• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Silvikultur

Sistem silvikultur adalah suatu proses penebangan dan pergantian pohon- pohon di dalam hutan dengan pohon baru yang akan menghasilkan bentuk tegakan baru yang berbeda dari tegakan sebelumnya (Wilarso 2008). Rangkaian kegiatan mengenai pengelolaan hutan meliputi; penebangan, peremajaan, dan pemeliharaan tegakan hutan. Tujuan dari pengelolaan hutan adalah menjamin kelestarian produksi kayu atau hasil hutan lainnya (Departemen Kehutanan 1990).

Pengusahaan hutan di Indonesia dimulai pada tahun 1870 dengan menggunakan sistem tebang pilih dengan limit diameter (5060 cm) tanpa adanya perlakuan khusus silvikultur. Misalkan saja untuk menjaga kelestarian hutan yang ada di luar Pulau Jawa, pemerintah menetapkan sistem tebang pilih dengan rotasi tebang 60 tahun (Departemen Kehutanan 1968).

Sistem Silvikultur yang ada di Indonesia menurut Indrawan (2010) meliputi: (1) TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia); (2) TJTI (Tebang Jalur Tanam Indonesia) yang dibagi menjadi dua yaitu dengan permudaan buatan dan permudaan alam; (3) TPTJ (Tebang Pilih Tanam Jalur); (4) Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) atau yang dikenal sebagai Teknik SILIN (Silvikultur Intensif). Sistem yang terakhir merupakan sistem yang sekarang sedang dikembangkan.

Teknik Silvikultur Intensif (SILIN)

SILIN merupakan teknik silvikultur dari pengembangan sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) dan penanaman pengayaan (enrichment planting) dari sistem TPTI. Teknik penebangan yaitu persiapan seluruh blok (petak tebang) sesuai RKT SILIN tahun berjalan dengan limit diameter 40 cm up. Penebangan persiapan di LOA dilakukan dengan membuat jalur bersih selebar tiga meter dan jalur kotor yang ditinggalkan berupa vegetasi LOA hasil tebang persiapan dengan lebar 17 m.

3 Pengayaan dilakukan pada poros jalur bersih dengan jenis unggulan dalam jarak tanam 2,5 x 20 m.

SILIN merupakan sebuah teknik silvikultur yang bertujuan meningkatkan produktivitas yang tercermin dari peningkatan riap dan potensi tegakan, menjaga keseimbangan ekologi dengan mempertahankan keanekaragaman hayati, serta memberikan jaminan kepastian hukum dan keamanan berusaha melalui pengakuan tenurial dari berbagai pihak. Secara teknis, SILIN adalah teknik silvikultur yang berusaha memadukan tiga elemen utama silvikultur yaitu pembangunan hutan tanaman dengan jenis terpilih, melakukan pemuliaan jenis, manipulasi lingkungan untuk mengoptimalisasi pertumbuhan, dan pengendalian hama terpadu.

Surat Keputusan Dirjen Bina Produksi Kehutanan No 77/VI-BPHA/2005 tanggal 3 Mei 2005, memutuskan bahwa penunjukan pada enam Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) sebagai model sistem silvikultur TPTII yaitu PT Sari Bumi Kusuma, PT Erna Djuliawati, PT Sarpatim (Kalteng), PT Suka Jaya Makmur (Kalbar), PT BFI, dan PT Ikani (Kaltim). Penjelasan lebih rinci oleh Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. SK. 41/VI- BPHA/2007 tanggal 10 April 2007 tentang penunjukan pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam sebagai model pembangunan TPTII yang meliputi 25 pemegang IUPHHK pada hutan alam terdiri dari delapan IUPHHK di Kaltim, delapan IUPHHK di Kalteng, Satu IUPHHK di Kalbar, satu IUPHHK di Sumatera Barat, satu IUPHHK di Riau, dua IUPHHK di Papua, tiga IUPHHK di Papua Barat, dan satu IUPHHK di Maluku utara.

Jenis-jenis pohon dari suku Dipterocarpaceae unggulan yang disarankan dan dapat merupakan pilihan adalah jenis-jenis dari hasil uji jenis yaitu Shorea leprosula, S. parvifolia, S. johorensis, S. smithiana, S. ovalis, S. platyclados, S. selanica, S. macrophylla, S. javanica, Dryobalanops sp. (Soekotjo et al. 2005). Selama ini, PT Sarpatim menggunakan tiga jenis yaitu S. leprosula, S. parvifolia, dan S. johorensis.

Kelebihan SILIN

SILIN memiliki kelebihan dan keunggulan dibandingkan dengan sistem silvikultur terdahulu. SILIN memiliki tingkat produktivitas hutan lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas TPTI. Hasil penelitian Persaki (2009) menunjukan bahwa produksi pada akhir daur SILIN diprediksi mampu mencapai 225 m3 dengan potensi tegakan 320 m3, sehingga untuk memproduksi sejumlah volume tertentu diperlukan luasan hutan yang lebih kecil dan sisanya dapat difungsikan menjadi hutan konservasi.

Teknik SILIN mewajibkan melakukan enrichment planting jenis-jenis unggulan. Oleh karena itu, dengan diwajibkannya hal tersebut maka penanaman dilaksanakan segera setelah penebangan yaitu pada LOA yang berumur nol tahun (ET+0), sehingga dapat memudahkan pengawasan pengelolaan (Indrawan 2010). SILIN juga memberikan perbedaan yang nyata tentang kondisi fisik antara tegakan alam dengan tegakan yang ditanam, hal ini berbeda dengan sistem TPTI yang bersifat spot dan tersebar sehingga sulit membedakannya dengan tegakan alam.

Kelebihan lainnya adalah kemampuannya untuk memperkokoh pengakuan hak kawasan atau tenurial rights (hak pemilikan) perusahaan, terutama dari

4

praktek perambahan masyarakat lokal melalui aktivitas pertanian atau perladangan berpindah dan mampu menyerap tenaga kerja yang lebih banyak. Hal ini sesuai dengan karakteristik usaha kehutanan yang bersifat padat karya.

Proses Pemulihan Vegetasi

Proses pemulihan vegetasi adalah kemampuan hutan untuk melakukan perbaikan setelah terjadi kerusakan. Soerianegara dan Indrawan (1982) mengemukakan bahwa perubahan dalam komunitas selalu terjadi, bahkan dalam komunitas hutan yang stabil pun selalu terjadi perubahan. Misalkan, pohon-pohon yang mati ataupun tumbang menyebabkan keterbukaan tajuk hutan sehingga sinar matahari dapat masuk ke lantai hutan dan anakan pohon yang semula tertekan akan tumbuh. Demikian seterusnya, setiap ada perubahan akan ada mekanisme pemulihan kembali kepada keadaan seimbang.

Ada dua pendekatan untuk mengatasi degradasi hutan atau kerusakan hutan dan mempercepat proses pemulihan vegetasi (recovery). Pendekatan pertama adalah restorasi yaitu upaya untuk memulihkan kembali ekosistem hutan aslinya melalui penanaman dengan jenis tanaman asli yang ada pada kawasan. Pendekatan kedua melalui rehabilitasi yaitu penanaman hutan dengan jenis asli dan jenis eksotik (Pamoengkas 2000).

Faktor yang mempengaruhi pemulihan vegetasi adalah sebagai berikut: (1) luasan komunitas awal yang rusak akibat gangguan, semakin luas maka semakin lambat; (2) jenis yang berada di sekitarnya, semakin banyak jenis yang berada pada sekitar maka mendorong kecepatan proses suksesi karena keberadaan jenis tersebut akan menjadi bakal kehidupan; (3) sifat-sifat jenis yang tumbuh di sekitar, antara lain; kecepatan tumbuh, periode musim berbunga dan berbuah, produktivitas buah, dan mudah tidaknya berkecambah; (4) kehadiran bakal kehidupan dan cara penyebarannya; (5) jenis subtrat baru yang terbentuk; (6) kondisi iklim terutama arah dan kecepatan angin untuk penyebaran bakal kehidupan serta curah hujan untuk perkecambahan dan pertumbuhan (Resosoedarmo et al. diacu dalam Indriyanto 2008). Faktor pemulihan vegetasi tersebut juga dapat mempengaruhi lamanya waktu ekosistem mencapai hutan klimaks.

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada hutan bekas tebangan yang dijadikan model silvikultur teknik SILIN. Penelitian dilaksanakan selama kurang lebih satu bulan yaitu pada bulan April sampai dengan Mei 2012 dan dilakukan pada areal IUPHHK-HA PT Sarpatim, Kalimantan Tengah.

5

a b e

f

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tegakan hutan bekas tebangan pada masing-masing plot SILIN. Alat yang digunakan antara lain: peta kerja, golok, phi band, meteran jahit, kompas, tali tambang atau rapia, patok, tally sheet, alat tulis, buku pengenal vegetasi, kamera, serta laptop dengan software microsoft office excel 2007 dan minitab 16.

Prosedur Pengambilan Data

Lokasi pengamatan di bagi menjadi delapan lokasi yang berbeda. Pembagian tersebut berdasarkan lokasi bekas tebangan dan hutan primer yang ada pada IUPHHK-HA PT Sarpatim, Kalimantan Tengah masing-masing lokasi tersebut yaitu: hutan primer, petak ukur SILIN 2005, petak ukur SILIN 2006, petak ukur SILIN 2007, petak ukur SILIN 2008, petak ukur SILIN 2009, petak ukur SILIN 2010, dan petak ukur SILIN 2011. Data yang dikumpulkan dari analisis vegetasi adalah nama jenis dan jumlahnya pada tingkat semai, pancang, tiang dan pohon serta diameter pada tingkat tiang dan pohon. Layout pengukuran terletak pada jalur antara dengan lebar 17 m.

Gambar 1 Lokasi pengamatan

Pengambilan contoh analisis vegetasi pada umumnya dapat dilakukan dengan menggunakan metode petak, metode jalur, ataupun metode kuadran. Pengambilan data penelitian ini dilakukan dengan analisis vegetasi metode kombinasi. Metode kombinasi yang dimaksud adalah kombinasi antara metode jalur dan garis petak. Tingkat pohon dilakukan dengan metode jalur sedangkan untuk permudaan digunakan dengan metode garis berpetak (Indriyanto 2008).

Penelitian ini menggunakan analisis vegetasi dengan cara nested sampling yaitu analisis vegetasi menggunakan petak besar yang menggandung petak-petak kecil di dalamnya. Tiap petak ukur berukuran 10.000 m2 dan pada masing- masing petak dilakukan pengukuran dengan jalur 118 m x 17 m yang dibagi menjadi lima petak pengukuran berukuran 17 m x 23,5 m.

Kelima petak terdiri dari empat subpetak berdasarkan tingkat pertumbuhannya. Subpetak pengamatan untuk tingkat semai berukuran 2 m x 2 m, subpetak pengamatan untuk tingkat pancang berukuran 5 m x 5 m, subpetak pengamatan untuk tingkat tiang berukuran 10 m x 10 m, dan subpetak pengamatan untuk tingkat pohon 17 m x 23,5 m. Pengamatan hanya dilakukan pada satu sisi yaitu pada sisi kanan atau kiri.

c d = titik tanaman a s/d b = jalur bersih (3 m) c s/d d = jalur antara (17 m) e s/d f = jaraktanam (2,5 m) Tegakan Alam

6

Gambar 2 Layout petak ukur penelitian

Prosedur Analisis Data Struktur Tegakan

Struktur tegakan menunjukan nilai kerapatan (N/ha) pada kelas diameternya. Jika sebaran diameter pada suatu komunitas mendekati J terbalik, maka komunitas tersebut mendekati sebaran diameter hutan alam (Pamoengkas 2006). Model struktur tegakan yang digunakan adalah model eksponensial negatif yang dinyatakan oleh Bruce dan Schumacher (1950), diacu dalam Wahjono (2007). Rumusnya dapat dilihat di bawah ini:

Y = k e –aX

Y = jumlah pohon menurut kelas diameter pohon (N/ha)

k = konstanta yang menyatakan jumlah pohon pada kelas diameter pohon rendah

e = 2,7183

a = konstanta yang menyatakan kemiringan garis kurva, menunjukan laju pengurangan jumlah pohon setiap meningkatnya kelas diameter X = kelas diameter pohon mulai 10 cm ke atas

Indeks Keanekaragaman Jenis

Keanekaragaman jenis dapat digunakan untuk menyatakan struktur komunitas dan dapat pula digunakan untuk mengukur stabilitas komunitas, yaitu kemampuan suatu komunitas untuk menjaga dirinya tetap stabil meskipun ada gangguan terhadap komponen-komponennya (Soegianto 1994, diacu dalam Indriyanto 2008). Keanaekaragaman jenis dapat disajikan dalam bentuk Indeks Keragaman Shannon-Wiener atau Shannon Index of General Diversity (H’) di bawah ini:

H’ = -  pi ln pi H’ = indeks keragaman

pi = ni/N

ni = jumlah individu jenis ke-i N = total seluruh individu

a. semai ( kecambah s/d t<1,5 m) b. pancang ( t>1,5 s/d d<10 cm) c. tiang (10<d<20) d. pohon (d>20) d c b 118 m 23,5 m 1 7 m a

7 Magurran (1988), diacu dalam Hasanah (2009) menyatakan bahwa nilai indeks keragaman jenis umumnya berada pada kisaran antara 1,03,5. Ketika H’ mendekati 3,5 maka tingkat keanekaragaman semakin tinggi.

Ordinasi

Metode ordinasi yaitu metode yang dapat menggambarkan vegetasi dalam bentuk geometrik sehingga tegakan komunitas yang paling serupa berdasarkan komposisi jenis beserta kemelimpahannya akan mempunyai posisi yang saling berdekatan, sedangkan tegakan lainnya yang berbeda akan muncul saling berjauhan (Mueller  Eilenberg 1974). Perhitungan analisis ordinasi yang dilakukan meliputi:

Indeks Nilai Penting

Indeks nilai penting (INP) adalah parameter kuantitatif yang dapat dipakai untuk menyatakan tingkat dominansi jenis dalam suatu komunitas. Jenis yang memiliki INP terbesar adalah jenis yang paling dominan atau yang berkuasa (Soegianto 1994, diacu dalam Indriyanto 2008). Mueller dan Eilenberg (1974) menyatakan bahwa indeks nilai penting berkisar antara 0300 dengan rumus sebagai berikut:

INP = KR + DR +FR

Kerapatan (R) = Jumlah individu suatu jenis Luas areal sampel

Kerapatan Relatif (KR) = Kerapatan suatu jenis x 100% Kerapatan seluruh jenis

Dominansi (D) = Jumlah LBDS suatu jenis Luas areal sampel

Dominasi Relatif ( DR) = Dominansi suatu jenis x 100% Dominansi seluruh jenis

Frekuensi = Jumlah plot ditemukannya suatu jenis

Jumlah seluruh plot

Frekuensi Relatif ( FR) = Frekuensi suatu jenis x 100%

Frekuensi seluruh jenis

Pada tingkat pertumbuhan pancang dan semai nilai INP hanya berkisar antara 0200. Hal ini disebabkan pada tingkat pancang dan semai tidak dilakukan pengukuran diameter. Rumus tingkat pancang dan semai menjadi:

INP = KR +FR

Indeks Ketidaksamaan (ID)

Indeks ketidaksamaan adalah lawan dari indeks kesamaan atau index of similarity (IS). Nilai ID berkisar antara 0100%, jika nilai ID= 0% maka kedua komunitas yang dibandingkan akan benar-benar sama dan jika nilai ID= 100% maka berbeda, begitu pula sebaliknya dengan nilai IS (Ludwig & Reynold 1988). IS dan ID dapat dihitung dengan rumus seperti berikut (Soerianegara  Indrawan 1982, diacu dalam Indriyanto 2008):

8

IS = 2W x 100% a + b

IS = indeks kesamaan

W = jumlah dari nilai penting yang lebih kecil atau sama dari dua spesies berpasangan, yang ditemukan pada dua komunitas

a = total nilai penting dari komunitas A b = total nilai penting dari komunitas B

ID = 100- IS IS = indeks kesamaan

Penetapan Axis X dan Y

Penetapan nilai axis X dan Y menggunakan matrik nilai ID. Penetapan axis X dan Y dihitung menggunakan rumus Bray dan Curtis (1957) sebagai berikut: Penetapan sumbu X

X = L2 + (dA)2– (dB)2 2L

A = plot acuan pertama ordinat X dengan syarat memiliki jumlah total IS terkecil

B = plot acuan kedua ordinat X dengan syarat memiliki ID terbesar terhadap titik A

dA = nilai ID sebuah plot terhadap titik A dB = nilai ID sebuah plot terhadap titik B L = nilai ID antara titik A dan titik B Penetapan sumbu Y

Y = L’2+ (dA’)2–(dB’)2 2L’

A’ = plot acuan pertama ordinat Y dengan syarat terdekat dengan X pertama (X1)

B’ = plot acuan kedua ordinat Y dengan syarat memiliki ID terbesar terhadap titik A’

dA’ = nilai ID sebuah plot terhadap titik A’ dB’ = nilai ID sebuah plot terhadap titik B’ L’ = nilai ID antara titik A’ dan titik B’ Analisis Klaster (Analisis Gerombol)

Analisis klaster digunakan untuk mengelompokkan objek pengamatan yaitu komposisi jenis. Analisis ini bertujuan untuk mengelompokkan objek pengamatan berdasarkan kesamaan-kesamaan yang dimiliki. Prinsip analisis gerombol didasarkan pada ukuran kedekatan atau kemiripan dari setiap individu. Ukuran

9 kedekatan yang dipakai adalah jarak euclidean (euclidean distance) dan disajikan dalam bentuk dendogram (Ariebowo 2011).

Analisis Biplot

Analisis biplot adalah analisis statistika yang digunakan untuk membentuk plot yang secara simultan dapat menggambarkan data yang terdiri dari objek dan peubah dalam dua dimensi. Plot ini selanjutnya dapat memberikan informasi mengenai kedekatan antar objek, karakteristik atau peubah penciri setiap objek, dan keterkaitan antara peubah (Adia 2008).

Dokumen terkait