• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Peresapan Biopori

Menurut Brata dan Nelistya (2008) biopori (biopore) merupakan ruangan atau pori dalam tanah yang dibentuk oleh makhluk hidup, seperti fauna tanah dan akar tanaman. Bentuk biopori menyerupai liang (terowongan kecil) dan bercabang-cabang yang sangat efektif untuk menyalurkan air ke dan di dalam tanah. Liang pada biopori terbentuk oleh adanya pertumbuhan dan perkembangan akar tanaman di dalam tanah serta meningkatnya aktivitas fauna tanah, seperti cacing tanah, rayap, dan semut yang menggali liang di dalam tanah. Jumlah dan ukuran biopori akan terus bertambah mengikuti pertumbuhan akar tanaman serta peningkatan populasi dan aktivitas organisme tanah.

Kelebihan biopori dibandingkan dengan pori makro di antara agregat tanah antara lain (1) lebih mantap karena dilapisi oleh senyawa organik yang dikeluarkan oleh tubuh cacing (Lee, 1985 dalam Brata dan Nelistya, 2008), (2) berbentuk lubang silindris yang bersinambung dan tidak mudah tertutup oleh adanya proses pengembangan karena pembasahan pada tanah yang bersifat vertik (mengembang/mengerut) sekalipun (Dexter, 1988 dalam Brata dan Nelistya, 2008), (3) dapat menyediakan liang yang mudah ditembus akar tanaman (Wang, Hesketh, dan Woolley, 1986 dalam Brata dan Nelistya, 2008), dan (4) menyediakan saluran bagi peresapan air (infiltrasi) yang lancar ke dalam tanah (Smettem, 1992 dalam Brata dan Nelistya, 2008). Aplikasi lubang resapan biopori pada saluran yang terdapat dalam microcatchment dapat meningkatkan daya serap tanah terhadap air sehingga dapat menekan aliran permukaan.

Menurut Brata dan Nelistya (2008) sistem peresapan biopori merupakan sistem peresapan yang berdasarkan terhadap perbaikan kondisi ekosistem tanah untuk meningkatkan fungsi hidrologis pada tanah tersebut. Lubang resapan biopori dan penggunaan mulsa vertikal pada saluran merupakan beberapa bentuk penerapan dari sistem peresapan biopori.

4

Lubang Resapan Biopori

Lubang resapan biopori (LRB) merupakan lubang berbentuk silindris berdiameter sekitar 10 cm atau lebih yang digali di dalam tanah. Kedalamannya tidak melebihi muka air tanah, yaitu sekitar 100 cm dari permukaan tanah. LRB dapat meningkatkan kemampuan tanah dalam meresapkan air. Air tersebut meresap melalui biopori yang menembus permukaan dinding LRB ke dalam tanah di sekitar lubang. Dengan demikian, akan menambah cadangan air dalam tanah serta menghindari terjadinya aliran air di permukaan tanah (Brata dan Nelistya, 2008).

Peningkatan laju peresapan melalui lubang resapan biopori dapat mencegah terjadinya kerusakan lahan yang diakibatkan oleh aliran permukaan dan erosi, dapat digunakan untuk mengatasi sampah organik sehingga mencegah terjadinya genangan air serta dapat juga dijadikan sebagai tempat pengomposan bagi sampah organik yang dimasukan ke dalam lubang (Brata dan Nelistya, 2008). Penggunaan lubang resapan dan mulsa pada saluran mampu menekan terjadinya aliran permukaan dan erosi dengan efektifitas mencapai 100% serta mampu menekan kehilangan unsur hara dibandingkan perlakuan kontrol (Yanuar, 2005).

Mulsa Vertikal

Mulsa adalah teknik konservasi tanah dengan menggunakan bahan organik (sisa tanaman). Peranan mulsa dalam konservasi tanah antara lain mengurangi laju erosi tanah, mengurangi penguapan (evaporasi), menciptakan kondisi yang baik bagi aktivitas microorganisme tanah dan dapat meningkatkan kandungan bahan organik tanah (Abdurachman dan Sutono, 2002).

Mulsa mengurangi erosi dengan cara meredam energi hujan yang jatuh sehingga tidak merusak struktur tanah, mengurangi kecepatan dan jumlah aliran permukaan dan mengurangi laju kehilangan melalui aliran permukaan. Mulsa sebagai sumber energi akan meningkatkan kegiatan biologi tanah dan dalam proses perombakanya akan terbentuk senyawa-senyawa organik yang penting dalam pembentukan struktur tanah. Efektifitas mulsa dalam menekan erosi dan aliran permukaan tergantung jenis bahan dan jumlah mulsa yang diberikan.

5 Selanjutnya menurut Suwardjo (1981) untuk mencapai efektifitas yang tinggi disarankan menggunakan sisa-sisa tanaman yang proses perombakanya berjalan secara lambat seperti jerami padi, batang jagung, dan sorghum.

Mulsa vertikal adalah mulsa dari sisa tanaman yang diberikan pada alur atau lubang. Mulsa vertikal yang telah lama diperkenalkan merupakan pemberian mulsa yang dilakukan pada saluran teras gulud yang menutupi bidang resapan secara vertikal. Mulsa vertikal pertama kali diperkenalkan oleh Spain dan McCune (1956, dalam Brata, 1998).

Mulsa vertikal adalah penggunaan bahan mulsa dengan cara ditempatkan pada parit-parit yang dirancang mengikuti kontur. Parit kontur biasanya dibuat dengan lebar 25 cm dan dalam 25 cm kemudian diisi mulsa. Parit yang diisi mulsa tersebut berfungsi menampung dan merembeskan air aliran permukaan serta menahan sedimen. Mulsa vertikal dapat pula diterapkan pada parit-parit teras bangku, pada parit-parit teras gulud untuk meningkatkan efektifitas pengendalian aliran permukaan (FAO and IIRR, 1995 dalam Noeralam et al., 2003).

Sisa tanaman yang diberikan ke dalam lubang dan saluran akan menjadi sumber energi bagi fauna tanah sehingga dapat beraktivitas membuat biopori, memperkecil ukuran sampah organik, serta mencampurnya dengan mikroba yang dapat mempercepat proses pelapukan sampah organik menjadi kompos dan senyawa humus yang dapat memperbaiki kondisi ekosistem tanah (Brata dan Nelistya, 2008).

Aliran Permukaan

Menurut Arsyad (2006) Aliran permukaan adalah air yang mengalir di atas permukaan tanah atau bumi. Bentuk aliran inilah yang paling penting sebagai penyebab erosi. Beberapa sifat aliran permukaan yang menentukan kemampuanya dalam menimbulkan erosi antara lain: jumlah, laju dan gejolak aliran permukaan. Jumlah dari aliran permukaan menunjukkan jumlah dari air yang mengalir dalam satu periode hujan tertentu yang dinyatakan dalam satuan tinggi (mm). Air yang keluar dari suatu areal tertentu dapat melalui beberapa bentuk seperti aliran permukaan (surface runoff), aliran bawah permukaan (sub-surface flow), aliran bawah tanah (ground water flow), dan aliran sungai (stream flow).

6 Menurut Schwab et al., (1981) aliran permukaan tidak akan terjadi sebelum evaporasi, intersepsi, infiltrasi, simpanan depresi, tambatan permukaan dan tambatan saluran terjadi. Haridjaja et al., (1991) menjelaskan hujan yang jatuh di permukaan tanah akan terinfiltrasi ke dalam tanah setelah melewati tajuk tanaman. Proses infiltrasi akan berlangsung hingga kapasitas lapang terpenuhi. Apabila kapasitas lapang telah terpenuhi dan hujan masih berlanjut, maka kelebihan air hujan ini akan tetap terinfiltrasi menjadi air perkolasi dan sebagian lagi mengisi simpanan depresi. Setelah simpanan depresi penuh, maka kelebihan air akan menjadi tambatan permukaan dan sebelum menjadi aliran permukaan maka kelebihan air tersebut akan terevaporasi walaupun sangat kecil jumlahnya.

Menurut Schwab et al., (1981) durasi, intensitas, dan luasan area hujan mempengaruhi aliran permukaan yang terjadi disuatu daerah. Kemampuan infiltrasi tanah akan menurun sejalan dengan lamanya waktu terjadinya hujan sehingga hujan dengan durasi waktu yang pendek tidak akan menimbulkan aliran permukaan sedangkan hujan dengan intensitas yang sama tetapi terjadi dalam waktu yang lama akan menimbulkan aliran permukaan. Intensitas hujan mempengaruhi banyaknya jumlah aliran permukaan yang terjadi. Hujan intensitas tinggi dapat menimbulkan aliran permukaan yang lebih besar dibandingkan hujan dengan intensitas yang rendah walaupun presipitasi dari kedua hujan tersebut sama. Hujan intensitas tinggi dapat menurunkan kemampuan infiltrasi tanah karena kekuatan hujan tersebut mampu merusak struktur tanah yang berada di permukaan.

Erosi

Erosi adalah peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami. Pada peristiwa erosi, tanah atau bagian-bagian tanah pada suatu tempat terkikis dan terangkut yang kemudian diendapkan di tempat lain. Pengikisan dan pengangkutan tanah tersebut terjadi oleh media alami yaitu air dan angin (Arsyad, 2006).

Erosi adalah suatu proses dimana tanah dihancurkan dan kemudian dipindahkan ke tempat lain oleh kekuatan air, angin atau gravitasi. Di Indonesia erosi yang terpenting adalah yang disebabkan oleh air (Hardjowigeno, 2007).

7 Salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap erosi adalah topografi, yaitu panjang dan kemiringan lereng. Dengan demikian usaha pencegahan erosi mekanik dapat dilakukan dengan cara memperpendek lereng yakni dengan pembuatan teras (Arsyad, 2006).

Pada dasarnya erosi oleh air ditentukan oleh lima faktor yaitu : (1) iklim, (2) topografi, (3) tumbuh-tumbuhan, (4) tanah, dan (5) manusia. Di daerah beriklim basah seperti Indonesia, faktor iklim yang paling besar pengaruhnya terhadap aliran permukaan dan erosi adalah hujan. Jumlah, intensitas dan distribusi hujan akan menentukan kekuatan dispersi hujan terhadap tanah, jumlah dan kecepatan aliran permukaan akibat erosi (Sitorus, 2004). Semakin tinggi kekuatan dispersi hujan terhadap tanah maka semakin mudah tanah dapat terbawa oleh aliran permukaan. Arsyad (2006) menambahkan bahwa kemiringan dan panjang lereng adalah dua unsur topografi yang paling berpengaruh terhadap aliran permukaan dan erosi.

Microcatchment

Menurut Shaxson dan Barber (2003), sistem microcatchment merupakan sub bagian terkecil dari kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang mampu menangkap dan meresapkan air hujan kedalam tanah. Fidelibus dan Bainbridge (2004) menerangkan bahwa curah hujan yang tinggi dapat memproduksi aliran permukaan namun dengan modifikasi permukaan tanah dapat mengurangi laju aliran permukaan.

Bainbridge (2002) menjelaskan bahwa sistem microcatchment memberikan banyak keuntungan yaitu sangat mudah dan murah untuk dibangun dengan menggunakan tenaga dan bahan setempat, hasil dari aliran permukaan berkadar garam rendah sehingga salinisasi tanah tidak terjadi.

Jagung (Zea mays)

Dalam sistem klasifikasi tanaman jagung tergolong kedalam divisi Spermatophyta, kelas Angiosperm, subklas Monocotyledon, ordo Graminales, family Graminea, genus Zea, dan spesiesnya Zea mays. Sistem perakaran jagung terdiri dari akar seminal, koronal dan akar udara. Akar seminal adalah akar yang

8 tumbuh ke bawah saat biji berkecambah, umumnya berjumlah 3-5 buah. Akar koronal adalah akar yang tumbuh ke atas pada jaringan batang setelah plumula muncul. Akar udara adalah akar yang tumbuh pada buku di atas permukaan tanah yang berfungsi dalam asimilasi dan sebagai akar pendukung untuk memperkokoh batang (Muhadjir, 1988).

Tanaman jagung dapat tumbuh sangat baik pada tanah yang gembur dan kaya akan humus. Tanah yang padat serta kuat menahan air tidak baik untuk ditanami jagung karena pertumbuhan akarnya akan kurang baik atau akarnya akan menjadi busuk (Suprapto, 1998). Menurut Wirjodihardjo (1963) tanaman jagung tumbuh baik di tanah lempung yang tebal dan tidak teramat keras, walaupun tanaman jagung dapat juga tumbuh pada tanah berpasir atau tanah berkapur. Tanah endapan lempung atau tanah hutan menghasilkan jagung yang teramat baik. Ciri-ciri lahan yang sesuai (S1) untuk tanaman jagung menurut kriteria kesesuaian lahan LREP (1994 dalam Hardjowigeno et al, 1999) meliputi sifat-sifat fisik dan kimia tanah sebagai berikut: drainase tanah baik sampai sedang, kedalaman efektif >60 cm, KTK tanah 17-24 me/100 g, pH tanah 6,0-7,0, kadar C-organik >0,8%, kejenuhan Al <20% serta kadar hara tersedia N-total 0,21-0,5%, P2O5 >35 ppm dan K2O 21-40 me/100 g dengan tingkat bahaya erosi sangat rendah. Kondisi iklim yang sesuai untuk pertanaman jagung meliputi daerah dengan jumlah bulan kering 1-7 bulan dan curah hujan >1200 mm/tahun.

Tanaman jagung membutuhkan suhu yang tinggi. Suhu optimum bagi pertumbuhan jagung pada 250 C dan suhu minimum 170 C, di Indonesia dapat ditemukan pada daerah dengan ketinggian 1500 m dari permukaan laut (dpl). Hal ini menyebabkan tanaman jagung di Indonesia dapat ditanam pada setiap letak tinggi dan setiap bulan. Tanaman jagung tidak tahan pelindung dan membutuhkan penyinaran matahari secara langsung (Wirjodiharjo, 1963).

Kebutuhan akan pangan karbohidrat yang semakin meningkat akibat pertumbuhan penduduk sulit dipenuhi dengan hanya mengandalkan produksi padi, mengingat terbatasnya sumber daya terutama lahan dan irigasi. Jagung merupakan bahan pangan karbohidrat yang dapat membantu pencapaian dan pelestarian swasembada pangan (Subandi et al., 1998).

9

Padi (Oryza sativa)

Padi termasuk dalam famili Graminae, sub famili Oryzae, dan genus Oryza. Genus Oryza memiliki 20 spesies, tetapi yang banyak dibudidayakan adalah Oryza sativa L. Di Asia, dan Oryza glaberrima steund. Di Afrika (Chang, 1976 dalam De Datta, 1981). Organ tanaman padi terdiri dari dua kelompok, yakni organ vegetatif dan organ generatif (reproduktif). Bagian-bagian vegetatif meliputi akar, batang dan daun, sedangkan organ generatif terdiri dari malai, gabah, dan bunga. Fase vegetatif dimulai dari tanaman berkecambah sampai inisiasi primordial malai (60 hari atau tergantung varietas). Fase reproduktif selanjutnya terdiri dari dua, yakni pra-berbunga dan pasca-berbunga (periode pemasakan). Fase reproduktif dimulai dari inisiasi primordia malai sampai berbunga (30 hari) dan fase pemasakan dimulai dari berbunga sampai pemasakan (30 hari) (De Datta, 1981).

Menurut Purwono dan Purnamawati (2010) berdasarkan pada sistem budidayanya, padi dapat dibedakan dalam dua tipe, yaitu padi kering (gogo) yang dapat ditanam di lahan kering (tidak digenangi) dan padi sawah yang ditanam di sawah (selalu tergenang air). Padi gogo adalah salah satu tipe budidaya tanaman padi yang cukup penting. Berbeda dengan padi sawah, pertumbuhan padi gogo langsung dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan. Karena tidak ada genangan air secara terus menerus. Akibatnya terdapat berbagai tekanan seperti kekeringan. Kriteria suatu lahan potensial ditanami padi gogo adalah (1) kedalaman efektif tanah lebih dari 25 cm, (2) tekstur liat, berdebu halus, berlempung halus sampai kasar, (3) pori air tersedia sedang sampai tinggi, (4) tanah tidak berbatu-batu, (5) pH 4-8, (6) kejenuhan Al kurang dari 40%, (7) kedalaman padas lebih dari 50 cm, (8) lereng kurang dari 8%, (9) iklim lebih basah dari D3, (10) kelas drainase agak terhambat sampai agak cepat, (11) jumlah bulan basah kurang dari 4 bulan, (12) salinitas kurang dari 4000 mmhos/cm2 (Soepraptohardjo dan Suwardjo, 1988).

Latosol

Menurut Pusat Penelitian Tanah (1983 dalam Rachim dan Suwardi, 2002) latosol merupakan tanah yang memiliki distribusi kadar liat tinggi (lebih atau sama dengan 60%), remah sampai gumpal, gembur, dan warna secara homogen

10 pada penampang tanah dalam (.≥150 cm) dengan batas horison terselubung;

kejenuhan basa (NH4OAC) kurang dari 30% sekurang-kurangnya pada beberapa bagian dari horison B di dalam penampang 125 cm dari permukaan; tidak memiliki horison diagnostik (kecuali jika tertimbun oleh 50 cm atau lebih dari bahan baru), selain horison A umbrik atau horison B kambik, tidak memperlihatkan gejala plintik di dalam penampang 125 cm dari permukaan.n

Menurut Dudal dan Soepraptohardjo (1957, dalam Hardjowigeno, 2003) latosol adalah tanah yang mempunyai horison penciri berupa horison kambik, latosol juga merupakan tanah dengan tingkat hancuran iklim intensif, sangat tercuci dengan batas-batas horison baur, kandungan mineral primer (mudah lapuk) dan unsur hara rendah, pH rendah 4,5-5,5, kandungan bahan organik rendah, konsistensi gembur, striktur remah, stabilitas agregat tinggi, terjadi akumulasi seskuioksida akibat pencucian silika. Warna tanah merah, coklat kemerahan, coklat, coklat kekuningan, atau kuning tergantung dari bahan induk, umur, iklim dan ketinggian. Nisbah silika terhadap seskuioksida dari fraksi liat umumnya berkisar antara 1,5-1,8, kapasitas basa dipertukarkan 10-25 me/100 g tanah dan kejenuhan basa 15-50% (Dudal dan Soepraptohardjo, 1960 dalam Suwardi dan Wiranegara, 2000).

Tanah Latosol merupakan tanah yang penyebaranya sangat luas di Indonesia seperti di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Latosol coklat kemerahan Darmaga termasuk ke dalam orde Inceptisol menurut sistem klasifikasi USDA 1990 (Suwardi dan Wiranegara, 2000). Menurut Soil Survey Staff (1998, dalam Hardjowigeno, 2003) Latosol diklasifikasikan sebagai Oxic Dystrudept.

Latosol terbentuk di daerah beriklim humid-tropik tanpa bulan kering sampai subhumid dengan musim kemarau yang panjang, bervegetasi hutan basah sampai savana, bertopografi dataran, bergelombang sampai berbukit dengan bahan induk hampir semua jenis batuan (Suwardi dan Wiranegara, 2000). Tanah latosol meluas di daerah tropika sampai subtropika (Darmawijaya, 1990). Di Indonesia Latosol umumnya tardapat pada bahan induk volkanik baik berupa tufa maupun batuan beku. Ditemukan dari muka laut hingga ketinggian 900 m dengan topografi miring, bergelombang, vulkanik fan sampai pegunungan dan di daerah iklim tropika basah dengan curah hujan 2500 mm-7000 mm (Darmawijaya, 1990).

22

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan Cikabayan, Univercity Farm, Institut Pertanian Bogor, Darmaga. Penelitian berlangsung dari bulan April 2009 sampai bulan Mei 2010.

Bahan dan Alat

Penelitian dilakukan pada Tanah Latosol Darmaga (Oxic Dystrudepts) dengan kemiringan lereng 5%. Tanaman yang digunakan adalah tanaman jagung hibrida (Zea mays) varietas Pioner 12 dan padi gogo (Oryza sativa) varietas Situ Bagendit. Pupuk yang diberikan selama masa pertanaman berupa Urea, SP-18, KCl, dan dolomit. Insektisida juga diberikan guna mengurangi serangan hama dan penyakit. Mulsa yang digunakan untuk musim tanam jagung yaitu mulsa padi dari sisa pertanaman penduduk sekitar kampus IPB Darmaga dan mulsa sisa pertanaman jagung digunakan untuk musim pertanaman berikutnya (musim tanam padi gogo).

Alat-alat lapang yang digunakan yaitu cangkul, tugal, sabit, kored, meteran, timbangan, tali, ajir, ember, botol plastik, karung dan alat-alat lapang lainnya. Alat yang digunakan di laboratorium untuk analisis tanah adalah oven, mesin pengocok, pipet, buret, labu ukur, labu takar, gelas ukur, gelas piala, timbangan Sartorius, kertas saring, Spektrofotometer, AAS, dan alat-alat laboratorium lainnya.

Perlakuan

Penelitian dilakukan pada plot erosi dengan ukuran 10 m x 2 m. Aliran permukaan dan erosi tanah yang keluar dari plot erosi diukur dengan menggunakan bak penampung yang diletakkan diujung bawah plot erosi. Deskripsi perlakuan sebagai berikut:

12 b. T1: saluran konvensional: saluran dibuat dengan dimensi 15 cm x 15 cm (dalam dan lebar saluran). Bedengan (microcatchment) dibangun dengan interval jarak saluran 2 m.

c. T2: saluran konvensional dikombinasikan dengan mulsa vertikal (serasah tanaman dan bahan organik lainnya). Bedengan (microcatchment) dibangun dengan interval jarak saluran 2 m.

d. T3: saluran konvensional dikombinasikan dengan lubang resapan biopori (LRB). LRB dengan diameter 10 cm dan kedalaman lubang 100 cm diisi dengan serasah tanaman dan bahan organik lainnya dengan interval 1 m pada dasar saluran. Bedengan (microcatchment) dibangun dengan interval jarak saluran 2 m.

e. T4: saluran konvensional dikombinasikan dengan mulsa vertikal dan LRB. Bedengan (microcatchment) dibangun dengan interval jarak saluran 2 m.

Setiap petakan (plot erosi) berukuran 2 m x 10 m dengan jarak antar petakan 0,5 m yang berjumlah 15 petakan pada kemiringan lereng 5%. Setiap petakan terdiri dari 5 bedengan (microcatchment) yang berukuran 2 m x 2 m. Tiap bedengan ini dipisahkan oleh perlakuan teknik konservasi berupa saluran kecuali petakan kontrol (T0). Petakan dibatasi batako dengan lapisan semen setinggi 7,5 cm dari permukaan tanah dan tertanam kedalam tanah sedalam 20 cm. Pada ujung bawah petakan T0 dilengkapi dengan bak penampung erosi dan aliran permukaan yang ditutup dengan terpal untuk menghindari air hujan agar tidak masuk ke dalam bak penampung.

Setiap bedengan ditanami jagung dan padi searah kontur dengan sistem double row dengan jarak dalam baris tanam 20 cm x 20 cm untuk ke dua musim tanam dan jarak luar baris tanam 20 cm x 50 cm untuk jagung serta 20 cm x 30 cm untuk padi. Dosis pupuk Urea dan KCl yaitu 100 kg/ha, sedangkan dosis pupuk SP-18 dan Dolomit yaitu 200 kg/ha dan 2000 kg/ha. Dolomit diberikan sebelum tanam sedangkan pemberian Urea, SP-18, dan KCl dilakukan pada minggu ke dua setelah tanam.

Mulsa yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari sisa pertanaman padi penduduk sekitar kampus (untuk musim tanam jagung) sebanyak 1,5 ton/ha dan mulsa hasil dari pertanaman jagung (untuk musim tanam padi). Mulsa diberikan pada saluran yang terdapat pada petakan sesuai dengan perlakuan.

13

Parameter yang Diamati Aliran Permukaan dan Erosi

Penghitungan aliran permukaan dan erosi dilakukan setiap hari hujan hanya pada petakan T0 saja. Petakan perlakuan T1, T2, T3, dan T4 tidak dilakukan pengukuran, karena berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang serupa mengenai aliran permukaan dan erosi, pada perlakuan selain T0 menunjukan nilai yang sangat kecil (Yanuar, 2005). Volume aliran permukaan dan erosi dapat diukur dengan mengukur volume air pada bak penampung dan menimbang bobot kering tanah yang terdapat di dalam bak tersebut secara manual.

Pertumbuhan Tanaman

Parameter pertumbuhan tanaman jagung dan padi diamati dengan mengukur tinggi 9 tanaman contoh yang terdapat pada semua petakan setiap minggu sejak tanaman berumur 3 minggu setelah tanam (MST) sampai pertambahan tinggi maksimum.

Produktivitas Tanaman

Penghitungan bobot biomassa dan bobot hasil produksi tanaman dilakukan setelah pemanenan dengan menimbang bobot kering biomassa tanaman dan bobot kering biji tanaman jagung dan padi.

Sedimen Terendapkan

Bobot sedimen petakan T1, T2, T3, dan T4 yang tertampung pada saluran dan lubang resapan diukur setiap akhir musim tanam. Bobot kering sedimen dihitung dengan koreksi kadar air. Pengambilan sedimen untuk pengukuran bobot sedimen dilakukan dengan menggali sedimen yang tertampung selama satu musim tanam jagung dan padi pada saluran dan lubang resapan. Sedimen pada saluran diambil dengan menggunakan cangkul hingga mencapai batas dasar saluran yang ditandai dengan tali plastik. Sedimen pada lubang resapan diambil dengan menggunakan bor. Sampel sedimen juga diambil untuk dianalisis di laboratorium untuk mengetahui jumlah hara yang dapat diendapkan di saluran.

14

Kehilangan Hara

Sampel air dan tanah hasil aliran permukaan dan erosi diambil dari dalam bak penampung yang terdapat pada petakan T0 dan diekstrak di laboratorium untuk mengetahui jumlah hara yang hilang.

Curah Hujan

Pengukuran curah hujan dilakukan setiap hari mulai awal sampai akhir periode pertanaman.

Pendekatan Statistika

Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan Teknik Konservasi Tanah dan Air dengan 3 ulangan.

Model matematika yang digunakan adalah:

Yij = u + αi + βj + εij

Dimana :

Yij = nilai tengah pengamatan pada perlakuan ke-i (i = 1, 2, 3, 4, 5) dan ulangan ke-j (j = 1, 2, 3)

u = rataan umum

αi = pengaruh perlakuan TKTA (ke-i) βj = pengaruh ulangan ke-j

εij = galat

Analisis ragam dilakukan untuk mempelajari pengaruh perlakuan dan analisis beda nyata terkecil (BNT) digunakan untuk mengetahui beda antar perlakuan.

15

HASIL DAN PEMBAHASAN

Aliran Permukaan dan Erosi

Rataan volume aliran permukaan dan jumlah erosi tanah pada musim tanam jagung dan padi disajikan pada Tabel 1. Tabel tersebut menunjukkan bahwa perlakuan yang diterapkan berbeda sangat nyata dengan kontrol. Perlakuan tersebut berpengaruh dalam mengendalikan aliran permukaan dan erosi yang terjadi dibandingkan dengan perlakuan kontrol (T0). Perlakuan kontrol (T0) tidak menggunakan teknik konservasi tanah dan air menghasilkan aliran permukaan dan erosi yang cukup tinggi yaitu sebesar 100,91 m3/ha dan 372,02 m3/ha (aliran permukaan) dan 1,77 ton/ha dan 10,45 ton/ha (erosi tanah). Tingginya aliran permukaan dan erosi pada T0 mengindikasikan tingginya kehilangan hara sehingga akan menurunkan produktivitas tanaman pada musim tanam berikutnya.

Tabel 1 Rataan jumlah aliran permukaan dan erosi selama musim tanam jagung dan padi

Perlakuan

Musim Tanam Jagung Musim Tanam Padi Aliran Permukaan (m3/ha) Erosi (ton/ha) Aliran Permukaan (m3/ha) Erosi (ton/ha) T0 100,91aA* 1,77aA* 372,02aA* 10,45aA*

T1 - - - - T2 - - - - T3 - - - - T4 - - - - BNT 5% 8,87 1,05 11,68 0,32 BNT 1% 12,91 1,52 17,00 0,46

Dokumen terkait