• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Tanaman Kelapa Sawit

Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) adalah tumbuhan dari famili Palmaceae yang berasal dari Nigeria, Afrika Barat. Meskipun demikian, ada yang menyatakan bahwa kelapa sawit berasal dari Amerika Selatan yaitu Brazil, karena lebih banyak ditemukan spesies kelapa sawit di hutan Brazil dibandingkan dengan Afrika (Politeknik Kelapa Sawit 2008).

Menurut Lubis (1992), tanaman kelapa sawit pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1848. Awalnya tanaman kelapa sawit dibudidayakan di Kebun Raya Bogor, sebagai tanaman hias. Bibit kelapa sawit tersebut dibawa dari Mauritius dan Amsterdam. Pembudidayaan tanaman kelapa sawit secara komersial dalam bentuk perkebunan dimulai pada tahun 1911. Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil utama minyak nabati dengan produktivitas lebih tinggi dibandingkan tanaman penghasil minyak nabati lainnya (Setyamidjaja 2006).

Botani Tanaman Kelapa sawit Klasifikasi Tanaman Kelapa Sawit

Kelapa sawit (E. guineensis Jacq.) merupakan tanaman monokotil yang tidak memiliki cabang serta kambium pada bagian batang. Taksonomi tanaman kelapa sawit menurut Mangoensoekarjo dan Semangun (2003), terbagi sebagai berikut: Kingdom : Plantae Kelas : Monocotyledoneae Ordo : Palmales Famili : Palmaceae Genus : Elaeis

Spesies : Elaeis guineensis Jacq.

Morfologi Tanaman Kelapa Sawit

Tanaman kelapa sawit berbentuk pohon, seperti jenis palma lainnya. Tanaman kelapa sawit dibedakan menjadi dua bagian, yaitu vegetatif dan

4 generatif. Bagian vegetatif terdiri dari akar, batang, dan daun. Sedangkan bagian generatif terdiri dari bunga dan buah (Risza 1994). Perkembangbiakan secara generatif melalui peristiwa perkawinan dan menghasilkan biji baik secara alami maupun penyerbukan buatan. Penyerbukan buatan pada tanaman kelapa sawit dapat dilakukan dengan menaburkan atau menyemprotkan serbuk sari yang diambil secara sengaja dari bunga jantan ke bunga betina yang sedang mekar atau

fertile (Sianturi 1993). Setelah melewati fase matang, kandungan asam lemak bebas (FFA, free fatty acid) akan meningkat dan buah akan rontok dengan sendirinya (Fauzi et al. 2002). Menurut Risza (1994) perkembangbiakan secara vegetatif diperoleh dengan menggunakan teknik kultur jaringan yang disebut

plantlet. Teknik ini dilakukan dengan empat cara, yaitu kultur embrio, kultur organ, kultur tangkai kelapa sari (pollen), dan kultur protoplast.

Tanaman kelapa sawit memiliki akar serabut yang membentuk anyaman rapat dan tebal. Akar serabut ini tumbuh lurus ke bawah/vertikal dan sebagian lagi tumbuh menyebar ke arah samping/horizontal serta memiliki akar nafas dan dapat tumbuh hingga mencapai ketinggian 24 m (Sastrosayono 2003).

Daun kelapa sawit tersusun majemuk menyirip, membentuk satu pelepah dengan jumlah anak daun setiap pelepah berkisar antara 250-400 helai. Jumlah pelepah daun yang terbentuk selama satu tahun dapat mencapai 20-30 helai (Hadi 2004). Jumlah kedudukan pelepah daun pada batang kelapa sawit (Phylotaxis) ditentukan berdasarkan susunan duduk daun, dengan menggunakan rumus duduk daun 1/8. Artinya, setiap satu kali berputar melingkari batang, terdapat duduk daun (pelepah) sebanyak 8 helai. Pertumbuhan melingkar duduk daun mengarah ke kanan atau ke kiri menyerupai spiral, dengan dua set spiral yang berselang 8 daun. Susunan spiral mengikuti deret Fibonacci, yaitu 1:1:2:3:5:8:13:21 (Pahan 2006). Kedudukan pelepah daun kelapa sawit bila digambarkan berdasarkan susunannya, yaitu pelepah ke-1, ke-9, ke-17, ke-25, dan seterusnya, begitu juga dengan kedudukan pelepah daun kelapa sawit lainnya (Yahya dan Suwarto 2011) (Gambar 1).

5

Gambar 1 Susunan kedudukan daun kelapa sawit

Tanaman kelapa sawit bersifat monoecious atau berumah satu. Bunga jantan memiliki bentuk lancip dan panjang, sedangkan bunga betina terlihat lebih besar terutama saat sedang mekar (Samsulbahri 1996).

Kelapa sawit memiliki banyak jenis, berdasarkan ketebalan cangkangnya kelapa sawit dibagi menjadi Dura, Pisifera, dan Tenera. Dura memiliki buah dengan cangkang tebal sehingga dianggap memperpendek umur tamanam.

Pisifera buahnya tidak memiliki cangkang dan bunga betinanya steril sehingga sangat jarang menghasilkan buah. Tenera adalah persilangan antara induk Dura

dan Pisifera. Jenis Tenera dianggap bibit unggul sebab melengkapi kekurangan masing-masing induk dengan sifat cangkang buah tipis namun bunga betinanya tetap fertile (Setyamidjaja 2006). Soehardiyono (1998) menyebutkan buah terdiri dari tiga lapisan:

a. Eksoskarp, bagian kulit buah berwarna kemerahan dan licin. b. Mesoskarp, serabut buah.

c. Endoskarp, cangkang pelindung inti (yang terdiri dari endosperm dan embrio dengan kandungan minyak inti berkualitas tinggi).

Ekologi Tanaman Kelapa Sawit

Kelapa Sawit dapat tumbuh dengan baik di daerah tropis (15° LU - 15° LS). Tanaman ini tumbuh di ketinggian 0-500 m diatas permukaan laut (dpl), dengan kelembaban optimum 80-90%. Tanaman kelapa sawit membutuhkan iklim dengan curah hujan berkisar antara 2000-2500 mm per tahun, kecepatan angin antara

6 5-6 km/jam sangat baik untuk membantu proses penyerbukan pada tanaman kelapa sawit (Lubis 1992). Temperatur optimal berkisar antara 24°C-28°C, dengan lama penyinaran matahari 5-7 jam per hari. Kelapa sawit dapat tumbuh pada suhu 80C-320C (Tim Penulis PS 1997).

Menurut Sunarko (2009) tanaman kelapa sawit dapat tumbuh di beberapa jenis tanah, seperti podsolik, latosol, hidromorfik kelabu, regosol, andosol, dan aluvial. Sifat fisik yang baik untuk kelapa sawit adalah ketebalan tanah (solum) 80 cm, bertekstur lempung berpasir, struktur tanah kuat, drainase yang baik, pH tanah antara 4-6,5, dan memiliki kandungan unsur hara yang tinggi. Kondisi lainnya yang cocok untuk tanaman kelapa sawit yaitu tekstur ringan dengan kandungan pasir 20-60%, debu 10-40%, dan liat 20-50%, serta memiliki permeabilitas sedang.

Budidaya Tanaman Kelapa Sawit

Produksi tanaman kelapa sawit dibagi menjadi dua fase, yaitu tanaman belum menghasilkan (TBM) dan tanaman menghasilkan (TM). Pemeliharaan periode TBM yang baik dan penerapan teknologi budidaya yang tepat akan menghasilkan tanaman kelapa sawit optimal dan seragam sehingga dapat memasuki periode TM dengan produktivitas kebun memuaskan. Budidaya tanaman kelapa sawit meliputi pembibitan, persiapan lahan dan penanaman kelapa sawit, serta pemeliharaan (Sunarko 2009).

Pembibitan kelapa sawit terdiri dari tiga tahap yaitu perkecambahan, pembibitan awal (pre nursery), dan pembibitan utama (main nursery). Pembibitan tanaman kelapa sawit dilakukan dengan menggunakan dua metode, yaitu satu tahap (single stage) atau dua tahap (double stage). Pembibitan dengan single stage, berarti penanaman kecambah kelapa sawit langsung dilakukan ke main nursery tanpa melalui tahap pre nursery. Pembibitan double stage, artinya dilakukan tahap pre nursery terlebih dahulu selama 3-4 bulan pada polybag

berukuran kecil, selanjutnya dipindahkan ke main nursery dengan polybag

berukuran lebih besar selama 9-12 bulan (Pardamean 2011).

Persiapan lahan untuk penanaman kelapa sawit tergantung dari topografi, jenis vegetasi dan sarana pendukung. Faktor yang diperhatikan dalam penanaman

7 kelapa sawit pada suatu lahan salah satunya adalah hama, karena dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit di bawah naungan tanaman karet dapat dilakukan secara mekanik, yaitu dengan pemangkasan secara langsung tanaman penutup tanah, gulma, dan tanaman lain yang telah mati. Tahap lanjutan setelah proses persiapan lahan adalah tahapan penanaman kelapa sawit (Sunarko 2009).

Menurut Sunarko (2009) pemeliharaan kelapa sawit periode TBM salah satunya adalah pemupukan, tujuannya untuk meningkatkan pertumbuhan vegetatif. Pemberian pupuk dilakukan dua kali setahun, yaitu pada awal dan akhir musim hujan dengan cara menyebarkan secara merata di sekitar tanaman kelapa sawit. Suwarto dan Yuke (2010) menyebutkan, jenis pupuk yang digunakan pada TBM berupa pupuk tunggal ataupun pupuk majemuk, seperti N, P, K, Mg, dan Borax. Selain itu untuk penambahan unsur lain tanaman kelapa sawit membutuhkan pupuk seperti Za, TSP, KCL, Kieserit, dan Borium. Dosis untuk masing-masing pupuk diberikan sesuai anjuran.

Ulat Pemakan Daun Kelapa Sawit Ulat Api (Limacodidae)

Ulat api termasuk dalam famili Limacodidae yang pada umumnya menyerang perkebunan kelapa sawit periode TM, tapi serangan hama ini juga ditemukan pada tanaman kelapa sawit periode TBM. Ulat api merupakan jenis ulat pemakan daun kelapa sawit yang menimbulkan kerugian di perkebunan kelapa sawit. Ulat yang baru menetas hidup berkelompok, mengikis daging daun dari permukaan bawah dan meninggalkan epidermis bagian atas permukaan daun (Ginting et al. 1995). Pada instar 2-3 ulat memakan daun mulai dari ujung ke arah bagian pangkal daun. Serangan ulat api dalam jumlah tinggi akan mengakibatkan helaian daun tersisa hanya lidinya, bahkan dapat memakan epidermis pelepah daun (Pusat Penelitian Kelapa Sawit 2011a).

Menurut Norman dan Basri (1992), ulat api yang memiliki banyak jenis, antara lain Setothosea asigna, Setora nitens, Darna trima, Darna diducta, Darna bradleyi, Thosea vestusa, Thosea bisura, Susica pallid, dan Birthamula chara. Spesies yang ditemui diperkebunan kelapa sawit adalah Setothosea asigna, Setora

8

nitens, dan Darna trima. Pada perkebunan kelapa sawit S. nitens merupakan salah satu jenis yang paling sering ditemui.

Imago S. nitens mempunyai lebar rentangan sayap sekitar 35 mm, bagian depan berwarna coklat dengan garis-garis yang berwarna lebih gelapdanmemiliki siklus hidup sekitar 42 hari (Hartley 1979). Telur S. nitens berwarna kuning kehijauan, berbentuk oval, sangat tipis, dan transparan. Peletakan telur antara satu sama lain tidak saling tindih dan menetas setelah 4-7 hari. Ulat mula-mula berwarna hijau kekuningan kemudian menjadi hijau dan biasanya berubah menjadi kemerahan menjelang masa kepompong (Sudharto et al. 2005).

Ulat S. nitens dicirikan dengan adanya satu garis membujur di tengah punggung yang berwarna biru keunguan (Hartley 1979). Stadia ulat dan kepompong masing-masing berlangsung sekitar 50 hari dan 17-27 hari. Selama perkembangannya, ulat berganti kulit 7-8 kali dan mampu menghabiskan helaian daun seluas 400 cm² (Wood 1968).

Ulat Kantung (Psychidae)

Ulat kantung termasuk dalam famili Psychidae dan merupakan hama yang menyerang daun kelapa sawit baik TBM maupun TM sepeti ulat api. Ulat pada stadia muda akan memakan epidermis permukaan atas daun, sehingga menimbulkan gejala gerigitan berbentuk bulatan. Apabila populasi ulat ini tinggi daun-daun yang terserang akan terlihat mengering seperti terbakar (Wood 1968). Ulat stadia akhir dapat memakan seluruh jaringan daun sehingga terlihat berlubang. Ciri khas ulat kantung adalah hidupnya di dalam sebuah kantung yang berasal dari potongan-potongan daun dan tangkai bunga tanaman inang, dengan tekstur agak kasar atau kasar. Ciri khas lain yakni pada bagian tubuh dewasa betina kebanyakan spesies ulat kantung mereduksi, sehingga tidak bersayap dan tidak mampu terbang. Imago Jantan ulat kantung memiliki sayap dan akan mencari betina karena bau feromon yang dihasilkan (Pracaya 2007).

Jenis-jenis yang pernah ditemukan pada tanaman kelapa sawit adalah Metisa plana, Mahasena corbetti, Cremastopsyche pendula, Brachycyttarus griseus, Manatha albipes, Amatissa sp., dan Cryptothelea cardiophaga. Jenis ulat kantung

9 yang paling merugikan di perkebunan kelapa sawit adalah Metisa plana dan

Mahasena corbetti (Sankaran 1970; Norman et al. 1995).

Imago Metisa plana jantan dan betina memiliki siklus hidup dan morfologi yang berbeda. Imago jantan M. plana siklus hidupnya 70-104 hari dan memiliki sayap dengan rentangan 15 mm, sedangkan imago betina siklus hidupnya 101-123 hari dan tidak bersayap sehingga tinggal dalam kantungnya (Basri et al. 1995). Kopulasi terjadi di dalam kantung imago betina dengan jumlah telur yang dihasilkan sebanyak 100-300 butir selama hidupnya. Telur diletakkan dalam kantung imago betina dan menetas dalam waktu 18 hari. Ulat yang baru menetas akan keluar dari kantung induknya dan segera membuat kantung sendiri dari potongan-potongan jaringan permukaan daun. Stadia ulat M. plana terdiri atas 4-5 instar dan berlangsung sekitar 50 hari serta dapat mencapai panjang sekitar 12 mm. Panjang kantung di akhir perkembangannya mencapai 15-17 mm (Wood 1968). Stadia kepompong berlangsung selama 25 hari, permukaan luar terlihat halus dengan panjang sekitar 15 mm dan menggantung seperti kait di permukaan bawah daun. (Wood 1968).

Siklus hidup Mahasena corbetti sekitar 126 hari. Imago M. corbetti jantan berwarna coklat tua bersayap normal, dengan rentangan sayap sekitar 30 mm. Seekor imago betina mampu menghasilkan telur antara 2.000-3.000 butir. Telur menetas dalam waktu sekitar 16 hari (Pusat Penelitian Kelapa Sawit 2011b). Ulat yang baru menetas sangat aktif dan bergantungan dengan benang-benang liurnya, sehingga mudah menyebar dengan bantuan angin, terbawa manusia, atau binatang. Ulat bergerak dengan cara mengeluarkan kepala dan kaki depannya dari dalam kantung. Ulat awalnya berada di permukaan atas daun, tetapi setelah kantung semakin besar akan menggantung di permukaan bawah daun kelapa sawit. Pada akhir perkembangannya ulat dapat mencapai panjang 35 mm, dengan panjang kantung sekitar 30-50 mm. Stadia ulat berlangsung sekitar 80 hari dan berkepompong di dalam kantung selama sekitar 30 hari (Kalshoven 1981).

Musuh Alami Hama Tanaman Kelapa Sawit

Organisme dalam aktivitas hidupnya selalu berinteraksi dengan organisme lain, interaksi ini bersifat antagonistik, kompetitif, atau simbiotik. Sifat

10 antagonistik dapat dilihat pada musuh alami yang merupakan agens hayati dalam pengendalian hama (http://hadianiarrahmi.wordpress.com).

Menurut Kiswanto et al. (2008) pengendalian hama yang tidak bijaksana dapat menimbulkan berbagai masalah, untuk itu perlu adanya sistim pengendalian hama terpadu atau pengendalian hayati. Pengendalian hayati adalah teknik pengendalian hama yang melibatkan musuh alami untuk menekan jumlah populasi dan status hama di lapangan, salah satunya dengan memanfaatkan peran predator atau pemangsa (Hartoyo 2011a).

Predator

Predator merupakan pemangsa organisme lain yang hidup bebas di alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Predator dapat menyerang mulai dari fase pra dewasa sampai dengan fase dewasa. Satu ekor predator dapat memakan mangsanya dalam jumlah banyak (Hartoyo 2011b). Laba-laba merupakan predator yang banyak ditemukan pada tanaman kelapa sawit, dikenal secara umum berasal dari famili Araneae dan bukan termasuk dalam golongan serangga (insect). Semua jenis laba-laba merupakan predator serangga, bahkan golongan laba-laba itu sendiri. Laba-laba tidak mengalami metamorfosa, setelah telur menetas akan keluar laba-laba kecil dan berganti kulit beberapa kali. Laba-laba kecil memiliki bentuk yang sama dengan laba-laba dewasa. Ukuran laba-laba betina biasanya jauh lebih besar daripada laba-laba jantan. Saat proses kawin laba-laba jantan harus mendekati betina dengan hati-hati, karena bisa saja betina menunggu jantan mendekat untuk menjadi mangsanya. Laba-laba pada perkebunan kelapa sawit yang umum dijumpai adalah laba-laba jaring, laba-laba lompat, laba-laba mata tajam, dan laba-laba serigala (Hartoyo 2011b).

Laba-laba jaring (Araneae: Araneidae) memiliki mata dan kaki yang lemah sehingga menetap dengan cara membuat jaring, fungsinya selain digunakan sebagai tempat tinggal untuk menangkap mangsanya. Laba-laba tersebut menunggu di jaringnya sampai serangga atau mangsanya terjerat kemudian dengan cepat memangsanya. Laba-laba jaring meyerang bila ada getaran yang ditimbulkan dari serangga pada jaringnya. Beberapa jenis laba-laba jaring dapat membuat jaring dengan ukuran lebih dari 10 m yang mampu menangkap seekor

11 burung kecil, namun ada pula yang hanya membuat jaring dengan ukuran kecil. Laba-laba jaring menggunakan jaring yang sama selama beberapa minggu, ada pula yang membuat jaring baru setiap malam. Laba-laba jantan memiliki ukuran lebih kecil dari betinanya, serta memiliki bentuk yang berbeda (Hartoyo 2011b).

Laba-laba lompat (Araneae: Salticidae) tidak membuat jaring tetapi aktif berpindah-pindah untuk berburu mangsanya di tanah atau di tanaman hanya pada siang hari. Laba-laba lompat bermata delapan dengan dua mata berukuran lebih besar menghadap ke depan. Mata laba-laba lompat sangat tajam dan bisa melihat mangsanya dari jauh. Laba-laba ini dapat menerkam mangsanya dengan sangat cepat. Sutera laba-laba lompat digunakan untuk menenun tali pengaman, sehingga tali itu menghindarinya jatuh sampai ke tanah. Sutera juga dipakai untuk membuat sarung telurnya (Barrion dan Litsinger 1995). Laba-laba lompat melumpuhkan mangsa dengan cara menusukkan racun kemudian mengisap cairannya (Hartoyo 2011b).

Laba-laba mata tajam (Araneae: Oxyopidae) tergolong laba-laba pemburu sangat efektif sepanjang hari yang memiliki duri panjang pada kakinya, serta tidak membuat sarang. Laba-laba ini menunggu atau berpatroli di tanaman-tanaman untuk mencari mangsa. Laba-laba mata tajam bermata enam, terletak pada segienam yang menonjol di atas kepala. Sutera digunakan untuk menenun tali pengaman, agar terhindar jatuh sampai ke tanah. Laba-laba ini dapat menangkap mangsa yang jauh lebih besar dari ukuran tubuhnya, bahkan dapat menangkap ngengat, ulat, dan serangga lain seperti Dasynus atau Diconocoris (Foelix 1982).

Laba-laba serigala (Araneae: Lycosidae) umumnya aktif berburu mangsa pada malam hari sehingga disebut laba-laba nokturnal, serta tidak membuat sarang. Laba-laba serigala memiliki jumlah mata delapan, dengan dua mata berukuran lebih besar dan sangat tajam. Laba-laba serigala memburu mangsanya pada permukaan tanah atau pelepah tanaman kelapa sawit. Laba-laba serigala merupakan pemangsa ngengat, ulat, ataupun dari golongan laba-laba sendiri (Barrion dan Litsinger 1995).

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di perkebunan kelapa sawit Cikidang Plantation Estate pada dua blok, dengan dua tempat berbeda dari setiap blok. Penelitian ini berlangsung selama tiga bulan, Januari-Maret 2011.

Gambar 2 Blok pengamatan

Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta perkebunan, penanda tanaman sampel, penghitung tangan (hand counter), buku identifikasi serangga Borror (Borror et al. 1992), buku identifikasi laba-laba yang dikembangkan oleh Barrion (Barrion dan Litsinger 1995), dan untuk dokumentasi menggunakan kamera DSLR Nikon D3000.

13

Metode Penelitian Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan pada blok pengamatan. Data sekunder diperoleh dari wawancara dengan pihak kebun di Cikidang Plantation Estate, meliputi keadaan umum kebun, pembudidayaan kelapa sawit, keberadaan hama, dan upaya pengendalian di lapangan.

Pengambilan Contoh Tanaman

Penentuan tanaman contoh berasal dari dua blok pada perkebunan kelapa sawit Cikidang Plantation Estate yang terdapat naungan tanaman karet, yaitu blok A2 dan C. Pada setiap blok diambil dua tempat berbeda, kemudian dari setiap tempat diambil 25 tanaman. Tanaman contoh dalam satu baris berjarak tiga pohon dan antar baris berjarak tiga pohon (Gambar 3).

Gambar 3 Pohon contoh pengamatan ulat api dan ulat kantung

Pengamatan Ulat Api dan Ulat Kantung

Pengamatan populasi ulat api dan ulat kantung pada tanaman kelapa sawit dilakukan secara kasat mata pada tanaman kelapa sawit belum menghasilkan (TBM) yang berumur dua tahun. Tingkat kepadatan populasi dinyatakan berdasarkan jumlah ulat api dan ulat kantung yang ditemukan pada pelepah daun muda (P9) dan pelepah daun tua (P17), kemudian dihitung secara manual menggunakan hand counter. Kepadatan ulat api dan ulat kantung pada tanaman

14 kelapa sawit dapat dibagi dalam tiga kelas, yaitu rendah, sedang dan berat (LPP 2000 dalam Perangin-angin 2009)(Tabel 1).

Tabel 1 Klasifikasi kepadatan ulat pada pelepah daun kelapa sawit

Jenis Ulat TBM

R S B

Ulat Api (Limacodidae) Setothosea asigna Setora nitens Ploneta diducta Darna trima < 3 < 3 < 7 < 15 3-4 3-4 7-9 15-24 ≥ 5 ≥ 5 ≥ 10 ≥ 25

Ulat Kantung (Psychidae) Mahasena corbetti Metisa plana Crematopsphisa pendula < 3 < 25 < 30 3-4 25-34 30-44 ≥ 5 ≥ 35 ≥ 45

Keterangan: R= ringan, S= sedang, B= berat, dimana angkanya merupakan ambang batas ekonomi/merugikan.

Pengamatan Predator

Pengamatan terhadap setiap jenis predator (laba-laba), dilakukan secara langsung pada pelepah tanaman kelapa sawit, tanaman pengganggu (gulma) dan tanaman penutup tanah. Pengamatan predator dilakukan pada masing-masing blok pengamatan.

Metode Pengolahan Data

Penelitian ini menggunakan metode survei dengan jumlah pengamatan pada setiap blok diulang sebanyak 10 kali. Data pengamatan diolah secara deskriptif dan ditabulasi dengan program Microsoft Office Excel 2007.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lokasi

Cikidang Plantation Estate adalah sebuah kawasan perkebunan yang dikembangkan oleh PT. Kidang Gesit Perkasa dan merupakan bagian dari Bintangraya Group. Kawasan ini berdiri diatas lahan seluas ± 900 ha yang terletak di Kecamatan Cikidang, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat dengan ketinggian 500-800 m diatas permukaan laut (dpl). Letaknya kira-kira 20 Km sebelum wisata Pelabuhan Ratu, Sukabumi atau sekitar 55 Km dari Bogor. Perkebunan kelapa sawit di kawasan ini berada di tengah-tengah perkebunan teh dan karet. Rata-rata hujan per tahun sekitar 2.987 mm dari 160 hari hujan. Suhu udara berkisar antara 180C-300C, dengan suhu rata-rata 260C, dan kelembaban rata-rata sebesar 85%. Intensitas rata-rata penyinaran matahari adalah 5-7 jam per hari. Topografi kawasan perkebunan kelapa sawit Cikidang Plantation Estate terdiri dari lahan datar 30%, lahan bergelombang 20%, dan lahan berbukit 50% dengan jenis tanah latosol merah.

Tanaman kelapa sawit di Cikidang Plantation Estate merupakan jenis tanaman baru yang mulai dikembangkan tahun 2008. Penanaman kelapa sawit dilakukan karena didorong oleh faktor semakin menjanjikannya keuntungan ekonomi tanaman tersebut. Perkebunan Cikidang Plantation Estate memadukan kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit, wisata, dan property development. Dimana pada setiap kavling berdiri satu bangunan “Rumah Kebun”/Villa dengan fasilitas layaknya perumahan elite, meliputi lapangan golf dan club house, kolam renang, penginapan, rumah sakit (wellness centre), dan yayasan dengan lingkup pendidikan olahraga Kung-Fu/Wu-Shu Shaolin yaitu Indonesia Shaolin International School (ISIS) (Lampiran 2).

Lahan perkebunan kelapa sawit di Cikidang Plantation Estate terdiri dari lima blok (A, B, C, D & E), setiap blok tersebut dibagi menjadi beberapa blok penanaman sesuai dengan kondisi lingkungan (alam). Pembagian blok penanaman kelapa sawit di lahan yaitu:

 Blok A. Terdiri dari A1, A2 dan A3/A.Ex (Excecutive). Tanaman kelapa sawit khususnya di blok A2 berada di bawah naungan tanaman karet.

16

 Blok B. Tanpa pembagian blok penanaman.

 Blok C. Blok ini terdiri dari Blok C1/C.Ex dan blok C2, kedua blok ini berada di bawah naungan tanaman karet.

 Blok D. Tanpa pembagian blok penanaman.

 Blok E. Terdiri dari satu blok dan berada di bawah naungan tanaman karet serta berdampingan dengan tanaman teh atau tanpa kedua tanaman tersebut.

Tanaman kelapa sawit pada blok E merupakan tanaman yang berumur di bawah satu tahun maupun tanaman yang baru ditanam di lahan. Blok Executive

(A.Ex dan C.Ex) terletak pada area yang memiliki view/panorama alam yang indah dan menunjang pengembangan area tersebut sebagai kawasan budidaya

Dokumen terkait