94012 0,6346154 0,171875 0,0361681
94039 0,7307692 0,0416667 -0,198436
94043 0,6346154 0,3020833 -0,06305
94058 0,25 0,5104167 0,1730205
94060 0,25 -0,036458 -0,217986
94061 0,4423077 0,0677083 -0,061584
73008 0,1538462 -0,088542 0,6911046
73009 0,0576923 -0,153646 -0,032258
73011 0,0576923 -0,114583 -0,120235
73013 -0,038462 -0,088542 0,0948192
73016 -0,038462 0,09375 0,2512219
73010 0,4423077 -0,140625 -0,178886
Lampiran 4. Analisis Ragam Berat Lahir Kambing Boerka (F2)
SK DB JK KT Fhit
FK 1
Antar pejantan (S) 2 1,0225 0,51125 7,40942 Antar induk dalam pejantan (D) 21 4,117 0,19605 2,84127 Antar anak dalam induk (W) 3 0,207 0,069
Ragam Nilai
Betina (D) 0,1126
Jantan (S) 0,03764
Anak (W) 0,069
Total ragam 0,21924
Heritabilitas (H2) = 0,6867
Lampiran 5. Analisis Ragam Bobot Sapih Kambing Boerka
SK DB JK KT Fhit
FK 1
Antar pejantan (S) 2 23,6784 11,8392 5,82953 Antar induk dalam pejantan (D) 21 33,5714 1,59864 0,78716 Antar anak dalam induk (W) 3 6,0927 2,0309
Ragam Nilai
Betina (D) -0,3888
Jantan (S) 1,19421
Anak (W) 2,0309
Total ragam 2,83631
Heritabilitas (H2
Lampiran 6. Analisis Ragam Bobot 6 bulan Kambing Boerka
SK DB JK KT Fhit
FK 1
Antar pejantan (S) 2 13,9985 6,99925 1,64644 Antar induk dalam pejantan (D) 21 100,427 4,78225 1,12493 Antar anak dalam induk (W) 3 12,7534 4,25113
Ragam Nilai
Betina (D) 0,471
Jantan (S) 2,2664
Anak (W) 2,0309
Total ragam 2,7643
Heritabilitas (H2) = 0,5306
Lampiran 7. Korelasi genetik antara BL-BS
Sifat Mean Std. Deviation N
Berat lahir 3.3067 .45568 27
Berat 6bulan 8.9719 1.54654 27
sifat Uraian Berat lahir Berat sapih
Berat lahir Pearson Correlation 1 .125
Sig. (2-tailed) .533
N 27 27
Berat sapih Pearson Correlation .125 1 Sig. (2-tailed) .533
Lampiran 8. Korelasi genetik antara BL-B6 Bulan
Sifat Mean Std. Deviation N
Berat lahir 3.3067 .45568 27
Berat 6 bulan 10.8226 2.21792 27
Correlations
sifat Uraian Berat lahir Berat 6 bulan
Berat lahir Pearson Correlation 1 -.180
Sig. (2-tailed) .370
N 27 27
Berat 6 bulan Pearson Correlation -.180 1 Sig. (2-tailed) .370
N 27 27
Lampiran 9. Korelasi genetik antara BS-B6 Bulan
Sifat Mean Std. Deviation N
Berat sapih 8.9719 1.54654 27
bulan 10.8226 2.21792 27
Correlations
Sifat Uraian Berat sapih Berat 6 bulan Berat sapi Pearson Correlation 1 .290
Sig. (2-tailed) .142
N 27 27
Berat 6 bulan Pearson Correlation .290 1 Sig. (2-tailed) .142
Lampiran 10. Nilai Pemuliaan Anak Jantan Kambing Boerka
Lampiran 11. Nilai Pemuliaan Anak Betina Kambing Boerka F2
Lampiran 12. Ranking berdasarkan indeks terhadap nilai pemuliaan
NO
No anak
Bobot badan Indeks
DAFTAR PUSTAKA
Anggorodi, R. 1990. Ilmu Makanan Ternak Umum. Gramedia, Jakarta.
Astuti, M., M.Bell, P.Sitorus and G.E.Bradford. 1984. The Impact of Altitude on Sheep and Goat Production. Working Paper no. 30. SR-CRSP/Balitnak, Bogor.
Bourdon,R.M.1997. Understanding Animal Breeding.Prentice Hall, Inc, New Jersey.
Cassady,P.L.,L.D. Yung and K.A.Leymaster. 2002. Heterosis and Rekombinant Effect on Pig Reproductive Traits. J.Anim.Sci. 20(9):2303-2315.
Dalton, D.C. 1981. An Introdution to Practical Animal Breeding. 2nd Edition. Granada Publishing Limited. London.
Dalton DC. 1984. An Introduction to Practical Animal Breeding. Granada Publishing Limited. London.
Davendra, C. And G.B.Mcleroy. 1982. Goat and Sheep Production in the Tropics. Longman Group Limited, Harlow,Esesex, UK.
Dhanda,J.S.,D.G.Taylor,P.J.Murray, R.B.Pegg and P.J. Shand. 2003. Goat Meat Production: Present Status and Future Possibilities. Asian-aust. J.Anim.Sci.16:1842-1852. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2012. Statistika Peternakan dan
Kesehatan Hewan. Livestock and Animal Helath Statistics 2012. Kementerian Pertanian.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2010. Statistika Peternakan dan Kesehatan Hewan. Kementerian Pertanian.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2008. Statistika Peternakan dan Kesehatan Hewan. Kementerian Pertanian.
Elieser.S. 2012.Performan Hasil Persilangan antara Kambing Boer dan Kacang sebagai Dasar Pembentukan Kambing Komposit. Pasca-sarjana UGM. Yogyakarta.
Elieser,S.,M.Doloksaribu,.F.Mahmilia dan F.A.Pamungkas.2006. Produktivitas Kambing Hasil Persilangan Kacang dan Pejantan Boer (Bonot Lahir, Bobot Sapih dan Mortalitas). Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Erasmus, J.A. 2000. Adaptation to various environments and resistance to disease of improved Boer goat. Small Rumin. Res. 36: 179 – 187.
Fujiatin,L.H. 2010. Korelasi.Http://statkelasbkel1.blogspot.com/2010/01.Diakses pada bulan Desember 2014.
Gatenby,M.R.1986. Sheep Production in the Tropics and Subtropics. Longmann Group Ltd, New York.
Ginting, S.P, dan F.,Mahmilia. 2008. Kambing “Boerka” Kambing Tipe Pedaging Hasil Persilangan Boer dan Kacang. Wartazoa vol 18 no.3 Tahun 2008.
Ginting,S.P.2009. Ulasan Hasil-Hasil Penelitian Kambing Potong. Prosiding Seminar Nasional dan Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbangnak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Halaman 48.
Hammond, J.R., I.L. Mason and T.J. Robinson, 1976. Hammonds Farm Animals. Edward Arnold, London.
Hardosubroto, W. 1994. Aplikasi PemuliabiakanTernak di Lapangan. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.
Kurnianto,E. 2010. Pemuliaan Ternak. Graha Ilmu : Yogyakarta.
Inounu, I., 1996. Keragaan produksi ternak domba prolifik.Disertasi. Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Legates,J.E. and E.J.Warwick. 1990.Breeding and Improvement of Farm Animal.ISBN-10:00706837X.
Lasley, 1978. Genetics of Livestock Improvement, Third Edition Printice-Hall of India Private Limited, New Delhi.
Lindsay, D.R, R.W. Enswistle dan Winantea. 1982. Reproduksi Ternak di Indonesia. Fakultas Peternakan dan Perikanan. Universitas Brawijaya. Malang.
Mahmilia, F., F.A.Pamungkas dan S.Elieser, 2014. Lama Bunting, Bobot Lahir dan Daya Hidup Prasapih Kambing Boerka-1 (50B;50K) Berdasarkan : Jenis Kelamin, Tipe Kelahiran dan Paritas. Jurnal JITV Jilid 19, Puslitbang Peternakan.
Mahmilia,F.,M.Doloksaribu dan F.A. Pamungkas. 2006.Karakteristik Semen Kambing Boer. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006. Hal 533-536.
Makka, D. 2004. Tantangan dan Peluang Pengembangan Agribisnis Kambing Ditinjau dari Aspek Perwilayahan Sentra Produksi. Lokakarya Nasional Kambing Potong. Bogor, 6 Agustus 2004. Puslitbangnak dan Loka Penelitian Kambing Potong. Hal 3-14.
Mukherjee, T.K. 1992.Improvement of Goats in the Tropics Through Genetic and Biotechnological Mtehods. In: RRLokeshwar (Ed.) Pre-Conference Proc. Plenary and Invited Lectures. V Internasional Conference on Goats. New Delhi. Indian 2-8 March 1992. Internasional Goat Association.
Noor,R.R. 2004.Genetika Ternak. Jakarta.PT. Penebar Swadaya.
Nuringati, R.2010. Estimasi Nilai Heritabilitas,Nilai Pemuliaan dan Korelasi Fenotipe Statistik Vital Sapi Hasil Persilangabn Limousin dan Madura pada Kelompojk Umur 12-14 Bulan. UNIBRAW-Malang.
Pane, I. 1993. Pemuliaan Ternak Sapi. Cetakan ke-2, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Pirchner, F. 1969. Population Genetics in Animal Breeding. W.H. Freeman and Company,
San Francisco.
Rachmawati, N.B. 2006. Heritabilitas litter size serta pengaruh pejantan pada litter size dan bobot lahir F1 Hasil Persilangan Kambing Boer Murni dan Lokal. Universitas Brawijaya.Malang
Salamena,J.F.2003. Strategi Pemuliaan Ternak Domba Pedaging di Indonesia. Institut Pertanian Bogor.Http://tumoutou.net/6_sem2.jerrysalamena.html.
Setiadi, B.,D.Priyanto dan M. Martawidjaja. 1998. Komparatif Morfologi Kambing. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Cisarua, Bogor. Hal 391-399. Subandriyo. 2004. Strategi Pemanfaatan Plasma Nutfah Kambing Lokal dan Peningkatan
Mutu Genetik Kambing di Indonesia. Lokakarya Nasional Kambing Potong, bogor 6 Agustus 2004. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Sutama, I.K. 1996. Potensi produktivitas ternak kambing di Indonesia. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Jilid I. Bogor, 7-8 Nopember 1995. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 35-50.
Takaendengan, B.J. 1998. Kemajuan genetik beberapa sifat kuantitatif domba Ekor Gemuk. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Toelihere M. 1981. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Angkasa Bandung.
Tomaszewska, M.W., J.M. Mastika, A. Djaja Negara, S. Gardier dan T.R Wiradarya, 1993. Produksi Kambing dan Domba di Indonesia. Sebelas Maret University Press, Surabaya.
Walpole, R.E. (Eds). (1995). Pengantar Statistika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Warwick,R.M.,K.R.Clarke and Suharsono. 1990. A Statistical Analysis of Coral Comunity
Responses to the 1982-83 El nino in the Thaousand Islands, Indonesia.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Tempatdan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di kandang percobaan Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih Kecamatan Galang Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara. Penelitian dilakukan mulai bulan Agustus-November 2014.
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari pengamatan langsung (penimbangan berat badan) sedangkan data sekunder (nomor dan bangsa tetua, bobot induk kawin dan melahirkan, tanggal kawin, tanggal lahir, nomor anak, jenis kelamin dan tipe kelahiran) diperoleh dari catatan atau recording kambing Boerka.
Materi penelitian adalah anak kambing Boerka generasi ke-2 (50B:50K) sebanyak 27 ekor anak yang berasal dari perkawinan antar generasi pertama (F1) sebanyak 3 ekor pejantan dan 24 ekor betina.
Alat
Metode Penelitian
Manajemen pemeliharaan kambing Boerka
Anak kambing umur (0-3 bulan) dipelihara bersamaan dengan induk secara intensif dikandang kelompok tipe panggung. Penimbangan bobot badan dilakukan setiap 1 bulan sesuai tanggal kelahiran masing-masing. Anak diberi marker atau penanda di bagian telinga pada umur ± 2 bulan untuk kebutuhan
pendataan.
Kambing umur lepas sapih dan 6 bulan dipelihara secara kelompok dikandang tipe panggung secara semi intensif. Penimbangan bobot badan dilakukan setiap 3 bulan. Ternak digembalakan pukul 10.00-16.00 WIB dan diberikan pakan tambahan berupa konsentrat dan leguminosa pohon (Indigofera sp.) sebelum penggembalaan.
Parameter penelitian
1. Sifat kuantitatif
a. Bobotlahir
Adalah bobot cempe yang baru lahir ditimbang tidak melebihi 24 jam. b. Bobot sapih
Adalah bobot pada saat anak tidak diberi susu (umur 90hari). c. Bobot 6 bulan (180 hari)
Rumus faktor koreksi menurut Hardjosubroto (1994) sebagai berikut : Tabel 5. Faktor koreksi jenis kelamin
Jenis kelamin Faktor koreksi
Jantan 1.00
Tabel 6 . Faktor koreksi tipe kelahiran
Tipe kelahiran Tipe pemeliharaan Faktor koreksi
Kembar Kembar 1.15
Kembar Tunggal 1.10
Tunggal Tunggal 1.00
Tabel 7. Faktor koreksi umur induk
Umur induk saat melahirkan (tahun) Faktor koreksi
1 1.21
Rumus bobot badan terkoreksi menurut (Warwick et al., 1995) adalah : BLT = BL x FKJKBLx FKTKBL
B90T = BS90 harix FKJK90x FKTK90 B180T = Bobot 180harix FKJK180x FKTK180
Keterangan :
BLT = Bobotlahir terkoreksi (kg)
B90T = Bobot sapih terkoreksi (kg)
FKJK = Faktor koreksi jenis kelamin FKTK = Faktor koreksi tipe kelahiran
2. Efek heterosis
Keterangan :
EIH = effect individual heterosis AA = rata-rata performa bangsa A BB = rata-rata performa bangsa B AB = rata-rata performa persilangan
3. Estimasi nilai heritabilitas (h2)
Pendugaan heritabilitas menggunakan metode rancangan tersarang (nested
design) un-balanced dengan metode matematika sebagai berikut:
Y
ijk= μ + α
i+
βij+ ε
ijKeterangan :
Yij = Nilai pengamatan (pengukuran anak ke-k dari induk ke-j yang dikawini pejantan ke-i μ = Rata-rata sifat yang diukur sesungguhnya
αi = Nilai pengamatan pejantan ke i
βij = Pengaruh induk ke-j yang dikawini pejantan ke-i
εij = Residu (pengaruh lingkungan dan simpangan genetik yang tidak terkontrol)
Nilai pendugaan heritabilitas dari menurut Kurnianto (2010) sebagai berikut :
h2S = Heritabilitas pejantan h2D = Heritabilitas induk
4. Estimasi korelasi genetik (rG)
Sumber
Jumlah hasil kali (JHK) Hasil kali rata-rata
5. Estimasi nilai pemuliaan (Estimated breeding value)
Menurut Kurnianto (2010), nilai pemuliaan dapat ditaksir dengan menggunakan satu catatan produksi dari 1 individu, yaitu :
EBV = h2(�– ��) Keterangan :
EBV = Estimated breeding value
h2 = Nilai heritabilitas sebagai pembobot
P = Produksi dari catatan tunggal ternak yang sedang dihitung NP nya P = Rata-rata produksi dari ternak pembanding
Analisis data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bobot badan standarisasi
Hasil koreksi bobot badan dengan nilai koefisien keragaman kambing Boerka F2 disajikan pada tabel berikut.
Tabel 8. Perbandingan bobot badan nyata dan terkoreksi
Variabel x ± sb (kg) KK (%) KK = koefisien keragaman
Gambar 3.Perbandingan nilai rataan bobot kambing Boerka (F2)
Koreksi terhadap jenis kelamin, tipe kelahiran dan umur induk menunjukkan bahwa bobot badan terkoreksi lebih besar dibandingkan bobot badan nyata (Tabel 8). Hal ini menunjukkan keragaman data setelah dikoreksi lebih tinggi dibandingkan tidak dikoreksi. Menurut Davendra dan Burn (1994) tujuan koreksi data adalah untuk mengurangi pengaruh keragaman data yang disebabkan oleh faktor lingkungan. Variasi yang tinggi akan berpengaruh
0
Bobot lahir Bobot sapih Bobot 6 bulan
terhadap nilai parameter genetik. Sehingga proses seleksi bersifat fair yang bebas dari pengaruh (Kurnianto et al., 2011).
Hasil analisis statistik pada koefisien keragaman (KK) sebagaimana disajikan pada Tabel 8, dapat dikemukakan bahwa nilai keragaman dari masing-masing sifat bervariasi. Keragaman pada sifat terkoreksi bobot lahir, bobot sapih dan bobot 6 bulan masing-masing adalah 14%, 17% dan 20%. Keragaman bobot 6 bulan lebih besar dibandingkan bobot lainnya. Menurut Noor (1995) keragaman fenotip yang timbul dapat disebabkan oleh adanya keragaman genetik dan keragaman lingkungan.
Bobot lahir
Tabel 9. Rataan bobot lahir Boerka berdasarkan jenis kelamin dan tipe kelahiran.
Uraian Bobot lahir (kg)
Jenis kelamin
- Jantan 2,88 ± 0,48
- Betina 2,66 ± 0,53
Tipe Kelahiran
- Tunggal 2,83 ± 0,58 - Kembar dua 2,63 ± 0,37
Hasil analisis terhadap bobot lahir sebagaimana pada Tabel 9, yaitu pada anak jantan (2,88 ± 0,48 kg) dan betina (2,66 ± 0,53 kg) lebih besar dibandingkan penelitian Mahmilia et al. (2014) yaitu sebesar (2,21 ± 0,51 kg) pada jantan dan (2,01 ± 0,52 kg) untuk betina dan penelitian Elieser et al. (2006) masing-masing pada jantan dan betina yaitu : (2,49 ± 0,69 kg) dan (2,24 ± 0,53 kg).
selama pertumbuhan prenatal, plasenta jantan lebih besar jika dibandingkan dengan betina. Dengan demikian kesempatan fetus jantan untuk memperoleh zat makanan cukup banyak jika dibandingkan dengan yang betina.
Pada Tabel 9, anak kambing dengan kelahiran tunggal memiliki bobot lahir yang tinggi dibandingkan dengan kelahiran kembar dengan nilai masing-masing adalah (2,83 ± 0,58) dan (2,63± 0,37) kg. Nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan penelitian Elieser et al.(2006) yang melaporkan bahwa rataan bobot lahir kambing Boerka F1 berdasarkan kelahiran tunggal dan kembar masing masing adalah (2,43±0,07) dan (2,12±0,11) kg. Menurut Lindsay (1982), anak kambing yang dilahirkan dengan tipe kelahiran tunggal memiliki bobot lahir yang lebih besar, hal ini disebabkan zat makanan yang diperoleh fetus dari induk yang memiliki anak tunggal lebih banyak dibandingkan anak kembar. Ramsey et al (1994) menambahkan bahwa semakin banyak anak yang dihasilkan per kelahiran maka semakin ringan rataan bobot lahir anak yang dicapai.
Bobot sapih
Tabel 10. Rataan bobot sapih Boerka berdasarkan jenis kelamin dan tipe kelahiran.
Uraian Bobot Sapih (kg)
Jenis kelamin
- Jantan 8,18 ± 1,29
- Betina 7,83 ± 1,52
Tipe Kelahiran
- Tunggal 7,96 ± 1,36
- Kembar dua 7,93 ± 2,93
(2005) dengan kisaran (9-15 kg) untuk jantan dan (8-12 kg) pada betina. Hal ini dapat disebabkan pengaruh nutrisi induk sehingga mengurangi kemampuan anak untuk pertumbuhan. Bobot sapih banyak dipengaruhi oleh bobot lahir, banyaknya
susu induk, jenis kelamin, dan banyaknya anak dalam satu kelahiran (Lasley, 1978).
Anak dengan tipe kelahiran tunggal memiliki berat sapih yang lebih tinggi dibandingkan tipe kelahiran kembar. Pada penelitian ini masing-masing rataan berat tersebut adalah (7,96 ± 1,36 kg) pada kelahiran tunggal dan (7,93 ± 2,93 kg) untuk kelahiran kembar. Hal ini disebabkan persaingan nutrisi (air susu induk) pada anak kembar lebih tinggi dibanding anak tunggal. Disisi lain umur induk juga berpengaruh terhadap sifat asuh anak dan kuantitas air susu induk. produksi susu pada induk-induk yang lebih muda 30 % lebih rendah dibandingkan dengan induk yang lebih dewasa (Hardjosubroto, 1994) dan induk muda umumnya memiliki sifat keindukan yang relatif lemah (Inounu et al., 1995).
Bobot umur 6 bulan
Tabel 11. Rataan bobot 6 bulan Boerka berdasarkan jenis kelamin.
Uraian Bobot 6 bulan (kg)
- Jantan 10,7 ± 2,15
- Betina 10,2 ± 2,53
Perbedaan ini dapat disebabkan jumlah data dan waktu penelitian yang berbeda serta kesempatan tumbuh pra sapih yang kurang baik. Faktor bobot lahir serta laju pertumbuhan pra sapih merupakan variabel yang menentukan tingginya bobot pasca sapih (Mcgregor, 1985).
Efek heterosis
Tabel 12. Rataan nilai efek heterosis masing-masing bobot Boerka (F2) Sifat Individual heterosis (%)
Bobot lahir 33
Bobot sapih 4 Bobot 6 bulan 2
Nilai koefisien heterosis semua sifat bernilai positif dengan nilai bobot lahir, bobot sapih dan bobot 6 bulan masing-masing disajikan pada Tabel 12. Rataan heterosis semua sifat bernilai positif, artinya anak kambing Boerka (F2) memiliki bobot lahir, bobot sapih dan bobot 6 bulan yang lebih besar dibandingkan kedua tetuanya yaitu sebesar 33%, 4% dan 2%. Efek heterosis positif yaitu rata-rata penampilan suatu karakter keturunan hasil persilangan melebihi rata-rata penampilan kedua tetuanya (Cassady et al., 2002).
Hasil analisis terhadap efek heterosis sebagaimana pada Tabel 12, nilai heterosis bobot 6 bulan sebesar 2%, lebih rendah dibandingkan bobot lahir dan bobot sapih. Rendahnya nilai heterosis tersebut diduga akibat keragaman bobot 6 bulan lebih besar dibanding bobot lahir dan sapih.
Estimasi Nilai Heritabilitas
Tabel 13. Nilai heritabilitas dan simpangan baku kambing Boerka (F2) Sifat produksi Jumlah pejantan
(ekor)
Jumlah anak (ekor)
Nilai heritabilitas (h2)
Bobot lahir 3 27 0,68
Bobot sapih 3 27 0,57
Hasil analisis statistik sebagaimana disajikan pada Tabel 13, nilai pewarisan sifat tetua terhadap keturunannya untuk bobot lahir, bobot sapih dan bobot 6 bulan berturut-turut adalah 68%, 57% dan 53%. Nilai heritabilitas ini lebih tinggi dibandingkan penelitian Sumadi et al. (2009) sebesar 32,7% pada bobot sapih dan 42,5% untuk bobot 6 bulan. Kurnianto (2009) menyatakan bahwa faktor-faktor yang membedakan nilai heritabilitas suatu sifat diantaranya: pada periode waktu yang berbeda, sifat suatu bangsa, metode yang digunakan dalam pendugaan, jumlah dan asal data yang berbeda.
Angka pewarisan ketiga sifat tersebut tergolong tinggi sehingga layak untuk dijadikan acuan program seleksi. Nilai heritabilitas dikatakan tinggi jika lebih dari 0,3 (Dalton, 1984). Suatu sifat jika memiliki nilai heritabilitas yang tinggi, apabila digunakan untuk seleksi maka akan menunjukkan respon seleksi yang tinggi. Tetapi pada angka pewarisan rendah, belum tentu keturunan akan mempunyai keunggulan dalam sifat tersebut karena keunggulan dari ternak tersebut sebagian besar disebabkan oleh faktor lingkungan (Hardjosubroto, 1994).
Nilai heritabilitas yang tinggi pada semua sifat bobot (Tabel 13) memberi
pengertian bahwa kontribusi keragaman gen aditif lebih besar dibandingkan gen
non-aditif terhadap fenotipe ternak. Pengaruh gen aditif yang lebih besar
menyebabkan nilai heritabilitas yang dihasilkan lebih tinggi. Harapan untuk
mendapatkan kemajuan atau perbaikan mutu genetik relatif cepat (Takaendengan,
Korelasi genetik
Tabel 14. Estimasi korelasi genetik sifat kuantitatif
Sifat N Nilai korelasi genetik
Bobot lahir-Bobot Sapih 27 0,12 Bobot lahir-Bobot 6 bulan 27 -0,18 Bobot sapih-Bobot 6 bulan 27 0,29
Berdasarkan Tabel 14, nilai korelasi antara bobot sapih-bobot 6 bulan yaitu sebesar 0,29%; lebih tinggi dibandingkan korelasi bobot lahir-bobot sapih dan bobot lahir-bobot 6 bulan masing-masing adalah 0,12% dan -0,18%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara bobot lahir-bobot sapih yaitu sebesar 12%. Hubungan tersebut masih tergolong sangat lemah. Menurut Dalton (1981) jika dilakukan seleksi terhadap nilai korelasi yang rendah berarti akan memberikan respon peningkatan yang lemah Kriteria hubungan dari suatu korelasi apabila (0<K<0,25) maka terdapat hubungan yang sangat lemah (Fujiatin, 2010).
Korelasi genetik antara bobot lahir-bobot 6 bulan memiliki hubungan negatif sebesar -0,18%. Artinya, setiap peningkatan 1 satuan bobot lahir akan menurunkan bobot badan 6 bulan sebesar 0,18% . Menurut Lasley (1978) nilai korelasi rendah menunjukkan bahwa gen yang mempengaruhi kedua sifat tersebut masih sangat sedikit sekali dan tidak dapat dipakai sebagai tolok ukur program seleksi (Hakim, 1983).
Nilai pemuliaan (Estemated breeding value)
Gambar 3 dan 4 menunjukkan diagram batang nilai pemulian bobot lahir, bobot sapih dan bobot 6 bulan dari 13 ekor anak jantan dan 14 ekor anak betina kambing Boerka (F2) yang dievaluasi. Nilai pemuliaan positif berada diatas rata-rata kelompok, sedangkan nilai pemuliaan negatif berada dibawah rata-rata-rata-rata kelompok.
Gambar 3. Nilai pemuliaan anak jantan Boerka (F2) berdasarkan bobot badan. Anak jantan yang memiliki nilai pemuliaan bobot lahir diatas rata-rata populasi sebanyak 38,4% atau 5 ekor yaitu : 94051, 94056, 94020, 84024 dan 84025. Pada bobot sapih sebanyak 5 ekor dengan nomor individu yaitu : 94056, 94059, 94020, 73015 dan 84024. Sedangkan pada bobot 6 bulan hanyak sebanyak 23% (3 ekor) dari populasi yaitu : 94059, 73015 dan 84024. Menurut Hardjosubroto (1994) apabila seekor ternak telah diketahui nilai pemuliaannya, apabila pejantan tersebut dikawinkan dengan induk secara acak pada populasi
normal maka rerata performans keturunannya kelak akan menunjukkan keunggulan terhadap performans populasinya.
Gambar 4. Nilai pemuliaan anak jantan Boerka (F2) berdasarkan bobot badan. Anak betina yang memiliki nilai pemuliaan bobot lahir, bobot sapih dan bobot 6 bulan yaitu sebanyak 35,7% (5 ekor) untuk setiap sifat dan memiliki nilai diatas rata-rata populasi dengan nomor individu berturut-turut adalah : (94012, 94039, 94043, 94061 dan 73010), (94012, 94043, 94058, 94061 dan 73016) dan (94012, 94058, 73008, 73013 dan 73016). Dengan membuat peringkat keunggulan nilai pemuliaan pada sekelompok ternak, seleksi dapat dilakukan dengan memilih ternak pada peringkat utama, yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan (Martojo, 1992).
Gambar 1 dan 2 menunjukkan bahwa hanya ada 2 individu yang memiliki nilai pemuliaan terbaik untuk semua sifat bobot badan yaitu : (84024) dan (94012). Pemberian nilai indeks terhadap masing-masing sifat bertujuan untuk
menentukan peringkat unggulan anak kambing (jantan dan betina) yang terbaik dari populasi sebagaimana disajikan pada tabel berikut.
Tabel 15. Ranking anak jantan berdasarkan indeks terhadap semua sifat bobot No Individu Total nilai indeks Peringkat keunggulan
73015 880,8 1
94059 877,6 2
84024 772,8 3
94020 753,6 4
94056 693,2 5
Tabel 16. Ranking anak betina berdasarkan indeks terhadap semua sifat bobot No Individu Total nilai indeks Peringkat keunggulan
94058 830 1
73008 825,2 2
94012 747,2 3
73016 734,8 4
94043 731,2 5
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Nilai heritabilitas bobot lahir, bobot sapih dan bobot 6 bulan tergolong tinggi. Namun korelasi genetik antar sifat masih tergolong sangat lemah dan sedang.
Program seleksi dapat diandalkan sebagai upaya peningkatan produktivitas kambing Boerka (F2) dengan pemilihan anak unggul berdasarkan ranking pemuliaan.
Saran
TINJAUAN PUSTAKA
Asal dan Klasifikasi Ternak Kambing
Kingdom : Animalia Bangsa : Caprini Famili : Bovidae Subfamili :Caprinae Ordo : Artiodactyla Subordo : Ruminansia Genus : Capra Spesies : Capra sp. (Davendra dan McLeroy, 1982).
Diperkirakan ada sebanyak 102 bangsa kambing yang menyebar di seluruh dunia dengan hidup yang sangat beragam dari yang terkecil antara 9 sampai 13 kg sampai terbesar melebihi 100 kg (Dhanda et al., 2003). Di Indonesia paling tidak dilaporkan terdapat 13 jenis kambing baik asli maupun introduksi yang menyebar hampir di seluruh kepulauan, dengansentra populasi utama adalah Jawa (57%), Sumatera (25%), Sulawesi (7,4%) dan kepulauan Nusa Tenggara (NTT dan NTB) (6,1%) (Makka, 2004).
Populasi kambing di Indonesia
Ternak kambing merupakan ruminansia kecil yang dalam kehidupannya sehari-hari dekat hubungannya dengan peternak kecil di pedesaan, keberadaan ternak kambing ditengah-tengah masyarakat kecil sangat membantu perekonomian. Selain itu, secara biologis ternak kambing cukup produktif dan mudah beradaptasi dengan berbagai kondisi lingkungan di Indonesia, mudah pemeliharaannya, sehingga mudah dalam pengembangannya (Sutama, 2005).
Dari total populasi kambing sekitar 14 juta ekor (DITJENNAK, 2007), kambing Kacang merupakan jenis kambing dengan populasi terbanyak (83%). Jenis kambing ini memiliki bobot hidup dan kapasitas tumbuh yang rendah dan lebih merupakan jenis kambing dengan tipe prolifik (Astuti et al., 1984).
Dengan demikian, ras kambing dengan populasi terbesar yang terdapat di Indonesia pada dasarnya bukanlah merupakan bangsa kambing yang memiliki karakter ideal sebagai penghasil daging, jika dilihat dari aspek kapasitas laju
tumbuh, ukuran serta konformasi bobot hidup, serta persentase karkas (Ginting dan Fera, 2008).
Secara nasional untuk populasi ternak kecil pada tahun 2011 mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan populasi pada tahun 2010 yaitu: kambing 16,95 juta ekor (peningkatan 1,97%), domba 11,79 juta ekor (peningkatan 9,93%), babi 7,52 juta ekor (peningkatan 0,64%) (DITJENNAK, 2010).
Tabel 1. Populasi ternak ruminansia di Indonesia
No Jenis ternak Populasi (000 ekor)
2008 2009 2010 2011 2012 1 Sapi potong 12.257 12.760 13.582 14.824 16.034
2 Sapi perah 458 475 488 597 622
5 Domba 9.605 10.199 10.725 11.791 12.768 Sumber : DITJENNAK, 2012.
Tabel 2. Populasi ternak kambing di Sumatera Utara Tahun Populasi (ekor)
Sumatera Utara Nasional
2008 618.394 15.147.432
2009 619.941 15.815.317
2010 653.101 16.619.599
2011 762.180 16.946.186
2012 771.326 17.862.203
Sumber : DITJENNAK, 2012.
Cross breeding (kawin silang)
Persilangan (crossbreeding) saat ini masih merupakan salah satu metode yang relevan dilakukan dalam rangka memperbaiki potensi genetik suatu rumpun ternak, termasuk kambing (Mukherjee, 1992).
Persilangan kambing Boer yang merupakan salah satu jenis kambing penghasil daging terbaik dengan kambing lokal (Kacang)diharapkan akan menghasilkan jenis kambing dengan genotif baru yang memiliki ciri kambing pedaging yang lebih baik dibanding kambing lokal (Erasmus, 2000).
Secara teknis persilangan dilakukan dengan maksud : penggabungan beberapa sifat yang semula terdapat pada dua bangsa yang berbeda ke dalam satu bangsa silangan, pembentukan bangsa baru, grading up dan pemanfaatan heterosis (Hardjosubroto, 1994).
Untuk kondisi Indonesia, pada umumnya kambing mempunyai potensi reproduksi yang sangat baik, maka introduksi melalui persilangan akan lebih baik, karena akan menggabungkan sifat adaptabilitas dan keunggulan genetik sifat pertumbuhan rumpun yang diintroduksi (Setiadi et al., 1998).
Program persilangan antara kambing Boer dengan kambing Kacang bertujuan untuk menghasilkan genotipe baru (kambing Boerka) yang memiliki kapasitas tumbuh dan bobot tubuh yang lebih besar dibandingkan kambing Kacang, namun relatif adaptif dengan kondisi tropis-basah (Ginting, 2009).
Gambar 1.Skematis cara perkawinan untuk menghasilkan berbagai komposisi darah kambing persilangan Sumber : Elieser, 2012.
JANTAN BOER BETINAKACANG
JANTAN BOER JANTAN KACANG
Karakteristik kambing Boerka
Kambing Boerka adalah kambing hasil persilangan antara pejantan Boer dengan induk Kacang. Kambing hasil persilangan ini memiliki kemampuan tumbuh dan penambahan bobot tubuh yang lebih baik dibandingkan kambing kacang. Sifat baik lainnya, kambing Boerka mampu beradaptasi dengan kondisi tropik-basah dengan input produksi (pakan) yang moderat atau sedang (Ginting, 2008).
Dibandingkan kambing Kacang, kambing Boerka merupakan ternak yang potensial untuk dikembangkan karena memiliki keunggulan antara lain : memiliki kadar lemak rendah 0,15-0,5%, proporsi karkas 46% dan kadar protein daging 19-22% (Triyantini et al., 2002).
Tabel 3. Bobot lahir kambing Boerka (F1) berdasarkan jenis kelamin dan tipe kelahiran
Uraian Bobot lahir (kg) Jenis kelamin Sumber : Mahmilia et al., 2014.
Tabel 4. Bobot sapih kambing Boerka berdasarkan jenis kelamin
Uraian Bobot sapih (kg)
Jenis kelamin - Jantan - Betina
Laju petumbuhan kambing Boerka
Laju pertumbuhan setelah disapih ditentukan oleh beberapa faktor antara lain potensi pertumbuhan dari masing-masing individu ternak dan pakan yang tersedia (Cole, 1982). Potensi pertumbuhan dalam periode ini dipengaruhi oleh faktor bangsa dan jenis kelamin. Pola pertumbuhan ternak tergantung pada sistem manajemen yang dipakai, tingkat nutrisi yang tersedia, kesehatan dan iklim.. (Tomaszewska et al., 1993).
Dalam masa pertumbuhan ada dua hal yang terjadi yaitu adanya kenaikan bobot badan atau komponen tubuh sampai mencapai ukuran dewasa yang disebut pertumbuhan dan adanya perubahan bentuk konformasi disebabkan oleh perbedaan laju pertumbuhan jaringan atau bagian tubuh yang berbeda dengan proses perkembangan, proses penggemukan termasuk ke dalam perkembangan (Hammond et al., 1976).
Pertumbuhan biasanya mulai perlahan - lahan kemudian berlangsung lebih cepat dan akhirnya perlahan - lahan lagi atau sama sekali terhenti. Tahap cepat pertumbuhan terjadi pada saat kedewasaan tubuh hampir tercapai (Anggorodi, 1990).
Sifat kuantitatif
Setiap individu mempunyai kemampuan genetik tersendiri untuk sifat-sifat yang dimiliknya, kecuali kembar identik. Dari sejumlah individu dalam populasi yang ada terdapat keragaman atas setiap sifat yag ada. Keragaman genetik ini merupakan dasar analisis pemuliaan ternak. Dalam aplikasinya, keragaman menjadi dasar seleksi jika keragaman relatif besar. Sebaliknya, keragaman menjadi dasar persilangan jika nilanya kecil (Kurnianto, 2010).
Pada ternak terdapat dua sifat, yaitu sifat kuantitatif dan kualitatif. Sifat kuantitatif memiliki nilai ekonomis tinggi, sehingga sifat ini lebih penting diperhatikan pada program pemuliaan ternak dibanding sifat kualitatif. Ciri-ciri sifat kuantitatif adalah : Dapat diukur atau ditimbang, Fenotipe sifat kuantitatif dipengaruhi banyak pasangan gen, Penampilan sifat kuantitatif dipengaruhi faktor lingkungan (Kurnianto, 2010).
Bobot lahir
Bobot lahir adalah bobot saat dilahirkan atau bobot hasil penimbangan dalam kurun waktu 24 jam setelah dilahirkan (Hardjosubroto, 1994). Bobot lahir merupakan faktor yang menentukan bagi kelangsungan usaha peternakan, karena bobot lahir berkorelasi positif dengan kelangsungan hidup dan perkembangan ternak setelah lahir (Gatenby, 1986).
Tipe kelahiran mempengaruhi bobot lahir. Bobot lahir pada kelahiran tunggal lebih besar dibandingkan kelahiran kembar. Hal tersebut disebabkan karena terbatasnya volume uterus induk, sehingga bila dalam uterus terdapat lebih dari satu fetus maka calon anak tersebut pertumbuhannya akan terganggu karena harus berdesakan dalam uterus yang sempit (Ningsih, 1986).
Bobot sapih
Bobot sapih adalah bobot pada saat anak dipisahkan dari induknya. Bobot sapih merupakan indikator dari kemampuan induk untuk menghasilkan susu dan kemampuan anak untuk mendapatkan susu dan tumbuh (Hardjosubroto, 1994).
Faktor-faktor yang mempengaruhi bobot sapih diantaranya adalah : jumlah anak sekelahiran, bobot lahir dan jenis kelamin. Jumlah anak sekelahiran yang semakin sedikit menyebabkan bobot lahir anak semakin berat, sehingga akhirnya didapat bobot sapih yang tinggi (Fraser dan Stamp, 1986) dan umur sapih serta produksi susu induk (Davendra, 1994). Hal ini dikarenakan terbatasnya produksi susu induk, sehingga apabila induk memiliki anak kembar maka jumlah susu induk harus dibagi-bagi (Subandryo, 2004).
Bobot pasca-sapih
Laju pertumbuhan pada ras kambing tipe besar umumnya akan lebih tinggi dibandingkan pada ras tipekecil. Penggunaan pejantan Boer yang merupakan ras kambing tipe besar merupakan kontributor utama terhadap tingginya laju pertumbuhan kambing Boerka (Mcgregor, 1985).
laju pertumbuhan anak sangat ditentukan oleh kapasitas ukuran tubuh dewasa baik pejantan maupun induk (Mcgregor, 1985).
Efek heterosis
Dalam persilangan antar spesies akan muncul heterosis dari suatu karakter akibat dari heterogenetik. Heterogenetik tersebut adalah pertemuan antara berbagai gen yang mengontrol bermacam-macam sifat dalam menumbuhkan karakter, baik karakter kualitatif maupun kuantitatif. Sifat gen dominan, over dominan dan epistasis merupakan sifat genetik non aditif yang lebih nampak pengaruhnya terhadap timbulnya efek heterosis. Efek heterosis positif yaitu rata-rata penampilan suatu karakter keturunan hasil persilangan melebihi rata-rata-rata-rata penampilan kedua tetuanya, sedang efek heterosis negatif adalah rata-rata penampilan suatu karakter keturunan hasil persilangan yang lebih rendah dari rata-rata penampilan kedua tetuanya (Cassady et al., 2002).
Heterosis (hybrid vigor) dibedakan menjadi dua, yaitu individual heterosis (IH) dan maternal heterosis (MH). Istilah IH digunakan pada persilangan antara dua bangsa, didefinisikan sebagai perbedaan penampilan antara individu-individu hasil persilangan (crossbreed) dengan rataaan penampilan bangsa tetuanya (purebreed). Efek IH dipresentasikan dalam satuan unit dan persen (Kurnianto, 2010).
mengawinkan betina hasil crossbred dengan pejantan dari bangsa yang lain untuk menghasilkan keturunan yang crossbred (Hariyanan, 2010).
Parameter genetik
Keragaman dan mutu genetik sifat-sifat yang merupakan potensi genetik individu-individu dalam suatu populasi akan tercermin pada nilai parameter genetiknya meliputi nilai heritabilitas, repitabilitas, korelasi genetik, nilai pemuliaaan (Hardjosubroto, 1994).
Heritabilitas
Pengetahuan tentang heritabilitas penting dalam mengembangkan seleksi dan rencana perkawinan untuk meningkatkan mutu ternak. Heritabilitas dapat membantu dalam menduga nilai pemuliaan ternak, mengestimasi perubahan genetik setelah dilakukan seleksi dan menetukan bentuk seleksi yang akan dilakukan. Jika heritabilitas tinggi maka diterapkan seleksi fenotip dan jika heritabilitas rendah maka seleksi fenotipe menjadi kurang efektif sehingga seleksi dilakukan dengan memanfaatkan informasi kerabat (Bourdon, 1997).
Heritabilitas bukan merupakan nilai konstan, dengan klasifikasi (0-0,1) rendah, (0,1-0,3) sedang dan lebih dari (>0,3) termasuk tinggi (Dalton, 1980).
Dalam menduga heritabilitas kadang-kadang menghasilkan taksiran yang terletak diluar kisaran normalnya yaitu negatif atau lebih dari satu. Hal ini diduga karena jumlah data yang terbatas (Hardjosubroto, 1994).
tidak dapat memisahkan ragam genetik dan lingkungan dengan efektif dan kesalahan mengambil contoh (Warwick et al., 1984).
Nilai heritabiltas pada satu sifat tidak tetap, faktor-faktor yang mempengaruhi diantaranya : nilai heritabiltas dari data yang diambil pada periode waktu yang berbeda, nilai heritabilitas suatu sifat antara satu bangsa dengan bangsa lain dapat berbeda meskipun dari wilayah dan jumlah yang sama, metode yang digunakan dalam pendugaan dan jumlah dan asal data yang berbeda (Kurnianto, 2010).
Korelasi genetik
Analisis korelasi adalah suatu metode yang digunakan untuk mengetahui sejauh mana tingkat hubungan antara dua sifat yang dibandingkan melalui sebuah bilangan yang biasa disebut koefisien korelasi (Walpole, 1995).
Hubungan korelatif antara dua sifat dapat dibedakan menjadi tiga yaitu : korelasi genetik, fenotipe dan lingkungan. Korelasi genetik adalah korelasi antara nilai pemuliaan aditif dari dua sifat atau diantara jumlah pengaruh aditif dari gen-gen yang mempengaruhi kedua sifat tertentu (Legates and Warwick, 1990).
Besar dan tanda korelasi genetik dapat digunakan untuk memperkirakan besarnya perubahan pada generasi berikutnya apabila digunakan sebagai kriteria seleksi. Cara yang paling mudah untuk menghitung korelasi genetik antara dua sifat adalah melalui percobaan seleksi dalam suatu populasi untuk mengamati sifat-sifat tunggal dan mengamati perubahan yang terjadi sebagai tanggapan korelasi sifat yang lain (Warwick et al., 1985).
lainnya juga ikut meningkat, sebaliknya pada korelasi negatif. Nilai korelasi fenotipe bermanfaat untuk memperkirakan besarnya perubahan-perubahan produktivitas pada generasi yang sama apabila digunakan sebagai kriteria seleksi berdasarkan catatan produktivitas sekarang (Warwick et al., 1985).
Kriteria hubungan dari suatu korelasi yaitu : (K=0) tidak ada korelasi antara 2 variabel, (0<K<0,25) korelasi sangat lemah, (0,25<K<0,5) korelasi cukup, (0,5<K<0,75) korelasi kuat, (0,75<K<0,90) korelasi sangat kuat dan (K=1) korelasi sempurna (Fujiatin, 2010).
Estimasi nilai pemuliaan (breeding value)
Nilai pemuliaan atau breeding value adalah penilaian dari mutu genetik ternak untuk suatu sifat tertentu yang diberikan secara relatif atas dasar kedudukannya dalam populasi (Hardjosubroto, 1994).
Ternak yang unggul adalah ternak yang memiliki nilai pemuliaan diatas rata-rata populasi. Pendugaan nilai pemuliaan merupakan salah satu penting dalam mengevaluasi keunggulan genetik ternak, terutama untuk ternak-ternak yang akan digunakan sebagai bibit (Nuringati, 2010).
Empat sumber informasi untuk mengestimasi nilai pemuliaan, yaitu : 1. Fenotipe ternak itu sendiri, hubungan antara fenotipe dengan nilai pemuliaanya
keturunannya, 4. Saudara kolateral, yang meliputi saudara tiri dan saudara kandung (Kurnianto, 2010).
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ternak lokal atau asli Indonesia seperti kambing merupakan kekayaan negeri yang cukup penting kedudukannya, baik dilihat dari hasil produknya sebagai sumber protein hewani maupun sebagai sumber pendapatan bagi masyarakat.
Food Agriculture Organization (FAO) memperkirakan negara-negara
berkembang (termasuk Indonesia) akan mengalami peningkatan konsumsi daging dua kali lebih besar ditahun 2030. Namun dalam perkembangannya di Indonesia, ternak kambing lokal tidak selalu menunjukkan produktivitas yang baik dan mungkin hal tersebut disebabkan oleh mutu genetik yang rendah.
Kepentingan dalam pemenuhan kebutuhan terhadap pangan asal protein hewani (asal ternak kambing) telah mendorong para pemulia ternak untuk menciptakan galur atau rumpun dengan mutu genetik yang lebih baik dengan nilai nyata yang lebih tinggi.
Produktivitas ternak ditentukan oleh mutu genetik yang dimiliki oleh ternak dan dipengaruhi faktor lingkungan dimana ternak tersebut berada serta kemungkinan adanya interaksi antara keduanya. Peningkatan produktivitas dari segi pemuliaan ditujukan ke arah perbaikan mutu genetik melalui seleksi pada pejantan karena 50% sifat diwariskan pejantan kepada keturunannya.
memperhatikan aspek pemuliaan yang sangat penting untuk perkembangan peternakan kambing di waktu mendatang.
Persilangan kambing lokal khususnya kambing telah dilakukan oleh Loka Penelitian Kambing Potong untuk meningkatkan produktivitas kambing lokal. Loka Penelitian KambingPotong telah mengembangkan program pembentukan kambing unggul melalui pendekatan perkawinan silang (cross breeding) antara pejantan Boer dengan induk Kacang. Hasil silangan kedua raskambing tersebut adalah kambing ’Boerka’ yangmemiliki potensi sebagai jenis kambing tipe pedaging yang relatif baik untuk bibit unggul kambing potong dan adaptif terhadap lingkungan tropis.
Dalam aplikasinya, informasi data tentang parameter genetik kambing Boerka (F2) sangat penting untuk menunjukan potensi genetik ternak yang diduga berdasarkan sifat fenotipe (bobot badan) sebagai upaya penentuan strategi pemuliaan di masa mendatang.
Tujuan Penelitian
Mengetahui efek heterosis, nilai heritabilitas, korelasi genetik dan nilai
pemuliaankambing Boerka (F2) di Loka Penelitian Kambing Potong, Sumatera Utara.
Manfaat Penelitian
ABSTRAK
RINALDI, 2015: “Pendugaan Parameter Genetik Kambing Boerka (F2) Berdasarkan Bobot Lahir, Bobot Sapih dan Bobot Umur 6 Bulan di Loka Penelitian Kambing Potong Sumatera Utara. Dibimbing oleh Hamdan, S.Pt, M.Si, Usman Budi, S.Pt, M.Si dan Dr.Ir. Simon Elieser, M.Si.
Kambing Boerka (F2) memiliki potensi sebagai penghasil daging, informasi genetik sangat penting guna menentukan strategi pemuliaan di masa mendatang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai individual heterosis, heritabilitas, korelasi genetik dan nilai pemuliaan kambing Boerka (F2). Penelitian ini dilakukan di Kandang Percobaan Loka Penelitian Kambing Potong Sumatera Utara dari bulan Agustus-November 2014. Rancangan yang digunakan adalah pola tersarang (Nested Design) data tidak seimbang. Parameter yang dianalisis yaitu nilai individual heterosis, heritabilitas, korelasi genetik dan nilai pemuliaan.
ABSTRACT
RINALDI, 2015: "Estimation of Genetic Parameters Goat Boerka (F2) Based on Birth Weight, Weaning Weight and Weight of Age 6 Months Goat Research Station in North Sumatra. Guided by Hamdan, S.Pt, M.Si, Usman Budi, S.Pt, M.Si and Dr.Ir. Simon Eliezer, M.Si.
Goat Boerka (F2) has potential as a producer of meat, genetic information is essential in order to determine future breeding strategies. This study aims to determine the value of individual heterosis, heritability, genetic correlation and goat breeding value Boerka (F2). This research was conducted in the Cage Experiment Research Station Goat North Sumatra of the month from August to November 2014. This research is a nested pattern (Nested Design) un-balanced. Parameters analyzed individual value of heterosis, heritability, genetic correlation and breeding value.
The results showed that an increase in birth weight, weaning weight and weight of 6 months each is 13.7%; 14.5% and 4%. heritability of each trait is 68%, 56% and 53% which is high. Highest genetic correlation on weaning weight-weight 6 months with a value of 0.29%, but which is low. The highest breeding values in a row on a male goat is 73 015, 94 059 dab 84024, 94 020 and 94043, while the female child is 94058, 73008, 94012, 73016 and 94043.
PENDUGAAN PARAMETER GENETIK KAMBING BOERKA
(F2) BERDASARKAN BOBOT LAHIR, BOBOT SAPIH DAN
BOBOT UMUR 6 BULAN DI LOKA PENELITIAN KAMBING
POTONG SUMATERA UTARA
SKRIPSI
OLEH :
RINALDI 100306003
PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PENDUGAAN PARAMETER GENETIK KAMBING BOERKA
(F2) BERDASARKAN BOBOT LAHIR, BOBOT SAPIH DAN
BOBOT UMUR 6 BULAN DI LOKA PENELITIAN KAMBING
POTONG SUMATERA UTARA
SKRIPSI
OLEH :
RINALDI 100306003
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjanadi Program Studi Peternakan Fakultas PertanianUniversitas Sumatera Utara
PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Penelitian : Pendugaan Parameter Genetik Kambing Boerka (F2) Berdasarkan Bobot Lahir, Bobot Sapih dan Bobot Umur 6 Bulan di Loka Penelitian Kambing Potong Sumatera Utara
Nama : Rinaldi
NIM : 100306003
Program Studi : Peternakan
Disetujui oleh, Komisi pembimbing
Hamdan,S.Pt.,M.Si Usman Budi,S.Pt.,M.Si Ketua Anggota
Dr.Ir. Simon Elieser, M.Si Pembimbing lapangan
Mengetahui,
Dr.Ir.Ma`ruf Tafsin,M.Si Ketua Program Studi
ABSTRAK
RINALDI, 2015: “Pendugaan Parameter Genetik Kambing Boerka (F2) Berdasarkan Bobot Lahir, Bobot Sapih dan Bobot Umur 6 Bulan di Loka Penelitian Kambing Potong Sumatera Utara. Dibimbing oleh Hamdan, S.Pt, M.Si, Usman Budi, S.Pt, M.Si dan Dr.Ir. Simon Elieser, M.Si.
Kambing Boerka (F2) memiliki potensi sebagai penghasil daging, informasi genetik sangat penting guna menentukan strategi pemuliaan di masa mendatang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai individual heterosis, heritabilitas, korelasi genetik dan nilai pemuliaan kambing Boerka (F2). Penelitian ini dilakukan di Kandang Percobaan Loka Penelitian Kambing Potong Sumatera Utara dari bulan Agustus-November 2014. Rancangan yang digunakan adalah pola tersarang (Nested Design) data tidak seimbang. Parameter yang dianalisis yaitu nilai individual heterosis, heritabilitas, korelasi genetik dan nilai pemuliaan.
ABSTRACT
RINALDI, 2015: "Estimation of Genetic Parameters Goat Boerka (F2) Based on Birth Weight, Weaning Weight and Weight of Age 6 Months Goat Research Station in North Sumatra. Guided by Hamdan, S.Pt, M.Si, Usman Budi, S.Pt, M.Si and Dr.Ir. Simon Eliezer, M.Si.
Goat Boerka (F2) has potential as a producer of meat, genetic information is essential in order to determine future breeding strategies. This study aims to determine the value of individual heterosis, heritability, genetic correlation and goat breeding value Boerka (F2). This research was conducted in the Cage Experiment Research Station Goat North Sumatra of the month from August to November 2014. This research is a nested pattern (Nested Design) un-balanced. Parameters analyzed individual value of heterosis, heritability, genetic correlation and breeding value.
The results showed that an increase in birth weight, weaning weight and weight of 6 months each is 13.7%; 14.5% and 4%. heritability of each trait is 68%, 56% and 53% which is high. Highest genetic correlation on weaning weight-weight 6 months with a value of 0.29%, but which is low. The highest breeding values in a row on a male goat is 73 015, 94 059 dab 84024, 94 020 and 94043, while the female child is 94058, 73008, 94012, 73016 and 94043.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Langga Payung, Labuhan Batu Selatan pada tanggal 14 Oktober 1992 dari ayah Parlindungan Manurung dan Ibu Suwati. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.
Tahun 2010 penulis dari SMA Nusantara Lubuk Pakam dan pada tahun yang sama masuk ke Fakultas Pertanian USU melalui jalur panduan minat dan prestasi (PMP). Penulis memilih Program Studi Peternakan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai Asisten Praktikum di Laboratorium Anatomi dan Fisiologi Ternak, Dasar Reproduksi Ternak, Ilmu Reproduksi dan Inseminasi Buatan serta Rancangan Percobaan. Penulis juga aktif dalam organisasi internal dan eksternal universitas, diantaranya pernah menjabat sebagai Wakil Sekretaris Umum Bidang Perguruan Tinggi Kemahasiswaan dan Pemuda Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Peternakan (2012-2013), Sekretaris Jenderal Komisi Pemilihan Umum Fakultas Pertanian (2012-2013), Bendahara Umum Kelompok Aspirasi Mahasiswa MADANI USU (2014-2015) dan Majelis Pekerja Wilayah Ikatan Senat Mahasiswa Peternakan Indonesia (ISMAPETI) ditahun 2013-2015.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa atas hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pendugaan Parameter Genetik Kambing Boerka (F2) Berdasarkan Bobot Lahir, Bobot Sapih dan Bobot Umur 6 Bulan di Loka Penelitian Kambing Potong Sumatera Utara” pada waktu yang tepat.
Terima kasih buat kedua orang tua penulis yang senantiasa memberi dukungan yang tulus dan tidak ternilai harganya sehingga penulis masih mengecam pendidikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Hamdan, S.Pt.,M.Si dan Usman Budi , S.Pt.,M.Si selaku ketua dan anggota pembimbing penelitian dan Dr.Ir Simon Elieser, M.Si selaku pembimbing lapangan, yang telah mengarahkan penulis untuk keberlangsungan pembuatan Skripsi ini. Semoga Allah SWT membalas dengan kebaikan.
Ucapan terima kasih untuk teman-teman mahasiswa yang tidak dapat disebutkan satu persatu dan juga kepada keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) terkhusus Fakultas Pertanian USU yang telah banyak memberikan pengalaman sangat luar biasa. Semoga perjuangan untuk masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT tercapai. Amin.
DAFTAR ISI
Hal.
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
RIWAYAT HIDUP ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR GAMBAR ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 2
Kegunaan Penelitian ... 2
TINJAUAN PUSTAKA Asal dan klasifikasi ternak kambing ... 3
Populasi kambing di Indonesia ... 4
Cross breeding ... 5
Karakteristik kambing Boerka ... 7
Laju perumbuhan kambing Boerka ... 8
Sifat Kuantitatif ... 9
Bobot lahir ... 10
Bobot sapih ... 10
Bobot pascasapih ... 11
Efek heterosis ... 11
Parameter genetik ... 12
Heritabilitas ... 12
Korelasi genetik ... 13
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Tempat dan waktu penelitian ... 16
Bahan dan alat penelitian ... 16
Bahan ... 16
Alat ... 16
Metode penelitian ... 17
Parameter penelitian ... 17
Analisis Data ... 20
HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot badan standarisasi ... 21
Bobot lahir ... 22
Bobot sapih ... 23
Bobot 6 bulan ... 24
Efek heterosis ... 25
Estimasi nilai heritabilitas ... 26
Korelasi genetik ... 27
Estimasi nilai pemuliaan ... 28
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 31
Saran ... 31
DAFTAR PUSTAKA ... 32
DAFTAR TABEL
No. Hal.
1. Populasi ternak ruminansia di Indonesia... 5
2. Populasi ternak kambing di Sumatera Utara ... 5
3. Bobot lahir kambing Boerka berdasarkan jenis kelamin dan tipe kelahiran. ... 7
4. Bobot sapih kambing Boerka berdasarkan jenis kelamin. ... 8
5. Faktor koreksi jenis kelamin ... 17
6. Faktor koreksi tipe kelahiran ... 18
7. Faktor koreksi jumlah induk melahirkan (puriy) ... 18
8. Perbandingan bobot badan nyata dan terkoreksi ... 21
9. Rataan bobot lahir Boerka berdasarkan jenis kelamin dan tipe kelahiran ... 22
10. Rataan bobot sapih Boerka berdasarkan jenis kelamin dan tipe kelahiran ... 23
11. Rataan bobot 6 bulan Boerka berdasarkan jenis kelamin ... 24
12. Rataan efek heterosis masing-masing sifat bobot kambing Boerka ... 25
13. Nilai heritabilitas dan simpangan baku kambing Boerka (F2)... 26
14. Estimasi korelasi genetik sifat kuantitatif ... 27
15. Ranking anak jantan berdasarkan nilai indeks semua sifat bobot ... 30
DAFTAR GAMBAR
No. Hal.
1. Skematis cara perkawinan untuk menghasilkan berbagai komposisi darah
kambing persilangan ... 6
2. Kurva sigmoid pertumbuhan kambing Boerka ... 9
3. Perbandingan nilai rataan sifat bobot kambing Boerka (F2) ... 23
4. Nilai pemuliaan anak jantan Boerka (F2) berdasarkan bobot badan ... 28
DAFTAR LAMPIRAN
No. Hal.
1. Recording kambing Boerka (F2) ... 36
2. Data koreksi dan non-koreksi sifat (kambing Boerka) ... 37
3. Nilai individual heterosis terhadap sifat bobot badan ... 38
4. Analisis ragam berat lahir kambing Boerka (F2) ... 38
5. Analisis ragam bobot sapih kambing Boerka ... 39
6. Analisis ragam bobot 6 bulan kambing Boerka ... 39
7. Korelasi genetik antara BL-BS ... 40
8. Korelasi genetik antara BL-B6 Bulan ... 40
9. Korelasi genetik antara BS-B6 Bulan ... 40
10. Nilai pemuliaan anak jantan kambing Boerka ... 41
11. Nilai pemuliaan anak betina kambing Boerka F2 ... ... 41